Showing posts with label renungan kitab suci perjanjian lama. Show all posts
Showing posts with label renungan kitab suci perjanjian lama. Show all posts

Friday, May 1, 2020

APA ARTI PENTING PERMOHONAN MUSA?

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung




Kemarin dalam tulisan pertama saya melukiskan bahwa Musa, saat melihat penglihatan ajaib, semak bernyala tetapi tidak terbakar itu, meminta dengan sangat agar Dia yang Bertahta dalam Cahaya itu sudi memberitahukan nama-Nya kepadanya. Kemarin juga saya melukiskan bahwa nama itu disingkapkan kepada Musa. Hari ini saya hanya mengajukan pertanyaan sederhana saja: apa arti penting permohonan Musa yang meminta nama Allah, tokoh misterius dalam semak bernyala itu? Mengapa Musa bersikeras memohon kepada suara dalam semak bernyala itu agar memberitahukan namaNya?
Rupanya nama dan pengetahuan, pengenalan akan nama itu sangat penting. Sebab dalam Perjanjian Lama ini bukan untuk pertama kalinya terjadi bahwa orang memohon nama pada tokoh misterius yang dihadapinya. Dalam Kejadian kita membaca bagaimana Yakub meminta nama tokoh misterius yang bergumul dengannya di kegelapan menjelang fajar pagi, di pinggir sungai Yabok: “Katakanlah juga namamu.” (Kej.32:22-32; ay.29a). Jadi, urusan nama, dan pengenalan nama memang mempunyai arti yang amat penting.

Untuk dapat memahami hal ini kita harus terlebih dahulu mengetahui apa yang disebut filsafat nama orang Ibrani. Filsafat nama yang dimaksudkan ialah pemikiran filosofis tentang nama; semacam pendasaran filosofis-teologis mengapa orang diberi nama tertentu, atau bahkan mengapa orang diberi nama; mengapa orang tidak usah bernama saja, suatu keadaan anonim, keadaan awanama, keadaan tanpa nama, tidak bernama? Tetapi ternyata orang condong memberi nama dan memiliki nama. Itulah salah satu kecenderungan dasar manusia yang sudah tampak dalam diri manusia pertama, Adam, yang memberi nama kepada segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya (Kej.2:18-20).

Ternyata nama bagi mereka bukan hanya kata penanda, penunjuk, atau pengenal ada belaka, yang memberi label kepada sesuatu yang (ber)ada. Bagi orang Ibrani, nama adalah definisi diri orang. Bahkan nama adalah representasi diri pribadi orang yang menyandang nama itu. Dengan demikian nama itu lebih dari sekadar kosa-kata, sebab dalam hal ini ia sudah menjadi alter ego, menjadi aku yang lain, yang mampu menggambarkan, mewakili, menghadirkan dan menampakkan orang yang menyandang nama itu. Jadi, nama adalah diri orang itu sendiri. Nama adalah entitas. Karena itu, hal mengetahui nama itu sama dengan mengetahui orang itu, artinya mengetahui identitas, sifat, watak, dll, dari yang bersangkutan. Bagi budi dan cara berpikir orang Ibrani, mengetahui nama sudah sama dengan mengetahui bahkan mengenal orang itu secara utuh: daya, peran, fungsi.

Selain itu, bagi cara berpikir orang-orang Ibrani, nama adalah tugas dan panggilan seseorang. Itulah sebabnya saya selalu suka mengistilahkan nama sebagai sebuah kata primordial, kata mitis, kata magis, yang menjadi dasar dan bahkan mengadakan entitas sosial seseorang ataupun sesuatu yang diberi nama tertentu. Kalau tidak bernama itu sama dengan tidak berharga apa-apa (Ayb 30:8). Tidak bernama itu sama dengan tidak berguna (1Sam 25:25). Bahkan juga, tidak bernama berarti tidak ada juga. Nama menunjukkan eksistensi dan esensi sekaligus. Maka sekali lagi, nama itu mengadakan orangnya, menghadirkan orangnya, sehingga tatkala nama itu dipanggil, si empunya nama akan menjawab, yaitu memberi sebuah tanggapan, dan dengan cara itu ia pun mengakukan keberadaanya sekarang dan di sini.

Itulah arti penting sebuah nama itu dalam suatu konteks pemikiran kebudayaan tertentu. Tetapi saya kira hal ini ada dan berlaku pada setiap kebudayaan apapun dan mana pun di dunia ini. Kiranya hal itu berlaku juga dalam kebudayaan Jawa, kebudayaan Batak, kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bugis, dan juga kebudayaan Manggarai, dari mana saya berasal. Kiranya itu sebabnya dalam banyak kebudayaan peristiwa pemberian nama ditandai dengan ritual pemberian nama (name giving ritual). Dalam konteks praksis kebudayaan orang Manggarai, sejauh yang saya ketahui, ritual pemberian nama itu (terutama dulu nama asli, atau ngasang tuung sebagai orang Manggarai, yang dibedakan dari nama baptis, ngasang cebong) disertai atau diiringi dengan pemotongan hewan ritual (entah itu babi, kambing, ayam, bahkan juga mungkin sapi). Hak memberi nama itu dalam konteks kehidupan orang Manggarai dulu, adalah hak seorang ayah. Ayahlah yang memberi nama asli, ngasang tuung itu. Karena diberikan dengan iringan ritual suci pemotongan hewan, maka nama itu suci dan karena itu juga menjadi tabu untuk disebutkan secara sembarangan. Oleh karena itu, biasanya orang-orang Manggarai lebih suka dipanggil dengan nama baptisnya dan bukan dengan nama aslinya, ngasang tuung itu. Bagi saya ini adalah suatu fenomena yang menarik. Tetapi saya tinggalkan di sini dulu. Semoga di lain kesempatan kita bisa melihat hal itu lebih jauh dan dalam lagi. Kita kembali ke pokok persoalan kita tadi.

Dengan latar belakang pemikiran dan pemahaman seperti itu, kita mengulang lagi pertanyaan tadi: apa arti penting Musa memohon nama Yahweh? Mengapa Musa bersikukuh meminta nama si tokoh misterius di balik semak terbakar itu? Hal itu dapat dijelaskan secara singkat sbb: Dalam hubungan dengan Allah, orang Israel tidak mencari esensi atau eksistensi Allah. Yang mereka cari adalah nama Allah, yaitu, kehadiran Allah yang kuat-kuasa di tengah-tengah umat-Nya. Dengan nama itu, orang Israel dapat menyapa Allah, berkomunikasi dengan Allah, berseru kepada Allah. Bahkan dengan nama itu orang Israel dapat juga bersekutu dengan Allah (dalam proses deifikasi dan divinisasi manusia). Memakai nama Allah berarti suatu wujud pengakuan dan bahkan tekat dan janji bahwa dia mau menjadi milik Allah, ingin selalu berada dalam naungan, lindungan dan penyelenggaraan Allah (providentia Dei). Itulah arti penting Musa meminta nama Allah, yaitu agar Musa dan orang Israel yang dipimpinnya bisa mengetahui dan mengalami daya-kuasa Allah itu. Maka, permohonan Musa itu sangat penting artinya bagi penghayatan hidup iman dan keagamaan orang Israel. Sebab tanpa nama itu, mereka tidak dapat berkomunikasi dengan Dia yang tidak bernama, sang misteri yang tidak terhampiri, yang dalam ungkapan Perjanjian Baru, Dia yang bertahta dalam terang yang tak terhampiri (1Tim 6:16). (Bersambung)....

Friday, April 17, 2020

MERENUNGKAN KURBAN ABRAHAM

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen dan peneliti Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.



Abraham adalah tokoh besar dalam Perjanjian Lama, seorang Bapa Perjanjian. Kepadanya Tuhan telah memberikan sebuah janji keturunan yang besar dan banyak jumlahnya, sebanyak bintang di langit, dan butir pasir di tepi pantai (bdk.Kej.22:17, bahkan di bagian akhir ay 17 ini ada janji bahwa keturunan Abraham akan menduduki kota-kota musuhnya, semacam ekspansionisme politis dan teritorial). Jadi, betapa luar biasanya janji yang diucapkan Tuhan kepada Abraham. Tentu kita dapat dengan mudah membayangkan betapa Abraham menjadi sangat berbesar hati karena janji yang diucapkan Tuhan kepadanya. Ia sangat berharap bahwa hal itu akan terwujud. Kalau bisa dengan sangat segera, sekarang dan di sini. Bukan harus menunggu pada suatu saat di masa depan, sebuah rentang waktu yang tidak selalu sangat pasti, justru karena sifatnya yang mendatang, yang memang “mendatangi” namun ia mengalir dari sebuah tabir misteri masa depan yang tidak selalu serba pasti walaupun sangat dinanti-nanti dengan hati yang sangat berbakti.

Tetapi kita semua tahu bahwa sampai di senja usianya, ia belum juga mendapat seorang anak pun. Itulah sebabnya kata-kata perjanjian itu terasa sangat paradoksal, bahkan menjadi sangat tidak mungkin juga. Kita juga bisa membayangkan dengan pasti betapa penantian itu menimbulkan semacam keresahan di dalam diri Abraham. Lagipula pada saat itu isterinya, yang bernama Sara, pun sudah tua. Kedua orang itu, sepasang suami isteri, tetapi terutama Abraham, sudah “mati pucuk”. Itu adalah suatu keadaan tidak dapat bertunas dan suatu keadaan yang tidak dapat bertumbuh kembali (sebuah ungkapan atau metafora yang diambil dari dunia tetumbuhan). Menyadari kondisi sudah “mati pucak” seperti itu, tentu saja kita juga bisa membayangkan dengan sangat mudah bahwa Abraham, sebagai seorang manusia biasa, pasti menjadi sangat cemas dan gelisah memikirkan dan merenungkan masa depannya; intinya ialah, siapa yang akan meneruskan garis keturunannya di masa yang akan datang? Dari perspektif sekarang ini, hal itu sangat kelam, karena ia sudah “mati pucak”. Tidak ada sebuah jawaban yang serba pasti dan jelas. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa tatkala Sara menyodorkan Hagar (sang budak dari Mesir) untuk dijadikan “isteri”, maka Abraham pun menerimanya, dan mungkin berharap ada secercah harapan di sana. Ternyata, ya. Hagar pun hamil dan melahirkan seorang putera yang diberi nama Ismail (Kej.16:1-4).

Tetapi itu bukanlah rencana Tuhan. Tuhan mempunyai rencana lain, yaitu memberikan “anak perjanjian” yang sah dari Sara, isterinya yang sah. Tidak lama sesudah peristiwa di bawah pohon di Mamre yang terkenal itu (Kej.18:1-16; khususnya ayat 10 yang relevan di sini), Sara pun hamil di usianya yang sudah sangat tua itu dan kemudian melahirkan anak Isaak, anak perjanjian (Kej.21:1-7). Ketika Hagar sadar bahwa ia hamil, ia memandang rendah Sara dan hal itu menyebabkan Sara sakit hati sehingga ia pun menindasnya. Hagar, rupanya termasuk kategori pembantu (yang kemudian berubah status menjadi isteri) yang tidak tahu diri: sesudah diangkat sang majikan, ia kemudian menghempaskan sang majikan itu sehingga sang majikan itu merasa sangat sakit hati dan menindasnya dengan sangat keras. Lalu Hagar lari dan di dalam pelarian itu ia dijumpai Tuhan, yang dinamainya El-Roi (Kej.16:13). Sang El-Roi itu menyuruhnya untuk kembali ke sang nyonya. Tetapi kemudian, setelah Ishak lahir, Hagar dan Ismail anaknya, diusir Abraham atas permintaan Sara. Tatkala melihat bahwa Ismail dan Ishak sedang bermain, Sara merasa tidak suka dan meminta agar Ismael dan ibunya diusir (Kej.21:10).

Lahirnya Ishak pasti mendatangkan rasa bahagia yang tidak terkira pada diri Abraham. Kita dapat membayangkan hal itu dengan mudah secara manusiawi, walau tidak ada data yang jelas tentang hal itu dalam Kitab Suci. Tetapi kita dapat membayangkan kebahagiaan itu dengan metode membaca hermeneutik, reading between the lines itu. Misalnya kita bisa merasakan sukacita dan kebahagiaan itu dari semua upacara yang dibuat Abraham bagi Ishak (Kej.21:4). Pasti Abraham merasa bahwa dalam diri Ishak ia tidak hanya melihat pantulan dirinya, tetapi juga melihat gambaran masa depannya yang sangat cerah. Ishak menjadi bagian dari diri Abraham. Ia adalah daging dari dagingku, dan tulang dari tulangku. Kiranya kata-kata Adam kepada Hawa dulu (Kej.2:24-25) bisa juga dipakai dan diterapkan di sini. Maka kita dapat membayangkan ada dan terbangunnya sebuah relasi yang akrab dan penuh kasih antara Abraham (sang ayah) dan Ishak (sang anak).

Tetapi betapa Abraham kemudian sangat terkejut dan bingung, karena Tuhan meminta agar ia mengorbankan anak terkasih itu di gunung Moria (Kej.22:1-19). Apa yang sudah didapatnya sebagai karunia, wujud janji masa depan, kini harus diserahkan kembali kepada Tuhan, harus dikurbankan/dipersembahkan kepada Tuhan. Kiranya Tuhan tidak main-main dengan hal itu. Abraham pasti kebingungan ketika mendengar hal ini. Tetapi betapa pun ia bingung, ia tetap mau melaksanakan tuntutan Tuhan itu. Ia pun pergi ke gunung Moria untuk mengurbankan Isaak, anaknya. Tuhan yang memberi, Tuhan yang meminta (mengambil kembali). Terpujilah nama Tuhan. Mungkin seperti itu gumam Abraham dalam hatinya, seperti gumam yang diucapkan oleh Ayub itu (Ayub 1:21). Ketika sudah tiba di gunung Moria, maka saat-saat dramatis itu pun akan segera tiba. Tetapi justru pada saat-saat dramatis itulah, Tuhan campur tangan, Tuhan menyediakan. Itulah detik di mana terjadi sebuah revolusi peradaban yang luar biasa di mana Kurban manusia diganti dengan kurban hewan. Pada detik itu, terjadilah sebuah perubahan yang sangat besar dalam sejarah peradaban agama-agama manusia. Mungkin selama itu, adalah sangat biasa orang mengurbankan manusia (khususnya anak-anak, terutama anak sulung) kepada para Dewa. Tetapi sejak drama Abraham di gunung Moria ini, terjadilah sebuah pembalikan. Manusia tidak lagi dikurbankan kepada para dewa, melainkan diganti dengan binatang.

Tetapi pada dasarnya kurban itu adalah suatu yang melekat pada diri kita manusia. Tendensi berkurban adalah suatu yang kuat melekat dalam peradaban manusia. Yang dikurbankan hendaknya, sesuatu yang ada pada diri kita, misalnya, diambil dari hewan peliharaan, bukan sesuatu yang dibeli. Sebab kurban pertama-tama adalah kurban hati, pikiran, dan rasa. Kurban itulah yang paling bermutu tinggi. Di dalam perkembangan sejarahnya, khususnya bagi penghayatan teologis orang Kristen kurban itu tidak perlu lagi sebab sudah ada kurban Kristus, yaitu kurban yang hanya satu kali tetapi untuk selama-lamanya (Ibr.7:27). Karena itu, orang Kristiani tidak perlu lagi mengulang kurban Abraham itu, sebuah drama kebengisan kolosal yang terjadi secara massal. Saya membayangkan betapa tangis pedih makhluk ciptaan yang disembelih itu, membumbung tinggi ke hadirat Tuhan yang menciptakannya.

Monday, August 19, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 6:4-7:5

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.



Jika dalam bagian terdahulu, kita mendengar pujian mempelai wanita akan mempelai pria, maka dalam bagian ini kita mendengar mempelai pria memuji mempelai wanita. Di sini mempelai pria memakai metafora kota sebagai ibarat kecantikan si perempuan (mempelai wanita). Ia menyebut nama dua kota yang indah, Tirza dan Yerusalem. (Tetapi jika tidak salah Tirza adalah nama lain untuk Yerusalem; jadi, ada satu kota saja). Keindahan kota itu (Yerusalem alias Tirza) ia jadikan metafora bagi kecantikan sang kekasih (ay 4). Secara khusus ia menyinggung mengenai keindahan sorotan mata sang kekasih yang begitu tajam, penuh pesona kelembutan yang menyebabkan dia bingung jika ditatap (ay 5a). Keindahan rambutnya ia ibaratkan dengan kawanan kambing yang turun bergelombang dari Gilead (ay 5b; bdk.4:1).

Metafora fauna ini dilanjutkan dalam ayat 6 di mana kekasih pria memakai perlambang kawanan domba untuk melukiskan keindahan gigi sang kekasih. Dalam ayat 7 kita melihat peralihan ke metafora fauna, di mana sang kekasih memakai buah tetumbuhan (flora) untuk melukiskan pelipis si nona cantik. Dalam ayat 8-9 kita temukan fakta bahwa si mempelai pria membandingkan kecantikan kekasihnya melampaui semua kekasih yang lain, yaitu enam puluh permaisuri (ay.8) dan delapan puluh selir, ditambah dara yang tidak terhitung jumlahnya. Tetapi kecantikan kekasih tetap tidak terkalahkan (ay 9). Karena itu para puteri memuji dia sebagai orang yang berbahagia begitu juga permaisuri dan selir.

Dalam bentuk pertanyaan retoris (ay 10) ia melukiskan kecantikan sang kekasih dengan memakai metafora astral (benda langit: matahari dan bulan). Tidak begitu mudah menafsirkan ayat 11-12. Tetapi bisa dikatakan bahwa dalam kedua ayat ini kekasih pria melukiskan kebingungannya saat berhadapan dengan kekasih yang cantik mempersona, tetapi sekaligus membingungkan saat dipandang (ay 11-12). Karena itu, ia pun dilanda rindu akan gadis itu, sehingga ia memanggilnya pulang dan berharap ia kembali kepadanya (ay 13). Dalam ayat 13b ada pertanyaan kepada sang kekasih pria itu, mengapa ia tertarik memandang gadis itu?

Jawaban atas pertanyaan ini ditemukan dalam ayat-ayat berikutnya. Singkatnya, ia tertarik pada gadis itu karena ia cantik. Dalam Kid 7:1, ia mulai melukiskan kecantikan wanita itu lewat pelukisan cara jalannya yang indah ditambah dengan wataknya yang tinggi (ay 1). Ia mengibaratkan keindahan lengkung pinggangnya dengan perhiasan hasil karya seniman. Satu persatu ia menyebut beberapa bagian indah dalam tubuh wanita, khususnya wanita Timur Tengah dulu yang pakaiannya terbuka pada bagian perut sehingga pusar kelihatan. Itu sebabnya dalam 7:2, kita membaca perbandingan pusar itu dengan memakai perlambang cawan bulat. Keindahan perut juga dilukiskan bagaikan timbunan gandum yang dipagari bunga-bunga cantik (ay 3).

Dari bagian bawah tubuh ia naik ke atas. Mula-mula ia melukiskan buah dada dengan memakai metafora dua anak rusa dan anak kijang kembar, metafora yang kita temukan sebelumnya. Kemudian ia naik ke leher. Ia lukiskan keindahan leher itu dengan metafora menara gading (ay 4). Lalu berturut-turut ia memuji keindahan mata dan hidung sang kekasih. Mata ia ibaratkan dengan telaga Hesybon, hidung ia ibaratkan dengan menara di gunung Libanon (ay 4). Dari situ ia naik ke kepala dan rambut, bagian tertinggi badan manusia. Kepala ia ibaratkan dengan bukit Karmel. Rambut ia ibaratkan dengan sesuatu yang merah lembayung. Benar-benar indah dan sempurna. Di hadapan keindahan sempurna itu, sang raja (kekasih tadi), seakan-akan terkesima dan seperti ditawan oleh daya sihir kecantikan yang terpancar dari kepang-kepang rambutnya yang indah.

Mungkin ada yang bertanya, mana nilai religius puji-pujian yang sekular ini? Seperti dikatakan pada pengantar untaian renungan ini, kita harus melihat semuanya sebagai alegori (perumpamaan) mengenai relasi cinta dan keterpesonaan manusia beriman di hadapan kebaikan dan keindahan anugerah Tuhan yang membuat dia terhanyut dalam keterpesonaan yang tiada tara.

Lingungan St.Margaretha Alaqoque.

Saturday, May 18, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 5:9-6:3

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR, Bandung. Anggota LBI dan ISBI.



Di sini teks sebelumnya dilanjutkan dengan judul lain: “Mempelai perempuan memuji mempelai laki-laki di hadapan puteri-puteri Yerusalem.” Karena itu, dalam ay.9, puteri-puteri Yerusalem mengajukan dua pertanyaan tentang kelebihan sang kekasih pujaan (pria) dibandingkan dengan kekasih lain. Perhatikan bahwa puteri-puteri Yerusalem itu mengakui kejelitaan perempuan itu (hai jelita di antara wanita?). Mereka terdorong mengajukan pertanyaan itu karena di akhir bagian terdahulu, sang kekasih yang kasmaran itu menyumpahi mereka.

Lalu mulai dengan ay.10 ada untaian pujian dari mempelai terhadap kekasih prianya. Pertama ia melukiskan warna kulit: sang kekasih itu putih bersih dan merah cerah (ay.10), sehingga ia tampak sangat mencolok di antara orang lain. Kemudian ia melukiskan kepalanya yang terlihat laksana emas (mungkin karena memakai mahkota atau topi istimewa dan mahal). Rambutnya ia lukiskan “mengombak” dan berwarna hitam (ay.11). Lalu ia lukiskan matanya. Rada sulit memahami metafora merpati itu. Tetapi yang dimaksud ialah mengenai mata yang indah dan lincah selincah gerakan merpati saat minum air di sungai atau mandi di kolam susu. Selanjutnya ia melukiskan pipinya. Metafora ay.12 ini juga tidak mudah dipahami. Tetapi yang dimaksud ialah mengenai pipi yang dihiasi cambang dan terukir rapih seperti orang menata bedeng rempah-rempah ataupun petak-petak rempah-rempah akar (ay.13a). Ia juga melukiskan keindahan bibirnya yang ia ibaratkan dengan bunga bakung yang berteteskan cairan mur (ay.13b).

Lalu ia pindah dari bagian di sekitar kepala menuju ke anggota badan. Mula-mula dalam ay.14 ia melukiskan tangan. Kiranya yang dimaksud ialah lengannya yang kekar bulat dan dihiasi permata Tarsis (barang berharga mahal saat itu, ay.14). Kira-kira seperti hiasan lengan pria dan wanita yang tampil dalam tari Ramayana di Prambanan itu. Tangan yang indah itu bercokol pada tubuh yang juga indah dan keindahan itu dilukiskan dengan ukiran gading bertabur batu nilam. Kiranya pakaiannya penuh dengan perhiasan mahal. Akhirnya, ia juga melukiskan kaki sang kekasih yang ia ibaratkan dengan tiang-tiang marmar putih. Ia tampak berdiri kokoh di atas landasan kokoh (ay.15). Seluruh perawakan badannya laksana gunung Libanon yang indah dan perkasa. Ia juga dilukiskan sebagai yang terpilih laksana pohon-pohon aras.

Setelah melukiskan sosok sang kekasih secara jasmani dengan memakai banyak metafora, akhirnya ia tidak lupa melukiskan sang kekasih dari sudut yang lain yaitu tutur katanya (ay.16). Dikatakan bahwa tutur katanya manis dan menarik. Pokoknya benar-benar sempurna. Setelah itu, sang mempelai tadi mengatakan bahwa begitulah gambaran kekasihku (si pria idaman).

Setelah mendengar pemerian yang rinci dan indah itu, puteri-puteri Yerusalem pun bertanya tentang ke mana perginya sang kekasih, sebab mereka juga ingin membantu mencarinya (Kid 6:1). Mempelai wanita itu pun menjawab mereka (ay.2). Menurut mempelai itu, kekasihnya telah pergi bekerja ke lahan pertaniannya atau tempat pengolahan hasil pertanian (bedeng rempah-rempah). Tidak hanya itu. Ia juga pergi menggembalakan domba (peternak). Anehnya, ia menggembalakan domba itu dalam kebun. Sambil menggembalakan domba ia memetik bunga bakung. Makin aneh lagi. Karena itu saya menduga bahwa pemerian itu adalah metafora tentang upaya sang kekasih pria mencari kekasih wanitanya (sebab dalam bagian berikut, kita baca bahwa kekasih pria itu memuji kekasih wanita sebagai balasan atas pujian luhur yang ada di sini). Itu sebabnya dalam ay.3 mempelai wanita dengan yakin berkata: “Aku kepunyaan kekasihku, dan kepunyaanku kekasihku, yang menggembalakan domba di tengah-tengah bunga bakung.” Dengan pemerian yang penuh percaya diri ini, tertutuplah pintu bagi puteri-puteri Yerusalem yang lain untuk mendapatnya walau mereka juga mendambakannya dengan berpura-pura ikut membantu menemukannya.


Hotel Ibis Kwitang, Jakarta, 12 Mei 2019.


Saturday, May 11, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 5:1-8

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Bagian awal teks ini (ay.1) masih melanjutkan bagian terdahulu yaitu ungkapan hati dan perasaan mempelai laki-laki terhadap kekasihnya dan terutama tentang perjumpaan yang dibayangkan terjadi di antara mereka. Untuk melukiskan kekasihnya ia memakai metafora agrikultural, melukiskan kekasih sebagai kebun. Kebun itu indah dan menghasilkan banyak hal indah dan menyenangkan. Sebagai persiapan ia membawa mur dan rempah-rempah. Setibanya di sana ia mau memakan semua yang enak yang ada dalam kebun itu. Di akhir ay.1 ia melukiskan apa yang bisa dilakukan jika orang sampai di kebun itu. Biasanya orang berpesta-ria menikmati dan merayakan cinta.

Dalam bagian berikut kita membaca pelukisan isi hati dan ungkapan perasaan mempelai perempuan. Ia menanti kedatangan kekasih, dengan penuh harap, rindu, dan hasrat serta kegairahan. Di sini kita membaca dinamika perasaan hati yang menanti sekaligus dilanda rindu, cinta, dan gairah. Ia mencoba tidur, tetapi tidak tertidur. Mata mencoba tidur, tetapi hati tetap terjaga menantikan kedatangan kekasih (ay.2). Ternyata kekasih itu sudah tiba dan ia berseru-seru agar dibukakan pintu. Dengan bahasa indah laki-laki itu memanggil kekasihnya (merpatiku, idamanku, manisku). Ia mendesak agar segera dibukakan pintu karena ia tertimpa dinginnya embun malam. Dalam penantian yang penuh rindu dan damba itu, ia mencoba berlambat sejenak karena merasa bahwa ia sudah menanti dan menyiapkan segala sesuatu untuk pesta cinta itu (baju ditanggalkan, kaki dibasuh; jadi ia sudah di tempat tidur, ay.3).

Dalam detik penantian yang penuh campuran cinta, damba, dan berlambat karena manja, perempuan itu melihat tangan kekasih prianya masuk melalui lubang pintu untuk membuka pintu itu dari dalam. Si kekasih pria aktif datang mencari cinta dan menikmati asmara (Dalam rumah dulu disediakan lubang kecil di pintu agar kalau tuan rumah pergi ia bisa mengunci pintu dari luar dan bisa membuka dari luar. Kekasih pria tadi mencoba pintu rumah kekasihnya melalui lubang kecil itu). Saat melihat tangan kekasih yang masuk dan membuka pintu itu, hati mempelai perempuan pun berdebar-debar (ay.4). Ia tidak tahan lagi sekadar menanti walaupun ia sudah berlambat. Sekarang ia juga aktif menerima sang cinta. Ia ke pintu untuk membuka. Saat itu perasaannya campur-baur. Ia lukiskan perasaan itu dengan melukiskan tangannya yang penuh tetesan barang mewah dan berharga, mur. Sebenarnya ini adalah pelukisan mengenai perasaan hati yang berbunga-bunga saat sejenak lagi akan berjumpa dengan dambaan (ay.5).

Begitu saatnya tiba, ia membukakan pintu bagi kekasih pria (ay.6). Tetapi begitu pintu terbuka ia mendapati kekasihnya sudah pergi meninggalkan dia. Persis saat ia menghilang, kekasih perempuan itu seperti jatuh pingsan (kelimpungan) beberapa lamanya. Dalam kebingungan ia mencoba mencarinya tetapi tidak juga ia temukan. Mungkin di sini pembaca bertanya, apa yang terjadi sehingga perjumpaan itu berakhir begini? Ini adalah pelukisan drama perjumpaan dalam angan-angan yang rindu: ia merasa sudah akan berjumpa, tetapi sesungguhnya yang dirindu belum ada di tempat. Ia mencari sekarang dan di sini seseorang yang masih belum ada di sini, tetapi yang sudah sangat dirindukan dan didambakannya.

Para penafsir mistik memakai ayat-ayat ini untuk melukiskan drama perjumpaan antara jiwa manusia yang rindu akan Tuhan dan rindu itu laksana rusa yang rindu akan sumber air. Saat si perindu itu merasa sudah dekat, ternyata tidak demikian adanya. Itu menimbulkan kebingungan yang luar biasa. Kebingungan seperti itulah yang dilukiskan dalam ay.7: dalam upaya pencariannya akan kekasih yang sudah pergi dan menghilang itu, ia mengalami banyak rintangan dari orang sekitarnya (peronda kota, penjaga tembok). Di dalam kebingungan itu, ia pun menyampaikan pesan kepada puteri-puteri Yerusalem agar mereka sudi menyampaikan pesannya kepada dia apabila mereka menemukan kekasihnya itu. Inti pesannya ialah pelukisan mengenai betapa hatinya sakit karena dilanda rindu dan sakit asmara: “Katakanlah, bahwa sakit asmara aku!” (ay.8).

Tuesday, April 9, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 4:1-16

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI
.


Judul teks ini ialah “Mempelai Laki-laki memuji mempelai perempuan.” Ini adalah serangkaian pujian mempelai pria kepada mempelai perempuan. Pujian itu menggambarkan betapa mempelai laki-laki tertarik kepada mempelai perempuan. Sebaliknya mempelai perempuan suka akan pujian tersebut. Buktinya, ia tidak menolaknya. Kita bisa membayangkan betapa hati si perempuan berbunga-bunga mendengarnya. Mungkin perasaan itu tampak di wajahnya yang memerah yang membuatnya semakin mempesona. Ahli kitab berbicara tentang kesejajaran tematik antara Kejadian dan Kidung Agung, khususnya dalam misteri relasi pria-wanita. Misteri itu dalam Kejadian dilukiskan dengan kisah penciptaan wanita dari rusuk pria. Dalam Kidung Agung, misteri itu muncul dalam wujud rasa tertarik satu sama lain yang bermuara dalam nada saling memuji dan damba.

Dari awal sampai akhir teks, kita temukan pujian mempelai pria untuk melukiskan kecantikan kekasihnya. Pada ay.1 ia memuji kecantikan kekasihnya yang jelita. Lalu menyusul untaian metafora yang dipakai si pria untuk melukiskan kecantikan wajah dan kemolekan tubuh kekasihnya. Ada metafora yang asing bagi kita kini. Tetapi biar seperti itu. Dalam ayat 1b sampai 2 ada metafora-fauna karena si pria memakai gambaran beberapa hewan untuk melukiskan kekasihnya. Kelincahan gerak mata kekasih diibaratkannya dengan gerak lincah merpati (1b). Rambut gelombang kekasih diibaratkannya dengan kawanan kambing yang turun dari lereng gunung (1cd). Untuk melukiskan keindahan warna gigi ia memakai gambaran domba yang baru dicukur, yang warnanya putih kemerahan, subur dan kuat (ay 2). Di ayat 3 ia memakai metafora flora (kirmizi dan delima) untuk melukiskan keindahan bibir dan mulut serta keindahan pelipis. Dalam ayat 4 ada metafora militer (menara Daud) sebab ia menyinggung perlengkapan militer untuk melukiskan keindahan leher kekasihnya. Betapa ia sangat detail dan vulgar dalam melukiskan kemolekan tubuh kekasihnya sebab dalam ay 5 ia kembali memakai metafora fauna (dua anak rusa, anak kembar kijang) untuk melukiskan keindahan buah dada kekasihnya.

Dalam ayat 6 kita menemukan baris selingan yang melukiskan keinginan hatinya untuk pergi merengkuh tubuh kekasihnya yang menebar aroma semerbak. Ia ingin hal itu terjadi sebelum malam menjelang, saat bayang-bayang menghilang. Dalam ayat 7 ia kembali memuji kekasihnya seperti di awal ay 1. Hanya di sini ada tambahan yaitu kekasih itu tidak ada celanya. Ia mengharapkan kekasih itu turun dari gunung, yaitu dari aura keanggunannya yang biasanya membuat lelaki canggung, takut, dan juga minder oleh kecantikannya (ay 8). Di sini ia memohon agar kekasih turun dari aura keanggunan itu karena (ay 9) ia mengaku bahwa saat ia melihatnya ia tergetar (berdebar). Dalam imajinasinya ia membayangkan betapa cinta dia itu sangat indah dan nikmat melampaui anggur (ay 10), dan aroma kasihnya melampaui minyak wangi.

Ay 11 melukiskan tutur kata indah dan manis yang keluar dari mulut si kekasih (alat tutur: mulut, bibir, lidah). Walau ia merasa sangat mencintai dan rindu akan kekasihnya itu, tetapi ia sadar bahwa si kekasih itu masih dalam pingitan (ay 12). Di sana ia tetap menampakkan pesona kecantikannya (ay 13-14) setidaknya dalam imajinasi dan bayang-bayang kekasih pria yang merindu dan mendamba. Rindu dan damba itu akhirnya terlontar keluar dalam sebuah pujian akan sang kekasih dalam bentuk metafora natural berupa mata air, sumber air hidup, Fons Vitae, yang mengalir dari gunung Libanon (ay 15).

Akhirnya, sepanjang 15 ayat ini yang kita dengar hanya ekspresi verbal pujaan dan rindu kekasih pria. Baru dalam ayat 16 ini kita mendengar suara mempelai wanita yang bersama mempelai pria mengucapkan refrein cinta merangkum damba dan rindu. Kadang saya berpikir bahwa mungkin di sini mereka memadu kasih yang dilukiskan dalam metafora sangat halus: Angin utara (lambang damba pria), angin selatan (lambang damba wanita); keduanya bertiup dalam kebun dan dari sana terpancar aroma cinta. Lalu ditutup dengan metafora perpaduan kasih yang plastis: “Semoga kekasihku datang ke kebunnya, dan makan buah-buahnya yang lezat.” Mungkin ada pembaca yang bertanya, inikan kisah asmara? Ya, tetapi kisah asmara itu juga bisa menggambarkan relasi cinta antara manusia yang mendamba Tuhan Penciptanya.


Hotel/Resort I-Park, di Kaki Mount Seorak, South Korea, 2 April 2019.

Monday, March 4, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 3:6-11

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Penulis: Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung, Anggota LBI dan ISBI.




Dalam Kitab Suci kita, perikope ini diberi judul “Iring-iringan mempelai”. Dalam buku-buku tafsir berbahasa Inggris, bagian ini diberi judul “Perarakan Perkawinan Salomo”. Jadi, penggalan teks ini berbicara tentang pesta perkawinan. Sesungguhnya kedua judul itu kurang lebih sama saja. Walaupun judul yang kedua terasa lebih eksplisit daripada yang pertama. Kita juga harus menyadari bahwa teks yang ada di sini merupakan sebuah penggalan puisi. Teks puitis ini terasa mencolok karena sang pembicara tidak bisa dikenal dengan baik. Maksudnya, tidak begitu jelas siapakah yang berbicara di sini, apakah si mempelai perempuan, ataukah kekasih pria, ataukah justru seorang yang lain. Saya cenderung untuk mengatakan bahwa yang berbicara di sini adalah orang lain yang menunjuk kepada Salomo dan kemudian mengajak kaum perempuan yang konon mau datang untuk menyongsong sang tamu ajaib tersebut. Terasa mencolok juga bahwa di dalam teks ini juga tidak ada dialog.

Dalam ayat 6-8 dan 9-10 kita dapat menemukan dua pelukisan. Pertama, pelukisan mengenai “tempat tidur” Salomo yang dibawa dengan suatu perarakan meriah dari arah padang gurun (ay 6-8). Tempat tidur itu sangat indah dan wangi (karena ditaburi wewangian, mur, kemenyan, serbuk wangi, ay 6-9). Iring-iringan itu dikawal oleh sepasukan pengawal profesional dan terlatih (ay.7-8). Karena yang dikawal itu adalah seorang raja, maka para pengawal itu membawa pedang. Lagipula mereka berjalan di waktu malam. Pelukisan ini dibalut dalam sebuah bentuk pertanyaan retoris. Pertanyaan yang serupa itu muncul lagi dalam Kid 8:5. Tetapi di sana, pertanyaan retoris itu terutama menyangkut sang perempuan, sang kekasih itu. Di sini pertanyaan retoris itu menyinggung mengenai perarakan para pengawal raja yang terdiri atas pasukan elit dan cerdas. Kedua, pelukisan mengenai tandu pengusung sang mempelai sendiri, yaitu Salomo. Bahan untuk tandu tersebut dibuat dari kayu pilihan yang diambil dari Libanon. Tidak hanya itu saja. Tiang-tiang pada tandu tersebut terbuat dari perak. Dan sandaran sang mempelai juga terbuat dari emas. Tempat duduk di dalam tandu tersebut berwarna ungu. Dan warna ungu sendiri memang merupakan warna yang melambangkan kebesaran (keagungan) dari sang raja itu sendiri. Lalu dikatakan bahwa bagian dalam dari tandu itu terbuat dari kayu arang.

Sejujurnya saya tidak begitu tahu apa itu kayu arang. Yang jelas, bukan terbuat dari kayu-kayu yang sudah menjadi arang, melainkan dari kayu-kayu yang kuat dan mahal sehingga orang sering memakainya untuk perhiasan interior entah rumah ataupun hal-hal lain. Dalam hal ini misalnya menghiasi bagian dalam dari tandu sang raja mulia. Perhatikanlah dengan baik bahwa dalam ayat 11 kita membaca adanya sebuah ajakan kepada para puteri Yerusalem untuk keluar dari rumah-rumah mereka dan sekalian juga diajak untuk menyaksikan sang baginda raja di dalam busana keagungannya sebagai seorang raja. Hal itu terutama sekali tampak dengan mahkota yang dikenakan padanya oleh sang ibundanya. Perlu diperhatikan bahwa, jika teks Kidung Agung ini pada umumnya dipandang sebagai sebuah teks yang keluar dari sebuah perayaan perkawinan, maka hendaknya disadari bahwa inilah satu-satunya dalam seluruh teks Kidung Agung yang menyinggung secara eksplisit mengenai pesta perkawinan. Artinya di tempat lain di dalam kitab ini kita tidak akan menemukan singgungan eksplisit tentang perkawinan itu. hanya ada di sini. Namun demikian, teks tentang perarakan perkawinan itu sangat kuat sehingga saya berpendapat bahwa teks itu bisa menggambarkan seluruh isi Kitab itu sendiri.


Taman Kopo Indah II Blok D4 No.40.

Monday, January 14, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 2:8-17

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Dalam deru gejolak rasa rindunya yang mendamba, sang kekasih perempuan itu melihat dan menantikan kedatangan sang kekasih dalam sukacita dan riang ria. Ia memakai ungkapan yang menampakkan keriangan itu, melompat-lompat dan meloncat-loncat di atas gunung dan bukit (ay 8). Ia lukiskan kekasih pria dengan metafora kijang dan anak rusa yang bermain di padang dan di lereng bukit (ay 9a). Sekarang kekasih pria berdiri begitu dekat dengan kekasih wanita, yaitu di balik dinding (ay 9b). Dari dalam ia memandang dengan rindu. Dari luar kekasih pria juga mencoba melihat dengan rindu (ay 9c).

Ternyata tidak berhenti pada saling memandang. Kekasih yang datang dari lereng gunung itu mulai menyapa dan membangunkan kekasih wanitanya (ay 10). Ia membangunkannya untuk menyaksikan perubahan musim yang begitu indah: dari musim dingin dan musim hujan (ay 11) ke musim bunga (musim semi) dan musim memangkas (ay 12). Ada juga burung yang ikut menikmati perubahan musim yang indah itu. Di sini secara khusus disebut tekukur (ay 12).

Pepohonan mulai menampakkan perubahan. Secara khusus disebut pohon ara yang mulai berbuah (musim semi). Juga pokok anggur: menyembulkan bunga harum semerbak dan indah (ay 13). Kekasih pria yang datang seakan sedang melukiskan sebuah panggung alam tempat mereka mengadakan perjumpaan penuh kasih dan rindu. Itu sebabnya, ia sekali lagi mengulang ajakannya yang ia ucapkan dalam ayat 10 (Bangunlah, manisku, jelitaku, marilah). Ia mengajak sang kekasih untuk keluar menikmati alam yang indah bersama-sama. Betapa romantisnya ia membayangkan perjumpaan itu.

Rupanya kekasih perempuan itu belum keluar atau menampakkan diri. Itu sebabnya dalam ayat 14a ia menyebut kekasihnya itu dengan sebutan “merpatiku” yang bersembunyi di celah-celah batu, di lereng-lereng gunung. Ia meminta dengan sangat agar kekasih perempuan itu segera memperlihatkan wajah dan memperdengarkan suara (ay 14b). Ia merindukan wajah dan suara itu karena suara itu merdu dan wajah itu elok (ay 14c). Itulah pertanda luapan rasa rindu yang semakin kuat dan menggelora di dalam kalbu.

Kerinduan itu rupanya belum kesampaian. Tetapi ia tahu bahwa kekasih wanita itu sedang menanti di suatu tempat. Karena itu, dalam ayat 15 kita saksikan perubahan subjek tutur. Jika sebelumnya kekasih prialah yang berbicara, maka di sini yang bertutur adalah kekasih wanita. Dari dalam persembunyiaannya (tetapi serentak sedang mengintip rindu) ia sayup-sayup menyampaikan keinginannya kepada kekasih pria yang sedang mengembara di padang. Kekasih wanita berharap agar kekasih pria itu menjaga kebun-kebun anggur mereka dari gangguan rubah-rubah kecil yang sering menggerogoti pokok anggur yang sedang berbunga (ay 15b). Rubah kecil ini dapat dibaca sebagai metafora tentang para pengganggu relasi cinta mereka yang sedang dibangun dan berbunga-bunga. Kekasih wanita berharap agar rubah-rubah itu tidak merusak cinta mereka (dilambangkan dengan kebun anggur yang sedang berbunga itu).

Dalam gejolak rasa rindunya ia tetap yakin dan optimis bahwa ia adalah kepunyaan sang kekasihnya dan sebaliknya sang kekasih adalah kepunyaanya. Ini adalah relasi kepemilikan yang unik dan aneh dalam relasi cinta yang bersemi ria. Kekasih perempuan membayangkan kekasih prianya sebagai gembala yang menggembalakan domba-dombanya di tengah bunga bakung (banyak tumbuh di padang) (ay 16). Juga dalam derap gejolak rindunya, kekasih wanita berharap agar sang kekasih pria itu kembali kepadanya dengan berlari-lari seperti kijang. Ia mengharapkan agar hal itu bisa terjadi sebelum angin senja berhembus (menjelang kegelapan malam tiba), sebelum bayang-bayang menghilang (dalam kegelapan malam, kita tidak bisa melihat bayang-bayang).

Itu artinya, ia diharapkan segera tiba sebelum malam datang (ay 17a). Kekasih wanita itu juga berharap agar kekasih prianya datang kepadanya laksana anak rusa yang bermain-main di gunung-gunung tanaman rempah-rempah (ay 17b). Dalam imajinasinya kekasih wanita itu membayangkan kekasih pria laksana anak rusa yang bermain di sebuah perkebunan indah. Hal itu membuat gejolak rindu dalam hatinya semakin membara karena cinta mendamba. Hal itulah yang akan kita baca dalam bagian awal Bab 3.

Tuesday, December 11, 2018

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 2:1-7

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Puji-memuji yang dimulai dalam 1:9, berlanjut di sini. Dalam ay.1, si kekasih (perempuan) menyebut diri Bunga Mawar Saron dan bunga bakung di lembah-lembah. Para ahli sibuk mendiskusikan metafora bunga ini. Saya membacanya sebagai sebuah penghargaan-diri yang muncul dalam diri perempuan itu. Ia merasa kecantikannya bagai bunga langka.

Setelah memuji diri, dalam ayat 2 si kekasih itu memuji kekasihnya dengan memakai perbandingan pohon apel di antara pepohonan hutan. Si Perempuan dengan mudah mengenali dan membedakan kekasihnya itu di antara para pemuda, semudah ia mengenali dan membedakan pohon apel di hutan. Pengenalan itu dibantu oleh buah dan daun pohon tersebut. Daun apel itu rimbun dan subur sehingga bisa menjadi naungan. Buahnya manis dan lezat sehingga memanjakan langit-langit mulut orang yang memakannya. Itulah daya tarik pohon apel. Seluruh sosok kedirian yang terpancar dari kekasih pria mendatangkan rasa sejuk dan kenyamanan bagi kekasihnya (ay.3).

Dalam imajinasi cintanya, kekasih perempuan membayangkan bahwa kekasih pria mengajaknya ke rumah pesta (ay.4). Perempuan itu membayangkan bahwa perjalanan ke pesta itu penuh semarak, di mana kekasih pria mengaraknya dengan panji-panji meriah. Tetapi bagi si perempuan panji paling utama ialah cinta yang ia bayangkan berkibar di atas kepalanya. Membayangkan semuanya itu ia serasa gemetar karena terhanyut oleh suasana kemesraan cinta yang menyebabkan dirinya lemas dan dahaga. Itulah yang ia ungkapkan di bagian akhir ayat 5: sebab sakit asmara aku. Sakit asmara menyebabkan dirinya lemas dan dahaga. Itu sebabnya dalam ayat 5 ia berkata: “Kuatkanlah aku dengan penganan kismis, segarkanlah aku dengan buah apel.” Kismis dan apel terasa manis.

Ternyata imajinasi asmara dan kemesraannya tidak berhenti pada gejolak rasa rindu, melainkan terus melangkah ke bayangan akan kemesraan yang lebih dalam lagi dalam berpelukan (ay.6). Hal itu tampak dari apa yang dikatakan di sana: Tangan kirinya ada di bawah kepalaku. Tidak mudah memaknai hal ini. Tetapi saya memahami begini. Bagian bawah kepala ialah bagian belakang leher. Jadi, yang dimaksudkan ialah tengkuk. Tangan kiri kekasih pria melingkar di belakang tengkuknya dan tangan kanannya memeluk sang kekasih. Tetapi, sebagaimana sudah dikatakan dalam bagian awal uraian ini, tafsir Kidung Agung itu berada dalam alur alegori, perumpamaan yang menunjuk kepada realitas lain yang lebih dalam. Yang dibayangkan dalam alegori ini adalah intensitas relasi yang semakin intim dan dalam antara manusia dan Tuhan Allah. Bagi orang Kristiani, sebuah intensitas relasi antara manusia dan Kristus yang bermuara dalam pengalaman mistik, pengalaman keterhanyutan (extase) rohaniah.

Untaian ayat imajinasi-asmara ini ditutup dengan ungkapan yang tidak mudah. Saya memahaminya sebagai berikut. Sedemikian intensnya pengalaman imajinasi asmara itu sehingga bisa menimbulkan gejolak rasa yang tinggi. Tetapi ada juga tuntutan moral yang membatasi gejolak rasa itu. Para ahli berpendapat bahwa ayat ini menyimpan visi etis alkitabiah bahwa hubungan asmara intim harus ditunggu sampai tiba waktunya, yaitu dalam relasi yang tepat dan pantas, perkawinan. Sebelum itu, gejolak cinta jangan coba-coba dibangkitkan karena memang belum tiba waktunya (ay.7). Sadar akan bahaya itu, maka ia menegaskan perintah etis itu dengan perkataan yang keras (Kusumpahi...). Ia melarang para puteri Yerusalem agar tidak berpetualang dalam imajinasi asmara yang bisa berbahaya sebelum tiba waktunya. Sumpah itu diucapkan demi kijang-kijang dan rusa-rusa betina di padang. Mungkin yang ia maksudkan ialah bahwa dalam dunia rusa dan kijang itu, semua ada waktunya dan pada waktunya, termasuk relasi bercinta. Tidak bisa dan tidak boleh sembarangan. Kalau dipahami sebagai alegori, maka bisa dikatakan begini: relasi mistik dengan Tuhan adalah sesuatu yang sangat istimewa, sehingga butuh masa khusus, suatu tingkat kematangan rohani tinggi, bagi manusia untuk mengalaminya.

Sunday, October 14, 2018

MENIKMATI KIDUNG AGUNG 1:2-2:7

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.



Prolog 1:2-2:7: Bagian ini adalah prolog (pengantar) untuk seluruh kitab. Pengantar sebuah karya puitik atau karya dramatik biasanya berfungsi sebagai pengantar untuk seluruh kitab. Begitu juga di sini: Prolog ini berfungsi sebagai pengantar seluruh kitab. Dalam bagian ini kita temukan beberapa aktifitas yang dilakukan. Pertama, secara singkat orang melukiskan tokoh yang ada; kedua, juga mencoba membangun panggung tempat mereka (tokoh tadi) memerankan diri; ketiga, orang juga memberi petunjuk mengenai tema yang dikembangkan dalam seluruh Kitab.


Dalam banyak hal pengantar Kidung Agung ini mirip dengan lagu atau musik pembuka dalam sebuah karya-agung musikal. Tema besar terdengar singkat dan padat ditelinga, masuk kesadaran orang, kemudian berlalu. Satu melodi menyatu dengan mudah dalam kesadaran orang dan dengan itu ia pun segera berlalu. Tidak ada sesuatu pun yang dikembangkan lebih dalam lagi di sini. Pengarang membangun situasinya. Begitu juga para pendengar. Ia masuk dan berusaha mendengarkan semua dengan baik agar kelak bisa memahami dengan lebih baik juga. Dalam bagian ini tidak seluruh prolog itu dibahas. Saya hanya membahas dua unit: Kid 1:2-4 dan Kid 1:5-6. Bagian lain akan dibahas dalam ulasan yang akan datang.


Kid 1:2-4: Bagian Prolog tadi dimulai dengan seruan yang mengandung rindu dari sang Kekasih (ay 2). Dalam tiga ayat ini dengan sangat cepat kita melihat pergonta-gantian antara diri orang ketiga (ia) ke diri orang kedua (mu, engkau). Ini adalah sebuah gejala yang khas dalam Puisi Ibrani (bdk.,Mzm 23) dan puisi cinta; karena itu kita tidak usah mempersoalkannya dan tidak usah juga membuat kita bingung. Sebab para kekasih itu sering menyapa satu sama lain dalam diri orang ketiga (ia) dalam Kidung ini, dan sering juga dengan mudah berganti atau bergeser ke diri orang kedua (mu; bdk.1:12; 2:1-3; 4:6; 7:10).


Pada bagian ini Sang Kekasih itu sendirian. Sedangkan yang Dikasihinya berada jauh. Dia (she) mengungkapkan rasa rindunya akan kecupan sang kekasih pria. Ia mengibaratkan kecupan cinta itu dengan seteguk anggur manis (bdk.8:2b); bahkan kecupan itu lebih nikmat dari anggur (ay 2). Kemudian perlambang yang dipakai beralih dari citarasa kecap (taste; ay 2) ke citarasa aroma (scent; ay 3). Di sini (ay 3) nama sang Kekasih diibaratkan dengan wewangian yang tercurah. Itulah daya tarik yang menyebabkan banyak perempuan jatuh cinta kepadanya (ay 3). Si Kekasih (perempuan) menyebut sang Kekasih pria dengan sebutan “raja” (ay 4). Sebutan itu dimaksudkan untuk menekankan betapa dia (Kekasih) itu sempurna dan pantas dirindukan. Para Puteri Yerusalem terlibat dalam dialog (percakapan) dengan memuji sang Kekasih. Di sini kita boleh membayangkan mereka itu (para kekasih) sebagai para sahabat ataupun dayang-dayang pengiring Mempelai Perempuan (lihat Hak 11:34-38; Mat 25:1).


Kid 1:5-6: Di sini kita melihat bagaimana si Kekasih Perempuan itu menyapa para Puteri Yerusalem tadi. Ia melukiskan diri sebagai perempuan hitam tetapi cantik (ay 5). Ada dua metafora dipakai dalam pelukisan itu: 1). Kemah orang Kedar (qedar artinya hitam), dan 2) Tirai-tirai orang Salma (lambang keindahan dan kemewahan). Si Kekasih (Perempuan) itu menghendaki agar para puteri tidak usah mempedulikan kulitnya yang hitam; sebab ia menjadi hitam karena terbakar terik mentari (ay 6). Perubahan warna kulit itu terjadi karena saudaranya lelaki, dalam amarah mereka (tidak dijelaskan mengapa marah) menyuruh dia bekerja di kebun anggur.


Beberapa kata yang dipakai dalam ay 6 ini membangun kaitan dengan bagian akhir Kidung (bdk. 8:8-9; 8:11-12) dan memperkenalkan ibunda sang Kekasih yang disebut beberapa kali dalam teks (3:4; 6:9; 8:2). Menarik bahwa Kekasih (perempuan) itu menyebut diri kebun anggur. Hasil kebun anggur itulah yang ia persembahkan kepada Kekasihnya dalam seluruh Kitab itu. Bersambung...

Tuesday, September 11, 2018

MENIKMATI KIDUNG AGUNG 1:1

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung.



Setelah dua tulisan pengantar singkat yang sudah terbit dua bulan kemarin, kini tiba saatnya bagi kita untuk mulai membaca dan menikmati kitab Kidung Agung ini, dari ayat ke ayat. Tentu ini bukan sebuah “perjalanan” yang singkat dan gampang. Butuh ketekunan dan keseriusan. Tetapi marilah kita berusaha bersama-sama dalam rangka memahami teks Kitab yang unik dan asyik ini. Saya akan mencoba membaca dan memahaminya sedapat mungkin dan kemudian men-sharing-kan hasil pembacaan dan pemahaman saya itu untuk para pembaca sekalian melalui media majalah komunitas ini. Kita akan membaca perlahan-lahan. Dari ayat ke ayat. Dari kata ke kata. Seperti menikmati sebuah hutan, tetapi dengan meneliti kayu demi kayunya, pohon demi pohon. Semoga kelak kita bisa memahami keseluruhan hutan itu setelah membedah isinya dengan tekun dan sabar.

Saya mulai dengan Kidung Agung 1:1. Inilah ayat yang paling pertama dalam kitab ini. Dalam ayat ini kita menemukan judul dari seluruh kitab ini. Di sana tertulis kalimat singkat berikut ini: “Kidung agung dari Salomo.” Ada dua konsep yang terungkap secara tersirat dalam baris pertama ini. Pertama, dalam baris pertama ini ada judul “Kidung Agung.” Itu adalah versi terjemahan bahasa Indonesia dari sebuah judul dalam bahasa Inggris yaitu Song of Songs. Dalam bahasa Latin ada judul Canticum canticorum. Mungkin dari segi cita-rasa bahasa modern hal itu (struktur terjemahan “Kidung Agung”) terdengar ganjil atau terasa aneh. Tetapi semua ungkapan itu (bahasa Indonesia, Inggris, dan Latin) merupakan terjemahan dari bahasa Ibrani yaitu “Syir Hasyirim”. Ungkapan itu sendiri dalam bahasa Ibrani merupakan sebuah bentuk superlatif (bentuk tingkatan tertinggi: baik, lebih baik, paling baik, good, better, best). Bentuk “superlatif” itu menandakan bahwa itu adalah “lagu yang paling indah”, “lagu yang paling cemerlang,” “lagu yang paling baik.” Bentuk tunggal dari kata benda (syir) itu menunjukkan bahwa karya itu harus dibaca sebagai sebuah unit (sebuah kesatuan), dan bukan sebuah antologi (bunga rampai, kumpulan dari beberapa “unit” yang bisa saja terlepas satu sama lain). Istilah Ibrani “syir” (atau kita kenal lewat bahasa Arab, syair, yang kini juga sudah menjadi salah satu kosa kata bahasa Indonesia) menunjukkan sebuah nyanyian yang penuh sukacita dan penuh semangat tinggi. Bukan lagu sendu, bukan lagu loyo-loyo atau lagu lemes. Bahkan diiringi dengan alat musik yang penuh dengan nada gembira dan semangat, nada-nada yang membangkitkan gairah dan semangat di hati para pendengarnya. Di sini para pembaca harus membayangkan musik iringan itu seperti musik irama padang pasir untuk mengiringi tari-perut yang sensasional itu.

Kedua, ada ungkapan “dari Salomo” (liselomoh). Ungkapan ini bisa dipahami dengan salah satu dari ketiga cara pemahaman berikut ini. Pertama, ungkapan itu paling sering diterjemahkan sebagai ungkapan yang mengkaitkan sang pengarang lagu dengan tokoh raja Salomo (tokoh yang diyakini sebagai tokoh paling bijaksana di seluruh bumi ini). Jadi, di sini terungkap keyakinan historis dasar bahwa pengarang kidung agung ini ialah raja Salomo. Dalam artian itu maka bisa diungkapkan secara lebih jelas dan lengkap sbb: Kidung Agung dari Salomo (sebagaimana sudah tampak jelas dari judul dalam alkitab kita). Kedua, ungkapan itu bisa juga berarti bahwa karya itu adalah sesuatu “yang dibaktikan kepada sosok atau tokoh Salomo.” (Jadi, belum tentu dari Salomo, melainkan berasal dari orang lain, tetapi dibaktikan kepada atau “dedicated to”, diperuntukkan bagi Salomo, sang raja Agung dan bijaksana). Ketiga, ungkapan itu juga bisa berarti bahwa Kidung itu ditulis menurut atau dalam gaya Salomo (sebagai seorang raja yang paling bijaksana dan dikagumi oleh banyak orang, the most wisest king in the world history) (bdk.1Raj 5:12). Ada sebuah pandangan bahwa Salomo telah menghasilkan sebuah gaya atau genre sastra tertentu, dan kidung Agung ini ditulis menurut gaya atau genre sastra Salomo. Tersirat pandangan bahwa Salomo bukan pengarang; ia hanya menginisiasi dan mengilhami sebuah gaya sastra. Dan pengarang yang menyusun Kidung ini, menyusun menurut genre-Salomo tadi, makanya dibaktikan kepada Salomo. Tetapi di sini saya mengikuti pandangan yang pertama. Bersambung.....


Thursday, August 9, 2018

SEJARAH PENERIMAAN KIDUNG AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Kitab Suci FF-UNPAR Bandung.



Pada akhir abad pertama Masehi, Kidung Agung bersama Amsal dan Pengkotbah diterima dalam Kanon Ibrani. Di sana, Kidung Agung terletak sesudah Rut dan sebelum Pengkotbah. Septuaginta dan Vulgata mempertahankan urutan Amsal, Pengkotbah, Kidung Agung. Ketiga kitab itu oleh kedua tradisi tadi ditempatkan bersama membentuk sastra Hikmat Kebijaksanaan.


Diterimanya kitab ini ke dalam kanon mempunyai konsekwensi tertentu. Yaitu tafsirnya pasti dipengaruhi tradisi yang lebih tua dan lebih kuat dalam Hukum dan Nabi. Dekalog menuntut kesetiaan mutlak Israel kepada Allah yang satu. Bentuk relasi manusia yang menuntut kesetiaan seperti itu ialah relasi wanita dan pria dalam perkawinan. Para nabi (Hosea, Yeremia, Yesaya) mengungkapkan relasi Israel dengan Allah dengan memakai ungkapan relasi perkawinan. Dengan itu mereka memberinya sebuah intensitas baru. Pada akhir abad pertama SM, Kidung ditafsirkan secara alegoris. Hal itu mencerminkan pengaruh tradisi yang lebih tua ini yang melihat dalam kitab itu gambaran singkat sejarah Israel mulai dari Keluaran sampai datangnya Mesias.


Rabi Akiba adalah yang bertanggung-jawab atas munculnya dorongan kuat untuk menafsirkan Kidung ini secara alegoris. Kalau Kidung itu hanya ditafsirkan secara harfiah (sebagai lagu keduniaan belaka), maka orang yang memakai tafsir seperti itu tidak akan ikut ambil bagian dalam dunia yang akan datang. Pengaruh Rabi Akiba begitu kuat sehingga tafsir alegoris ini pun akhirnya diterima umum.


Tatkala tafsir alegoris ini masuk ke dalam tradisi tafsir Kristiani awal maka tokoh-tokoh dalam kitab itu pun ditafsirkan secara baru juga juga. Misalnya, Mempelai pria adalah Kristus; Gereja adalah Mempelai wanita. Ini suatu perkembangan alamiah berdasarkan terang beberapa teks Kunci Perjanjian Baru (Mat 9:15; 25:1-13; Yoh 3:29; 2Kor 11:2; Ef 5:22-33; Why 19:6-8; 21:9-11; 22:17). Origenes mengembangkan alegori Kristus/Gereja. Kidung merupakan teks favorit pada masa Bapa Gereja awal dalam upaya mereka mengembangkan eklesiologi. Kitab ini melukiskan cinta yang segar dan muda berlawanan dengan latar belakang ciptaan baru, kasih perkawinan yang setia dan lemah lembut yang bersifat timbal balik. Origenes juga menerima kemungkinan untuk melihat jiwa individual dalam sosok Mempelai tadi. Tafsir ini diambil Gregorius Nyssa dan Ambrosius dan menerapkannya pada Maria. Kurun Abad Pertengahan menyaksikan kemekaran penuh dari pelbagai komentar atas Kitab ini. Bernardus Clairvaux menulis delapanpuluhenam kotbah tentang kitab ini. Ia menafsirkan kitab ini sebagai dialog antara Kristus dan jiwa orang Kristiani. Tradisi kaum Cistercian menyukai tafsir mistikal atas Kitab ini. Hugo dari Santo Victor dan banyak yang lainnya menerapkannya pada Maria.


Sejarah spiritualitas Kristiani menarik sangat banyak ilham dari Kidung Agung ini. Buku-buku yang menguraikan doa dan teologi doa sangat banyak mengutip kitab ini. Teresia dari Avila, Yohanes dari Salib, Luis de Leon menulis pelbagai komentar rohani tentang kitab ini. Tokoh-tokoh lain seperti Fransiskus dari Sales dan Teresa of Lisieux menulis banyak komentar juga tentang kitab ini dalam pelbagai tulisan mereka.


Tetapi liturgi Ekaristi tidak banyak mengambil dari kitab ini. Tahun ini hanya satu teks Kidung Agung yang dipakai dalam tahun liturgis: Tanggal 21 Desember, persiapan Natal, Kidung 2:8-14 dirangkai dengan Lukas 1:39-45. Dalam buku brevir ada cukup banyak teks Kidung Agung yang dikutip sebagai bacaan dalam Ibadat Bacaan.

Monday, July 9, 2018

MEMAHAMI KIDUNG AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Kitab Suci Fakultas Filsafat UNPAR Bandung



Setelah kurang lebih sebelas tahun (2007-2018) kita “membaca dan menikmati” Mazmur, akhirnya bulan Juli 2018 ini, “ziarah” kitab Mazmur itu selesai. Saya berharap kita belajar sesuatu dari sana, diperkaya oleh pengalaman ziarah Mazmur itu. Sekarang kita bersiap-siap untuk sebuah ziarah panjang, ziarah rohani baru, menikmati Kidung Agung. Semoga Tuhan memberi kesempatan kepada kita untuk menyelesaikannya, sebagaimana kita menyelesaikan ziarah Mazmur.

Sebelum kita mulai membaca dan memahami kitab ini terlebih dahulu saya mengatakan beberapa hal sebagai pengantar. Semoga ini bisa mempermudah proses pembacaan dan pemahaman dan penikmatan nantinya. Saya berharap pembaca pernah membaca atau paling tidak pernah mendengar sesuatu tentang kitab ini sebelumnya.

Saat mulai menulis saya teringat akan pater Cletus Groenen OFM, profesor Kitab Suci saya di Seminari Tinggi Kentungan dan di skolastikat Fransiskan di biara St.Bonaventura Papringan, Yogyakarta. P.Groenen, panggilan akrabnya, suatu saat mengejutkan kami dalam kuliah, ketika ia berkata: “Bagaimana kitab ‘porno’ bisa masuk dalam kanon Kitab Suci?” Kami terdiam. Lalu ia tambahkan: “Baca saja sendiri, nanti kamu akan lihat betapa kitab itu vulgar menyebut beberapa tubuh perempuan”. Kami tetap diam. Lalu ia berkata: “Tetapi kitab itu jangan dibaca secara harfiah. Kita harus membacanya secara rohani, secara alegoris.” Tambah bingung. Alegori itu maksudnya “membaca sebagai perumpamaan”. Eksplisit menyebut A, tetapi yang dimaksud B, bahkan mungkin Z. Perlu seni dan kedalaman rohani untuk bisa melihat kaitan antara A dan B dan bahkan Z. Itulah alegori. Tidak berhenti pada level permukaan. Begitu pengantar singkat P.Groenen untuk Perjanjian Lama, termasuk Kidung Agung. Pendalaman lanjut saya peroleh dalam kuliah pater Dr.Wim van der Welden MSF.

Selanjutnya, saya mau mengatakan bahwa ini adalah kitab puisi yang merayakan dan mengagungkan cinta jasmaniah manusia. Tetapi mengapa dan untuk apa kitab semacam itu masuk ke dalam kanon? Itu pertanyaan pertama. Kitab ini juga jika dibaca untuk pertama kali tampak tidak mengandung “orientasi” keagamaan. Mengapa masuk kanon? Mengapa orang berlelah-lelah membaca, merenungkannya, dan menafsirkannya? Dan hal itu berlangsung lebih dari duaribu tahun. Agak sulit bagi kita menemukan tema biblis besar dalam kitab ini; misalnya, tema pilihan, perjanjian, nubuat, keselamatan, Hukum (Torah). Kalau mau jujur dalam kitab ini juga sulit ditemukan ajaran moral eksplisit. Lebih mengejutkan lagi, dalam kitab ini kita hanya temukan satu penyebutan eksplisit nama TUHAN (Kid 8:6). Selebihnya kita sia-sia mencari nama kudus itu.

Bagaimanakah kitab ini mengkomunikasikan “firman Allah?” Wahyu ilahi macam apa yang bisa ditemukan lewat medium pengalaman percakapan-percakapan cinta yang penuh gairah, lewat bahasa dan perlambang yang sangat sensual? Jika kita mencoba membacanya, apa yang bisa diperoleh? Pengalaman rohani macam apa? Bisakah kitab itu memperkaya secara rohani dan iman? Apakah isi kitab itu juga berfungsi dalam pewartaan, pelayanan, dan pengajaran? Kalau ya, seperti apa, dan bagaimana?

Itulah beberapa pertanyaan penting yang saya coba jawab dalam ziarah Kidung Agung ini. Semoga kita siap berziarah bersama. Berbeda dengan ziarah Mazmur, sekarang dalam ziarah Kidung Agung, kita berputar dahulu, mencari alat bantu dan bingkai pemahaman yang sama. Semoga kita bisa bersabar dalam ziarah ini. Selamat berziarah.


Nias 2, Awal Mei 2018

Tuesday, September 9, 2008

Mendalami dan Menikmati Mazmur 28

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Mazmur 28 ini hanya terdiri atas 9 ayat. Kita dapat menikmatinya dengan mengikuti pembagian unit yang ada. Berdasarkan dinamika isinya, ada tiga unit besar: ayat 1-2, ayat 3-5, ayat 6-9. Uraian ini akan mengikuti tiga alur itu.

Pemazmur mulai dengan mengemukakan sebuah metafor teologis, yang memberikan gelar kepada Allah sebagai gunung batu, dan itu adalah simbol ketenangan, rasa aman, karena di sana terdapat benteng pertahanan kokoh. Maka ia tidak takut akan musuh. Kepada Allah yang bertindak sebagai benteng pertahanan itulah, pemazmur bermohon. Inti permohonannya ialah agar Tuhan sudi mendengarkan doa-doanya. Pemazmur yakin bahwa perhatian dan sikap Tuhan yang mendengar sangat menentukan hidupnya. Kalau Allah tidak mendengarkan dia, maka ia akan mati (ayat 1c, seperti orang yang turun ke liang kubur, baca: mati). Oleh karena itu dalam ayat 2 ia meminta dengan sangat agar Tuhan sudi mendengarkan doanya.

Dari ayat 3-5 dia mulai berdoa memohon perlindungan agar ia luput dari perbuatan orang jahat. Sekaligus si pemazmur juga mencoba membedakan dirinya di hadapan Tuhan dari orang durhaka. Dalam doa permohonannya ia meminta dengan sangat agar Tuhan sudi memperlakukan dia secara berbeda dari orang durhaka itu. Kalau Tuhan sudah membedakan mana orang benar dan mana orang durhaka, maka pemazmur berharap agar Tuhan sudi bertindak atas mereka dalam keadilanNya, yaitu menghukum mereka sesuai dengan perbuatan dan cara hidup mereka. Sampai tiga kali ia meminta hal itu: terwakili dalam kata-kata, ganjarilah (dua kali) dan balaslah (satu kali). Alasan-alasan yang dikemukakan pemazmur untuk tindakan keras itu ialah karena orang durhaka adalah orang jahat, yang tidak melaksanakan perintah Tuhan.

Tetapi kalau kita perhatikan dengan baik, mazmur ini mengatakan bahwa alasan yang dikemukakan ialah sikap para durhaka yang tidak mengindahkan pekerjaan dan perbuatan Tuhan. Mana pekerjaan dan perbuatan Tuhan itu? Tentu yang dimaksud ialah karya penciptaan dan karya penyelenggaraan hidup dari waktu ke waktu. Orang-orang durhaka tidak mengindahkan hal itu. Mereka bertindak seakan-akan Allah tidak ada. Inilah ateisme praktis, yaitu berbuat seakan-akan Allah tidak ada. Karena itu pemazmur meminta dengan sangat agar Allah sudi bertindak secara final dan fatal: Ia akan menjatuhkan mereka dan tidak membangunkan mereka lagi.

Selanjutnya si pemazmur meloncat lagi ke dalam pujian dan berkat bagi Allah karena ia merasa bahwa Allah sudi mendengarkan doa-doanya. Dengan serta merta pemazmur kembali lagi ke metafor-metafor awal dengan mana ia telah menyapa Allah: Tuhan adalah kekuatan dan perisaiku (ayat 7), dan kekuatan dan benteng keselamatan (ay 8). Ia merasa tertolong oleh karya Allah yang bertindak atas hidup dan keberadaannya. Oleh karena itu ia hanya percaya kepada Tuhan itu saja.

Atas dasar untaian pengalaman dan keyakinan itu, maka si pemazmur berani memohon agar Tuhan sudi menyelamatkan umatNya dan sudi memberkati mereka. Ia juga berani memohon agar Tuhan sudi menggembalakan mereka dan memberi mereka dukungan agar mereka tidak merasa sendirian dan ditinggalkan dalam hidup dan perjuangan hidup di dunia ini. (EFBE@fransisbm).


Monday, August 18, 2008

Mendalami dan Menikmati Mazmur 27

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini terdiri atas 14 ayat. Kita dapat menikmati isinya dengan mengikuti pembagian unit yang ada. Saya membaginya menjadi tiga unit: ayat 1-3, ayat 4-6, ayat 7-14 berdasarkan dinamika isinya. Uraian ini akan mengikuti tiga alur itu.

Kalau kita baca dengan teliti maka dalam ayat 1-3: kita merasakan adanya sebuah deklarasi teologis dari si pemazmur yang memantulkan keyakinan dasarnya, bahwa Tuhan adalah terang dan benteng hidupnya. Jadi, ini adalah sebuah ungkapan eksistensial keyakinan iman yang kokoh akan Tuhan. Atas dasar keyakinan iman seperti itu, muncul sebuah konsekwensi teologis yaitu ia merasa aman dalam hidup ini. Ia merasa bahwa tidak ada alasan apa pun untuk takut atau gentar. Tidak ada yang harus ditakuti dalam hidup ini. Malahan ketakutan dan kegentaran bagi dia adalah tanda tidak adanya iman.

Ayat 1-3 boleh dipandang sebagai dasar bangunan seluruh mazmur ini. Di atas landasan itu ia mengembangkan beberapa ide lanjutan yang dituangkan dalam ayat 4-6. Mula-mula ia melukiskan kenyataan bahwa ia hanya mempunyai satu permohonan dalam hidupnya: yaitu berdiam di rumah Tuhan. Jika hal itu terjadi, maka di sana ia merasa aman dan terlindung. Mengapa? Karena ia yakin bahwa Tuhan akan menyelamatkan dia kalau ada bahaya mengancam. Samar-samar kita merasakan adanya metafor induk (terutama induk ayam atau burung) yang mempunyai naluri kodrati menyembunyikan anak-anaknya di tempat aman bila ada bahaya mengancam. Selain metafor tadi, kita juga dapat melihat sebuah metafor lain yaitu metafor gunung batu: inilah landasan kokoh bagi pemazmur kalau ada banjir bandang datang menerjang atau menghadang di jalan. Dengan memakai metafor itu, pemazmur mencoba melukiskan rasa aman yang ia alami dan rasakan di dalam Tuhan. Hasilnya? Pertama, ia tidak merasa takut akan musuh. Kedua, lebih dari itu, ia boleh berjalan dan berdiri dengan penuh percaya diri di hadapan atau di tengah musuhnya. Itulah yang dimaksudkan dengan berjalan dengan kepala tegak. Sebab orang yang merasa bersalah atau malu biasanya berjalan tunduk dan lesu, bahkan bila perlu menutup muka, seperti artis dalam infotainmen yang tertangkap basah menenggak obat terlarang, atau pejabat tinggi yang ketahuan korupsi dan berperilaku asusila. Jangan sampai dilupakan satu hal berikut: semua pengalaman itu tidak menyebabkan dia menjadi sombong atau takabur. Bagaimana pun juga ia tidak lupa memuji dan meluhurkan Allah karena semua hal yang dialaminya selama ini. Jadi, nasihatnya ialah, jangan sampai kita takabur dalam hidup ini: selamat karena karya Allah, malah justru menjadi laknat.

Kini kita sampai pada unit terakhir, ayat 7-14. Atas dasar pengalaman iman di masa silam maka kini ia melambungkan sebuah permohonan: ia memohon agar sudi dikasihi dan dijawab segala doanya. Ia juga memberikan sebuah dasar untuk permohonan itu. Dasar itu ialah hidup yang saleh, atau hidup menurut firman Tuhan. Ia sangat yakin bahwa ia tidak pernah memalingkan wajah dari Tuhan, misalnya dengan berdosa. Apa isi doanya: Ia meminta jangan sampai Tuhan menyembunyikan wajahNya dari dia. Ia juga meminta jangan sampai Tuhan menolak dia dengan murka. Ia juga meminta jangan sampai ia dibuang atau ditinggalkan. Sebab ada ayah dan ibu yang membuang anak mereka. Walau ada fakta seperti itu, ia yakin Tuhan tidak akan meninggalkan dia. Melainkan akan menerima dia. Dengan keyakinan bahwa Tuhan akan memperhatikan dia, maka sekarang ia melanjutkan litani permohonannya: Ia meminta Tuhan sudi menunjukkan jalan-Nya kepada dia. Ia meminta Tuhan sudi menuntun dia di jalan yang rata. Ia juga meminta Tuhan tidak menyerahkan dia kepada para musuh dan lawannya yang dengan penuh nafsu menyerang dia.

Akhirnya sekali lagi ia menegaskan keyakinan imannya, bahwa ia akan melihat kebaikan Tuhan juga selama hidup di dunia ini. Oleh karena itu, ia pun berseru, seakan menyerukan kepada orang lain yang punya pengalaman yang sama, agar jangan takut melainkan tetap setia menantikan Tuhan. Ia juga berharap agar siapa saja yang berada dalam situasi seperti dia, hendaknya ia menantikan Tuhan dengan hati yang kuat dan teguh. Tidak goyah. Itulah beberapa pesan dari mazmur 27 ini.


Friday, August 15, 2008

Menikmati Mazmur 26

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Mazmur 26 ini termasuk cukup singkat. Hanya terdiri atas 12 ayat. Dapat dibagi dalam beberapa bagian sebagai berikut: unit pertama terdiri atas ayat 1-3. Unit kedua terdiri atas ayat 4-5. Unit ketiga terdiri atas ayat 6-7. Unit keempat terdiri atas ay.8-12. Uraian saya selanjutnya akan mengikuti dinamika pembagian unit-unit tadi.

Kalau kita mengikuti isi unit pertama (ay.1-3), terasa bahwa si Pemazmur merasa sudah hidup dengan tulus. Ia menganggap hidup tulus itu sebagai modal yang penting baginya. Dengan berbekalkan modal itu, maka ia memohon keadilan kepada Tuhan, yaitu agar Tuhan sudi bertindak adil terhadap dirinya dalam hidup ini. Terasa juga bahwa ia percaya diri dengan hidupnya yang tulus dan suci itu. Maka ia berani “menantang” Tuhan untuk menguji hatinya. Kalau pengujian itu dilakukan, maka tidak akan ditemukan cacat cela, sebab ia hidup dengan benar, dan ia selalu berharap pada kerahiman Allah.

Sebagai penegasan bahwa ia hidup dengan baik dan benar, ia pun menambahkan kesaksian bahwa ia hidup suci dalam relasi personal dan sosial (ay.4-5, unit kedua). Buktinya? Ia mampu memilih bentuk-bentuk relasi sosial dan kekerabatan yang baik dan benar, yang dapat membangun hidup yang baik dan benar. Ia menegaskan bahwa ia tidak secara ngawur dalam memilih lingkaran pergaulan. Ia menghindari orang-orang jahat dan pendosa.

Dengan kondisi kesalehan sosial seperti itu, maka ia berani melangkah ke tempat suci untuk berdoa. Dari unit ketiga (ay.6-7), tampak bahwa ia menjadi orang yang saleh dan menjadi rajin berdoa: baik itu memberi persembahan (ay.7), maupun tindakan melambungkan puji-pujian. Tidak hanya itu saja: ia juga rajin mewartakan karya-karya agung Tuhan. Kiranya ketiga hal itu erat terkait satu sama lain: hidup yang saleh, rasa suka berdiam di rumah Tuhan, untuk berdoa, berkurban, dan menyampaikan warta tentang Tuhan.

Akhirnya, saya mencoba melihat unit ketiga, yaitu ayat 8-12. Ini termasuk unit yang cukup panjang. Dari praksis yang rajin seperti itu, maka tumbuhlah dalam dirinya suatu cinta akan kediaman Tuhan. Ada beberapa hal yang dikemukakan dalam bagian ini. Pertama, bahwa dalam diri si pemazmur tumbuh sebuah perasaan cinta akan Rumah Tuhan. Kiranya inilah cinta yang bisa bertumbuh karena sering mengunjungi rumah Tuhan. Jadi, karena sering mengunjungi, maka lama kelamaan orang merasa dekat dan akrab. Kedua, karena merasa saleh seperti itu, maka si pemazmur meminta agar ia diperlakukan dengan sewajarnya oleh Tuhan, dan tidak diperlakukan semena-mena. Misalnya dengan nyata disebut di situ beberapa contoh kongkret: Yaitu dibinasakan sama seperti dan bersama-sama dengan orang-orang fasik, dan orang-orang berdosa. Di sana diungkapkan beberapa kategori yang sangat jelas: yaitu orang berdosa, penumpah darah, orang mesum, orang yang menerima suap. Ia berani memohon seperti ini kepada Allah karena ia sangat yakin bahwa ia hidup saleh dan benar. Atas dasar itu ia memohon agar sudi dibebaskan Allah. Kalau hal itu terjadi, maka ia akan maju sebagai orang yang gagah perkasa, yang tidak bisa dipermalukan. Ketiga, kalau hal itu terjadi, maka ia bisa memuji Allah di tengah Jemaat dan bersama dengan jemaat. Dalam hal ini ia tidak malu atau merasa minder dengan hal itu, sebab Ia yakin bahwa ia tidak bercela. Orang tidak dapat mencela hidupnya karena memang tidak ada cela juga di sana.


Wednesday, July 16, 2008

Mengenal dan Memahami Mazmur 25

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ibrani. Ini dimaksudkan agar mudah dihafal oleh murid yang belajar. Jadi, mazmur ini adalah kurikulum pendidikan moral-teologi bagi generasi muda. Dalam kitab suci ada judul berikut ini: Doa mohon ampun dan perlindungan. Jadi, mazmur ini adalah sebuah doa. Lebih persis lagi ini adalah doa pribadi (untuk kepentingan pribadi).

Jika dicermati dengan baik maka rancang bangun mazmur ini dapat dilukiskan sebagai berikut: ayat 1-7, pemazmur berbicara tentang dirinya dalam diri orang pertama. Hal itu tampak dalam pemakaian kata aku dan ku. Lalu dalam ayat 15-22, pemazmur lagi-lagi berbicara tentang dirinya dalam orang pertama, karena seperti dalam penggal pertama tadi, di sini pun kita temukan banyak kata aku dan ku. Di tengahnya terbentang ayat 8-14 yang tidak berbicara tentang aku atau ku (kecuali ayat 11, kesalahanku). Mungkin karena fokus ayat-ayat ini bukan lagi manusia (aku) melainkan terutama Tuhan. Manusia (jemaat, termasuk aku) hanya dibicarakan sejauh terkait dengan TUHAN. Secara garis besar rancang bangun itu ialah: manusia (aku) – TUHAN – manusia (aku). TUHAN menjadi sentrum bagi manusia. Bukan manusia menjadi sentrum, dan TUHAN disisihkan. Rancang bangun ini menarik, karena bermakna teologis-etis.

Si pemazmur mulai dengan seruan bahwa ia mengarahkan jiwanya kepada Tuhan. Ia mau mempercayakan hidupnya kepada Allah. Ia mau mengandalkan Allah, agar hidupnya bermakna, tidak sia-sia, hidup yang memalukan dan memilukan. (ayat 1-2). Ia menaruh harapan dan kepercayaannya kepada Allah karena berdasarkan pengalaman ternyata orang yang berharap pada Allah tidak dipermalukan (ay 3). Selanjutnya dalam ayat 4-5, si pemazmur memohon pengajaran dan kebenaran, yang diungkapkan dalam metafor jalan. Ia meminta agar Allah sudi menuntun dia di jalan-jalan Allah. Yang menarik ialah bahwa ia mendasarkan permohonan ini pada pengalaman sejarah: Ingatlah segala rahmat-Mu dan kasih setia-Mu, ya TUHAN, sebab semuanya itu sudah ada sejak purbakala (ay 6). Dalam ayat 7 ia memohon pengampunan dosa, terutama dosa masa muda. Mungkin pada masa muda orang melakukan kesalahan dan keteledoran dalam semangat muda yang berlebihan. Atas dosa seperti itu ia memohon pengampunan Allah. Menarik juga bahwa ia mendasarkan keberanian memohon pengampunan dosa ini atas dasar pengalaman sejarah. Ia meminta agar dosanya dihapuskan berdasarkan kasih setia dan kebaikan Allah (ay 7).

Setelah mengajukan dua permohonan dalam penggal terdahulu, kini pemazmur membentangkan pemahaman dan pengalamannya akan Allah. Pemahaman dan pengalaman ini juga yang mendorong dia berani memohonkan kedua permohonan tadi. Saya daftarkan butir-butir pengalaman si pemazmur akan Allah: TUHAN itu baik dan benar. Dalam martabat seperti itu Tuhan menunjukkan jalan, membimbing orang, mengajarkan jalanNya. Jalan Tuhan itu sendiri adalah kasih setia dan kebenaran. Maka sekali lagi berdasarkan paham Allah seperti ini, ia berani memohon ampun atas dosanya (ay 11). Walau dimulai dengan pertanyaan dalam ayat 12, tetapi penggal 12-14 ini sesungguhnya adalah suatu pembeberan keyakinan teologis bahwa orang yang takut akan Tuhan akan dituntun Tuhan, akan menjadi bahagia, akan meraja di bumi ini, dan Tuhan sudi menjalin relasi persahabatan dan keakraban dengan orang seperti itu.

Mulai dari ayat 15-21 kita temukan lagi pemakaian kata aku dan ku. Di sini kita temukan untaian (litani) permohonan. Pemazmur memohon kepada Allah agar sudi mempedulikan nasibnya yang sebatang kara, sudi membebaskan dia dari kesulitan dan kesesakan, dari sengsara dan kesukaran, dari musuh dan lawan. Dengan berlandaskan pada pengharapan akan Allah, ia mengharapkan pembebasan. Begitu kita sampai pada ayat 22, tiba-tiba ada perubahan subjek yaitu ke Israel. Israel menjadi subjek. Ini mendorong saya berpikir bahwa akhirnya, doa ini adalah doa komunitas dan dalam komunitas pendoa itu ada individu, aku, yang ikut berdoa memohon pembebasan Tuhan. Itu semua dilandaskan pada besarnya kasih setia dan rahmat TUHAN, atas hidup mereka.


Menikmati dan Mengapresiasi Mazmur 24

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini termasuk cukup pendek, hanya 10 ayat. Dalam Kitab Suci, judulnya ialah “Kedatangan Raja Kemuliaan dalam Bait Allah.” Dalam ayat 1-2 kita dapat menemukan sebuah proklamasi agung mengenai TUHAN, yaitu bahwa Dialah pemilik alam semesta, dan Dialah yang menjadikannya dari tiada menjadi ada.

Setelah berbicara tentang proklamasi teologis itu, maka dalam ayat 3-6, diajukan sebuah syair yang memuat syarat-syarat agar seseorang diperkenankan berdiam di Bait Allah. Menarik bahwa apa yang diajukan sebagai syarat dalam ayat 4 terkait dengan syarat-syarat etis. Di sana diajukan beberapa Kriteria. Kriteria pertama, orang yang boleh berdiam di rumah Allah ialah orang yang bersih tangannya. Ia tidak melakukan dosa, berdosa dengan kedua tangannya. Kriteria kedua, erat terkait dengan perkara hati. Orang ini juga harus orang yang berhati murni. Hanya hati murni saja yang berkenan kepada Allah. Allah tidak sudi kepada orang yang tidak tulus. Kriteria ketiga, erat terkait dengan kedua, yaitu orang yang tidak condong kepada penipuan. Hal ini terkait dengan kondisi hati yang tidak bengkang-bengkong. Akhirnya kriteria keempat ialah orang seperti itu tidak sudi mengucapkan sumpah palsu. Sumpah palsu adalah sumpah yang tidak berdasar, yang tidak keluar dari hati nurani yang bersih. Apalagi dalam sumpah itu orang membawa-bawa nama Allah. Ini yang paling memberatkan.

Kalau seseorang sudah memenuhi keempat tolok ukur itu, maka orang itu akan menerima berkat TUHAN. Selain itu ia juga akan mendapat keadilan yang berasal dari Allah. Hal itu pada gilirannya bisa mendatangkan shalom ke atas dia; ia selamat. Orang seperti itu, disebut “angkatan orang-orang yang menanyakan Dia, yang mencari wajah-Mu.” Menanyakan di sini berarti mencari tahu, menyelidiki untuk kemudian berserah-pasrah di hadapan wajah Allah.

Setelah dalam ayat 1-2 diwartakan sebuah proklamasi teologis, maka pertanyaan selanjutnya ialah siapa Raja Kemuliaan itu? Itulah yang coba dijawab dalam ayat 7-10. Kiranya kita akrab dengan ayat-ayat ini, karena ayat-ayat ini dipakai sebagai syair lagu Adven: Angkatkanlah kepalamu, gapura-gapura nan megah….etc. Jadi rancang bangun mazmur ini ialah sbb: mula-mula diwartakan tentang identitas Allah, lalu ditetapkan kriteria orang yang boleh berdiam di rumah Allah, akhirnya, proklamasi mengenai persiapan akan kedatangan Raja Kemuliaan di baitNya yang kudus.

Proklamasi persiapan itu dimulai dalam ayat 7 dengan sebuah pernyataan megah: Angkahlah kepalamu, hai pintu-pintu gerbang, dan terangkatlah kamu, hai pintu-pintu yang berabad-abad, supaya masuk Raja Kemuliaan! Ini diulang lagi dalam ayat 8. Terhadap proklamasi meriah itu diberi tanggapan berupa pertanyaan, yang seakan-akan tampil sebagai selingan yang tidak berarti, karena pertanyaan itu langsung dijawab dengan meriah. Pertanyaan “kecil” itu ialah: “Siapakah itu Raja Kemuliaan?” Terhadap pertanyaan itu diberi jawaban sbb: “TUHAN, jaya dan perkasa, TUHAN, perkasa dalam peperangan!” Sebuah proklamasi final yang amat agung, yang bermuara ke keyakinan iman. Pola ayat 7-8 kemudian diulang kembali dalam ayat 9-10. Tetapi ada perbedaan nuansa jawaban dalam ayat 10: sekarang TUHAN dinyatakan sebagai TUHAN semesta alam (seperti ayat 1-2). Dia tidak lagi sekadar TUHAN yang perkasa dalam peperangan, melainkan sekarang dirumuskan secara positif, yaitu TUHAN itu adalah Raja Kemuliaan!

Pengulangan ini membuat saya berpikir bahwa mazmur ini mulanya diciptakan sebagai syair nyanyian meriah dalam liturgi atau ibadat di Kenisah atau Bait Allah di Yerusalem. Maka tidak mengherankan bahwa mazmur ini banyak mengilhami komponis besar dunia dalam menyusun syair-syair nyanyian dengan mengambil tema teologis yang ditampilkan dalam mazmur ini.

Wednesday, June 18, 2008

Menikmati dan Mengapresiasi Mazmur 23

Oleh: Fransikus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Mazmur ini cukup pendek, hanya enam ayat, dan amat popular. Kita hafal karena mazmur ini sering dijadikan syair lagu rohani, lagu komuni. Juga menjadi objek seni lukis dan ukir. Banyak lukisan menimba ilham dari pastor bonus ini. Begitu juga ukiran, dan patung. Patung gembala baik ada di mana-mana dalam dunia Katolik. Ada lembaga yang mengambil identitasnya dari Pastor Bonus. Ada juga konggregasi hidup bakti yang mengambil nama ini. Misalnya, para suster gembala baik. Akhirnya mazmur ini terkenal karena Yesus dicitrakan sebagai gembala baik (Yoh.10).

Dalam tiga ayat pertama pemazmur melukiskan apa yang dikerjakan TUHAN baginya. Singkatnya, Pastor Bonus itu penuh tanggung jawab. Ia mencari dan memberi yang terbaik (rumput, air yang tenang, tidak rebutan, tidak ada binatang buas) bagi kawanannya. TUHAN menjaga, melindung, dan memberi makan. Itu tugas utama Pastor Bonus. Di akhir ayat 3 ada sesuatu yang menarik yang dikatakan pemazmur: semuanya itu dilakukan TUHAN hanya karena dan demi namaNya yang kudus. Jadi, Ia membuat dan memberikan yang terbaik karena namaNya. Jangan sampai namanya tercemar karena ternyata Ia tidak mampu memberikan yang terbaik.

Selanjutnya dalam ayat 4-5 pemazmur melukiskan rasa aman dan pasti yang ia rasakan karena berada di hadirat Allah. Ia tidak takut apa pun dan siapapun karena Tuhan menyertai dia. Ia tidak takut lapar, juga tidak takut menanggung malu karena kelaparan di hadapan pencemoohnya, karena Allah menyediakan hidangan baginya. Di akhir ayat 5 pemazmur melukiskan betapa hidupnya nyaman, makmur, aman, sentosa. Semua itu dilambangkan dengan standar hidup yang melampaui minimal. Ia tidak disibukkan dengan perkara mulut dan perut, melainkan ia sempat memperhatikan kepatutan penampilan jasmani. Itu yang terungkap dengan ungkapan “minyak wangi” untuk mengurapi kepala. Juga terungkap dengan ungkapan “anggur” yang selalu penuh dalam pialanya. Itulah lambang kemakmuran di atas rata-rata. Kalau di bawah rata-rata, mungkin ia tidak sempat meminyaki kepalanya. Mungkin ia akan cukup minum air. Ia minum anggur, dan anggur itupun melimpah. Ia hidup dalam keadaan affluent meminjam istilah perkembangan ekonomi W.W.Rostow itu. Itu semua mungkin karena penjagaan dan penyelenggaraan Tuhan.

Akhirnya saya mau memberi perhatian khusus pada ayat 6. Pemazmur merasa bahwa kasih setia dan penyelenggaraan TUHAN menyertai dia sepanjang hidup. Kalau ia menoleh ke masa silam hidupnya, ia melihat di sana jejak-jejak yang ditinggalkan, yang semuanya ditandai kasih setia Allah. Ia merasa bahwa selama ini Allah melakukan segala sesuatu yang terbaik baginya. Atas dasar pengalaman masa silam itu, ia berharap bahwa ke depan ia akan mengalami hal seperti itu. Ungkapan “seumur hidupku,” itu berarti “selama sisa-sisa hidupku.” Setelah mengalami dan merasakan semuanya itu, pemazmur merasa layak diam di Bait Allah. Itu semua terjadi, karena merasa betapa baik dan sedapnya Tuhan. Karena ia merasa lebih baik satu hari di rumah Allah dari pada seribu hari di tempat lain. Kebahagiaan seperti apa lagi yang lebih besar dari kebahagiaan berada bersama Allah? Mazmur ini mengajak kita untuk selalu berada di bawah naungan kasih setia Allah, sebab Ia-lah pastor bonus kita. Diam-diam sebagai orang Kristen, kita terpikir akan Kristus setiap kali kita membaca mazmur ini. (EFBE@fransisbm).

Menikmati dan Mengapresiasi Mazmur 22

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Kiranya judul Mazmur 22 ini akrab di telinga kita: Allahku, mengapa Kautinggalkan aku? Akrab karena ia menjadi salah satu refrein mazmur masa Prapaskah. Akrab juga karena dikutip Yesus dari atas Salib menurut kesaksian Mateus (27:46) dan Markus (15:34). Mazmur ini menjadi prototipe doa Yesus. Mungkin juga akrab karena merupakan pengalaman personal kita sendiri? Boleh jadi, ini sebuah pengalaman religius-negatif yang bersifat universal. Seluruh mazmur yang cukup panjang ini (32 ayat) berbicara tentang rasa sepi yang radikal dan eksistensial. Orang merasa ditinggalkan Allah. Allah seakan tidak mau menjawab si pemazmur (ay 2-3). Orang mengalami malam kegelapan jiwa, meminjam istilah mistik Yohanes a Cruce.

Menurut si pemazmur, pengalaman rohani-negatif ini aneh karena jika melihat sejarah, Allah-lah yang menyelenggarakan hidup leluhurnya. Tetapi mengapa sekarang Allah seakan menjauh? Ini pun tidak terjawab (ay.4-6). Karena seruan “ke atas” tidak berjawab, maka pemazmur mulai menukik ke dalam dirinya sendiri. Ia merenungkan dirinya sendiri, mencoba menjawab pertanyaan Who am I? Pemazmur pun sadar bahwa dirinya sangat rendah dan hina-dina (ay.5-9). Tetapi berdasarkan kesadaran diri ini, ia tetap berharap pada dan mengandalkan Allah. Karena itu ia kini tetap berdoa memohon penyertaan Allah (ay 10-12).

Situasi tragis yang dialaminya coba dilukiskan si pemazmur dengan memakai metafor binatang (ay.13-14). Ia merasa terhimpit bahaya yang mengancam yang disimbolkan dengan binatang raksasa yang bisa berbahaya. Situasi ini menyebabkan si pemazmur merasa dirundung rasa sedih yang mendalam (ay 15-16). Ia merasa tidak berdaya sama sekali. Sekali lagi, situasi ketidak berdayaan itu dilukiskan dengan metafor dalam ayat 17-19. Tidak ada lagi yang tersisa pada dirinya, bahkan tulangnya pun bisa dihitung. Begitu juga pakaiannya. Tetapi yang menarik ialah bahwa walau keadaannya sudah separah itu, ia tetap berdoa memohon kepada Allah, agar Ia sudi meluputkan dia dari mara bahaya yang mengancam hidupnya (ay 20-23).

Tidak lupa pemazmur mengajarkan sebuah perilaku religio-etis yang baik, yaitu tatkala sudah mengalami shalom Allah, kita tidak lupa berterima kasih, tidak lupa melambungkan lagu puji dan syukur kepada Allah. Sekarang ia merasa lega karena Allah sudi memandangnya. Sekarang ia tidak lagi ditinggalkan Allah (ay 23-25). Jadi, ada loncatan dari merasa ditinggalkan, ke merasa disertai Allah. Hanya tidak dijelaskan bagaimana loncatan itu terjadi. Yang jelas, sudah terjadi loncatan. Maka baik dalam bagian terdahulu maupun dalam bagian yang berikut ini tampak bahwa pujian dilambungkan ke hadapan hadirat Allah sebagai efek karya shalom Allah (26-27).

Sedemikian besarnya sukacita dan sorak sorai si pemazmur sampai ia merasa bahwa seluruh bumi ikut bersamanya memuji dan memuliakan Allah. Tidak ada lagi orang di bumi ini yang tidak ikut memuji dan menyembah Allah: orang sombong, orang yang sudah mati, angkatan yang akan datang, semuanya mewartakan karya tangan kanan Allah. Akhirnya, si pemazmur mengalami dan merasakan bahwa Allah itu baik dan adil. Keadilan Allah sudah terbukti sehingga sudah diwartakan terlebih dahulu. Ini sebuah kontradiksi yang dapat kita rasakan dalam ayat 32: Mereka akan memberitakan keadilan-Nya kepada bangsa yang akan lahir nanti, sebab Ia telah melakukannya. (EFBE@fransisbm).

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...