Showing posts with label menapaki tahun liturgi. Show all posts
Showing posts with label menapaki tahun liturgi. Show all posts

Thursday, December 27, 2018

PERISTIWA NATAL DAN AYUB

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA
Dosen FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI



Begitu membaca judul di atas pasti anda bertanya: adakah hubungan antara Natal dan Ayub? Bukankah ada jarak waktu yang sangat besar antara Ayub dan peristiwa Natal? Menurut Yehezkiel, Ayub hidup pada jaman Bapa Bangsa, sebab ia menyebut namanya bersama daftar nama mereka (Yeh 14:14,20). Sedangkan Natal adalah peristiwa pada jaman akhir, yang mengawali perjanjian baru. Kalau ada, maka hubungan seperti apakah itu? Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan misteri hubungan itu.

Saya mulai dengan Natal. Menurut Lukas, kelahiran Yesus adalah peristiwa yang merepotkan sebab terjadi dalam perjalanan, bukan di rumah. Karena perintah cacah jiwa Kaisar Agustus berangkatlah Maria dan Yusuf ke Betlehem (kota asal Yusuf, keturunan Daud). Saat itu Maria, tunangan Yusuf, sedang mengandung (Luk 2:5). Bisa dibayangkan betapa perjalanan itu menyusahkan sebab Maria mengandung tua. Begitu tiba di Betlehem, kata Lukas, “...tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin” (Luk 2:6). Kelahiran itu juga pasti merepotkan karena mereka tidak mendapatkan penginapan. Anak itu lahir di tempat sederhana, tetapi Lukas tidak melukiskan tempat seperti apa itu. Yang jelas cukup sederhana, sebab begitu anak itu lahir, ia dibungkus dengan kain lampin dan dibaringkan dalam palungan, semacam wadah untuk memberi makanan ternak.

Dari sinilah muncul imajinasi religius kita yang membayangkan bahwa itu adalah kandang hewan milik para gembala. Jangan kita bayangkan bahwa di situ hanya ada ternak saja. Pasti ada manusia, yaitu gembala. Sebab gembala jaman itu, hidup bersama ternak. Karena hidup bersama setiap hari, mereka bisa “mengenal” dan “mengetahui” bau masing-masing. Domba mengenal bau tuannya. Bukan berarti gembala tidak mandi. Melainkan, pakaian mereka menyerap aroma domba. Begitu gembala datang, mereka akan membaui. Saat mencium aroma yang sama dengan aroma mereka, maka mereka tenang karena mereka mengenal tuannya melalui bau mereka yang sudah lengket pada pakaian si gembala.

Imajinasi tentang kehadiran gembala itu menjadi semakin kuat sebab dalam bagian berikut kisah Lukas kita diberitahu tentang gembala. Di tengah rutinitas hidup mereka, tiba-tiba mereka didatangi malaekat. Semula hanya satu Malaekat. Ia bercahaya gilang gemilang. Penglihatan itu sangat asing bagi mereka. Itu sebabnya mereka sangat ketakutan. Malaekat itu mengatakan agar jangan takut karena ia membawa kabar sukacita besar, yakni kelahiran Yesus Kristus, di kota Daud (Luk 2:11). Malaekat itu juga memberi tanda khas bayi itu (ay 12). Keadaan makin semarak karena turunlah serombongan malaekat, bala tentara surgawi. Kita bisa bayangkan keadaan di luar Betlehem di padang penggembalaan menjadi sangat ramai karena para malaekat itu bernyanyi memuji Allah: Gloria in excelsis Deo. Et in terra pax hominibus, bonaevoluntatis (Luk 2:14).

Saya bisa membayangkan betapa penampakan itu sungguh membuat hati para gembala itu terpesona dan diliputi sukacita besar. Sebab begitu penglihatan itu berlalu mereka bergegas ke Betlehem untuk membuktikan kebenaran kabar malaekat itu. Lukas tidak memberitahukan apa perasaan mereka. Tetapi kita bisa membayangkan betapa mereka heran dan penuh sukacita tatkala melihat bahwa yang dikatakan malaekat itu benar: ada bayi yang lahir dan dibaringkan di palungan. Keheranan dan sukacita mereka dan kabar yang mereka sampaikan membuat orang yang mendengarnya keheranan juga. Rupanya, cerita kelahiran langka itu cepat menyebar di Betlehem sehingga banyak orang datang melihatnya sebelum gembala itu. Kelahiran itu membawa sukacita besar. Apalagi bagi kedua orang tuanya. Hari lahir, Dies Natalis, membawa sukacita, dirayakan sebagai peristiwa sukacita besar. Hari lahir dikisahkan sebagai peristiwa sukacita besar.

Apa hubungannya dengan Ayub? Tentu Ayub, saat lahir, pasti membawa sukacita bagi orang tuanya dan sanak keluarganya. Lalu apa masalahnya? Masalahnya ialah bahwa jauh di kemudian hari, saat Ayub sudah tua, ia pernah mengutuk hari lahirnya (Ayb 3). Dalam hidupnya semula Ayub adalah orang sukses sehingga ia menjadi kaya. Ia memiliki harta benda yang sangat banyak. Ia orang paling bahagia dalam ukuran Perjanjian Lama. Walaupun sangat kaya, ia tidak lalai. Ia tetap hidup saleh dan tidak bercela di hadapan Allah. Bahkan Tuhan memuji kesalehan hidup Ayub. Kesalehan Ayub bahkan cenderung tampak seperti scruple. Hal itu tampak dalam perbuatannya yang setiap pagi mempersembahkan kurban bagi anak-anaknya. Siapa tahu mereka itu, tidak lagi ingat akan Tuhan.

Suatu hari, tanpa ia ketahui sebabnya, tiba-tiba ia jatuh miskin karena bencana alam dan perampokan. Tidak hanya berhenti di situ. Tidak lama sesudah itu ia sakit berat. Seluruh tubuhnya terkena borok mulai dari kepala sampai ke telapak kaki. Karena itu ia tidak tinggal di rumah melainkan di luar rumah dalam kotak abu. Di sanalah ia merenungi nasibnya. Ia tidak memahami mengapa ia yang hidupnya saleh dan kaya tiba-tiba jatuh miskin dan sakit. Tetapi ia tidak meninggalkan imannya. Justru isterinyalah yang jatuh ke dalam ateisme praktis yaitu hidup seakan Allah tidak ada. Walau menderita ia tetap saleh. Tidak mengutuk Allah. Dalam deritanya yang berat itu kita tahu bahwa Ayub mengutuk hari lahirnya. Dari dalam tubir derita ia membayangkan bahwa lebih baik dulu jika ia tidak lahir, jika dulu tidak ada kabar sukacita tentang kelahiran. Kalau terlanjur ia lahir, sebaiknya ia mati saja saat masih bayi merah yang tidak tahu apa-apa. Ini semua terjadi karena ia tidak dapat memahami lagi misteri deritanya.

Di sinilah hubungannya: jika natal yang kita rayakan membawa sukacita, Ayub dari dalam tubir deritanya justru mengutuk hari lahirnya, membayangkan bahwa hari lahir (dies natalis) itu dulu sebaiknya tidak pernah ada. Natal dalam imajinasi religius Ayub yang menderita, adalah hari terkutuk yang sebaiknya tidak pernah ada, dan tidak pernah diwartakan. Sedangkan bagi kita natal adalah hari sukacita, hari Tuhan Yesus lahir ke dunia ini, hari misteri verbum caro factum est, sabda menjadi daging. Ya, selamat Natal.

#imajinasi religius #gembala #natal #ayub #peristiwa natal #ateisme praktis

Sunday, December 23, 2018

TRANSEAMUS USQUE BETHLEHEM

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Teologi dan Filsafat FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI
.



Dalam tradisi Kristiani ada banyak sekali lagu natal. Ada yang sudah klasik. Ada juga lagu natal hasil gubahan masa kini. Salah satu lagu Natal yang sudah klasik ialah yang berjudul Transeamus usque Bethlehem. Tulisan ini dimaksudkan untuk membuat catatan tentang lagu tersebut. Sebelum melangkah lebih lanjut terlebih dahulu saya cantumkan teks lagu itu di sini.

Teksnya berbunyi demikian: “Transeamus usque Bethlehem, et videamus hoc verbum quod factum est. Mariam et Joseph, et infantem positum in praesepio. Gloria in excelsis Deo. Et in terra pax hominibus bonaevoluntatis. Audiamus multitudinem militiae coelestis laudantium Deum.” Jika teks lagu itu dipersingkat maka itulah beberapa baris pesan dasarnya. Pesan dasar itu dapat diterjemahkan dengan agak bebas sebagai berikut: “Marilah kita ke Betlehem, dan melihat berita yang disampaikan. Maria dan Yusuf, dan bayi terbaring di palungan. Kemuliaan kepada Allah di tempat tinggi. Dan damai di bumi bagi manusia yang berkehendak baik. Kami mendengar banyak balatentara surgawi memuji Allah.”

Setiap kali menyanyikan lagu ini, imajinasi religius saya selalu teringat akan cerita Lukas (Luk 2:8-20). Memang teks lagu ini dibuat berdasarkan inspirasi yang sangat kuat dari Injil Lukas, yang tidak hanya menginspirasi pengarang lagu, melainkan juga mengilhami seniman pelukis. Betapa sangat banyak karya lukisan dan ukiran dibuat oleh seniman Kristiani dengan menimba dari cerita Lukas itu.

Menurut cerita Lukas, Maria dan Yusuf tinggal di Nazaret. Tetapi karena ada titah Kaisar Agustus agar semua penduduk kembali ke kota asal mereka untuk cacah jiwa (sensus), maka Yusuf yang berasal dari Betlehem (karena ia keturunan Daud) kembali ke Betlehem (Luk 2:1-7). Karena sangat banyak orang datang ke Betlehem, maka Maria dan Yusuf tidak kebagian penginapan. Bukan karena orang Betlehem tidak mau menerima, melainkan karena semua sudah penuh. Karena itu, menurut Lukas, Maria melahirkan anaknya di tempat lain di luar Betlehem (tetapi masih dekat kota). Ia membungkusnya dengan kain lampin (semacam bedong) lalu dibaringkannya dalam palungan (praesepium). Sesungguhnya tidak begitu jelas deskripsi tempat kelahiran itu dalam kisah Lukas. Tetapi kita bisa konstruksi demikian: ada palungan. Itu adalah semacam box untuk menaruh makanan ternak saat makanan itu diberikan kepada ternak. Ada juga pelukisan tentang gembala. Mereka sedang bertugas menjaga kawanan ternak mereka.

Saat kelahiran itu terjadi di sekitar Betlehem, terjadilah peristiwa penampakan di padang penggembalaan di sekitar kota kecil itu. Ada malaekat yang hadir di tengah para gembala. Kehadirannya membuat malam itu menjadi bercahaya. Para gembala sangat ketakutan, sebab penampakan itu terjadi begitu saja secara tiba-tiba di tengah rutinitas hidup mereka sehari-hari, tanpa terduga-duga. Tetapi malaekat itu menenangkan mereka. Saat itulah malaekat itu menyampaikan kabar sukacita: “Hari ini telah lahir bagimu Juruselamat, yaitu Kristus, Tuhan, di kota Daud” (Luk 2:11). Inilah inti Maklumat Natal.

Malaekat itu juga memberikan pengenal khas bayi yang baru lahir itu. Mungkin tanda kain lampin itu agak umum (setiap bayi yang baru lahir dibedong dengan pembungkus agar tidak kedinginan). Tetapi yang paling khas ialah terbaring di palungan (praesepium-o) (ay 12). Begitu malaekat itu selesai menyampaikan maklumat natal itu, tiba-tiba tampaklah sejumlah besar bala tentara surgawi, yang dalam teks lagu di atas disebut multitudinem militiae coelestis (Luk 2:13). Mereka tidak berdiri bengong melainkan melambungkan pujian bagi Allah. Beginilah isi pujian itu: “Kemuliaan bagi Allah di tempat yang mahatinggi, dan damai sejahtera di bumi di antara manusia yang berkenan kepada-Nya.” (Luk 2:14). Dalam bahasa Latin yang dikutip teks lagu di atas tadi berbunyi: “Gloria in excelsis Deo, et in terra pax hominibus bonaevoluntatis.” Dalam injil Lukas tidak ada pelukisan mengenai bagaimana reaksi para gembala itu. Tetapi kita dapat membayangkan secara imajinatif bahwa mereka terkejut, tercampur rasa takut, dan rasa heran yang luar biasa. Malam itu menjadi terang benderang dan sangat ramai karena kehadiran dan suara pujian para malaekat itu.

Setelah mendengar pemberitahuan malaekat itu, dan para malaekat (bala tentara surgawi tadi) sudah meninggalkan mereka, para gembala itu mengajak satu sama lain untuk ke Betlehem: “Marilah kita pergi ke Betlehem untuk melihat apa yang terjadi di sana, seperti yang diberitahukan Tuhan kepada kita.” (ay.15). Kalimat inilah yang dipakai di dalam teks lagu di atas tadi di bagian awal: “Transeamus usque Bethlehem, et videamus hoc verbum quod factum est.” Kiranya para gembala itu bergegas ke Betlehem (cepat-cepat berangkat, ay 16). Di sana mereka menjumpai Maria dan Yusuf dan bayi itu, yang sedang berbaring dalam palungan. Itulah yang diungkapkan dalam lagu di atas dengan kalimat Latin ini: Mariam et Yoseph, et infantem positum in praesepio.

Setelah menganalisis lagu tersebut dengan cara seperti di atas tadi, saya berharap pembaca menjadi sadar bahwa pengarang syair lagu itu benar-benar menimba dari teks Injil. Saat ia mengarang teks lagu natal ini, ia tidak hanya asal mengarang saja, melainkan mencoba mengacu kepada informasi yang berasal dari Injil. Kiranya itulah yang seharusnya menjadi patokan dasar bagi para pengarang lagu kita dewasa ini dalam upaya mengarang lagu-lagu gereja sesuai dengan masa liturgis gereja yang ada. Kreatifitas dan daya imajinasi dibatasi dengan apa yang dikatakan dalam Injil. Dengan memakai pendekatan itu, sesungguhnya cukup banyak teks lagu gerejani yang bisa diciptakan dengan menimba ilham Kitab Suci. Hal itu mungkin, asal orang tekun melakukannya.

Tuesday, December 11, 2018

MENCIPTA LAGU-LAGU ADVENT

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI



Sekarang orang Katolik sedang memasuki masa Advent. Dulu kata Advent (Adventus) pernah diterjemahkan Penantian, sehingga Masa Advent menjadi Masa Penantian. Tetapi sekarang, setidaknya menurut pengamatan saya, istilah Masa Penantian itu sudah tidak begitu terdengar lagi. Jika orang mengetahui bahasa Latin memang terjemahan Penantian itu rada tidak cocok. Sebab kata Adventus itu berarti Kedatangan (dari akar kata kerja Latin Ad-venire).

Istilah itu dipakai untuk menunjukkan inti “masa” itu sendiri, yaitu masa kedatangan (Adventus) Tuhan Penyelamat. Jadi lebih tepat jika diterjemahkan “Masa Kedatangan”. Tetapi terjemahan “Masa Penantian” juga tidak seluruhnya salah. Sebab yang mau ditunjukkan dengan kata “Penantian” itu adalah sikap dan disposisi batin manusia yang sedang menantikan dengan penuh pengharapan kedatangan Tuhan yang “mendatangi” itu. Jadi, Adventus menekankan peristiwa itu dari pihak Tuhan yang “mendatangi”, mengambil prakarsa. Sedangkan Penantian menekankan peristiwa itu dari pihak manusia yang menanti, menunggu dengan penuh pengharapan.

Dinamika penantian dan pengharapan itu diungkapkan dengan salah satu praksis devosional masa Advent yaitu Lingkaran Advent. Salah satu unsur penting dalam lingkaran Advent ialah hijau daun cemara ever-green. Hal itu melambangkan pengharapan yang hidup dan membara dalam hati manusia. Hal lain yang mencolok dalam Lingkaran Advent ialah empat lilin yang tegak ke atas. Itu simbol gerak transendensi eksistensi manusia ke atas, kepada Allah, melampaui cakrawala dunia dan sejarah ini. Masih ada beberapa unsur lain yang tidak perlu dibahas di sini.

Dalam pengamatan saya Gereja Katolik membuat pembedaan yang tegas antara masa Advent dan masa Natal. Padahal suasana umum di luar Gereja, misalnya di Mall dan ruang publik lainnya, suasana dan nuansa Natal sudah sangat terasa dan tampak (misalnya, hiasan pernak-pernik natal, lagu Natal, dll). Bahkan ada himbauan agar selama masa Advent orang Katolik tidak/belum merayakan Natal atau Natalan (saya pahami Semacam Natal). Kegembiraan Natal itu harus ditunda sampai Malam Natal tanggal 24 Desember.

Tetapi saya adalah praktisi koor. Saya sangat merasakan sebuah paradoks. Yaitu, gereja belum (boleh) merayakan natal, tetapi koor-koor sudah menyanyikan lagu Natal saat mereka mengadakan latihan koor persiapan Natal. Bagi saya, paradoks itu sangat menarik. Perayaan Natal itu sendiri masih harus dinantikan, tetapi sementara itu saat ini hati dan budi kita sudah menikmatinya dengan menyanyikan lagu-lagu Natal itu dalam dan selama Latihan-latihan.

Realitas itu bagi saya membentuk satu paham teologis tersendiri: Hati kita seakan dibuat berharap-harap cemas menantikan datangnya kelahiran itu, dengan menyanyikan lagu-lagu Natal itu sekarang dan di sini dalam latihan sebagai antisipasi dan persiapan Natal. Hati kita seakan sudah dibuai dan didayu-dayu dengan nada Natal, sebelum Natal itu tiba. Buaian nada Natal itu, dengan satu dan lain cara telah menyuburkan hati, budi, dan imajinasi religius kita dalam persiapan menyongsong peristiwa Natal itu. Jadi, seakan kita mempersiapkan Natal dengan lagu-lagu Natal itu sendiri. Paradoksal. Tetapi itulah faktanya. Fakta itu tidak bisa disangkal. Tidak bisa dihindarikan. Tidak perlu juga.

Barangkali yang harus kita upayakan lebih gencar lagi ialah penciptaan lagu-lagu Adven yang lebih baru dan lebih banyak lagi. Sejauh yang saya amati, sampai saat ini, belum ada lagu Advent baru. Bahkan sebagian besar lagu Advent kita adalah warisan Gereja Barat. Hanya sedikit lagu ciptaan setempat. Mungkin dengan kekecualian yang saya ketahui yaitu di gereja Katolik Keuskupan Ruteng. Lagu Advent dalam buku Dere Serani sebagian besar terdiri atas lagu hasil karya komponis lokal Manggarai. Di tempat lain, saya belum merasakan dan menjumpai hal seperti itu. Lagu-lagunya berasal dari tradisi Eropa. Jelas ini adalah tantangan dan peluang bagi komponis gereja Lokal yang harus digerakkan dan dikoordinasi oleh komisi Liturgi untuk menciptakan lagu-lagu Advent.

Saya tidak begitu berbakat menciptakan lagu. Tetapi saya bisa menyumbang ide untuk isi syair. Misalnya dengan mengarahkan perhatian komponis pada sumber-sumber inspirasi untuk syair lagu Advent. Paling tidak untuk sementara ini saya melihat tiga sumber inspirasi yang boleh ditengok oleh komponis dan penyair.

Pertama, bacaan-bacaan liturgis yang dibacakan selama masa Advent. Liturgi Gereja Katolik menyusun sedemikian rupa teks-teks bacaan liturgisnya, sehingga memberi warna tersendiri untuk masa Advent itu. Kalau saya sebut bacaan liturgis, tentu yang saya maksud pertama-tama ialah liturgi ekaristi. Tetapi bisa juga menimba dari bacaan Offisi Ilahi. Kedua, doa-doa yang dipakai dalam dan selama masa Advent baik yang ada dalam buku bacaan Misa, maupun yang ada dalam buku Ofisi Ilahi. Perlu disadari bahwa dalam buku Ofisi Ilahi ada beberapa syair madah Advent yang indah. Isinya bisa dipergunakan sebagai sumber inspirasi bagi para komponis dan penyair untuk menyusun teks-teks lagu Advent.

Ketiga, sumber inspirasi itu bisa juga ditimba dari pernak-pernik praksis devosional selama masa Advent itu. Salah satu praksis devosional Advent ialah Corona Advent atau Lingkaran Advent. Ulasan dan penjelasan teologis tentang Corona Advent itu, bisa dipakai sebagai sumber inspirasi bagi teks lagu Advent. Hanya dengan cara ini, saya berharap bahwa masa Advent kita semakin bermakna, tidak lagi hanya kosong.

Mungkin praksis penghayatan Advent sudah tumpang tindih dengan masa persiapan Natal, tetapi hal itu tidak usah terlalu dicemaskan. Sebab masa penantian itu sejatinya “terarah” kepada yang dinantikan. Maka sukacita membayangkan tibanya yang dinantikan, bisa juga kita nikmati sekarang dan di sini dalam dan selama masa Advent.

Saturday, May 27, 2017

MASA PASKAH

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Beberapa hari lalu kita merayakan Hari Raya Kenaikan Tuhan Yesus ke surga. Sebentar lagi kita akan merayakan Hari Raya Pentakosta. Dengan itu maka masa Paskah akan berakhir dan kita akan segera memasuki masa biasa. Namun sebelum masa Paskah itu berlalu, saya mau memberikan sebuah catatan ringan tentang masa itu.

Dalam permenungan pribadi saya, Masa Paskah itu adalah sebuah masa yang sangat istimewa dalam rentang seluruh tahun liturgi kita. Mengapa ia sangat istimewa? Karena dalam rentang masa itu kita merayakan hari raya Kebangkitan Tuhan kita Yesus Kristus dari alam maut. Ia bangkit dan mengalahkan kematian. Kunci kerajaan maut telah ia dobrak.

Nah, untuk dapat melihat dan merasakan keistimewaan masa Paskah ini, ada baiknya kita membandingkannya dengan masa-masa yang lain di sepanjang tahun liturgi gereja. Sesudah masa biasa, masa paskah merupakan masa liturgis yang panjang. Kiranya itulah keistimewaan yang pertama walaupun dalam hal itu ia menduduki urutan kedua sesudah masa biasa (dalam hal rentang panjang waktunya). Perbedaan lain terletak dalam fakta bahwa masa Paskah itu sangat berbeda dari masa-masa yang lain. Manakah perbedaannya itu? Mari kita buat sebuah perbandingan sekilas dengan masa-masa yang lain dalam tahun liturgi gereja.

Pertama, Masa Advent adalah masa persiapan untuk Natal (persiapan menuju sesuatu yang lain). Tetapi para ahli teologi liturgi berkata bahwa masa adven itu pada dasarnya mempunyai fokus ganda: pertama, sebagai persiapan menuju hari raya Natal, dan kedua, sebagai sebuah persiapan antisipatif untuk menyongsong kedatangan Kristus untuk kedua kalinya (parousia) pada akhir jaman kelak. Jadi, yang satu itu bersifat jangka pendek, yaitu akan segera tiba atau terjadi setelah empat pekan (masa adven itu sendiri berlangsung selama empat pekan). Yang satunya lagi bersifat jangka panjang, yaitu baru akan terjadi kelak pada akhir jaman nanti. Atas dasar ini orang lalu biasa dan bisa berkata bahwa Perayaan Natal juga akhirnya mengandung nuansa eskatologis, mengarahkan perhatian dan mempersiapkan kita untuk menyongsong kedatangan Kristus untuk kedua kalinya pada akhir jaman kelak.

Kedua, masa prapaskah. Rentang masa ini juga adalah sebuah masa persiapan untuk hari Raya Paskah (persiapan menuju sesuatu yang lain). Sebagaimana halnya masa advent, masa pra-paskah yang juga disebut masa puasa (saya lebih suka akan sebutan ini, karena jelas sekali tujuan dan maksudnya) ini juga terarah kepada sesuatu yang lain yang lebih besar dan lebih tinggi. Masa biasa membentuk satu keseluruhan yang utuh terintegrasi. Masa ini membentang dari pesta pembaptisan Tuhan sampai hari Rabu Abu dan juga mulai dari hari Senin sesudah Pentakosta sampai hari Sabtu sebelum atau menjelang Minggu pertama masa Adven (yang tidak lain adalah tahun baru liturgi gereja).

Nah, berbeda dengan itu semuanya, masa Paskah itu bukanlah sebuah persiapan untuk sesuatu yang lain, untuk suatu hari raya misalnya. Ia adalah sebuah masa dalam dan untuk dirinya sendiri saja. Masa Paskah itu tidak lain adalah sebuah perpanjangan dari Hari raya yang baru saja dirayakan yaitu paskah. Seakan-akan gema alleluia paskah (yang kita serukan sejak malam Paskah itu) tidak cukup digemakan selama hari Minggu Paskah itu saja dan selama masa Oktaf Paskah saja, melainkan harus terus digemakan selama hampir limapuluh hari, atau tujuh pekanan. Seakan-akan seluruh masa limapuluh hari itu dirayakan sebagai satu hari raya saja, dalam mana orang menggemakan alleluia paskah tadi. Oleh karena itu, ada orang yang berkata bahwa seluruh masa itu boleh disebut satu kesatuan sebagai hari Minggu agung, the great Sunday.

Ya, itu adalah sebuah hari Minggu yang agung, dalam mana kita nyanyikan Alleluia dengan penuh semangat, dengan lantang dan riang gembira. Hari Raya paskah adalah hari raya penuh sukacita, penuh kegembiraan, penuh nada-nada optimisme, dan penuh dengan nuansa pengharapan.

Di sini saya tiba-tiba teringat akan kritik seseorang teragama agama Kristen (kalau tidak salah, Freud, atau malah Nietzsche, pokoknya salah satu dari mereka berdua) bahwa agama Kristen itu katanya membawa kabar sukacita, tetapi hari orang Kristen (setidaknya yang dilihat dan dialami sang kritikus tadi) sama sekali tidak mencerminkan nuansa sukacita dan pengharapan tersebut. Saya tidak mau repot-repot dengan upaya mengkritik balik atau menolak anggapan seperti itu. Saya hanya mau melihatnya secara positif saja, dengan pikiran dan kehendak yang baik: Mungkin pengamatan dia itu benar adanya, karena kita masih belum cukup kuat menghayati dan memancarkan rasa sukacita dan nuansa pengharapan yang ditandai dan dirahmati daya-daya kebangkitan itu.

Oleh karena itu, menjelang lewatnya masa paskah ini, saya menghimbau kepada kaum beriman semuanya, agar hidup kita hendaknya bahkan harusnya memancarkan kabar sukacita kebangkitan itu. Ayo bangkit. Ayo bangkit. Alleluya. Alleluya.


Kopo, 27 Mei 2017

Thursday, April 20, 2017

REGINA CAELI LAETARE

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Salah satu antifon Maria yang sangat indah dan terkenal untuk masa Paskah ialah antifon yang berjudul Regina Caeli. Secara pribadi saya sangat suka akan nada-nada dan kata-kata antifon Maria ini. Biasanya antifon ini dipakai sebagai penutup dari ibadat malam (completorium). Sebelum membahas lebih lanjut tentang hal ini ada baiknya saya beberkan terlebih dahulu teks lagu antifon itu selengkapnya di sini. Regina Caeli laetare, alleluya. Quia quem meruisti portare, alleluya. Resurrexit, sicut dixit. Alleluya, Ora pro nobis Deum, Alleluya. Salah satu versi terjemahan yang kita pakai ialah sbb: Hai Ratu Surga, bersorak alleluya, sebab Kristus yang telah kaukandung, alleluya. Sudah bangkit dengan sungguh, alleluya. Sudi doakan kami, alleluya. (Ada terjemahan lain dalam buku Completorium dari Rawaseneng: Ratu Surga, bersukacitalah Alleluya, Sebab Kristus yang telah kau kandung, Alleluya. Telah bangkit, seperti diramalkannya alleluya. Doakanlah kami, pada Allah, Alleluya).

Terlepas dari rasa suka saya secara pribadi akan antifon ini, tetapi setiap kali saya menyanyikan lagu ini saya kemudian bertanya-tanya kritis dalam hati, mengapa dikatakan Maria bersukacita? Apakah yang menjadi alasan Maria bersukacita? Apakah hal itu ada dasarnya di dalam Kitab Suci? Tetapi sebelum membahas hal ini, terlebih dahulu saya membahas sesuatu tentang asal-usul antifon ini. Menurut Henri Dumont (New Catholic Encyclopedia vol.12. Thompson-Gale and The Catholic University of America, 2002. p.29) secara tradisional antifon Maria ini dinyanyikan pada penutup Completorium pada Masa Paskah. Sejak tahun 1742, dengan dekrit dari Benediktus XIV, antifon ini juga sudah dipakai untuk memuncaki doa Angelus pada masa Paskah. Kemunculannya pertama kali ialah sebagai antifon Magnificat untuk Oktaf Paskah, sudah terlacak sejak sekitar tahun 1200. Tetapi baru pada pertengahan abad ketigabelas, antifon ini dipakai sebagai penutup Completorium.

Lalu saya kembali ke pertanyaan pokok saya di atas tadi. Mengapa dikatakan Maria bersukacita? Apa dasar sukacita Maria? Apa dasar historis-biblis bagi keyakinan yang terkandung dalam antifon ini bahwa Maria bersukacita? Untaian pertanyaan-pertanyaan itulah yang ingin saya bahas lebih lanjut dalam tulisan singkat dan sederhana ini.

Kita semua tahu bahwa pada sore hari Minggu Paskah berakhirlah sudah seluruh rangkaian Triduum Paskah (Triddum Sacrum) yang sudah dimulai pada hari Kamis Putih (sore ataupun malam, tergantung kapan Ekaristi Kamis Putih dimulai). Kamis Putih masih dilewati dengan rasa sukacita, rasa bahagia, sehingga orang bisa mementaskan cinta (agape). Jum’at Agung dilewati dalam duka, sunyi, dan luka, nestapa. Luka dan duka itu masih terus berlanjut pada Sabtu Paskah. Lalu pada hari Minggu Paskah, untaian itu dipuncaki dengan pekik sukacita mendengar kabar sukacita kebangkitan. Kira-kira begitulah untaian perasaan yang muncul dalam diri saya saat melewati untaian Triduum suci itu. Nah sekarang, pada hati Minggu, saya hampir tidak bisa membayangkan bagaimana mungkin penutupan Triduum Paskah ini berakhir tanpa melihat sosok santa Perawan Bunda Maria, yang hampir tidak pernah disebut dalam injil-injil perayaan paskah.
Tetapi syukurlah bahwa injil Yohanes masih cukup teliti mencatat kehadiran Bunda Maria yang berdiri di kaki salib, bersama dengan isteri Kleopas, dan Maria Magdalena (Yoh.19:25). Kita semua mendengar hal itu, karena hal itu dibacakan dalam kisah Sengsara (passio) pada hari Jum’at Agung. Dalam Passio itu kita mendengar sebuah kisah yang sangat menyentuh perasaan. Sebelum menyerahkan roh-Nya kepada Allah, Yesus menyerahkan dan mempercayakan ibu-Nya kepada “murid yang dikasihi-Nya”. Lalu selanjutnya dikatakan bahwa “sejak saat itu murid tadi menerima dia (Maria) di rumahnya.” (Yoh.19:26-27). Jadi, menurut Yohanes, betapa dekatnya Maria pada seluruh untaian peristiwa di Yerusalem itu (Fransiskus Borgias M., Saat-saat Terakhir Hidup Yesus Menurut Yohanes, Jakarta: Fidei Press, 2012).

Walaupun injil-injil tidak menyebut tentang Bunda Maria yang menyaksikan tentang peristiwa kebangkitan, tetapi secara religius-imajinatif kita dapat membayangkan bahwa Bunda Maria juga kiranya ikut serta mendengar kabar tentang penemuan fakta makam kosong itu. Pasti Maria juga tahu (karena ia sudah tinggal di rumah Yohanes) bagaimana Yohanes berlari ke lokasi pemakaman itu setelah mendengar kabar yang dibawa oleh Maria Magdalena. Kiranya kita juga bisa dengan mudah membayangkan bahwa bunda Maria sendiri mungkin saja hadir juga di taman tempat makam itu terletak. Hampir tidak ada alasan untuk menyingkirkan kemungkinan ini, sebab ia sendiri ada di dekat tempat itu.

Kiranya kita bisa mengisi “kekosongan” yang muncul karena bisunya para penginjil terkait dengan bunda Maria pada hari kebangkitan dengan imajinasi-religius kita. Misalnya kita bisa mengandaikan bahwa dia sendiri bisa saja mendapat kabar kebangkitan itu juga. Dan saat mendengar kabar itu, ia juga langsung percaya akan kabar itu. Kiranya mudah juga kita membayangkan dan bahkan menerima bahwa Kristus yang bangkit bisa saja telah menampakkan diri kepadanya juga bahkan untuk pertama kalinya sebelum kepada yang lain-lain tanpa harus menggembar-gemborkannya. Bagaimana pun juga, Bunda Maria adalah sang model murid yang menerima dan menyimpan Firman dan merenungkannya di dalam hatinya (Luk 2:51). Bunda Maria sendiri hadir di Kana tatkala Yesus untuk pertama kalinya berbicara tentang “saat” Dia (Yoh 2:4).
Kiranya dengan semua latar belakang seperti itu, kita dapat dengan mudah membayangkan bahwa Bunda Maria pun pasti sangat peka terhadap “tanda-tanda” lain yang dikerjakan oleh Anak-Nya dan memahami semua hal itu dalam terang sorotan Kitab Suci. Kiranya kita tidak usah mengganggu pelbagai meditasi dia dan keheningan dia, sebab para penginjil, khususnya Yohanes, menghormati meditasi dan keheningan itu justru dengan tidak berbicara apa-apa tentang hal itu. Begitulah cara saya menjelaskan fakta “kebisuan” para penginjil tentang kehadiran Bunda Maria di sekitar peristiwa Paskah.

Kelak kita akan menjumpai dia (Bunda Maria) lagi di Yerusalem, di ruang atas bersama dengan para murid dan beberapa orang perempuan yang lain. Di sana mereka berkumpul dan berdoa, sambil menantikan datangnya Roh Kudus (Kis 1:12-14). Setelah menyinggung tentang adegan ini, Kitab Suci tidak pernah lagi berkata sesuatu apapun tentang bunda Maria. Tetapi kita tidak dapat menyangkal fakta bahwa ia sudah terpilih menjadi bunda yang mengandung dan melahirkan sang penyelamat. Dan ia sendiri hadir di tengah-tengah dan bersama dengan para murid saat Gereja itu lahir (dalam dan melalui peristiwa Pentakosta itu). Walau ia memainkan peranan yang luar biasa agung seperti itu, bunda Maria tetaplah sosok seorang hamba Tuhan yang rendah hati dan hina-dina.

Kiranya itulah sebabnya, pada sore hari Minggu Paskah kita menyalami dia dan mengikutsertakan dia (sang Bunda) dalam sukacita seluruh kaum beriman karena peristiwa kebangkitan itu. Dengan pertimbangan itulah maka Gereja pun menyanyikan antipon “Regina Caeli” di atas tadi. Semua kaum beriman sangat bersukacita karena peristiwa kebangkitan itu. Bunda Maria, yang digelari sang Ratu Surgawi, juga turut serta diundang untuk terlibat dalam pesta yang penuh sukacita itu.


Taman Kopo Indah II, D4 No.40 Bandung.
Penulis: Teolog dan Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR Bandung.


Thursday, April 13, 2017

DOA BAPA KAMI PADA HARI JUM’AT AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Setiap tahun kita merayakan hari Jum’at Agung, salah satu dari tiga hari yang amat suci dalam tradisi Gereja (khususnya Katolik). Secara tradisional disebut “holy triduum” (Latin: Sacrum Triduum). Biasanya diterjemahkan “Trihari Suci” ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin di tempat lain disebut “Triduum Suci”. Pada hari itu gereja mengenang dan sekaligus juga merayakan sengsara dan wafat Tuhan kita Yesus Kristus. Itulah drama Getsemani, drama via dolorosa, drama tragedi Golgota, drama penyaliban, drama penikaman dengan tombak oleh seorang serdadu, drama penyuguhan anggur asam, drama wafat, dan akhirnya drama pemakaman Tuhan Yesus. Itulah yang kita dengarkan dalam Kisah Sengsara (Passio) menurut Yohanes yang memang menjadi bacaan wajib pada Hari Jum’at Agung (setelah dalam Hari Minggu Palma kita baca masing-masing dari ketiga Injil Sinoptik dalam tata urut tahun ABC). Setiap tahun dalam suasana hening meditatif (bahkan diam dan sunyi) gereja Katolik merayakan peristiwa itu dengan sebuah upacara yang disebut upacara Jum’at Agung.

Inti upacara itu ada tiga, yaitu upacara Sabda (Kisah Sengsara atau Passio tadi), upacara penyembahan Salib (veneratio crucis), dan akhirnya upacara penerimaan komunio tanpa konsekrasi, sebab sakramen mahakudus sudah dipersiapkan dalam perayaan ekaristi hari Kamis Putih kemarinnya. Itulah sebabnya dalam buku-buku teologi liturgi dalam bahasa Inggris hal itu disebut “the mass of the presanctified communion.” Rada sulit juga menerjemahkan ungkapan ini. Pokoknya yang dimaksudkan ialah komuni suci yang diterimakan kepada umat pada hari Jum’at Agung ini tidak dikonsakrir pada hari ini (sebab memang pada hari ini tidak ada perayaan ekaristi), melainkan sudah dikonsakrir dalam perayaan ekaristi Kamis Putih kemarin sore atau malam. Ini juga adalah sebuah simbolisme teologis yang kiranya nanti bisa dibahas pada kesempatan lain.

Selesai upacara penyembahan salib (yang didahului dengan perarakan salib dan penyingkapan salib dengan iringan lagu “ecce lignum crucis” itu) dalam suasana hening-meditatif imam mempersiapkan altar untuk menuju Komunio. Kemudian semua sibori yang menyimpan sakramen mahakudus dibawa masuk ke dalam gereja (kalau tabernakel sementara terletak di luar gereja, di ruang yang lain). Lalu semuanya ditempatkan di atas altar yang sudah dipersiapkan itu (Harus diingat bahwa altar dan kawasan panti imam, sejak selesai Perayaan Ekaristi Kamis Putih malam sebelumnya, sudah dibiarkan kosong dan tanpa hiasan seperti bunga-bunga dan juga kain penutup altar. Altar telanjang, polos. Ini juga adalah sebuah simbolisme teologis yang mempunyai makna yang dalam). Setelah semuanya selesai, maka imam selebran pun membuka untaian upacara selanjutnya dengan mengajak umat untuk mengucapkan doa Bapa Kami (sebagaimana yang memang biasanya dilakukan). Semuanya berlangsung tanpa iringan musik (sebab bunyi semua alat musik adalah tanda kegembiraan, padahal misteri yang kini dirayakan adalah misteri sengsara dan duka), melainkan dalam suasana hening-meditatif umat mengucapkan atau menyanyikan doa Bapa Kami tersebut.

Terkait dengan hal ini ada seorang teolog liturgi (dari abad yang lalu, yang bernama Abbot Gueranger OSB) yang pernah mengatakan bahwa Doa Bapa kami yang kita ucapkan atau kita panjatkan pada Hari Jum’at Agung adalah sangat unik, sangat istimewa, dan sangat luar biasa. Tetapi mengapa dia mengatakan demikian? Apa keistimewaan Doa Bapa Kami yang diucapkan pada hari Jum’at Agung ini? Bukankah kata-kata Doa itu tetap satu dan sama saja? Jika demkian, lalu apa keistimewanya? Beginilah kurang lebih jalan pikiran Abbot Gueranger. Kita semua tahu bahwa doa itu diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri kepada para muridNya yang memintaNya agar diajarkan sebuah doa karena melihat para murid Yohanes berdoa dan Yohanes sendiri juga mengajarkan doa kepada para muridnya (Mat.6:9-13; Luk.11:2-4). Dari para rasul kita mewarisi doa itu untuk kita pakai sebagai sebuah contoh atau model doa. Itulah sebabnya secara tradisional doa Bapa Kami itu disebut dengan sebutan Doa Tuhan, Oratione Dominica (dalam bahasa Latin), atau Lord’s Prayer (dalam bahasa Inggris. Konon dalam bahasa Arab disebut Sholat al-Robanniyah). Disebut demikian karena Tuhan Yesus sendiri yang mengajarkan doa itu kepada para muridNya dan melalui para murid itu juga akhirnya kepada kita semua. Di sepanjang sejarah gereja dan teologi Doa ini sering sekali menjadi bahan kajian dari para teolog, mulai dari para Bapa Gereja dulu hingga sekarang ini. Dewasa ini, salah satu pokok terbesar dalam buku Katekismus Gereja Katolik adalah tentang Doa Bapa Kami ini. Tiada henti-hentinya doa ini menjadi pokok kajian para teolog, termasuk teolog masa kini Paus Benediktus XVI.

Dan sekarang perhatikan baik-baik, demikian kata Gueranger melanjutkan penjelasannya. Dalam perayaan Hari Jum’at Agung ini, si Pemberi dan Pengajar doa itu sedang tergantung di salib dengan posisi tangan terentang antara langit dan bumi. Itu adalah salah satu posisi tangan yang sedang berdoa. Tangan terentang, dengan sedikit terangkat ke atas, ke langit, ke surga. Hal itu kita bisa membayangkan saat Yesus sudah mati di kayu salib, maka tubuhNya menjadi lemas. BadanNya pasti turun ke bawah, dengan demikian tanganNya terentang dan sedikit terangkat ke atas, karena telapak atau pun pergelangannya tertahan paku-paku. Posisi tangan seperti ini mengingatkan kita akan posisi tangan Musa, tatkala ia berdoa saat orang-orang Israel berperang melawan orang-orang Amalek (Kel.17:8-16). Dikatakan di sana, ketika tangan Musa turun karena menjadi lemah, maka Israel kalah. Tetapi ketika tangan Musa terangkat ke atas, maka Israel menang, Amalek kalah (ay.11-12). Saat kita mengucapkan atau menyanyikan doa Bapa Kami itu, sang Guru yang mengajarkan doa itu, kini seakan-akan sedang mengantarkan doa yang kita ucapkan doa itu kepada Bapa di surga, lewat tangan-tanganNya yang terentang dan sedikit terangkat ke atas, ke surga. Dalam artian itulah Doa Bapa Kami yang kita ucapkan dalam upacara Jum’at Agung sangatlah istimewa dan luar biasa. Rasanya, doa itu langsung sampai ke surga, ke hadapan hadirat Bapa sendiri karena Yesus sendiri yang mengangkatnya naik ke tahta Bapa di surga. Dalam imajinasi religius saya, rasanya gema-gema suara kita mengucapkan doa suci itu bagaikan asap kurban hamba Tuhan, Habel yang saleh, yang membubung naik lurus ke surga, ke hadapan tahta Allah (Kej.4:4). Sedemikian kuatnya simbolisme kurban Habel yang saleh ini, sehingga tidak heran bahwa simbolisme ini masuk ke dalam Doa Syukur Agung I. Setiap kali imam memakai Doa Syukur Agung I ini, maka kita akan selalu mendengarkan nama Habel tersebut diucapkan.

Kembali lagi ke doa Bapa Kami tadi. Dengan latar belakang seperti di atas tadi, maka saya bisa membayangkan bahwa kalau kita mengucapkan (menyanyikan) doa Bapa Kami ini dengan sungguh-sungguh pada upacara hari Jum’at Agung niscaya doa kita akan terkabul. Karena itu, saya sangat berharap agar pastor bersama umat mengucapkan doa ini dengan cara yang istimewa juga, berbeda dari yang biasa kita ucapkan sehari-hari. Pada hari Jum’at Agung Doa Bapa kami menjadi sangat manjur dan efektif. Sadar akan hal itu saya berharap agar umat mendoakan Doa Bapa Kami ini dengan sangat sadar, sambil merenungkan sengsara, wafat, dan pemakaman Tuhan. Kita tidak usah menambahkan permohonan khusus yang aneh-aneh pada saat itu, cukup memusatkan perhatian pada tujuh butir permohonan yang ada dalam doa itu: Pater Noster, qui es in Caelis, 1). Sanctificetur nomen Tuum, 2). Adveniat regnum Tuum, 3). Fiat voluntas Tua, sicut in caelo, et in terra. 4). Panem nostrum cotidianum da nobis hodie. 5). Et dimitte nobis debita nostra, sicut et nos dimittimus debitoribus nostris. 6). Et ne nos inducas in tentationem. 7). Sed libera nos a malo.


TAMAN KOPO INDAH D4 NO.40 BANDUNG.

Friday, March 31, 2017

PRAKSIS PUASA DAN PANTANG KITA

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Setiap kali masa puasa dan pantang tiba, maka saya selalu teringat akan praktek pantang dan puasa yang dulu pernah diajarkan oleh ayah dan ibu kami pada waktu kami masih kecil (usia sekolah dasar). Saya masih ingat, hari Rabu dan Jum’at selama masa puasa (Prapaskah), adalah hari-hari yang tidak terlupakan oleh saya. Dulu pada masa kecil kedua hari itu juga merupakan hari yang paling sulit bagi kami. Itu disebabkan karena pada saat makan siang di kedua hari itu, kami makan sayur tanpa garam. Menu hanya ada dua saja, nasi dan sayur. Sayurnya pun hambar (hebas, dalam bahasa Manggarai) karena tidak digarami. Lebih mudah rasanya makan nasi putih saja (puasa mutih) tanpa sayur, daripada harus makan nasi dengan sayur tetapi sayurnya hambar (tidak bergaram). Tetapi kami tidak boleh melakukan hal itu (makan nasi tanpa sayur yang hambar tadi). Kami harus makan sayur yang tidak bergaram itu. Benar-benar tidak enak rasanya. Itulah praktek pantang dan puasa kami pada waktu itu. Entah dari mana ayah dan ibu kami mendapat ide itu: mengurangi konsumsi garam (pantang garam). Bila sudah selesai makan siang, maka kami pun menanti makan malam dengan penuh rindu dan gairah sebab pada saat makan malam itulah nanti sayur sudah bergaram dan ada ikan juga. Daging tidak ada. Di samping saat itu daging memang langka di kampung kami saat masa kecil, daging juga dilarang pada masa pantang dan puasa.

Memang setiap kali masa prapaskah tiba, kita mencoba menerapkan beberapa praktek puasa dan pantang yang sudah lama dijalankan dalam tradisi Gereja Katolik. Salah satunya ialah pantang daging. Pertanyaannya ialah mengapa kita puasa dan pantang daging? Saya menyadari bahwa tidak mudah juga menjawab pertanyaan ini. Tetapi pertanyaan ini harus dijawab agar jangan sampai muncul suatu anggapan negatif seperti tuduhan manikeistik yang dualistik dan bersikap negatif terhadap kedagingan, kejasmanian, terhadap tubuh. Cukup lama saya mencoba mencari jawaban dan penjelasan terhadap hal ini.

Setelah cukup lama mencari dan menggali, akhirnya saya menemukan sebuah penjelasan yang menurut saya sangat menarik perhatian. Menurut pendapat saya tradisi itu mempunyai landasan juga dalam Kitab Suci. Jika hal ini memang benar maka kiranya perlu sebuah upaya eksegese atas teks-teks Kitab Suci agar kita bisa memahami tradisi itu dengan baik, dan sekaligus bisa terhindarkan dan teratasi anggapan dan tuduhan yang bercorak negatif dan dualistik tadi. Itulah yang ingin saya usahakan dalam dan melalui tulisan singkat dan sederhana ini.

Masa puasa (dan pantang) adalah satu kurun waktu sepanjang tahun liturgi yang dibaktikan secara khusus untuk melakukan laku tapa, sesal, dan tobat. Sesal dan tobat ini diwujud-nyatakan dengan puasa (yang juga harus dilengkapi dengan doa dan amal, sehingga ketiganya menjadi tiga tiang tonggak kesalehan alkitabiah). Puasa adalah wujud dari laku tapa dan tobat. Puasa adalah sebuah upaya pengendalian diri, yang orang berlakukan secara sukarela atas dirinya sendiri sebagai silih atas dosa-dosa. Selama masa puasa ini, praksis puasa itu dilaksanakan dengan mengikuti ketetapan hukum Gereja. Menurut ketetapan dan peraturan Gereja barat, puasa pada masa puasa (yang reguler) ini tidak lebih keras daripada puasa yang ditetapkan untuk pelbagai vigilia untuk beberapa pesta atau hari raya tertentu, dan untuk hari-hari yang ditetapkan secara khusus sebagai hari puasa (di luar masa puasa. Misalnya puasa pada hari menjelang Pesta Salib Suci 14 September). Dalam tradisi Katolik puasa pada masa Puasa itu harus dijalankan selama empatpuluh hari berturut-turut dengan istirahat selingan setiap hari Minggu, sebab pada hari Minggu kita tidak berpuasa. Hari Minggu adalah hari raya, yang tidak boleh ada puasa di dalamnya.

Puasa itu amat penting dan berguna. Kiranya hal itu sudah jelas dengan sendirinya. Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru penuh dengan pelbagai macam pujian akan praksis yang suci ini. Tradisi para bangsa pun menunjukkan bahwa puasa itu dihargai, dihormati, dianjurkan, diwajibkan. Tidak ada bangsa atau agama (walaupun dia sudah tergerus oleh modernitas) yang tidak terkesan dengan pendapat itu bahwa puasa itu penting. Orang percaya bahwa manusia bisa menyenangkan Allah-nya dengan menundukkan kepala dan mengarahkan tubuhnya pada laku tapa dan tobat.

Para Bapa Gereja (seperti St.Basilius Agung, St.Yohanes Chrysostomus, St.Hieronimus, dan St.Gregorius Agung), mengatakan bahwa perintah yang diberikan kepada orang tua kita yang pertama (maksudnya adalah Adam dan Hawa dan kaum keturunannya sampai sebelum Nuh) dalam firdaus duniawi dulu adalah perintah pantang (atau abstinence, yaitu menahan diri dari hal memakan daging). Menurut Kitab Suci, manusia pertama dulu tidak makan daging (Kej.1:29). Menurut teks ini, makanan manusia itu bukan daging (yang diambil dari tubuh hewan yang disembelih), melainkan hanya dari tumbuh-tumbuhan yang berbiji (gandum, padi, jagung, jelai, dan sejenisnya) dan pohon-pohonan yang buahnya berbiji (kira-kira seperti mangga, apel, pir, nangka, dan alpukat, dll). Tetapi ternyata mereka tidak melaksanakan perintah itu dengan baik. Faktanya mereka (orang tua pertama itu) membangkang (Kej 3:6-7). Akibatnya, mereka pun ditimpa oleh pelbagai macam kejahatan dan penderitaan. Anak-anak mereka pun terkena hukuman itu. Hidup sengsara (melarat) merupakan contoh yang kiranya paling jelas dari hukuman yang ditimpakan oleh Allah yang murka atas manusia yang tidak taat, manusia yang memberontak. Hidup sengsara (melarat) itulah yang harus dijalani oleh manusia yang adalah mahkota ciptaan (diciptakan paling akhir dan dinilai amat baik; Kej 1:31). Saat itu manusia harus hidup dengan bersandar pada bumi ini, suatu hidup yang susah dan berat karena bumi itu tidak menghasilkan apa-apa yang baik bagi manusia selain dari semak duri dan rumput duri dan tumbuh-tumbuhan di padang (thorns and thistles). (Kej 3:17-19).

Selama hampir duaribu tahun lebih, sebelum munculnya tragedi dramatis Air Bah itu (Kej 7-8), manusia tidak mempunyai makanan lain selain dari pada buah hasil dari bumi. Dan hasil bumi itu pun hanya bisa didapatkan dengan sebuah kerja keras dan berlelah-lelah dan dengan jerih payah. Saat itu usia manusianya masih panjang-panjang (Kej 5). Kemudian Allah, karena kasihan akan manusia, memperpendek usia hidup manusia, agar manusia itu tidak mempunyai waktu dan tenaga untuk berdosa ataupun berbuat jahat (Kej 6). Jadi, usia manusia pun diperpendek lagi agar jangan sampai manusia itu semakin jatuh dan jatuh di dalam dosa. Baru pada saat itulah Allah mengijinkan manusia untuk memakan daging binatang (Kej 9:3). Tetapi daging itu bukan makanan utama. Daging itu dimaksudkan sebagai nutrisi tambahan (ingat yah, tambahan, bukan yang paling pokok), saat daya kekuatan tubuh manusia itu semakin merosot dan memburuk. Baru pada saat itulah juga, Nuh, atas sebuah ilham ilahi, membuat minuman sari buah atau semacam jus (secara khusus dalam Kitab Suci disebut minum anggur; Kej 9:20). Hal itu membantu membentuk daya tahan yang kedua bagi kelemahan dan kerapuhan jasmani manusia. jadi, makanan tambahan itu ada dua: yang pertama ialah daging dan yang kedua ialah buah-buahan (termasuk sari buahnya, jus, ataupun semacam hasil penyulingan dan fermentasi).

Maka sesunggunya praksis puasa tidak lain adalah pantang atau menahan diri dari nutrisi-nutrisi tambahan seperti ini, yang pada awalnya hanya diijinkan sebagai nutrisi tambahan untuk menopang daya tahan tubuh. Pertama-tama, puasa ini terdiri atas pantang (menahan diri dari) daging ini, karena makanan ini diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai hukuman atas kelemahannya (yang menyebabkan dia jatuh), dan bukan terutama sebagai satu yang esensial yang bersifat mutlak untuk pemeliharaan dan penopang hidup. Artinya, kalau hal ini dikurangi ataupun ditiadakan juga tidak akan merusak apalagi sampai meniadakan (baca: mematikan) hidup manusia itu sendiri. Ia tetap bisa hidup, juga tanpa mereka (nutrisi-nutrisi tambahan tadi). Pengurangan atau peniadaan hal-hal tambahan ini, entah sebagian entah seluruhnya ataupun banyak, menurut aturan masing-masing gereja, merupakan hal yang pokok bagi gagasan puasa itu sendiri. Artinya ide puasa itu pasti harus ada unsur pengurangan atau bahkan peniadaan unsur-unsur tadi dalam makanan kita. Jadi, itu sebabnya kita tidak makan daging pada masa puasa dan pantang. Jika dilihat dengan cara seperti ini maka praksis puasa seperti itu mutlak harus dilakukan sebab itu adalah sebuah kewajiban. Biarpun orang tidak makan daging tiap hari (misalnya karena miskin), tetapi tidak makan daging pada masa puasa bagi orang Katolik adalah wajib. Jadi, tidak ada pembenaran seperti dalam kalimat seperti ini: “daging itu bukan makanan saya tiap hari. Jadi, kalau pada masa puasa saya dapat daging dengan mudah, maka saya boleh memakannya.” Itu tidak benar. Itu salah.

Dilihat dengan cara seperti ini, maka praksis puasa dan pantang daging itu bukanlah sebuah praksis manikeistis, yaitu penolakan daging karena daging itu negatif dan jahat dalam perspektif dualisme manikeis tadi. Praksis itu sangat biblis sebagaimana sudah dibentangkan secara sangat singkat di atas tadi. Itu sebabnya di daerah-daerah kantong-kantong Katolik tradisional di Eropa, tiga hari sebelum Rabu Abu (jadi mulai dengan Minggu, Senin, dan Selasa), ditandai dengan pesta kerakyatan yang dikenal dengan sebutan carnival. Konon, salah satu cara untuk menjelaskan arti dari Carnival ini ialah dengan menelusuri makna etimologisnya. Secara etimologis kata carnival ini berasal dari akar kata dalam bahasa Latin, Caro dan vale. Caro artinya daging, vale, artinya selamat tinggal. Artinya, untuk sementara selama 40 Hari, sejak hari Rabu Abu, orang mengucapkan selamat tinggal kepada daging, dan sejak itu orang tidak makan daging sampai masa puasa berlalu, sampai Hari Minggu Paskah.

Selama berabad-abad di gereja barat, telur dan susu juga tidak diijinkan, karena bahan-bahan itu dianggap atau diyakini termasuk dalam kategori makanan yang berasal dari tubuh hewan. Dewasa ini sudah ada kelonggaran untuk susu dan telur. Tetapi di gereja timur, kedua hal itu masih tetap tidak diperbolehkan pada masa puasa dan pantang. Dulu, pada masa awal Kekristenan, praksis puasa juga mencakup pengendalian diri dari minum anggur. Itu yang dapat kita baca dari informasi yang berasal dari orang-orang seperti Cyrillus, Basilius, Yohanes Chrysostomus, Theophilus dari Alexandria, dll. Di gereja barat, kebiasaan ini sudah tidak dipakai atau diikuti lagi. Orang-orang Kristiani timuran masih terus mempertahankannya lebih lama lagi, tetapi kemudian juga mereka menganggapnya sudah tidak wajib lagi untuk diikut alias mengikat.

Akhirnya, praksis puasa juga mencakup upaya mengurangi sebagian dari makanan kita yang biasa kita habiskan setiap hari. Misalnya kalau kita biasa dan bisa makan tiga kali sehari, maka dalam dan selama masa puasa orang cukup makan sekali saja. Di pelbagai tempat ada pelbagai macam penyesuaian dan modifikasi. Dewasa ini kita akrab dengan perintah makan kenyang satu kali saja. Perintah seperti ini bisa ditafsirkan sbb: cukup makan satu kali, tetapi makan sekenyang-kenyangnya. Tetapi bisa juga ditafsirkan sbb: tetap makan dua atau tiga kali, dari antara dua atau tiga itu, cukup satu kali saja yang makan kenyang. Yang lain makan setengah kenyang saja. Harus diakui bahwa ada banyak adaptasi yang sudah dilakukan sepanjang masa. Walaupun ada banyak adaptasi, tetapi inti perintah tetap sama, yaitu pengurangan jatah normal yang wajib maupun yang disukai.

Friday, March 3, 2017

HARI MINGGU PERTAMA MASA PUASA

Oleh: Dom Abbot Gueranger OSB
(penerjemah: Fransiskus Borgias M).



Pengantar Penerjemah:
Teks ini merupakan sebuah terjemahan agak bebas dari buku Abbot Gueranger OSB, The Liturgical Year, Lent, 1949. Westminster, Maryland: The Newman Press (pp.121-127). Ini adalah sebuah buku yang sudah sangat tua, buku kuno. Jadi, apa yang saya lakukan di sini adalah ibarat sebuah perjalanan ke masa silam. Ibarat menggali fosil, ibarat menambang, berharap menemukan batubara, tembaga, emas, permata, intan. Itu harapan saya. Sebuah proses belajar sendiri. Mungkin ada banyak yang tidak lagi kita ketahui, karena tidak lagi kita praktekkan. Tetapi dulu pernah ada. Banyak catatan dalam kurung untuk memperjelas isi dan maksud. Semoga berguna. Agar tidak rumit, maka semua catatan kaki yang ada dalam teks asli, saya masukkan sebagai bagian utuh dari teks dalam kurung. Sedangkan catatan yang berasal dari saya sebagai penerjemah akan diberi tanda, penerjemah dan dicetak miring. Maaf, terjemahan masih belum begitu halus. Di sana-sini masih terasa kaku, tetapi sebuah sebuah bahan dasar renungan dan pembelajaran kiranya sudah cukup memadai. Sekali lagi, semoga bermanfaat. (EFBE FRANSISKUS).



Hari Minggu ini merupakan yang pertama dari masa enam minggu dalam masa Puasa. Hari Minggu yang pertama ini merupakan salah satu dari yang paling agung di sepanjang tahun (Penerjemah: Dulu ada kebiasaan bahwa lagu pembuka pada Misa hari Minggu ini diganti dengan Litani Para Kudus. Itu karena Hari Minggu pertama ini adalah Gerbang Perdana menuju persiapan selama enam hari Minggu Puasa untuk menyongsong Hari Raya Paskah, hari Kebangkitan Tuhan Yesus, sumber dan dasar iman Kristiani. Oleh karena itu, gereja yang sedang berada dan berziarah di dunia ini mengundang juga persekutuan para kudus di surga, untuk bersama-sama dengan kita berkumpul bersama, menunggu di depan Gerbang Agung ini untuk menuju ke Puncak pesta iman dalam Paskah). Minggu pertama ini, bersama dengan hari Minggu yang lain dalam masa Puasa, memiliki kedudukan unggul yang melampaui semua hari pesta, bahkan pesta pelindung, santo-santa, ataupun pemberkatan gereja. Dalam pelbagai kalendar kuno, Minggu pertama ini disebut Minggu Invocabit. Nama itu berasal dari kata pertama yang dipakai dalam Doa Pengantar (Introitus) Ekaristi. Pada abad pertengahan (khususnya di Prancis), Minggu ini disebut Brand Sunday atau Minggu Agung. Disebut demikian, karena orang-orang muda, yang selama pesta Karnaval (Penerjemah: biasanya pesta karnaval itu diadakan pada hari selama tiga hari, mulai dari hari Minggu sampai Selasa sebelum Rabu Abu; dewasa ini masih bisa ditemukan di beberapa daerah kantong Katolik di Belanda dan Jerman dan juga di Brasil) mungkin sudah berlaku salah dan nakal, diwajibkan pada hari ini untuk datang ke gereja dengan membawa obor. Itu adalah pertanda bahwa mereka di depan umum sudah menunjukkan rasa sesal dan tobatnya karena keributan dan kegaduhan yang telah mereka timbulkan (dalam dan selama Karnaval. Penerjemah).

Masa puasa mulai dibuka secara sangat meriah dan agung pada hari ini. Kita sudah mencatat (dalam bagian lain dari buku ini. Penerjemah) bahwa keempat hari yang sudah lewat (maksudnya, Rabu Abu, Kamis, Jum’at, Sabtu; penerjemah) baru dimasukkan (sebagai bagian dari masa puasa, penerjemah) sejak jaman Santo Gregorius Agung. Tujuannya ialah agar jumlah hari puasa itu mencapai angka empatpuluh hari. Lagipula kita juga tidak bisa menganggap Hari Rabu Abu itu sebagai pembukaan agung untuk masa tersebut (Rupanya dulu memang tidak ada kewajiban bagi Umat untuk ikut mendengarkan Misa. Kiranya dewasa ini juga tidak demikian, terutama umat yang tinggal jauh dari pusat paroki. Penerjemah). Sebab (pada hari itu) umat beriman tidak diwajibkan untuk mendengarkan (mengikuti, penerjemah) Misa (Ekaristi, penerjemah). Gereja yang kudus, tatkala melihat anak-anaknya sedang berkumpul bersama (di gereja, pada hari Minggu untuk merayakan ekaristi, penerjemah), menyampaikan kepada mereka, dalam Ofisi Matituna-nya, kata-kata yang agung dan mengesankan dari santo Paus Leo Agung: “Harus menyampaikan kepada kamu, anak-anak terkasih, puasa yang paling suci dan paling utama, bagaimanakah caranya saya bisa memulainya dengan tepat, daripada dengan kata-kata dari sang rasul, dalam diri siapa Kristus sendiri sudah berbicara, dan dengan mengatakan kepadamu apa yang baru saja dibacakan: “Lihatlah! Sekarang inilah waktunya yang tepat; lihatlah! Saat inilah hari keselamatan.” Sebab walaupun (sesungguhnya, penerjemah) tidak ada satu waktupun yang tidak dipenuhi dengan rahmat ilahi, dan berkat rahmat Allah, kita bisa selalu masuk dan mendapatkan kerahiman-Nya, namun kita semua harus meningkatkan (menggandakan) upaya-upaya kita untuk menggapai kemajuan (perkembangan) rohani dan dijiwai dengan kepercayaan yang tinggi, tetapi sekarang saat peringatan dari hari penebusan kita sudah semakin mendekat, mengundang kita untuk membaktikan diri kita ke dalam banyak pekerjaan yang baik, agar dengan cara demikian kita boleh merayakan, dengan tubuh dan hati yang murni, misteri Sengsara Tuhan kita yang tiada taranya.

Adalah benar bahwa devosi dan penghormatan kita terhadap misteri yang sedemikian besar itu harus terus menerus dijaga sepanjang tahun, dan kita sendiri sepanjang waktu harus, dalam pandangan Allah, tetap sama tatkala kita semakin mendekati hari raya Paskah yang agung. Tetapi ini adalah sebuah usaha yang hanya sedikit orang dari antara kita berani menghadapi dan menanggungnya. Kelemahan daging menyebabkan kita sedikit melonggarkan sikap ketat kita; pelbagai macam kesempatan dalam hidup sehari-hari telah menyibukkan pikiran-pikiran kita; dan dengan demikian bahkan orang yang paling kuat pun menemukan bahwa hati mereka tersaput penuh oleh debu dunia ini. Itulah sebabnya Tuhan kita sudah dengan sangat tepat memberikan empatpuluh hari ini, yang praktek-prakteknya yang kudus kiranya bisa menjadi obat bagi kita, dan dengan cara itu kita pun mampu lagi menggapai kemurnian jiwa kita. Pekerjaan-pekerjaan yang baik dan puasa-puasa yang suci dalam masa ini ditetapkan sebagai suatu silih bagi, dan suatu pemusnahan dari dosa-dosa yang kita lakukan sepanjang tahun.

“Oleh karena itu, sekarang, saat kita akan memasuki hari-hari ini, yang penuh dengan banyak misteri, dan yang ditetapkan demi tujuan suci yaitu memurnikan tubuh dan jiwa, baiklah kita, umat terkasih, bertingkah-laku dengan penuh perhatian sebagaimana yang diminta sang rasul dari kita, dan membasuh diri kita dari semua kotor-cela dari tubuh dan juga dari roh: jadi itu adalah sebuah pertempuran antara dua unsur pokok yang dibuat menjadi tidak lagi begitu keras, jiwa, yang, ketika dia sendiri (jiwa) tunduk pada Allah, harus menjadi penguasa atas tubuh, akan memulihkan kembali martabat dan kedudukannya sendiri. Baiklah kita juga menghindarkan jangan sampai membuat seseorang tersinggung (marah), sehingga tidak akan ada seorang pun yang dipersalahkan atau mengucapkan hal-hal yang jahat tentang engkau. Sebab kita memang pantas mendapatkan peringatan-peringatan yang keras dari kaum tak beriman, dan kita menyebabkan lidah orang jahat mencela agama, ketika kita yang berpuasa justru mengarungi hidup yang tidak suci. Sebab puasa kita tidak sekedar terdiri atas hal menahan diri dari makanan; ia juga tidak bukan terutama sekali menyangkal makanan bagi tubuh kita; inti puasa kita ialah menahan jiwa kita dari dosa.” (Kotbah Keempat Masa Puasa. Tetapi tidak dijelaskan ini, kotbah dari siapa? Tetapi karena di depan tadi sudah disebut nama dari santo Leo Agung, maka mungkin kotbah ini berasal dari dia. Penerjemah).

Setiap hari Minggu dalam masa Puasa memberi kepada kita sebuah pesan dari Injil untuk kita renungkan. Pesan dari Injil itu sejalan dengan suasana dan citarasa yang diberikan oleh Gereja kepada kita. Hari ini dia (bunda Gereja. Penerjemah) melukiskan kepada kita perihal pencobaan Tuhan kita di gurun. Dalam pengajaran ini terkandung sebuah terang dan dorongan yang mengagumkan bagi kita.

Kita sendiri mengakui bahwa kita adalah para pendosa; pada waktu ini, kita terlibat dalam mengupayakan penebusan atas dosa-dosa yang telah kita lakukan; tetapi bagaimanakah caranya kita telah jatuh ke dalam dosa? Setan menggoda kita; kita tidak menolak godaan itu; lalu kita pun tunduk mengalah pada godaan itu, dan pada saat itulah dosa pun terjadi. Ini adalah sejarah masa silam kita; dan demikinalh juga halnya kelak di masa yang akan datang, kalau kita tidak menimba pelajaran yang diberikan kepada kita hari ini oleh Penebus kita.

Tatkala sang rasul berbicara tentang kerahiman yang mengagumkan yang ditunjukkan kepada kita oleh sang Penyelamat kita yang suci, yang telah rela membuat DiriNya sendiri menjadi sama dengan kita dalam segala hal kecuali dosa, ia dengan tepat telah menekankan pencobaan-pencobaan yang telah Ia alami (Ibr.4:15). Dia, yang adalah Allah, telah menghampakan Diri sampai serendah-rendahnya, hanya untuk membuktikan betapa sangat lembut Ia menghasihi kita. Maka di sini, kita melihat sang Santo dari segala santo sedang membiarkan roh jahat mendekati Dia, agar kita bisa belajar, dari teladanNya, bagaimana kita bisa menggapai kemenangan dalam pencobaan.

Setan sudah lama memandang (bahkan mengintai atau mengincar. Penerjemah) Yesus; setan itu sangat merasa terganggu saat menyaksikan keutamaan-keutamaan yang tiada bandingnya. Misalnya, situasi lingkungan yang sangat mengagumkan saat Ia lahir; para gembala yang dipanggil oleh para malaekat untuk datang ke palungan-Nya, dan orang-orang Majur dituntun oleh bintang; sang Bayi pun luput dari rencana jahat Herodes; kesaksian yang diberikan oleh si Nabu baru ini oleh Yohanes Pembaptis: semua hal ini, yang tampaknya sangat maju juga selama masa tiga puluh tahun yang dilewatkan dalam ketidak-tahuan (maksudnya: tertutup dari mata publik, karena hidup dan tinggal di kampung. Penerjemah) di Nazaret, merupakan sebuah misteri bagi sang ular dari neraka itu, dan membuat dia akhirnya menjadi cemas juga. Misteri Inkarnasi yang tidak terselami sudah terjadi tanpa ia (ular tadi) ketahui juga; ia (ular penggoda tadi) juga tidak pernah sekalipun curiga bahwa sang Perawan yang rendah hati, Maria, adalah dia yang sudah dinubuatkan oleh nabi Yesaya, bahwa ia akan mengandung dan melahirkan sang Immanuel (Yes.7:14); tetapi ia sadar bahwa waktunya sudah tiba, bahwa minggu terakhir yang dimaksudkan Daniel itu sudah mulai datang, dan bahwa orang-orang kafir sedang memandang ke Yudea untuk lahirnya seorang pembebas. Ia takut akan Yesus ini; ia berusaha keras (ingin sekali. Penerjemah) untuk berbicara dengan Dia, dan berusaha memperoleh dari Dia beberapa ungkapan yang kiranya bisa menunjukkan kepada dia apakah Dia itu memang Anak Allah atau tidak; dia akan mencobai Dia kepada beberapa tindakan dosa, yang, kalau saja Ia perbuat, akan bisa membuktikan bahwa objek dari sebuah ketakutan yang besar, bagaimana pun juga, membuktikan bahwa dia adalah Manusia yang fana belaka.

Musuh Allah dan manusia ini, tentu saja, kecewa berat. Ia mendekati Yesus; tetapi semua upaya yang ia lakukan semakin membuat ia sendiri bingung. Penebus kita, dengan semua pengendalian-diri dan sejumput keagungan sebagai Allah-Manusia, menolak semua serangan setan itu; tetapi Ia tidak menyingkapkan asal-usul surgawiNya. Lalu roh jahat itu pun mundur tanpa menemukan sesuatu apa pun yang melampaui hal ini – yaitu bahwa Yesus adalah nabi, yang setia kepada Allah. Kemudian, tatkala ia melihat Anak Manusia diperlakukan dengan hina, difitnah dan disiksa; tatkala dia menemukan bahwa upaya-upaya dia sendiri untuk membuat dia dihukum mati sungguh berhasil: maka kebanggaan dan kebutaan dia pun semakin menjadi-jadi dan mencapai puncaknya; dan sebelum Yesus wafat di kayu salib, ia baru tahu bahwa korban dia itu bukan hanya Manusia biasa, melainkan Manusia dan Allah. Pada saat itulah dia menemukan betapa semua rancangan jahatnya melawan Yesus justru telah berfungsi untuk memperlihatkan, dengan sangat indah, kerahiman dan keadilan Allah: Kerahiman Dia, karena Ia menyelamatkan umat manusia; dan keadilan Dia, karena Ia mematahkan kuasa neraka untuk selama-lamanya.

Semuanya ini adalah rancangan dari Penyelenggaraan ilahi yaitu membiarkan roh jahat untuk merusak, dengan kehadirannya, ketidak-hadiran Yesus, berbicara kepada Dia, dan menimpa Dia. Tetapi baiklah kita merenungkan dengan penuh perhatian tiga godaan itu dalam semua situasi kongkretnya; sebab Penebus kita mengalaminya hanya dengan maksud agar Dia bisa mengajar dan mendorong kita.

Kita mempunyai tiga musuh untuk dilawan; jiwa kita menghadapi tiga bahaya; sebab, sebagaimana dikatakan oleh murid yang terkasih itu, semua yang ada di dalam dunia, yaitu keinginan daging dan keinginan mata serta keangkuhan hidup! (1Yoh.2:16). Yang dimaksudkan dengan keinginan daging ialah cinta akan hal-hal jasmani, yang mendambakan apa saja yang dapat disetujui oleh daging, dan, ketika tidak dikendalikan, akan menyeret jiwa itu ke dalam kesenangan-kesenangan yang tidak sah (tidak sepatutnya. Penerjemah). Keinginan mata mengungkapkan cinta akan barang-barang dari dunia ini, seperti kekayaan dan harta benda; semuanya ini menyilaukan mata, dan pada gilirannya menggoda hati. Keangkuhan hidup adalah rasa percaya akan diri kita sendiri, yang mendorong kita ke arah kesia-siaan dan sombong, dan membuat kita lupa bahwa semua yang kita miliki, hidup kita dan setiap pemberian yang baik, kita peroleh dari Allah semuanya.

Setiap dosa kita datang dari salah satu dari ketiga sumber tadi; setiap godaan yang kita alami tertuju untuk membuat kita menerima (menyetujui) keinginan daging, keinginan mata, dan keangkuhan hidup. Maka, sang Penyelamat kita, yang akan menjadi model kita di dalam segala sesuatu, berkenan membaktikan DiriNya sendiri kepada ketiga pencobaan ini.

Pertama-tama setan mencobai Dia terkait dengan daging: dia (setan) mengusulkan kepada Dia untuk memuaskan dorongan rasa lapar, dengan mengerjakan sebuah mukjizat, yaitu mengubah batu menjadi roti. Kalau Yesus setuju, dan memperlihatkan rasa semangat untuk menyerah kepada dorongan Tubuh-Nya, maka sang penggoda akan menyimpulkan bahwa Dia hanyalah sekadar sosok makhluk fana belaka yang rapuh, yang tunduk pada keinginan seperti halnya manusia yang lain juga. Ketika ia (setan) mencobai kita, yang telah mewarisi keinginan yang jahat dari Adam, maka usul-usul dia (setan tadi) melangkah lebih jauh dari hal ini: ia berusaha untuk mengotori jiwa melalui badan. Tetapi kekudusan yang tinggi dari sang Sabda yang Menjelma tidak pernah membiarkan si setan itu memakai sebuah kekuasaan atas Yesus yaitu kekuasaan yang telah ia terima saat mencobai manusia dalam indra-indra luarannya. Maka pelajaran yang diberikan kepada kita oleh sang Anak Allah di sini, ialah pelajaran mengenai pengendalian-diri: tetapi kita tahu bahwa, bagi kita, pengendalian diri adalah induk dari kemurnian, dan bahwa ketidak-mampuan untuk mengendalikan diri justru mendorong indra-indra kita untuk memberontak.
Godaan kedua ialah keangkuhan; “Jatuhkan diriMu ke bawah, dan malaekat akan menopang Engkau dengan tangan mereka”. Sang musuh ingin sekali melihat kalau-kalau perkenanan surga telah menghasilkan dalam diri Yesus sebuah jiwa yang angkuh, yaitu suatu rasa percaya-diri yang tidak tahu bersyukur, yang menyebabkan makhluk ciptaan merebut pemberian-pemberian Allah bagi dirinya sendiri, dan melupakan sang pemberi yang maharahim itu. Di sini, juga, dia (setan) itu gagal; kerendahan hati sang Penebus kita mengacaukan keangkuhan dari malaekat pemberontak itu.
Kemudian dia (setan) melakukan ikhtiarnya yang terakhir: ia berharap agar kali ini bisa berhasil dengan cara mengganggu segi ambisiNya, sebab Dia sudah terbukti teguh dalam hal pengendalian diri dan kerendahan hati. Ia pun menunjukkan kepada Dia semua kerajaan di bumi ini, dan kemuliaan dari kerajaan itu; lalu ia pun berkata kepadaNya: “Semuanya ini akan kuberikan kepadaMu, asal saja Engkau berkenan menyembah aku.” Yesus menolak tawaran yang kurang ajar itu, dan mengusir dariNya si penggoda itu, pangeran dari dunia ini (Yoh.14:30); dengan cara ini ia mengajar kita bahwa kita harus menghinakan kekayaan dari dunia ini, sesering upaya kita untuk mendapatkan dan menyimpan mereka dengan syarat bahwa kita melanggar hukum Allah dan menyembah setan.

Tetapi baiklah kita perhatikan bagaimana sang Model ilahi kita, sang Penebus kita, mengatasi si penggoda itu. Apakah Dia mendengarkan perkataan-Nya? Apakah Dia membiarkan saat penggodaan itu, dan memberinya kekuatan dengan cara menundanya? Kita justru berbuat demikian, saat kita digoda; maka kita pun jatuh. Tetapi Tuhan kita dengan segera menghadapi setiap pencobaan dengan pedang dari sabda Allah. Ia pun mengatakan: “Dalam Kitab Suci ada Tertulis: “Manusia tidak hanya hidup dari roti saja.” Ada tertulis: “Engkau jangan mencobai Tuhan Allahmu.” Ada juga tertulis: “Engkau harus menyembah Tuhan Allahmu, dan hanya Dialah yang patut disembah.” Hal inilah yang harus menjadi praktek kita di waktu yang akan datang. Hawa mendatangkan kekalahan atas dirinya, dan atas seluruh bangsa manusia, karena ia mendengarkan ular itu. Dia yang bermain-main dengan godaan pasti akan jatuh. Sekarang ini kita berada dalam sebuah masa yang sangat penuh rahmat; hati kita pun harus berjaga-jaga, saat-saat yang berbahaya disingkirkan, segala sesuatu yang berbau keduniaan haruslah disingkirkan; jiwa kita, yang dimurnikan dengan doa, berpuasa, dan perbuatan amal sedekah, akan bangkit dengan Kristus, kepada sebuah hidup baru; tetapi apakah kita mampu bertahan? Semuanya tergantung pada bagaimana kita bersikap di dalam menghadapi pencobaan. Di sini pada permulaan masa Puasa ini, Gereja memberi kita pesan ini dari Injil Suci, agar kita tidak hanya memiliki perintah melainkan juga teladan. Kalau kita bersikap penuh perhatian dan setia, maka pelajaran yang ia (bunda gereja) berikan kepada kita akan menghasilkan buahnya; dan ketika kita datang ke perayaan agung Paskah, maka kita pasti akan menikmati janji-janji ketekunan ini: ketekunan berjaga, pengendalian-diri, doa, dan bantuan rahmat ilahiyang tidak pernah sia-sia.

Gereja Yunani, kendati prinsip yang ia pegang untuk tidak pernah mengakui atau membiarkan adanya sebuah pesta selama masa Puasa, toh pada hari Minggu pertama Puasa ini merayakan salah satu dari hari-hari rayanya yang terbesar. Hal ini disebut Orthodoxia, dan yang dipatenkan di dalam ingatan akan pemulihan patung-patung di Konstantinopel dan kekaisaran timur, pada tahun 842, tatkala Kaisar Theodora, dengan dibantu oleh Patriark yang agung Methodius, menghentikan pengejaran Ikonoklas, dan memulihkan kepada gereja-gereja patung-patung kudus yang telah dibuang jauh oleh murka kaum bidaah itu.

Taman Kopo Indah II Blok D4 No.40 Bandung, 40218, Jawa Barat.

Saturday, May 26, 2012

PREFASI HARI RAYA PENTAKOSTA

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Dalam perayaan Liturgi, ada banyak alasan yang dapat kita pakai untuk bersyukur kepada Allah. Salah satunya ialah alasan bahwa kita hidup dan bernafas. Hidup dan nafas (nefesy) kita adalah anugerah dari Allah sendiri yang patut terus menerus disyukuri. Pada hari ini, alasan untuk bersyukur itu ialah karena Hari Raya Pentakosta. Itulah yang dikatakan dengan eksplisit dan lantang dalam Prefasi yang kita dengar hari ini dinyanyikan imam (Prefasi pada hari Raya harus dinyanyikan). Mengapa kita harus bersyukur pada Hari Raya Pentakosta ini? Di dalam Prefasi ini diberikan sebuah alasan teologis yang sangat penting dan mendasar. Alasan itu ialah karena Hari Raya Pentakosta adalah “mahkota Perayaan Paska.” Kita yakin bahwa Tuhan sendirilah yang telah menetapkan Hari Raya Pentakosta ini sebagai mahkota Perayaan Paska. Fakta itulah yang menjadi alasan bagi kita untuk bersukaria, untuk memuji Allah dan bersyukur kepada Allah. Tetapi apa mahkota itu? Mahkota itu ialah anugerah Roh Kudus itu sendiri. Allah menganugerahkan Roh Kudus itu kepada persekutuan umat. Umat itu adalah umat yang dipanggil dan dikumpulkan serta dibentuk oleh Tuhan sendiri, sebagaimana dinyatakan di sana: umat itu adalah hasil karya kasih Allah juga. Allah-lah yang telah menggabungkan mereka dengan sang Putera. Lebih jauh dikatakan bahwa Allah-lah yang mengangkat umat mejadi anak-anak-Nya sendiri. Luar biasa. Tidak ada alasan lain lagi yang lebih mendalam dan lebih mendasar dari hal itu untuk bersyukur kepada dan memuji Allah. Selain itu pada Hari Raya Pentakosta kita juga merayakan hari lahir Gereja. Ya, Pentakosta adalah hari jadi Gereja. Gereja mulai hidup dan berada, mulai menjadi, sejak peristiwa Pentakosta itu. Jadi, gereja adalah gereja yang bercorak pentakostalis karena ia lahir dari dan karena kedatangan Roh Kudus. Peristiwa kedatangan Roh Kudus itu memeterai hari jadi Gereja.

Roh Kudus yang datang pada Hari Raya Pentakosta ini melakukan beberapa tugas atau karya agung. Pertama, Roh Kudus menerangi semua bangsa dengan pengertian Allah yang benar. Artinya Allah sendiri yang memberi pengertian yang benar, dan hal itu membawa efek terang bagi para bangsa. Kedua, Roh Kudus itu menyatu-padukan seribu satu bahasa dalam pengakuan ima yang satu dan sama. Kata “menyatu-padukan” di sini sangat penting. Hal itu serta merta membawa ingatan kita jauh-jauh ke masa silam yaitu ke peristiwa Babel sebagaimana dilukiskan dalam Kitab Kejadian (Kej.11). Dari kisah dalam Kitab Kejadian itu kita tahu bahwa bahasa anak manusia di muka bumi ini telah dikacau-balaukan oleh Tuhan sehingga mereka tidak bisa mengerti satu sama lain dan dari sana timbul perpecahan, timbul konflik atau pertikaian, karena mereka sudah tidak bisa memahami satu sama lain. Sekarang, apa yang dulu dikacau-balaukan dalam peristiwa menara Babel yang terkenal itu, karena drama keangkuhan dan ambisi manusia yang mau naik ke surga, kini dapat dipulihkan kembali pada jaman gereja, dengan peristiwa turunnya Roh Kudus ke atas mereka di bumi ini. Seluruh muka bumi pun bersukacita karena dilimpahi sukacita Paskah. Itulah yang dapat kita dengar dari Bacaan Pertama pada hari ini yang diambil dari Kisah Para Rasul 2:1-11. Nanti buah hidup dalam Roh itu (Bacaan II) akan disinggung di bagian akhir tulisan ini yang akan dipertentangkan dengan hidup di dalam daging.

Jika selama novena Roh Kudus kita dengan tekun dan kuhsyuk berdoa memohon sapta karunia Roh Kudus, maka pada hari ini Roh Kudus yang sudah turun itu membaharui muka bumi, sebagaimana yang kita gemakan dalam Mazmur Antar Bacaan (baik Refrein maupun ayat-ayatnya; begitu juga dengan Alleluia, bait pengantar injil). Inilah ketujuh karunia Roh Kudus itu, yang dibeberapa tempat didoakan selama masa novena Pentakosta ini: Roh Hikmat, Roh Pengertian, Roh Nasihat, Roh Keperkasaan, Roh Pengenalan Akan Allah, Roh Kesalehan, Roh Takut akan Allah (Doa memohon ketujuh Karunia Roh Kudus itu dapat ditemukan dalam buku Puji Syukur No.93). Ketujuh karunia Roh itu adalah roh yang menyertai Imanuel tatkala Ia datang ke bumi ini, sebagaimana pernah dinubuatkan nabi Yesaya (Yes.11:2-3, yang diangkat oleh G.H.Haendel menjadi salah satu teks untuk karya agungnya The Messiah). Praksis kesalehan Katolik sangat menarik perhatian karena selalu ada angka tujuh yang terkait satu sama lain. Selain Sapta Karunia Roh Kudus ini, kita juga mengenal ketujuh sakramen. Selain itu kita juga mengenal ungkapan ketujuh kebajikan Kristiani (yang terdiri atas empat kebajikan kodrati dan tiga kebajikan adikodrati). Akhirnya kita juga punya angka tujuh lain yaitu tujuh dosa pokok. Jadi, walaupun ada tujuh dosa pokok, seharusnya ketujuh dosa pokok itu, direlativir oleh tiga kelompok angka tujuh yang lain yang dapat membantu kita mengatasi dosa kita, yang dapat membawa kita kepada idealisme kesempurnaan hidup sebagaimana dituntut oleh Tuhan Yesus sendiri dalam injil Matius (Mat 5:48: yang bunyinya kurang lebih demikian, “Hendaklah kamu menjadi sempurna, sama seperti Bapamu yang di surga adalah sempurna”). Mengingat kesemuanya itu, tradisi Katolik selalu optimis bahwa hidup berkebajikan itu adalah mungkin, menjadi sempurna dalam hidup ini adalah mungkin karena, walaupun kita ditarik ke bawah oleh ketujuh dosa itu, tetapi serentak kita juga selalu diangkat ke atas oleh tiga kelompok angka tujuh yang lain (tujuh karunia Roh Kudus, tujuh sakramen, tujuh kebajikan).

Nah, Hari Raya Pentakosta yang kita rayakan pada hari ini, mengingatkan kita semua sekali lagi akan hal itu semua, agar jangan sampai kita mudah melupakannya. Kita harus selalu hidup dalam Roh dan Kebenaran yang memerdekakan (Yoh.8:32), dan Roh yang mendatangkan buah-buah yang baik seperti dikatakan dalam Galatia itu (Gal.5:22-23: Tetapi buah Roh ialah: kasih, sukacita, damai sejahtera, kesabaran, kemurahan, kebaikan, kesetiaan, kelemahlembutan, penguasaan diri). Tentu sangat diharapkan bahwa dengan daya pengaruh karya Roh Ilahi ini, kita semua dijauhkan dari kecenderungan untuk hidup dalam dan menurut daging yaitu: percabulan, kecemaran, hawa nafsu, penyembahan berhala, sihir, perseteruan, perselisihan, iri hati, amarah, kepentingan diri sendiri, percideraan, roh pemecah, kedengkian, kemabukan, pesta pora (Gal.5:19-21a). Selamat Hari Raya Pentakosta. Selamat hidup di dalam Roh dan Kebenaran.

Yogyakarta, 29 April 2012

Thursday, December 29, 2011

PREFASI NATAL I, II, III

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Para sabahat dan pembaca nan budiman dan terkasih. Pada masa Natal ini, perkenankan saya menampilkan kepada para pembaca sekalian sebuah refleksi singkat dan sederhana mengenai Prefasi yang dipergunakan selama perayaan Ekaristi pada Masa Natal. Buku Tata Perayaan Ekaristi kita menyediakan tiga Prefasi Natal (yaitu Prefasi Natal I,Prefasi Natal II, dan Prefasi Natal III). Pada kesempatan ini saya akan berusaha mencoba menggali barang sedikit kandungan warta, keyakinan, dan pandangan teologis yang ada di dalam ketiga Prefasi itu. Saya ingin melihatnya sebagai satu kesatuan tematis yang sambung menyambung dalam sebuah catatan ringan di sini. Fokus utama ketiga prefasi itu pada dasarnya ialah misteri peristiwa inkarnasi itu.

Saya mulai dengan Prefasi Natal I. Prefasi Natal I ini mempunyai judul kecil yang sangat penting dan menarik; judul kecil ini merupakan salah satu kunci untuk dapat memahami seluruh arah dasar dan isi Prefasi ini. Judul kecil itu ialah sbb: Yesus Sang Terang. Jadi, prefasi ini mau memperkenalkan dan mewartakan tentang Yesus Kristus sebagai sang Terang atau Cahaya. Sebutan atau gelar ini serta mengingatkan saya akan salah satu sebutan mengenai Allah dalam Credo kita: Deum de Deo, Lumen de Lumnine. Jika Yesus diwartakan sebagai Terang atau Cahaya, maka hal itu berarti Ia adalah Allah. Sebelum melangkah lebih lanjut, sebaiknya saya memberi sebuah keterangan umum mengenai ketiga Prefasi ini, yaitu bahwa Ketiga Prefasi Natal ini mempunyai keterangan rubrik yang sama. Dalam rubrik itu ada keterangan mengenai kapan ketiga prefasi natal ini dipakai. Rubrik ini menunjuk pada dua saat penting pemakaian ketiga Prefasi ini. Pertama, dikatakan bahwa Prefasi ini dipakai dalam Perayaan Ekaristi Hari Raya Natal dan Selama Oktaf Natal, termasuk yang biasanya mempunyai prefasi khusus, kecuali kalau prefasi khusus itu menyangkut misteri ilahi atau pribadi ilahi. Artinya jika dalam prefasi itu disinggung misteri atau pribadi ilahi maka tidak usah diganti; jika tidak maka harus diganti dengan Prefasi yang eksplisit ini. Kedua, prefasi ini juga dipakai dalam Perayaan Ekaristi harian sepanjang Masa Natal (TPE, hal.50, 51,52).

Selama ini kita semua sudah tahu bahwa bagian Protokol prefasi selalu mengungkapkan kewajiban fundamental rasa syukur kita kepada Allah yang disusul dengan penjelasan mengenai alasan untuk rasa syukur itu. Pada Prefasi Natal I ini alasan bersyukur itu ialah misteri inkarnasi, yaitu misteri Sabda menjadi manusia, misterium verbum caro factum est. Itulah peristiwa paling fundamental dari iman Kristiani, karena dengan dan melalui peristiwa itu kita percaya bahwa Allah telah memancarkan keagungan-Nya yang tidak terperikan ke hadapan kita. Ia yang bertahta dalam terang yang tiada terhampiri, kini menjadi bisa kelihatan. Buah hasil dari proses penyingkapan itu ialah bahwa kita dapat mengenal Allah yang tidak kelihatan, melalui wujud Putera-Nya yang tidak lain adalah sang Juru Selamat kita, Yesus Kristus. Itulah sebabnya peristiwa ini sangat penting dan sangat fundamental bagi kita dan bahkan bagi seluruh umat manusia. Maka tidaklah mengherankan bahwa misteri inkarnasi ini kita rayakan dengan sangat meriah dan semarak. Bahkan menurut penetapan TPE, kita harus membungkukkan badan (tidak hanya sekadar menundukkan kepala) pada saat kita mengucapkan misteri itu di dalam Credo kita tepat pada saat kita mengucapkan frasa berikut ini: “...yang dikandung dari Roh Kudus dan dilahirkan oleh Perawan Maria.” Penetapan itu berlaku untuk Perayaan Ekaristi hari Minggu biasa pada umumnya. Sedangkan khusus pada perayaan Ekaristi Natal ditetapkan bahwa kita mengucapkan hal itu dengan berlutut. Itu adalah sebuah tanda hormat yang sangat tinggi terhadap misteri inkarnasi itu. Sayang, belum semua gereja, dan belum semua pastor menyadari adanya penetapan seperti itu dalam TPE kita, dan karena itu mereka juga belum melaksanakannya dengan sebaik-baiknya. Padahal hal itu sangat penting dan mendasar.

Selanjutnya dikatakan bahwa sinar surgawi, yaitu Yesus Kristus sendiri menembus kabut yang selama ini telah menutup dan menyelimuti hati dan budi manusia. Agnostos Theos menjadi Gnostos Theos. “Allah yang tidak dikenal” menjadi “Allah yang dapat dikenal.” Itu semua dapat terjadi berkat peristiwa inkarnasi. Peristiwa inkarnasi ini mempunyai efek yang sangat besar bagi cakrawala penghayatan iman kita. Yaitu berkat peristiwa itu maka terbukalah sebuah cakrawala baru yang sangat luas terbentang dalam perspektif penghayatan iman dan pengharapan kita. Pada gilirannya kita pun dapat mendambakan kasih karunia dan keselamatan Allah, sesuatu yang tadinya sangat gelap dan hampir tidak terbayangkan, tetapi kini menjadi terang benderang karena kabut tebal itu telah ditembusi oleh cahaya surgawi itu sendiri. Itulah alasan yang paling mendasar mengapa bagi kita untuk ikut serta dalam kidung pujian para malaekat dalam liturgi agung dan abadi mereka di surga dengan memadahkan kidung tresahion atau the tripple holy itu sekarang dan di sini selama hidup kita di dunia ini.

Sekarang saya mau mengulas sedikit mengenai Prefasi Natal II. Prefasi ini mempunyai judul kecil yang menarik dan juga pasti sangat penting sebagai kunci untuk dapat memahami pesan dan warta dasar Prefasi ini. Judul kecilnya ialah: Segala Sesuatu Dibarui Karena Penjelmaan Kristus. Jadi, warta dasarnya ialah mengenai Pembaharuan karena misteri Inkarnasi. Keterangan mengenai rubrik sudah tercakup di bagian awal tulisan singkat dan sederhana ini. Prefasi ini selanjutnya memberi segi yang lain dari alasan untuk ekspresi rasa syukur kita kepada Allah. Tetapi sesungguhnya masih berkutat di sekitar misteri peristiwa inkarnasi itu juga, sebagaimana sudah ditetapkan pada awal tulisan ini. Natal adalah perayaan misteri Kelahiran sang Putera, yang kita yakini sangat agung dan tidak terperikan. Dikatakan sangat agung karena Allah yang tidak dapat kelihatan, kini menjadi tampak sebagai manusia dan tinggal di antara kita. Tentu hal ini adalah sebuah misteri yang teramat agung, misteri inkarnasi, Allah menjelma menjadi manusia.

Lalu tampak sebuah unsur baru yang disebut di sini, yakni aspek sejarah. Kita yakin, Allah sebagai sang penguasa sejarah, penguasa awal dan akhir, titik alpha dan omega, hidup dan ada melampaui waktu dan sejarah itu sendiri. Dikatakan melampaui waktu karena Ia sudah ada sebelum ada waktu, sebelum segala abad. Kini, Dia yang melampaui waktu itu, mulai memasuki waktu dan dengan itu Ia menjadikan segala sesuatu di dalam waktu itu menjadi baru. Waktu menjadi waktu yang sangat istimewa, chronos menjadi kairos. Sejarah lalu menjadi sejarah keselamatan, heilgesichte, salvation history. Tidak hanya itu saja. Misteri penciptaan disinggung lagi di sini karena dalam prefasi ini disinggung mengenai pemulihan keutuhan ciptaan dan alam semesta. Jadi, inkarnasi memperbarui penciptaan. Termasuk umat manusia di dalamnya. Di sini teringatlah kita akan dosa manusia pertama; itulah kesesatan manusia yang disinggung dalam prefasi ini. Dosa asali itu (original sin), kini dipulihkan dengan rahmat asali (original blessing) yang berasal dan datang dari Allah sendiri. Hal itulah yang memungkinkan manusia dapat berjalan menuju ke kebahagiaan sejati dan abadi, tentu dengan tuntunan Allah sendiri. Itulah yang menjadi alasan paling mendasar bagi kita untuk ikut serta dalam liturgi abadi nan agung para malaekat di surga dengan menggemakan di dunia ini kidung pujian para malaekat, the tripple holy itu, tresagion itu.

Selanjutnya saya menggali warta dan pesan teologis dalam Prefasi Natal III. Sebagaimana kedua Prefasi terdahulu, Prefasi ini pun mempunyai sebuah judul kecil yang sangat menarik dan juga sangat penting sebagai kunci untuk memahami warta dan pesan dasar Prefasi ini. Judul kecilnya ialah: Hidup yang Fana Diresapi Daya Ilahi. Jadi, prefasi ini menyoroti kefanaan yang mengalami proses transformasi karena pengaruh Daya Ilahi. Perlu diperhatikan juga bahwa Prefasi Natal III ini sangat singkat, jika dibandingkan dengan kedua prefasi Natal terdahulu.

Seperti kedua prefasi natal terdahulu, prefasi III ini juga masih berkutat di sekitar misteri inkarnasi. Hanya saja ada segi lain yang ditonjolkan di sini. Alasan kita mengucap syukur dalam prefasi ini ialah kenyataan bahwa karya penyelamatan Allah bersinar di tengah kita umat manusia. Dan hal itu mungkin terjadi karena peristiwa inkarnasi. Dalam peristiwa itu, Sabda Allah menjadi manusia lemah. Di sini disinggung mengenai teologi kenosis itu, seperti yang disinggung dalam Filipi 2 itu. Tetapi berbeda dengan ide kenosis dalam surat Paulus itu, yang disinggung di sini bukan terutama plerosis sang firman itu sendiri, melainkan terutama sekali disinggung peristiwa exaltatio atau bahkan plerosis hidup manusia itu sendiri, transformasi kefanaan hidup manusia oleh daya keilahian. Sebab di sana dikatakan bahwa Sabda menjadi manusia lemah, supaya hidup kami yang rapuh dan fana ini diresapi oleh daya ilahi-Mu yang abadi. Dan hal itu terjadi dalam dan karena Kristus Tuhan kami.

Plerosis dan exaltatio hidup kita itulah yang menjadi satu-satunya alasan bagi kita untuk ikut serta dalam liturgi abadi pada malaekat di surga dengan cara menggemakan kembali di dunia ini lagu pujian mereka: Kudus, kuduslah Tuhan, Allah segala kuasa, surga dan bumi penuh kemuliaanMu, terpujilah Engkau di surga....

Yogya, 22-23 Desember 2011.

Thursday, June 10, 2010

PREFASI HATI YESUS YANG MAHAKUDUS

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
LAY THEOLOGIAN DAN PENELITI PADA CCRS
CENTER FOR CULTURAL AND RELIGIOUS STUDIS
FF UNIVERSITAS KATOLIK PARAHYANGAN BANDUNG


Dalam TPE kita (berbahasa Indonesia) ada dua Prefasi Hati Yesus. Prefasi Hati Yesus pertama diberi judul kecil “Misteri kasih Tuhan.” Jadi, prefasi ini mewartakan tentang kasih Tuhan. Rubrik memberi petunjuk dan ketentuan pemakaian sbb: “Prefasi ini boleh dipakai pada Hari Raya Hati Yesus yang Mahakudus dan dalam Perayaan Ekaristi votif Hati Yesus.”

Dalam bagian protocol ada rumusan baku yang berlaku umum dalam hampir semua Prefasi, yang isinya menegaskan tentang kenyataan bahwa kita semua senantiasa memuji dan bersyukur kepada Allah Bapa yang kudus. Syukur itu adalah sesuatu yang sudah layak dan sepantasnya kita lakukan dan lambungkan. Dan syukur itu senantiasa kita lambungkan kepada Allah Bapa dengan pengantaraan Kristus, sebab Ialah Tuhan dan pengantara kita pada Allah Bapa.

Dalam bagian embolisme, dibentangkanlah misteri Hati Kudus itu. Boleh dikatakan bahwa seluruh embolisme ini dipakai sebagai alasan mengapa kita harus senantiasa bersyukur (seperti diungkapkan dalam protokol di atas tadi). Kita merasa sudah sepatutnya “memanfaatkan” fungsi dan peran kepengantaraan Kristus ini, karena Ia mempunyai kasih yang tidak terhingga atas kita. Karena kasih itulah Yesus telah menyerahkan diri bagi kita dengan wafat di kayu salib. Jadi, peristiwa wafat di salib itu dilihat di sini sebagai pementasan dan sekaligus bukti cinta Yesus Kristus akan kita umat manusia. Selanjutnya, dibentangkanlah beberapa hal yang terjadi di atas kayu salib itu. Yang relevan disebut di sini ialah peristiwa lambungNya yang ditikam dengan tombak. Lalu dari sana memancarlah darah dan air. Prefasi ini, sejalan dengan tradisi kuno gereja, menafsirkan peristiwa ini sebagai lambang sakramen-sakramen Gereja. Tombak itu menembus lambung dan hati, sehingga hati itu pun menjadi terbuka lebar. Ke dalam hati yang terbuka lebar itulah “semua orang ditarik dan diundang untuk menimba kegembiraan dari sumber keselamatan.” Perlu kiranya kita sadari bahwa ada banyak sekali syair lagu-lagu liturgi gereja terutama sekali lagu-lagu komuni (khususnya dalam konteks perayaan Ekaristi dalam Gereja Katolik), menimba ilham suci dan harta kekayaan rohani dari peristiwa ini. Antara lain misalnya dapat disebut lagu-lagu seperti Ave Verum, Ya Hati Yesus Raja Cinta, Hati Yesus, Trimalah diri kami, dll.

Akhirnya, dalam bagian eskatokol, prefasi ini, justru karena sebutan (eschatocol) itu, mengarahkan seluruh perhatian kita dari alam kekinian ke rentang masa yang akan datang, yakni persisnya ke liturgi agung dan abadi di surga kelak, di mana para malaekat memuji dan mengagungkan Allah dalam kidung pujian abadi. Kita pun berharap dalam iman, harapan dan kasih, akan dapat ikut ambil bagian dalam liturgi agung dan abadi itu. Untuk sebagiannya kini kita ucapkan dengan agung dan lantang ketiga kata suci dari para malaekat itu, tresagion, triple holy itu. Bagian ini juga menjadi sumber ilham yang tiada hentinya dalam sejarah hidup kerohanian Gereja pada umumnya dan Gereja Katolik pada khususnya. Dengan ini dan di sini berakhirlah uraian dan penjelasan singkat mengenai Prefasi yang pertama di atas tadi. Sekarang kita mau beralih ke Prefasi Yang Kedua.

Bahan yang baru saja diuraikan di atas tadi ialah Prefasi Hati Yesus yang pertama. Inilah prefasi Hati Yesus kedua. Prefasi ini diberi judul kecil: “Kesetiaan Tuhan.” Ya, inilah yang menjadi fokus dari prefasi kedua ini. Jadi, kedua prefasi Hati Yesus ini mewartakan dan juga sekaligus merayakan misteri kasih dan kesetiaan, hesed Yahweh (steadfast love). Rubrik memberi ketentuan dan petunjuk berikut ini mengenai saat pemakaiannya: “Prefasi ini boleh dipakai dalam Perayaan Ekaristi votif Hati Yesus.”

Dalam bagian protocol diungkapkanlah dua hal yang kita lakukan di hadapan Allah Bapa di surga. Yang pertama, ialah kita bersyukur, kepada Allah Bapa yang mulia dan murah hati. Kedua, kita meluhurkan Allah yang adalah sumber segala kebaikan dan cinta kasih. Itulah yang menjadi pengalaman hidup dan iman kita. Jadi, bagian ini menyimpan keyakinan dan pengakuan dasar iman kita akan Allah.

Dalam bagian embolisme, kita menemukan beberapa misteri karya Allah sehubungan dengan hati umat manusia. Pertama, kita yakin sekali bahwa Allah, yang adalah kasih itu (Deus est caritas), menaman benih daya cinta kasih di dalam hati manusia. Jadi, cinta itu datang dari Allah lalu turun ke hati manusia. Kalau visi ini diterima, maka kedua, semua peristiwa cinta antar manusia lalu menjadi ajang pementasan cinta Allah dan tempat Allah menampakkan diri. Jadi, betapa agungnya cinta kasih antar manusia itu sesungguhnya, karena ia menjadi medium atau locus Allah menampakkan karya cinta dan esensiNya sendiri yang adalah cinta. Di mana ada cinta, di situ Allah menampakkan diri dalam dan melalui para pencinta itu. Ubi caritas et amor, ibi Deus est. Itu yang sering kita nyanyikan dalam untaian lagu-lagu perayaan Hari Kamis Putih. Maka, janganlah kita pernah main-main dengan cinta itu, sebab cinta itu suci dan teramat luhur. Ketiga, dengan cinta-Nya Allah mencintai manusia. Lalu Prefasi ini mengambil dan memakai metafor kasih seorang ibu, yang pasti sangat menyayangi anak kandungnya sendiri. Tetapi sekaligus prefasi ini menegaskan bahwa analogi itu tidak seluruhnya persis tepat juga, sebab kasih Allah akan manusia melampaui kasih ibu itu. Kasih ibu itu hanya dipakai sebagai sebuah analogi metaforis belaka. Keempat, kasih Allah itu tampak paling nyata dalam keseluruhan peristiwa Yesus, mulai dari inkarnasi sampai pada misteri salib dan kebangkitan. Yesus adalah wujud nyata dari kasih setia Allah kepada umat manusia. Sebagai konsekwensi dari cinta itu, Yesus, yang adalah hamba-Mu yang setia, dan sekaligus saudara kami, menanggung sengsara maut di taman Getsemani dan di kayu salib di Golgota. Tetapi itu semua dilakukan demi menghidupkan dan membahagiakan kita. Inilah yang namanya sengsara membawa nikmat dan bahagia. Paradoksal, memang, tetapi itulah dan begitulah kenyataannya.

Akhirnya, dalam bagian eskatokol, kita mengungkapkan rasa syukur kita kepada Allah dan lalu memuliakan Dia. Di sini lagi-lagi kita memandang secara antisipatif liturgi agung para malaekat di surga kelak, dan kita dari dunia ini, seraya merayakan ekaristi ini, berharap suatu saat kelak dapat ikut serta ambil bagian (bergabung) dalam liturgi itu, sehingga dalam derap dinamis pengharapan itu, kita pun melambungkan tresagion yang semarak dan mulia ini.


Bandung, 10 Juni 2010
Fransiskus Borgias M.
Lay theologian dan peneliti CCRS FF-UNPAR Bandung.

Wednesday, June 2, 2010

PREFASI SANTO YUSUF

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M
LAY THEOLOGIAN dan Peneliti CCRS (Center for Cultural and Religious Studies) FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG



Setelah beberapa minggu yang lalu saya sudah mengulas beberapa prefasi yang dipakai untuk Peringatan, Pesta dan Hari Raya Santa Perawan Maria dalam perayaan ekaristi, maka akhirnya saya juga mau membahas Prefasi Santo Yusuf. Saya mengulas Prefasi ini dalam kaitan dengan Santa Perawan Maria, karena bagaimana pun juga Santo Yusuf pun sangat jelas dan erat terkait dengan Bunda Maria. Hal itu tampak sangat jelas dalam edisi buku Misa Harian berbahasa Inggris. Di sana ada keterangan tentang dia sbb: Yusuf Suami Maria. (Tetapi perhatikan bahwa tidak ada keterangan seperti itu dalam TPE kita; mungkin terlupakan; tentu hal itu hanya diandaikan saja). Menurut keterangan dalam rubrik TPE kita, Prefasi ini dipapai dalam Perayaan Ekaristi Santo Yusuf. Dalam kalender Liturgi kita ada beberapa pesta dan peringatan Santo Yusuf. Saya tidak hafal semuanya. Tetapi kiranya yang terbesar (dan paling kuat saya ingat) ialah Hari Raya St.Yusuf yang setiap tahun jatuh pada tanggal 19 Maret. Saya katakana terbesar, karena hal itu masuk dalam kategori hari raya. (Sejenak saya ingat, dulu di Seminari Kecil dan Menengah, setiap tanggal 19 Maret adalah hari libur; mungkin karena saat itu seminari kami dipimpin para pastor SVD; dan tokoh penting kedua dalam sejarah awal eksistensi historis SVD selain Arnoldus Jansen, ialah Pater Josef Freinademetz).

Ada dua hal yang ditekankan di sini. Pertama, ialah sifat-sifat yang disebut berkaitan dengan Yusuf. Di sana disebutkan beberapa sifat beliau: 1) ia adalah pria tulus hati (just man), 2) ia juga disebut seorang hamba yang setia (loyal servant), 3) hamba yang bijaksana (wise). Sebutan-sebutan ini semua ada dasarnya dalam Kitab Suci. Sifat yang pertama, misalnya, dapat dilihat dengan mudah dalam pelukisan Injil Matius bab 1:19. Di sana ada keterangan sbb: “Karena Yusuf suaminya, seorang yang tulus hati dan tidak mau mencemarkan nama isterinya di muka umum...” Sifat kedua dan ketiga mungkin harus dicari pendasarannya pada tradisi penghormatan gereja dan liturgi terhadap Yusuf, dan juga pada perumpamaan tentang hamba yang baik, setia, dan kreatif itu dalam kisah-kisah Injil. Menarik bahwa sifat nomor satu (dalam buku TPE Indonesia) secara jelas dikaitkan dengan salah satu tugasnya, yaitu tugas mendampingi Santa Perawan Maria. (Dalam edisi Inggris pengkaitan itu tidak sangat eksplisit; hanya dalam bentuk tata urut kalimat saja). Tugas ini adalah tugas yang berasal dari Bapa; dengan kata lain, Allah Bapa sendirilah yang memberi tugas itu kepada Yusuf. Demikian keyakinan yang tersirat dalam Prefasi itu.

Tetapi, kedua, pertanyaannya sekarang ini ialah: kapan hal itu terjadi? Hal itu terjadi, yaitu lewat peristiwa kabar gembira kepada Yusuf dalam mimpi itu (Bdk. Mat.1:20-23). Sebab menurut Matius, bukan hanya Maria saja yang mendapat kabar Gembira dari Malaekat Tuhan sebagaimana dilaporkan dalam injil Lukas (2:1-7). Adalah berkat jasa Pater Raymond E.Brown-lah sehingga saya bisa menyadari adanya kabar gembira kepada Yusuf dalam injil Matius. Pater Brown membentangkan hal itu secara panjang lebar dalam bukunya The Birth of Messiah. Buku ini kemudian disajikan secara popular dalam kaitan dengan pemakaian liturgis, dalam buku popular yang berjudul Yesus Yang Dewasa Pada Masa Natal. Bahkan juga masih bisa ditelusuri jejak-jejaknya dalam bukunya yang lain yang berjudul Yesus yang Datang pada Masa Adven.

Lalu sifat kedua dan ketiga masing-masing dikaitkan dengan tugas-tugas sebagai kepala keluarga kudus, yang juga diandaikan atau diyakini dimandatkan oleh Bapa (Bdk.Mat.1:19) dan tugas sebagai bapa dan pengasuh Putera Tungga-Mu. Itulah sebabnya dalam sejarah teologi dan liturgi, Yusuf mendapat beberapa julukan yang penting dan menarik. Ada yang menyebut dia Redemptoris Custos atau juga Protector Redemptoris (sedangkan Maria ialah Redemptoris Mater, yang artinya Ibunda Sang Penebus). Masing-masingnya berarti Penjaga sang Penebus, Pelindung sang Penebus, Bunda sang Penebus. Yang pertama tadi (Redemptoris Custos) menjadi judul salah satu petuah apostolik (apostolic exhortation) dari Paus Yohanes Paulus II yang keluar pada tahun 1989 (setahun sesudah tahun Maria, 1988, yang didahului dengan ensiklik Redemptoris Mater tahun 1987).

Akhirnya, detail keterangan dalam edisi Buku Misa Harian berbahasa Inggris juga amat menarik untuk dikutip dan dibahas di sini. Pertama, bahwa Yusuf dengan kasih seorang suami, ia mengasihi Maria (with a husband love he cherished Mary, the Virgin Mother of God; perhatikan baik-baik bahwa keterangan detail ini tidak ada dalam TPE kita yang berbahasa Indonesia). Kedua, bahwa Yusuf, dengan kasih dan perhatian sebagai seorang ayah, menjaga dan melindungi Yesus Kristus Putera-Mu, yang dikandung dari Roh Kudus (with fatherly care he watched over Jesus Christ your Son, conceived by the power of Holy Spirit; perhatikanlah juga bahwa keterangan detail ini tidak ada dalam TPE kita yang berbahasa Indonesia). Akhirnya, TPE Prefasi ini yakin bahwa pujian para malaekat dan juga surga kepada Allah Bapa dilakukan melalui pengantaraan Kristus. Kita manusia di dunia ini juga ingin ikut serta ambil bagian dalam kidung pujian abadi itu dengan sepenggal seruan triple kudus yang amat terkenal itu.


Bandung, 24 Mei 2010
Ditulis dan dikembangkan kembali, 01 Juni 2010
SIS B (CCRS FF UNPAR)

Tuesday, May 25, 2010

PREFASI SANTA PERAWAN MARIA

OLEH: FRANSISKUS BORGIAS M.
TEOLOG DAN PENELITI CCRS
(Center for Cultural and Religious Studies)
FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG



Buku Tata Perayaan Ekaristi (TPE) kita menyediakan dua Prefasi Santa Perawan Maria. Yang pertama, diberi judul kecil Bunda Yang Tetap Perawan. Rubrik TPE memberi keterangan sbb: Prefasi ini boleh dipakai dalam Perayaan Ekaristi Santa Maria tetapi dengan menyebutkan secara khusus nama Hari Raya atau pesta atau peringatan yang diselenggarakan pada hari yang bersangkutan. Liturgi gereja mengatakan bahwa salah satu hajatan terkait Santa Perawan Maria menjadi alasan bagi kita untuk selalu bersykur kepada Allah. Mengapa? Mengapa perlu ada alasan mariologis untuk memuji dan memuliakan Allah? Prefasi ini hanya memberi satu alasan atau jawaban saja terhadap pertanyaan tadi, tetapi itu adalah sebuah alasan yang paling kuat dan mendasar. Alasan itu adalah karena ia (Maria) “…telah mengandung Putera Tunggal-Mu karena kuasa Roh Kudus.” Jadi, yang diingat di sini tentu saja ialah peristiwa inkarnasi, yang menjadi mungkin terlaksana karena fiat dari pihak Maria. Lalu ada keterangan lebih lanjuta, bahwa walau pun mengandung, namun ia (Maria) tetap perawan. Hal itu juga diingatkan dalam prefasi ini. Berkat partisipasi dalam rencana ilahi melalui inkarnasi itulah, Maria mampu “memancarkan terang abadi bagi dunia.” Tentu yang disinggung di situ ialah Tuhan Yesus Kristus, yang adalah Lux mundi, Lumen Gentium. Selanjutnya dikatakan bahwa para malaekat di surga memuji keagungan-Mu, dengan pengantaraan Kristus juga; itu juga terjadi bersama dengan segenap kuasa surga. Menyadari hal itu, kita manusia, sementara masih di dunia ini terdorong ikut ambil bagian dalam lagu pujian abadi para malaekat itu di bumi ini.

Prefasi SPM II diberi keterangan kecil sbb: Yang bersahaja dipilih Allah. Rubrik dalam TPE kita memberi keterangan sbb: Prefasi ini boleh dipakai dalam Perayaan Ekaristi Santa Perawan Maria. Lagi-lagi Prefasi ini, seperti halnya prefasi yang pertama tadi, memberi motif mariologis untuk memuji dan memuliakan Allah. Dikatakan di sana: Terutama pada peringatan Santa Perawan Maria ini kami mengagungkan kemurahan-Mu dengan menggemakan lagu pujian. Prefasi ini juga memberi alasan paling mendasar untuk pujian yang bermotif mariologis tsb: Allah telah melakukan satu karya agung sebagai tanda belas kasih Allah yang disaksikan oleh seluruh bumi dan segala jaman; karya agung yang dimaksud itu tidak lain ialah tindakan Allah memilih “Santa Perawan Maria, hamba-Mu yang bersahaja.” Allah Bapa memilih Maria (hamba bersahaja), untuk ikut serta ambil bagian dalam karya penyelamatan (penebusan) umat manusia, melalui peristiwa inkarnasi. Itu sebabnya Prefasi mengatakan bahwa Allah menganugerahkan Penyelamat umat manusia, melalui dia (Maria). Penyelamat itu ialah Yesus Kristus, PuteraMu dan Tuhan kami. Bala tentara malaekat surgawi bersembah sujud memuji Allah, juga dimungkinkan karena peranan kepengantaraan Kristus itu. Itu sebabnya kita manusia di dunia ini dengan penuh semangat dan sukacita ikut serta bergabung dalam kidung pujian abadi para malaekat untuk memuji Allah mulai dari dunia ini hingga selama-lamanya dalam liturgi agung dan abadi di surga kelak.

Perlu saya ingatkan bahwa dalam TPE Indonesia hanya tersedia dua Prefasi SP Maria. Kedua Prefasi itu sudah saya bahas di atas. Tetapi dalam buku pegangan misa harian bahasa Inggris (Week Daily Missal) saya temukan beberapa prefasi lain yang dengan satu dan lain cara terkait atau dikaitkan dengan SP.Maria. Di sana saya temukan tiga Prefasi seperti itu. Terlebih dahulu saya daftarkan prefasi-prefasi yang dimaksud, sesudah itu saya akan uraikan ketiga prefasi itu satu per satu: 1). Prefasi Hari Raya Kabar Sukacita (Annunciatio) yang jatuh pada tanggal 25 Maret. 2). Prefasi Hari Raya Santa Maria Dikandung tanpa Noda Dosa (Immaculata Conceptio), yang jatuh pada tanggal 08 Desember. 3). Prefasi Hari Raya Santa Perawan Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan badan (Assumptio), yang jatuh pada tanggal 15 Agustus. Ketiganya termasuk kategori Hari Raya. Setiap tahun kita dapat melihat hal ini dalam dan melalui Kalender Liturgi yang secara rutin dan tekun diterbitkan Komisi Liturgi Konferensi Wali Gereja Indonesia (KWI). Saya coba uraikan dan jelaskan satu per satu prefasi itu menurut tanggal kemunculannya sepanjang tahun.

Saya mulai dengan Prefasi pertama. Ada beberapa kebenaran iman penting yang diwartakan dan dirayakan dalam dan melalui Prefasi Hari Raya Kabar Sukacita ini, yang jatuh setiap tahun tanggal 25 Maret (Sembilan bulan sebelum 25 Desember, Hari Natal, Hari Kelahiran Tuhan Yesus). Prefasi ini dimulai dengan satu alasan Kristologis untuk memuji dan memuliakan Allah yang hidup dan mahakuasa. Lalu gereja mengutarakan keyakinannya bahwa Kristus telah datang untuk menyelamatkan manusia. Hal ini terjadi dengan cara inkarnasi, yaitu Ia sendiri menjelma menjadi manusia. Itulah solidaritas negatif Allah dalam diri Yesus Kristus, menurut istilah P.Cletus Groenen OFM dalam Soteriologi Alkitabiah-nya itu. Misteri inkarnasi itu terjadi karena SP.Maria, yang setelah menerima dan menyetujui kabar dari malaekat dalam iman, lalu mengundang oleh daya kekuatan Roh Kudus dan dengan itu melahirkan PuteraMu dalam cinta termurni. Kemudian kita lihat bahwa misteri Kristus itu dijelaskan dengan dua cara. Pertama, dengan cara dikaitkan dengan sejarah Israel dalam Perjanjian Lama: Gereja yakin bahwa dalam Kristus, sang kebenaran abadi, janji Allah kepada Israel terwujud, terlaksana. Kedua, dengan cara dikaitkan dengan sejarah seluruh umat manusia: gereja juga yakin bahwa dalam Kristus, yang adalah harapan segala bangsa, harapan manusia pun terwujud melampaui apa yang diharapkan dan diduga manusia secara tidak terduga-duga sama sekali. Akhirnya kembali lagi motif Kristologis bagi puja-puji para malaekat di surga yang bersukacita di hadapan hadirat Allah. Kita manusia di dunia ini berharap dapat ikut serta ambil bagian dalam paduan suara malaekat surga itu untuk memuji dan memuliakan Allah hingga selama-lamanya.

Prefasi kedua ialah Prefasi Hari Raya Maria diangkat ke surga dengan jiwa dan badan, yang setiap tahun dirayakan tanggal 15 Agustus. Sebagaimana biasa, Prefasi ini pun dimulai dengan motif kristologis untuk memuji Allah Bapa. Kita mengucap syukur senantiasa kepada Allah Bapa yang hidup dan berkuasa dengan pengantaraan Yesus Kristus Tuhan Kami. Selanjutnya Prefasi ini mengingatkan kita sekalian akan salah satu misteri perayaan iman kita, yaitu bahwa pada hari ini perawan Bunda Allah diangkat ke surga. Pengangkatan ini mempunyai motif eklesiologis, yaitu agar Bunda Maria, dalam martabat kesempurnaannya itu, dapat menjadi awal mula dan sekaligus pola atau model bagi gereja dalam perjalanan dan perkembangannya kepada kesempurnaan. Sekaligus diharapkan agar Bunda Maria dapat menjadi tanda pengharapan dan sumber penghiburan bagi umat yang sedang dalam perjalanan ziarah mereka ke surga. Gereja menyatakan pandangan dan keyakinannya bahwa Allah tidak memperkenankan bahwa tubuhnya termakan oleh kehancuran. Hal itu juga mempunyai dasar kristologis, yaitu bahwa tubuh itu sangat mulia karena ia telah mengandung dan melahirkan PuteraMu, yang adalah Tuhan atau Penguasa atas kehidupan. Hal itu terjadi di dalam kemuliaan dan keagungan peristiwa inkarnasi. Hal itu jelas mendatangkan sukacita dan pengharapan bagi kita semua. Oleh karena itu kita pun terdorong memuji dan memuliakan kemuliaan Allah bersama lagu pujian abadi para malaekat di surga.

Prefasi ketiga ialah prefasi Hari Raya Santa Perawan Maria dikandung tanpa noda dosa, yang setiap tahun dirayakan tanggal 8 Desember (tepat 9 bulan sebelum 9 September, Pesta Kelahiran St.Perawan Maria). Prefasi ini, sebagaimana Prefasi lainnya, dimulai dengan keinginan kita untuk senantiasa memuji dan memuliakan Allah yang hidup dan berkuasa. Hari ini kita merayakan salah satu misteri perayaan Maria dalam gereja, di mana kita yakini bahwa Allah tidak membiarkan noda dosa Adam menyentuh (apalagi merusak) Perawan Maria. Dia itu penuh rahmat, sebagaimana dikatakan malaekat Gabriel itu (Luk.1:28), gratia plena, kekharitome; itu tidak lain karena dia menjadi pantas dan layak menjadi bunda PuteraMu sendiri. Ini semua terjadi sebagai tanda bukti perkenanan Bapa kepada Gereja pada awal mula keberadaannya, dan sekaligus menjadi tanda kesempurnaannya sebagai mempelai Kristus, yang cerlang cemerlang bersinar dalam kecantikannya. Kita yakin bahwa dialah yang termurni di antara perawan, karena dia harus mengandung dan melahirkan PuteraMu, anak Domba yang tidak bercela, yang menghapus dosa-dosa dunia (Yoh.1:29). Kita juga yakin bahwa Allah memilih dia dari semua perempuan untuk menjadi juru biacara (advocata) kita di hadapanMu dan sekaligus juga menjadi pola bagi kekudusan dan kesempurnaan kita. Semuanya ini juga mendatangkan sukacita dan pengharapan bagi kita, dan kita pun terdorong menyanyikan kemuliaanMu, bersama paduan suara para malaekat di surga mulai dari dunia ini dan untuk selama-lamanya.


Bandung, 17 Mei 2010
Diketik kembali sambil dikembangkan, 22 Mei 2010.
Fransiskus Borgias M.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...