Showing posts with label nostalgia01. Show all posts
Showing posts with label nostalgia01. Show all posts

Sunday, June 21, 2020

ATG – MENGENAL CLETUS GROENEN OFM

Oleh: Fransiskus Borgias

Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR, Bandung.

 

 

Pater Cletus Groenen. Sebuah nama besar dalam dunia teologi, khususnya teologi biblika di Indonesia. Ia adalah seorang dosen ilmu Kitab Suci pada Seminari Tinggi, Kentungan, Yogyakarta. Ia adalah seorang imam Fransiskan. Ia berasal dari negeri Belanda. Tetapi ia menamatkan sekolah Kitab Sucinya di Roma. Tetapi bukan di Biblikum, juga bukan di Gregoriana, melainkan di Antonianum, universitas milik para pater Fransiskan di Kota Abadi itu. sudah sejak tahun 50-an ia datang untuk berkarya di Indonesia. Mula-mula di Seminari Tinggi Fransiskan di Cicurug, Sukabumi, tetapi kemudian di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta.

Sebenarnya saya sendiri sudah pernah mendengar dan membaca sesuatu tentang nama Cletus Groenen (selanjutnya akan disingkat CG saja) sejak saya masih duduk di bangku Seminari Kecil dan Menengah Pius XII, Kisol, Manggarai Timur, Flores. Pada saat itu saya membaca tentang dia dalam beberapa berita yang ada di dalam majalah mingguan Hidup, ataupun juga dalam pelbagai tulisan dia yang muncul di dalam majalah bulanan Rohani, juga dalam majalah spectrum dari KWI, juga dalam majalah Orientasi, dan terutama sekali dalam buku-buku kitab suci yang dia tulis dalam bidang Kitab Suci, baik yang terbit di Kanisius, maupun terutama yang terbit di Nusa Indah, Ende, Flores.

Setelah tamat dari Seminari Menengah Pius XII Kisol, saya masih melewatkan masa pendidikan Postulant OFM di Biara Santo Yosef Pagal, Manggarai. Di sanalah, selama satu tahun, saya semakin banyak mengenal pater CG lewat majalah bulanan khusus intern keluarga OFM, yaitu Taufan yang asyik dan menghibur itu. Saya juga bisa mengenal beliau melalui majalah dwi-bulanan keluarga Fransiskan, yaitu Perantau, sebab beliau sering sekali menulis di sana tentang hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas Fransiskan. Di postulant ini juga saya bisa mengenal beliau lewat beberapa kepustakaan yang khas Fransiskan.

Hingga tahun 1982, bulan Juli, saya masih belum sempat bertemu dengan dia secara langsung, dari muka ke muka. Karena saya masih di Flores dan dia tinggal di tanah Jawa, persisnya di kota Yogyakarta. Sampai saat itu saya juga tidak tahu apakah ia pernah ke Manggarai. Yang jelas ialah bahwa pertemuan saya yang pertama dengan beliau baru terjadi pada pertengahan bulan Juli 1982. Setelah selesai dengan masa pendidikan postulant kami di Pagal selama satu tahun, saya dengan teman-teman lalu ramai-ramai berangkat menuju ke Yogyakarta untuk memulai pendidikan lanjutan kami yaitu di dalam novisiat Fransiskan di Biara Santo Bonaventura, Yogyakarta.

Baru pada saat itulah saya baru sempat bisa bertemu secara langsung dari muka ke muka dengan beliau. Saat itu ia tinggal di biara santo Bonaventura, Jl.Legi Papringan, No.7, Kotak Pos 29, Yogyakarta. Sehari-hari ia mengajar di Fakultas Teologi di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta, dan juga di STKAT Pradnyaparamita, Yogyakarta juga.

Sejak pertama kali saya melihatnya secara langsung saya langsung kagum dan terkesan sekali: Ia orangnya sangat serius, tekun, pekerja keras, matiraganya kuat (makannya sedikit) yaitu ia hanya makan roti sepotong saja di pagi hari, sedikit nasi di siang hari. Badannya sangat ramping (bahkan cenderung ke arah kurus). Ia juga selalu mengenakan jubah hitamnya. Hidupnya serba sangat teratur dan berirama. Yang sangat menarik perhatian saya ialah, walaupun dia seorang imam, seorang doctor Kitab Suci, seorang dosen yang terkenal, toh ia setiap hari mencuci pakaiannnya sendiri. Ia keringkan pakaiannya sendiri, pokoknya semuanya, dengan cara digantung dengan gantungan di jendela kamarnya yang terbuka kea rah taman bunga. Tampaknya tidak di setrika.

Ia juga seorang perokok sejati. Tidak ada waktu yang tanpa merokok. Ia hanya berhenti merokok kiranya saat ia tidur dan merayakan perayaan ekaristi dan brevir. Pada saat makan, dia juga makan cepat dan sesudah itu ia merokok. Di luar jam-jam itu ia merokok. Ia seorang perokok berat sudah bagaikan gerbong atau lokomotif Kereta Api yang terur berjalan. Ia bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam, seperti kata pemazmur itu. Ia sangat rajin dan sangat tekun membaca. Di meja kamarnya selalu ada buku tebal yang terbuka dan sedang dibacanya dengan tekun.

Oleh karena ia sangat suka merokok, maka ada banyak lubang-lubang kecil pada jubahnya. Lubang-lubang kecil itu ada di mana-mana, karena pengaruh percikan apir rokoknya sendiri. Ia juga seorang penasihat dan bapa rohani yang tegas dan berwibawa, tetapi juga terkadang jenaka. Selama di masa novisiat saya lebih dari tiga kali pergi meminta waktu dia untuk bimbingan rohani, berbicara dari hati ke hati tentang masalah hidup doa dan hidup seksualitas dan tentang drama jatuh cinta anak manusia.

Di bagian lain saya akan menceritakan satu persatu momen-momen itu. tetapi di sini saya lanjutkan dulu peristiwa perkenalan awal saya dengan beliau. Yang jelas, tidak pernah sekalipun saya melihat dia mengenakan pakaian lain selain jubah. Ia selalu berjubah. Jubah itu adalah pakaiannya sehari-hari, bukan hanya sekadar pakaian formalitas untuk urusan liturgis kegerejaan dan kealtaran saja. Sungguh-sungguh mengagumkan.

Pada suatu kali, saya lupa persis kapan waktunya, saya melihat dia pergi keluar. Oh ya bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Pada saat itu ia mengenakan celana panjang hitam dan baju atasan biru sangat muda (cenderung ke arah putih) dan berlengan panjang. Bajunya itu ia masukin ke dalam celananya. Istilah kami di Flores, khususnya di Manggarai, stell-in (lawannya stell-out). Entah diperoleh dari mana istilah itu. pater CG tampak ramping sekali dan cakep juga. Malam itu ia dijemput oleh seorang bule. Jauh di kemudian hari saya baru tahu bahwa itu tidak lain adalah Pater Dr.Bernhard Kiesser SJ, dosen teologi Moral di seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta.

Saya mendapat penjelasan dari para senior bahwa konon mereka pergi makan di sebuah restoran karena pada hari itu pater CG sedang merayakan hari ulang tahunnya. Belakangan juga saya diberitahu bahwa hanya Pater Bernhard Kiesser sajalah yang bisa mengajak pater CG pergi keluar untuk makan di restoran dengan mengenakan busana sipil (non-jubah). Tetapi itupun tidak pada sembarang waktu. Melainkan hanya pada kesempatan ulang tahunnya saja.

Konon tidak pernah ada vicaris dan kemudian provincial OFM yang bisa membujuk atau mengajak pater CG untuk pergi keluar dengan mengenakan busana sipil, seperti yang bisa dilakukan oleh Pater Kiesser. Maklum, pater Kiesser, konon, dulu adalah mahasiswa kesayangan pater CG, dan hubungan yang baik itu masih terus berlangsung bahkan setelah pater Kiesser sendiri juga sudah menjadi dosen teologi Moral di Seminari Tinggi Kentungan. Ah, pater CG yang unik, nyentrik, eksentrik.

 

                                           


Saturday, June 13, 2020

IN MEMORIAM: BAPA ALBERTUS HARTONO

Oleh: FRANSISKUS BORGIAS M.


Hari ini saya, pagi-pagi, saya mendapat kabar dukacita. Bapak Albertus Hartono, meninggal dunia di Rumas Sakit UKM di Pintu Keluar Tol Margaasih, dekat kawasan Kopo V. Semua terasa dan berlangsung begitu cepat. Selama ini, bapak Hartono tampak sehat-sehat saja. Tidak pernah terdengar kabar bahwa dia sakit ataupun kondisinya memburuk. Masih sering tampak mengantar jemput putrinya pergi dan pulang kerja. Yang terdengar kabar kondisinya kurang prima ialah si Oma (isterinya). Sudah lama sekali ia tidak pernah kelihatan lagi ke gereja.

Tiba-tiba, beberapa hari lalu, kalau saya tidak salah, terdengar kabar yang santer sekali bahwa bapak (begitu biasanya saya memanggil beliau), didapati tidak sadarkan diri di kamar di rumahnya, dan ada muntahan yang keluar dari mulutnya. Mendengar kabar itu, isteri saya menduga kemungkinan itu adalah pendarahan di otak, sebab ada tanda-tanda muntah seperti itu. Tetapi semuanya serba tidak pasti.

Yang jelas ialah bahwa beliau segera dilarikan ke rumah sakit terdekat yaitu rumah sakit UKM yang terletak di pintu tol tadi. Karena masih dalam keadaan psbb dalam rangka wabah corona ini, maka saya dan isteri tidak berani untuk mengunjunginya ke rumah sakit, apalagi dari pihak rumah sakit ada pembatasan yang sangat ketat mengenai para pengunjung orang sakit di rumah sakit. Maka kami urungkan niat kami untuk mengunjunginya.

Tiba-tiba tadi pagi, sekitar pukul 10an, terdengar kabar bahwa bapa Hartono (demikian panggilan akrabnya) sudah meninggal dunia. Kabar itu bagi saya amat mengagetkan. Karena terjadi begitu cepat dan rasanya seperti serba tiba-tiba saja. Saya dan isteri menjadi sangat sedih mendengarnya. Saya juga masih belum berani untuk datang melayat ke rumah duka di Bumi Baru, tempat ia disemayamkan, sebelum dikremasi pada hari Senin, karena masih menunggu anak-anaknya yang datang dari Yogya, Jakarta, dan dari Belanda. Sedih sekali membayangkan itu semuanya.

Saya dan isteri tidak punya hubungan darah apa-apa dengan beliau. Tetapi kami sudah menganggap dia dan isterinya sebagai orang tua kami. Anak-anak kami pun memanggil mereka dengan sebutan opa dan oma. Ceritanya panjang.

Yang jelas, tatkala saya mendengar kabar ini tadi, pikiran saya langsung teringat akan tahun 1999, pada awal tahun. Kalau tidak salah ingat, sekitar bulan Februari. Kami baru saja pindah dari rumah dinas Unpar di kawasan jalan Buah Batu. Dan kami tempati rumah yang baru saja kami beli pada bulan Desember 1998. Pokoknya sejak Desember 1998 kami sudah menempati rumah kami yang baru itu.

Kami tidak punya apa-apa. Rumah kami standar dari developer saja. Perabotnya tidak ada yang istimewa. Kami juga masih belum punya kendaraan. Kalau ke gereja kami harus naik becak dulu ke depan ke jalan Kopo Sayati, lalu naik angkot ke arah Lanud Sulaiman, dan dari jalan raya masih harus jalan kaki kira-kira lebih dari 500an meter.

Karena itu, kami berencana untuk diam-diam saja tinggal di sana. Tidak usah aktif di lingkungan dan paroki. Pokoknya, hidup saja sebagaimana orang Katolik pada umumnya. Cukup ke gereja pada hari Minggu. Selebihnya mengurus urusan hidup kami sendiri. Kami mau bersikap begitu, karena kami kesulitan untuk mobilitas kami.

Tetapi tiba-tiba pada awal bulan Februari 1999, ada sebuah mobil sedan berhenti di depan rumah kami. Lalu keluarlah seorang ibu dan seorang bapa. Kami sudah mengenal mereka. Bapak adalah ketua lingkungan kami. Ibu (isterinya) juga adalah seorang yang sangat aktif dalam kehidupan menggereja. Ternyata mereka datang bertandang ke rumah kami.

Akhirnya, kami berteman, saling mengenal satu sama lain. Saya dan isteri diajak untuk terlibat aktif dalam kegiatan di lingkungan, seperti berdoa, dan ikut anggota koor. Begitulah. Rencana untuk tinggal diam-diam saja ternyata tidak bisa. Sudah langsung didatangi oleh Ketua Lingkungan kami. Ditembak di tempat. Tidak bisa berkutik. Maka sejak saat itu kami pun aktif. Semua kegiatan lingkungan kami ikuti dengan susah payah karena anak-anak kami masih kecil. Oh ya, awalnya, hanya saya yang lebih aktif, karena isteri lebih banyak menjaga anak-anak di rumah.

Tetapi lambat laun, kami ikut aktif semuanya. Bahkan sejak tahun 2000, saat saya ada di Belanda, lingkungan kami membentuk sebuah koor lingkungan. Maka isteri saya pun terlibat aktif di dalam koor tersebut. Dan kami mengadakan latihan bersama di rumah Bapa dan Ibu Hartono itu. Berbeda dengan orang-orang lain, isteri saya pasti selalu membawa kedua anak kami untuk ikut berlatih, sebab tidak ada yang menjaga mereka di rumah. Pulangnya nanti jalan kaki atau numpang pada motor teman-teman.

Sejak itulah kami menjadi sangat akrab satu sama lain. Kemudian kami sempat sama-sama menjadi anggota DPP. Saya juga akhirnya aktif sebagai kontributor tetap untuk majalah bulanan paroki untuk bidang Kitab Suci. Juga akhirnya saya terlibat membina koor lingkungan itu. Masih bersama pak Hartono kami juga terlibat di paduan suara GABTAKI yang dipimpin oleh Bapak Priyo Budisantoso.

Hal itu berlangsung hingga tahun 2007. Sejak saat itu bapak Hartono tidak pernah ikut gabung lagi dengan koor Gabtaki dan rasanya Gabtaki itu lama-lama bubar dan diganti dengan koor baru yang dibentuk yaitu Lucretia. Tetapi Bapak Hartono tidak pernah bergabung lagi di koor itu.

Sampai meninggalnya hari ini, saya tidak pernah melihat bapak Hartono terlibat lagi dalam sebuah paduan suara. Padahal dia adalah penyanyi bass yang sangat handal. Pandai menyanyi dan suaranya mantap dan dalam sekali. Luar biasa. Pokoknya kalau ada dia di Bass, rasanya benteng bass itu tebal dan kokoh, karena tebalnya suara dia.

Selamat jalan Bapak Hartono, kami semua berdoa bagi keselamatan jiwamu. Kami semua yakin dan percaya, bapak sudah diterima di dalam cahaya kekal di dalam kalangan para kudus Allah. Jadilah pendoa kami semua di hadapan Allah yang mahakasih, dan mahapemurah.

Bandung, 13 Juni 2020.

Friday, June 12, 2020

GOLO NOSOT 3

Oleh: Fransiskus Borgias 

Untuk pertama kalinya, saya bangun dari tidurku di pagi hari, karena matahari. Karena kami baru di tempat itu, maka kami tidak mempunyai ayam-ayam yang kami pelihara. Karena itu, di pagi hari saya tidak mendengar kokok ayam yang biasanya menandai pagi hari kami. Saya hanya terbangun karena pengaruh berkas cahaya matahari yang masuk ke dalam rumah kami lewat cela-cela pecahan bambu dinding rumah kami. Akhirnya kami semua pada bangun. Juga ayah saya yang sudah bangun pagi-pagi. Juga ibu saya. Ibu membuka pintu depan dan pintu belakang rumah kami agar ada udara pagi yang mengalir masuk ke dalam rumah kami. 

Dalam udara pagi yang dingin saya keluar dari rumah dan bermain di dekat halaman sekolah yang masih tandus.  Udara sangat dingin, tetapi cahaya matahari sudah mulai tampak memancar dari balik perbukitan golo Walok yang terletak di sebelah timur. Begitu saya tiba di halaman sekolah, hal pertama yang saya lakukan ialah memandang ke arah Golo Nosot. Wah bukit itu terasa sangat indah di pagi hari, justru karena letaknya yang seperti sedang menantang matahari yang terbit di timur. Sudut datangnya sinar mentari pagi itu, benar-benar menimpa lereng sebelah timur bukit itu hampir tanpa halangan apa pun juga. Dan sinar mentari pagi itu membuat lereng bukit itu menjadi tampak sangat indah dan mempesona. 

Dalam hati, saya mengucapkan janji, kalau saya sudah lebih besar nanti saya akan mencoba mendaki lereng bukit itu, mencoba melihat lembah Ketang dari suatu ketinggian. Saya bayangkan betapa hal itu nanti sangat indah. Ya, kalau saya sudah sekolah nanti, saya akan ke sana. Begitu janjiku dalam hati. 

Karena terpaan sinar mentari pagi, dan juga karena pengaruh angin tenggara yang bertiup pagi itu, maka kabut dan awan yang kemarin sore menyelimuti lereng bukit itu dengan padat seperti lilitan tumpukan kapas yang pekat, sekarang mulai menghilang karena terpaan sinar mentari pagi dan terpaan angin tenggara yang kencang. 

Pagi hari itu, saya juga bertanya, mengapa lereng bukit itu di sebelah timur tidak ada pohon sama sekali? Di sana tidak ada pohon-pohon besar. Paling-paling yang ada hanya pohon-pohon perdu yang kecil-kecil saja. Hal itu berbeda misalnya pada lereng di sebelah selatan. Dari lereng sebelah selatan, bukit itu masih diselimuti pohon-pohon yang tinggi, seperti hutan pada umumnya. Rasanya di lereng sebelah barat juga masih ada hutannya. Hanya lereng di sebelah timur dan yang sebelah utara, kedua lereng yang bisa kelihatan dari arah lembah Ketang, itulah yang kosong. Hanya rerumputan mberong dan mungkin juga rerumputan gelagah yang tinggi-tinggi, tetapi tidak ada pepohonan yang besar sama sekali. 

Di sebelah arah timur laut dari golo Nosot itu ada bukit kecil yang bernama Rombang. Bukit itu juga tidak ada pohonnya. Semuanya menimbulkan pertanyaan di dalam hati saya, mengapa kedua lereng itu tidak ada pohon-pohonnya? Kalau golo Rombang dan Watu Weri, saya bisa bayangkan. Mungkin dulu di masa silam, entah kapan, daerah itu adalah bekas kebun dari orang-orang Lentang ataupun Pelus. Tetapi yang kemudian ditinggalkan untuk sementara waktu. Mungkin lebih tepat istilahnya dibiarkan dulu beristirahat, sebelum nanti tiba lagi waktunya untuk digarap kembali. Sedangkan mengenai lereng golo Nosot itu saya tidak tahu, apa yang terjadi. 

Yang jelas ialah bahwa lereng yang berumput hijau dan segar itu menjadi area di mana beberapa kuda dan sapi dan juga kerbau berkeliaran dalam gerombolan masing-masing, merumput di sana. Pada waktu itu pemandangan tadi terasa sangat indah dan mengagumkan. Hanya sayang, saya rasa mungkin tidak ada foto yang telah mengabadikan hal tersebut. Tetapi kenangan itu tidak hilang dari ingatan saya, lereng timur golo Nosot dan lereng Utaranya tidak ada hutan dan di sana hidupkan beberapa kelompok kerbau, sapi dan kuda. Kiranya itu bukan kuda liar, melainkan kuda-kuda yang bertuan tetapi oleh tuannya dibiarkan terlepas dan berkeliaran di alam bebas. 

Bersambung.... 
 

Wednesday, June 10, 2020

GOLO NOSOT 1

Oleh: Fransiskus Borgias 

Golo Nosot adalah sebuah bukit yang eksotis yang terletak di kawasan Lelak. Sejauh yang saya ingat, saya menyaksikan bukit itu sejak saya masih sangat kecil. Pada waktu itu ayah saya, seorang guru sekolah dasar, baru saja pindah dari SDK Wewo. Mereka harus pindah ke SDK Lamba-Ketang. Kalau saya tidak salah ingat hal itu terjadi pada tahun 1967. Saya masih kecil sekali tatkala pindah ke sana. Saya ingat bahwa ketika kami ke Ketang, kami datang dari arah Nteer, lalu ke Langke Norang, terus menelusuri jalan raya. Saat itu di sepanjang jalan Raya belum ada rumah-rumah penduduk. Orang-orang Herokoe, Ruang dan Bola masih terletak di sebelah atas jalan raya, di punggung bukit. Maka jalan raya hampir kosong. Ketika kami tiba di wae Rempas, kami diberitahu sanak keluarga yang mengantar kami dari Lembor, bahwa sebentar lagi kita akan mendaki jalan potong, ke arah Langke Cireng. Pada saat melewati Langke Cireng itulah, saya sedikit merasa serem dan ketakutan, karena pohon beringin itu sangat tinggi dan rimbun, dan ada juga kuburan di bawahnya. Dan di ujung di sebelah kanan, saya melihat sebuah jalan selebar satu meter yang terbuat dari batu besar. Emakoe Lamber mengatakan bahwa itu adalah jalan menuju ke kampung Cireng. Saya membayangkan, betapa ngerinya jalan ke sana, terutama di sore hari, apalagi di malam hari, pasti sangat gelap, karena harus melewati di bawah pohon beringin raksasa dan berdaun lebat itu. 

Setelah lewat dari Langke Cireng itu, kami memasuki sebuah lereng bukit. Itulah lereng Golo Nosot. Dari sana membentanglah sebuah pemandangan yang sangat indah, lembah Ketang, sudah tampak sekolahnya di kejauhan. Golo Rondong juga tampak sangat indah dengan keunikan pumpuknya yang bersih. Hanya di sana-sini ada semak belukar berupa pohon jambu liar. Di kejauhan saya melihat kampung Rejeng sebagaimana diberitahu oleh ayah saya. Juga ada kampung Manu dan Polor. Di lereng bukit yang tinggi tampak sebuah kampung lagi, kampung Welu, dan di sebelah barat dari Welu ada kampung Werong. Dan di puncak bukit di atas Werong itu, ada kampung Mbohang. Saat saya mengarahkan pandangan ke arah sebelah kanan, maka di sana tampak golo Walok. Di kakinya ada sebuah kampung yaitu Tango. Jauh di latar belakang tampak Gunung tinggi menjulang. Kata orang tuaku, di kaki gunung itulah terletak Ruteng. Sungguh sebuah pemandangan yang sangat indah. Dari kejauhan juga sudah tampak area sawah di Ka dan Longge. Semuanya indah juga. Saya langsung merasa jatuh cinta dengan seluruh suasana itu. Dan saya mulai mencoba mengakrabkan diri dengan sebuah dunia baru setelah sebelumnya kami sudah meninggalkan dunia lama di SDK Wewo. 

Tetapi sebelum tiba di sana, saya melukiskan dulu tentang golo Nosot ini. Di sebelah kiri saya agak curam saya menyaksikan golo Nosot itu hampir kosong. Lereng bukit di sebelah kiri jalan yang kami lewati, kosong. Hanya hamparan rumput saja. Dan pemandangan itu hampir sama hingga ke puncak bukit. Paling-paling di sana-sini ada hutan perdu sedikit, tetapi tidak ada hutan yang lebat. Di kejauhan saya melihat beberapa belas ekor kuda yang sedang merumput dengan bebas di salah satu bagian dari lereng bukit itu. Selain kuda, ada juga beberapa ekor sapi yang juga merumput di sana dengan sangat tenangnya. Saat melihat kuda, saya tidak begitu takut, karena mereka jauh. Tetapi saat melihat sapi, walaupun mereka merumput agak jauh dari tempat kami berjalan lewat, toh saya ketakutan juga, karena saya belum pernah berurusan dengan sapi. Ayah saya hanya memelihara kuda dan tidak memelihara sapi. Karena itu, saya merasa merinding saat melihat mereka, dan terutama saat mendengar bunyi lenguhan suara mereka. 

Sebelum turun ke arah Golo Rondong dan tiba di Wae Gulang, saya masih sempat melihat bukit kecil yang terletak di sebelah kiri kami. Itulah bukit Rombang dan juga Watu Weri. Saat itu, semuanya masih kosong. Tidak ada yang membangun rumah di sana. Hanya bukit gundul dengan hutan semak belukar saja. Di sanalah kuda, sapi, dan kerbau bisa berkeliaran dengan bebas, menikmati rumput yang ada. Dan di kejauhan tampak Kampung Pelus yang terletak di lereng bukit yang juga tidak berhutan. Tetapi di ujung bukit itu saya bisa melihat poco Kuwus yang berhutan lebat dan menjulang tinggi dengan sebuah puncak yang lancip seperti sedang menohok ke langit. Ah betapa indahnya, kenangan saat-saat awal ketika saya masuk ke tempat kediaman baru, di Ketang. 

Bersambung.... 

Sunday, June 7, 2020

CERPEN: BERDAMAI DENGAN HUTAN (HAMBOR AGU PUAR)

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.

 

Saat itu saya sedang duduk di bangku kelas 2 SDK Lamba-Ketang. Musim kering pada tahun itu sangat panjang. Hujan lama sekali tidak turun-turun. Maka semua orang mengalami gagal panen pada tahun itu. Maka datanglah kelaparan yang ngeri yang melanda daerah itu. Rasanya seluruh Manggarai ditimpa masa kelaparan. Maka orang-orang pun pada ditimpa busung lapar. Terutama sekali anak-anak. Benar-benar menyedihkan. Tidak ada lagi panen di kebun. Tidak ada jagung. Tidak ada padi di sawah. Ubi pun (baik ubi kayu atau singkong maupun ubi tatas atau ubi jalar) sudah mulai menipis persediaannya di dalam tanah di kebun masing-masing. Benar-benar orang sedang menghadapi situ kelaparan yang mengerikan.

Pada saat-saat seperti itu, tidak ada jalan lain bagi orang-orang selain, mereka pergi ke dalam hutan. Memang hutan itu dikenal sebagai meja makan umum, atau dalam Bahasa kerennya, mensa communis. Memang di wilayah hutan itu pasti ada makanan. Tetapi untuk pergi mengambil dan mencarinya orang tidak masuk sembarangan saja. Untuk itu harus ada ritual memohon ijin. Orang harus melakukan ritual memohon ijin terlebih dahulu. Hutan itu ada yang punya. Di hutan itu ada penunggunya. Hutan itu ada pemiliknya. Begitulah kepercayaan orang-orang di Kampung di sekitar sekolah kami. Hutan itu juga adalah sebuah wilayah yang suci dan penuh misteri. Hutan adalah sebuah wilayah yang terlarang. Oleh karena itu, hutan tidak boleh dimasuki sembarangan saja. Hutan adalah milik orang di seberang sana  (ata pele sina). Seperti sudah ada pembagian kerja dan wilayah kuasa kerja antara manusia dan mereka yang di seberang sana. Manusia mengolah kebun. Mereka bekerja di kebun. Mereka menggarap hutan. Mereka bekerja di hutan. Tetapi di saat bencana masa kelaparan seperti ini, orang-orang terpaksa akan ke hutan.

Saat itu saya punya seorang teman. Temanku itu bernama Rofinus. Lengkapnya Rofinus Patut. Temanku Rofinus, pada suatu kali ia bolos sekolah. Tidak ada penjelasan dan pemberitahuan mengenai alasan mengapa ia tidak masuk sekolah. Bahkan pada hari itu semua anak dari kampung itu tidak masuk sekolah. Aneh sekali rasanya. Saya pun bertanya dalam hati, “Ada apa ya?” “Mengapa sampai begitu?” saya tidak segera mendapat jawaban dan penjelasan. Temanku Rofinus bahkan tidak masuk sekolah dua hari berturut-turut. Ia bolos tanpa kabar. Ia tidak masuk tanpa pemberitahuan sama sekali. Hanya di malam hari menjelang besoknya Rofinus dan kawan-kawan tidak masuk sekolah, dari kejauhan saya mendengar orang-orang memukul gong dan gendang. Dan saya dengar itu dari arah kampung mereka yang terletak di lembah. Tetapi malam itu, tidak begitu jelas bagi saya, mengapa gong dan gendang itu dipukul di kampung itu.

Karena biasanya tidak sembarangan saja orang membunyikan benda-benda keramat itu. Ya gong dan gendang memang dianggap sebagai salah satu benda keramat yang ada di mbaru gendang (rumah gendang) di sebuah kampung. Sebab orang-orang meyakini, bahwa bebunyian dari gong dan gendang itu mengandung daya magis yang bisa memiliki daya kekuatan untuk memanggil roh dan arwah para leluhur. Konon saat mendengar bebunyian itu, mereka akan datang untuk masuk ke dalam kampung. Mereka ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di kampung itu. Itu sebabnya, saya selalu merasa sangat serem apabila mendengar bunyi gong dan gendang itu di malam hari. Kecuali kalau ada perkawinan. Ya, kalau ada pesta perkawinan tradisional (yaitu wagal), maka itu sudah jelas dan beres. Kalau tidak ada alasan yang jelas, maka hal itu rasanya ngeri sekali. Saya membayangkan di pintung gerbang (lewang) kampung itu berkumpul banyak sekali roh dan arwah para leluhur yang datang dan ingin masuk ke kampung itu untuk menyaksikan pesta bebunyian gong dan gendang tersebut. Itulah religious imagination yang muncul dalam benak saya sebagai anak-anak ketika itu.

Apa pun itu, yang jelas ialah bahwa memang kelaparan telah mulai mengancam hidup manusia. Di kampung, lumbung-lumbung sudah kosong. Persediaan makanan sudah tidak ada lagi. Setelah rofinus datang sekolah lagi saya bisa bertanya secara langsung kepada dia mengenai alasan dia tidak datang ke sekolah beberapa hari sebelumnya.

“Kamu ke mana saja e Finus?”

Dengan berbisik-bisik dia menjawab pertanyaan saya itu:

“Manga pandeg ami wa beo e.” (Kami ada bikin sebuah ritual di kampung). Begitu jawab yang ia berikan kepada saya.

“Ritual apa?” tanya saya lagi lebih lanjut kepada dia.

“Ritual mohon ijin ke hutan.”

“Kok pakai mohon ijin segala?”

“Ia e, karena hutan itu bukan wilayah kita. Tetapi wilayah data pele sina.” Begitu penjelasan Finus dengan berbisik-bisik agar tidak kedengaran oleh teman-teman lain dan juga tidak kedengaran oleh guru.

”Menurut kata orang tua-tua, kalau kita masuk hutan tanpa ritual ijin, maka kita tidak akan menemukan apa-apa di hutan. Semua makanan alam itu akan disembunyikan oleh yang empunya. Padahal ada makanan itu di sana. Tetapi kita tidak bisa melihatnya. Mata kita seakan-akan menjadi silau. Tidak bisa melihat apa-apa yang kita perlukan.” Begitu penjelasan Finus lebih lanjut.

“Nah, agar hal seperti itu tidak terjadi, maka dibuatlah ritual.”

“Oh begitu. Lalu apa hubungannya dengan kamu tidak boleh masuk sekolah?” tanya saya lagi menyelidik lebih lanjut.

“Iya, karena orang tua kami melarang kami ke mana-mana dulu selama masa ritual itu.”

“Tabu kalau kita malah jalan-jalan ke luar kampung saat ritual itu diadakan. Kami anak-anak harus tinggal di kampung.” Begitulah penjelasan Finus lebih lanjut. Saya hanya menganggukkan kepala, walaupun saya tidak sepenuhnya mengerti apa yang ia ceritakan. Sejenak ada keheningan di antara kami.

“Di hutan apa saja yang nanti dicari?” begitu saya bertanya kepada dia.

“Ya macam-macam. Raut, ose, longko, owak, raping, dedaunan yang bisa dimasak jadi sayur. Umbi2an hutan lainnya.” Begitu jawab Finus.

“Pokoknya apa saja yang ada di hutan untuk bisa diolah menjadi bahan makanan.” Tambahnya lagi. Lalu ada hening lagi di antara kami.

“Buah-buahan hutan seperti ara, labe, terkadang ada mangga hutan juga, nangka hutan, kerara hutan, lale, pane, dll.” Sejenak Finus berhenti, karena bapa guru tampaknya seperti sedang memperhatikan kami berdua. Setelah tatapan itu berlalu, Finus melanjutkan penjelasannya lagi.

“Biasanya kita manusia ini berebut makanan dengan para penghuni hutan lain seperti babi hutan, burung-burung dan kera.”

Ya di masa kelaparan seperti ini, orang-orang juga mencari makanan di sungai untuk lauk. Misalnya orang berusaha menangkap kodok, udang, ikan ataupun belut yang hidup di sungai itu. pokoknya apa saja yang bisa diolah menjadi bahan makanan dan lauk-pauk. Biasanya sungai yang mengalir di tengah hutan jarang didatangi manusia. Itu sebabnya biasanya isinya banyak. Bahkan juga seperti relatif mudah untuk didapatkan.

Yang paling berat ialah saat orang menemukan sebuah pohon enau. Pohon enau ini juga termasuk cukup langka. Tetapi ada. Kalau menemukan enau, maka biasanya akan dipotong beramai-ramai oleh sekelompok orang dari satu kampung. Kemudian setelah pohon enau itu tumbang, maka mereka akan menggotong pohon enau raksasa itu dari hutan ke tempat yang sedikit terbuka untuk kemudian dipotong kecil-kecil. Biasanya berukuran lima centimeter. Lalu potongan-potongan itu dijemur. Setelah kering dan menjadi garing, barulah bahan itu ditumbuk. Nah tepungnya itulah yang menjadi sagu. Sagu itulah yang diolah menjadi makanan. Seperti kue, roti (rakap) dan pelbagai makanan olahan lainnya yang khas musim kering dan masa kelaparan. Biasanya bagian pucuk dari pohon enau itu ada umbut yang dalam Bahasa Manggarai disebut owak. Bagian ini sangat lembut dan sangat enak untuk dijadikan sayur. Mungkin dari sinilahn pepatah melayu kuno itu berasal: “pucuk dicinta ulam tiba.” Saat makan, orang mengira dedaunan yang dipakai untuk sayur adalah bagian pucuk daun yang bisanya lembut dan empuk. Tetapi ternyata yang dipakai sebagai bahan sayur ialah justru bagian yang lebih lembut dan empuk lagi dari pucuk, yaitu ulam. Sebuah rejeki nonplok. Tidak terduga-duga. Begitulah kira-kira asal-usulnya.

Ritual mohon ijin itu dilakukan di awal musim lapar. Sesudah ritual ijin, orang bisa masuk hutan kapan saja. Tanpa rasa takut ditimpa celaka. Di awal bulan Desember, biasanya jagung sudah bisa dimakan. Maka pada saat itu orang tidak lagi pergi ke hutan. Melainkan orang mulai makan jagung. Pada saat itu hujan sudah turun. Pada saat itu ada ritual lagi. Seperti biasa, temanku Rofinus bolos lagi dari sekolah. Karena ada tabu terkait ritual. Itu adalah sebuah ritual pendamaian. Ritual memohon maaf. Maaf karena mereka telah menyakiti hutan selama ini. Juga ritual untuk mengucapkan terima kasih karena telah berbuat baik kepada manusia selama masa kelaparan. Dalam ritual itu juga orang berdoa, agar hutan cepat memulihkan diri lagi, agar hutan cepat menyembuhkan luka-luka yang telah ditimbulkan oleh para perambah hutan.

 

Penulis: Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

 


Saturday, June 6, 2020

CERPEN: MAMAKU SANG MENTARI TERBIT

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA. 

Namanya ialah Katharina. Dulu kami memanggilnya Mama Katharina. Sebab memang itulah nama mamaku. Nama lengkapnya ialah Katharina Bubur. Tentu saja Katharina adalah nama baptisnya (nama permandian, atau ngasang cebong dalam bahasa Manggarai). Sedangkan Bubur adalah “namanya yang sebenarnya” (terjemahan dari “ngasang tu’ung”) sebagai orang Manggarai. Ya, memang dalam tradisi bahasa dan orang Manggarai nama belakang itu biasanya disebut “ngasang tu’ung” (terjemahannya secara harafiah ialah, “nama yang sebenarnya”; tetapi hal itu bukan berarti bahwa nama baptis itu bukan nama yang sebenarnya. Itu juga nama yang sebenarnya. Tetapi nama dia sebagai orang Manggarai, itulah yang disebut ngasang tu’ung. Sedangkan nama dia sebagai orang Katolik, itulah nama baptisnya. Ah itu sebuah persoalan rumit yang tidak akan saya bisa dibahas tuntas dalam cerita pendek saya ini). 

Nah, walaupun nama dia ialah Bubur, tetapi anehnya, dan ini sangat menarik perhatian saya sejak masih kecil dulu, ia mempunyai nama kecil (ngasang koe, alit) Buet. Nama kecil Buet ini, atau alonim dalam bahasa antropologi budayanya, rupanya dibuat berdasarkan sebuah nama yang terdaftar saat ia masuk sekolah dasar di SDK Waemata. Konon pada saat itu ia terdaftar (atau lebih baik didaftarkan) sebagai Bubut. Entah, mengapa para guru mendaftarkan dia dengan nama Bubut dan bukan dengan nama Bubur. Nah, dari nama Bubut inilah muncul alonim (ngasang koe) Buet. Dan nama Buet inilah yang akhirnya kami hafal dan sangat ingat melekat dalam kalbu kami anak-anak dan juga para cucunya. Panggilan Buet ini menjadi semakin popular semenjak ayah kami pindah mengajar ke SDK Rangga dan tinggal di kampong halamannya di Dempol. 

Tetapi dulu pada waktu saya masih di SD, saya pernah dilanda rasa malu karena nama ibuku adalah Bubur. Memang dalam bahasa Manggarai, kata bubur itu sepertinya tidak ada artinya. Tetapi dalam bahasa Indonesia, Bubur itu artinya ya bubur. Seperti dalam kata pepatah Melayu kuno itu: nasi sudah jadi bubur. Maunya menanak nasi, tetapi gagal, karena terlalu banyak air, maka jadilah ia bubur. Dan bubur dalam bahasa Manggarai adalah lebo. Terkadang saya sedikit dengan diam-diam menyesali mengapa kakek dan nenek saya dulu memilih nama Bubur itu untuk puteri tunggal mereka yang cantik itu. Saya tidak habis pikir mengapa mereka memilih nama itu untuk anak perempuan mereka satu-satunya (bahkan juga anak satu-satunya). Tetapi hal itu saya tahan-tahan saja di dalam hatiku sendiri. Saya tidak mengungkapkannya kepada siapa pun juga. Bahkan juga kepada bapaku. Apalagi kepada mamaku. Juga kakak maupun adik-adikku. Saya diam-diam saja. 

 Sampai tiba pada suatu saat saya mengalami sebuah pengalaman penyingkapan yang terasa sangat luar biasa. Saya menyebutnya, saat pengalaman perwahyuan. Saya masih ingat hal itu terjadi pada sauatu kesempatan di rumah saat kami masih tinggal di SDK Lamba-Ketang. Entah bagaimana dalam sebuah pembicaraan di rumah kami di Ketang, ada percakapan antara saya dengan ema tua Alung. 

 Pada suatu sore hari ema tu’a Lando (ema Alung, kami tidak tahu namanya, tetapi Alung adalah nama isterinya, ende-tua Alung) datang berkunjung ke rumah. Biasanya kalau dia datang bertamu (lejong) kami ngobrol macam-macam hal. Kebanyakan dia bercerita tentang nostalgia saat dia dulu masih muda. Sampai pada suatu saat kami berbicara tentang nama orang-orang Manggarai. Pada kesempatan itulah saya sempat melontarkan rasa tidak senang saya pada kakek dan nenek saya di Wol karena mereka sudah memberi nama Bubur kepada ibu saya. Mendengar hal itu, si ema tua sempat terkejut. Lalu Ema tu’a Lando kemudian menatap saya dengan sangat serius. Ia lalu mengatakan demikian: 

 “Empo, tidak seharusnya kau memiliki perasaan seperti itu kepada kedua kakek dan nenekmu di Wol.” Begitu katanya memulai pembicaraannya yang ternyata sangat penting dan bermakna bagi saya. 

 Dengan sedikit rasa kesal saya sebagai seorang anak kecil merajuk dan merengek untuk meyakinkan ema tu’a Alung mengenai sikap dan pendapat saya tadi. Saya mengatakan kepada dia: 

 “Saya kesal karena mereka telah memberi nama Bubur kepada ibuku.” Begitu kataku mengaku di hadapan ema tu’a Alung. 

 “Dan teman-temanku, diam-diam menjadikan nama ibuku sebagai bahan olokan walaupun mereka tidak berani terang-terangan karena takut dimarahi ayahku yang adalah seorang guru sekolah dasar.” Kataku lagi lebih lanjut. Saya agak terdiam. Lalu aku melanjutkan lagi: 

 “Ema tu’a, tetapi sebagai anak kecil saya dapat merasakan bahwa mereka suka tertawa bila menyebut nama mamaku.” 

 Mendengar curahan hatiku itu, ema tua lando pun memulai pengajarannya. “Nana Frans, kamu tahu apa artinya bubur dalam bahasa Manggarai?” Tentu saja saya menggelengkan kepalaku. 

Lalu ia mengatakan: “Bubur itu mempunyai akar kata bur. Dan bur itu artinya matahari terbit, bur leso, ya mentari terbit” (Verheijen, p.61). Untuk membela diri saya mengatakan: “Yang saya ketahui ialah hanya ungkapan par leso. Baru sekarang inilah saya tahu istilah bur leso itu.” 

 Lalu Ema tu’a Lando mengatakan: “Par leso dan bur leso itu sama nana.” Tetapi saya membantah lagi: “Itukan bur e ema tu’a, bukan bubur.” Lalu ema tua lando mengatakan: “Bu-bur itu, nana, adalah tahap yang sedikit lebih awal dari bur atau par itu.” Begitu penjelasan si ema tua. “Sedangkan kalau par dan bur itu artinya kita sudah melihat berkas-berkas sinar mentari pagi. Bu-bur itu barulah percikan-percikan awal. Masih samar-samar di ufuk timur.” 

Terus terang saja, saya menjadi sangat kagum mendengar hal itu. Ia melanjutkan dengan penjelasan yang membuat saya semakin kagum lagi. 

 “Nana Frans e, mungkin saja kakek dan nenekmu dulu sangat mengharapkan kelahiran seorang anak. Dan begitu sang anak itu lahir, ia bagaikan matahari yang terbit, bur, bu-bur, di tengah keluarga.” 

 Kemudian dengan sangat yakin ema tu’a Lando mengatakan: 

 “Saya sangat yakin bahwa ia adalah anak yang sangat dinantikan. Maka tidak mengherankan bahwa saat anak itu lahir, mereka tidak segan menyamakannya dengan matahari terbit, bur leso, bahkan tahap lebih dini dari bur leso itu, bu-bur leso.” 

 Saya sangat kagum mendengar penjelasan itu dari ema tu’a dari Lando tersebut. Saya mendapat pengetahuan baru. Saya mendapat sebuah pencerahan baru. Saya merasa seperti ada sebuah peningkatan di dalam pengertian dan pemahaman saya akan sesuatu, terutama akan Manggarai itu sendiri. 

 Maka sejak saat itu, saya tidak lagi merasa malu memiliki nama ibu Katharina Bubur. Sebab walaupun nama itu dalam bahasa Indonesia ia mempunyai arti yang lain sama sekali, tetapi dalam bahasa Manggarai, ia mempunyai arti yang sangat istimewa karena dikaitkan dengan proses terbitnya cahaya mentari pagi yang membawa sinar terang untuk segala makhluk hidup di muka bumi ini. 

 Setelah mendengar penjelasan itu, saya ditimpa rasa bersalah karena sudah pernah menyesalkan kenapa kakek dan nenek memberi nama seperti itu kepada mama saya. Tetapi setelah mendapat penjelasan itu, maka seluruh pemahaman saya berubah. Bahkan sekarang dengan penuh nostalgia dan kasih sayang saya lalu membayangkan betapa bahagianya kakek dan nenek dulu saat anak wanita mereka (ya anak mereka satu-satunya) terlahir ke dunia ini. Saya bisa memahami mengapa mereka menamainya dengan merujuk ke peristiwa agung-kosmis, terbitnya mentari pagi. 

 Jauh di kemudian hari, setelah saya semakin banyak belajar dan membaca di seminari, saya akhirnya tahu bahwa fase-fase awal sebelum matahari terbit dalam bahasa Latin disebut aurora. Maka terkadang saya menyebut nama mamaku, Katharina Aurora (Latin) alis Bubur (dalam bahasa Manggarai). Betapa cantiknya nama Bubur itu, sebab Bubur itu adalah Aurora, saat detik-detik awal sang mentari dibayangkan terbang ke atas dari balik bumi dan sebelum ia benar-benar tampak terbit di timur percik-percik cahayanya (aurora) sudah tiba duluan. Percik-percik cahaya yang tiba duluan itulah yang disebut aurora atau bubur dalam bahasa Manggarai. Jadi, mama Katharina adalah sang cahaya mentari dalam hidup keluarga kakek dan nenekku dan tentu saja dalam hidup kami anak-anak semuanya. Sebab dari sang Aurora, sang Bubur itu terlahirlah kami anak sebelas orang, dengan komposisi enam perempuan dan lima laki-laki. Sungguh mengagumkan dan menyenangkan membayangkan semuanya itu. Saya bayangkan mama Cathy Buet tersenyum membaca ungkapan hati anaknya ini. Terima kasih mama. Engkaulah cahaya matahari dalam hidup kami semua. 


Tuesday, June 2, 2020

SARE: TANDA PENGENAL DI TELINGA

Oleh: Fransiskus Borgias Anak-anak Sekolah Dasar Ketang (kiranya anak sekolah lain juga di Manggarai), baru masuk dan memulai sekolahnya. Hari masih pagi. Mendung pekat sekali. Sinar matahari tidak mampu menembus awan untuk menyapa bumi. Hawa dingin. Angin bertiup. Sebentar kencang, sebentar lembut. Tetapi itu angin pagi. Dingin sekali. Angin Januari 1969. Mendung makin tebal. Sepertinya tidak ada harapan bakal tampak matahari. Mendung itu makin gelap. Anak-anak mulai gelisah. Bahkan panik. Ada apa ini? Gelap di siang hari? Guru-guru tampak bingung. Dalam situasi seperti itu guru-guru memutuskan untuk membubarkan sekolah lebih cepat agar anak-anak cepat sampai ke rumah masing-masing. Tidak ada kejelasan apa pun mengenai apa yang terjadi. Tidak ada jalur komunikasi. Beberapa guru punya radio, tetapi belum mendapat kabar apa pun dari sana. Karena disuruh pulang, maka murid-murid sekolah pun segera berhamburan keluar. Ada yang tenang-tenang. Ada juga yang panik dan karena itu berlari sekencang-kencangnya pulang ke rumah masing-masing. Ada yang rumahnya cukup jauh dari sekolah. Salah satu dari mereka ialah seorang anak bernama Neles Watunggolong. Orangnya kecil pendek. Kulitnya hitam. Terkesan jarang mandi sehingga kalau kulit lengan atau punggungnya kita gores maka akan tampak garis putih. Begitu juga kulit kaki. Matanya putih. Giginya putih. Kalau ia tersenyum maka gigi putihnya tampak kontras dengan mukanya yang hitam. Ia anak seorang janda dari Kalo. Ia tidak tahu siapa ayahnya. Ia anak tunggal dari janda itu. Konon ibunya sangat sayang pada anaknya. Sedemikian sayangnya, sampai ia tidak sampai hati mengijinkan anaknya bersekolah. Sebab bersekolah berarti ia akan jauh dari anaknya sepanjang hari. Padahal kalau ia tidak bersekolah maka sang anak akan selalu berada di sampingnya, menyertai dia di dapur, di kebun, di sungai. Mereka bisa pergi kerja kebun bersama-sama di pagi hari, dan pulang ke rumah bersama-sama di sore hari. Sekolahnya Neles bagi sang ibu sudah seperti sebuah kematian dini. Sebuah prolog bagi kematian yang sesungguhnya, kematian yang membawa pemisahan tegas antara dirinya dan sang anak. Itu sebabnya, ketika sang anak pergi ke sekolah untuk pertama kalinya pertengahan Januari itu, sang ibu meratapi kepergian sang anak seperti meratapi orang mati. Padahal anak-anak lain yang menangis ialah justru anak-anak. Sedangkan ibu dan ayah mereka mendorong dan menghibur serta membesarkan hati anak-anak tentang kebaikan, kegunaan, keuntungan sekolah. Alhasil, Neles tidak pernah betah di bangku sekolah. Sedangkan anak-anak lain yang didukung penuh oleh orang tuanya, bisa bersekolah dengan baik dan tekun. Maka sekarang ketika mereka disuruh bubar lebih cepat dari jadwal biasa, Neles dengan langkah sangat cepat berlari pulang ke rumahnya. Tidak hanya Neles yang berlari cepat, melainkan semua anak juga demikian. Mereka berusaha agar cepat sampai di rumah masing-masing sebelum gelap benar-benar tiba dan menyelimuti bumi di siang bolong itu. Mereka berlari sambil bertanya-tanya: ada apa ini? Mereka berlari ketakutan. Dalam situasi tergesa-gesa itu, beredar kabar burung bahwa bumi akan segera berakhir. “Reno tana lino hoo ga.” Begitu rumor yang beredar. Mendengar rumor itu, anak-anak semakin ketakutan. Ada yang menangis. Mereka takut mereka tidak bisa lagi melihat ayah ibu mereka di kampung kalau peristiwa bumi runtuh itu terjadi lebih cepat. Semakin mereka dilanda ketakutan, semakin cepat mereka memacu langkah mereka. Tidak terkecuali Neles. Ia berlari semakin kencang. Hari semakin gelap. Dalam ketakutan akan kegelapan di siang hari itu, anak-anak berteriak-teriak memanggil ayah dan ibu mereka. Neles juga berteriak memanggil ibunya. Ia hanya memanggil ibunya, sebab ia tidak mempunyai ayah. “Ende, oe ende, nia hau a ende! Gelang koe ta ende mai curu aku anak geongm!” Ternyata dari arah kampung, ibunya Neles juga dilanda ketakutan dan kecemasan yang sama. Ia juga berlari menelusuri jalan yang dilalui anak-anak pergi bersekolah agar segera bisa bertemu dengan anak kesayangannya. Setelah Neles berteriak beberapa kali dalam pelariannya itu, sang ibu pun sudah mendengarnya sayup-sayup dari jauh. Hari makin gelap. Sekarang ada kecemasan baru yang semakin menggelisahkan. Nafas mereka mulai sesak. Kepala mereka mulai gatal. Ketika mereka merabanya ternyata ada abu menumpuk pada rambut mereka. Mereka benar-benar ketakutan. Hari akan segera kiamat. Mereka semakin berteriak histeris ketakutan. Akhirnya sang ibu berpapasan di jalan dengan Neles dan teman-temannya yang tampak hampir mati ketakutan. Maka bersama-sama mereka menempuh perjalanan pulang ke rumah di kampung. Juga dalam situasi ketakutan mencengkam. Mereka tidak tahu apa-apa mengenai apa yang terjadi. Satu-satunya versi penjelasan mengenai peristiwa itu ialah rumor yang beredar: bumi akan segera kiamat. Orang-orang di kampung pun mulai memotong ayam, sebab itu yang mudah ditangkap dan diolah, untuk dimasak menjadi makanan perjamuan terakhir. Mereka berkumpul bersama untuk berdoa dan memakan santapan perjamuan terakhir itu. Hari itu, menjadi hari bencana bagi ayam-ayam. Ayam yang mudah ditangkap menjadi korban. Semuanya dipotong, sebab besok tidak akan ada lagi untuk menikmati daging dan makanan, bahkan juga tidak bisa lagi menikmati hidup. Sebab semuanya akan berakhir. Ketika tiba di rumahnya, si janda pun berpikir dalam hatinya: Nelis ini anakku satu-satunya. Dialah milikku satu-satunya dalam hidup ini. Aku ingin agar aku jangan sampai kehilangan dia di alam seberang kiamat itu. Untuk memastikan bahwa ia tidak kehilangan anaknya, dan agar mudah mengidentifikasi rupa anaknya dalam alam seberang kiamat, maka ia pun menandai anaknya secara fisik. Itulah ‘sare tilu’. Ia menandai anaknya dengan cara memotong sebagian kecil telinganya, seperti halnya orang memotong telinga anjing, kucing, babi, kuda, kerbau, sapi, kambing untuk menandai kepemilikan atas binatang-binatang itu. Juga seperti kebiasaan menandai budak dengan inisial pemiliknya. Maka dengan penuh cinta si ibu mengambil pisau dan memotong telinga anaknya. Dengan penuh cinta pun si anak merelakan telinganya dipotong sedikit oleh ibunya. Setelah berhasil memotong si ibu dan anak sama-sama lega. Mereka tidak akan saling berpisah di dunia seberang sana karena sang ibu akan mudah mengenal tanda pengenal anaknya. Memang Nelis merasa sakit, tetapi sakit itu adalah sebentuk pengorbanan untuk kebahagiaan di dunia seberang sana. Maka tidak ada teriak kesakitan. Semuanya berlangsung dalam diam dan juga dalam harapan dan keyakinan bahwa di sana semuanya akan mudah dikenali kembali. Lalu sang ibu mengambil abu hangat dari sapo di likang mereka, lalu dioleskan pada daun telinga anaknya agar pendarahan berhenti. Itu juga kebiasaan yang mereka lihat pada saat orang memotong telinga kambing, anjing dan babi. Abu dapur pasti dioleskan. Upacara cinta dan pengharapan sudah selesai. Mereka ikut makan di molang pamannya. Sebab pamannya ini memiliki beberapa ekor ayam dan ia sempat menangkap beberapa ekor untuk dipotong sebagai makanan perjamuan terakhir. Si ibu mendorong anaknya makan dengan lahap agar tidak jatuh sakit karena pengaruh pemotongan itu. Si anak juga yang memang sudah lapar, memakan makanan yang enak itu, pakai ayam pula. Sebuah suguhan yang super-mewah untuk ukuran Neles dan ibunya. Setelah kenyang, akhirnya mereka bersepakat berkumpul di rumah besar di kampung itu untuk menunggu datangnya hari akhir itu. Hari kiamat. Mereka menunggu dengan berdoa, dan bercerita. Tidak ada versi lain sama sekali yang bisa menerangkan peristiwa ini. Entah berapa lama mereka menunggu. Mungkin berjam-jam. Tidak ada yang tahu, sebab tidak ada orang yang mempunyai arloji. Jam mereka adalah kokok ayam, dan sinar matahari pagi. Sekarang ayam tidak berkokok lagi. Dan tidak ada matahari. Maka mereka tidak tahu ukuran waktu. Dan tiba-tiba, kegelapan itu mulai mencair kepekatannya. Mulai tampak terang, mula-mula remang-remang, lalu kemudian menjadi terang. Dan terang. Tetapi itu adalah masih hari yang sama dan sudah sore hari. Hari boleh dikatakan terbit kembali. Tidak terjadi kiamat. Terang terbit lagi. Habis gelap terbitlah terang. Tetapi telinga Neles sudah terpotong. Tetapi ia tidak menyesalinya. Ia terjadi, karena dan sebagai tanda cintanya akan sang ibu. Sedemikian besarnya kasihnya sehingga ia merelakan tubuhnya untuk ditandai sebagai tanda pengenalan. Penulis: Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.

Monday, June 1, 2020

CERPEN: MAKANAN ADALAH SURGA

Oleh: Fransiskus Borgias M. Hujan rintik-rintik sudah berlangsung hampir dua minggu. Orang Manggarai menyebutnya dureng. Sekarang kata itu sudah masuk ke dalam salah satu kosa kata Kamus Besar Bahasa Indonesia. Yang jelas dureng ini menyebabkan orang malas keluar rumah, sehingga babi-babipun berteriak dengan suara parau dan ramai memanggil atau merengek-rengek makanan pada tuannya. Tetapi karena hujan rintik berkepanjangan, maka sang tuan pun malas. Namun babi tidak berhenti berteriak dengan suara parau. Lain halnya bagi seorang anak SD usia sekitar 14 tahunan. Nama anak itu Nelis. Walaupun hujan rintik-rintik mau tak mau ia harus pergi antre bulgur di pastoran sebab di sanalah bantuan bencana kelaparan dipusatkan. Tetapi hari itu ia belum makan pagi. Mungkin karena persediaan makanan sudah tidak ada lagi. Perutnya tentu lapar berat. Tungkai dan lututnya terasa lemas. Ia harus berjalan sampai ke pastoran. Perutnya buncit, tanda busung lapar. Kulitnya hitam. Untung ingusnya tidak lagi mengalir seperti ketika ia masih kelas 1 sd. Kalau tidak ingus itu menyerupai dua buah sungai kecil yang mengalir sejajar di dalam hutan belantara hitam, sebab ia hitam kulitnya. Setelah berjalan cukup jauh dari kampungnya, ia tiba di pastoran. Nafasnya tersengal-sengal. Ia menggigil kedinginan karena memang ia kehujanan. Ia menjadi semakin lemas. Namun ia harus masuk dalam barisan untuk mengantre pembagian bantuan bulgur. Antrean masih cukup panjang. Ia berada di barisan kira-kira ke-65 orang. Masih cukup panjang. Sebuah penantian yang menyiksa. Belum lagi 10 orang lewat dalam layanan, tiba-tiba Nelis sudah tidak lagi mampu berdiri. Ia jatuh pingsan. Jelas, ia kelaparan dan kedinginan, dan keletihan, sebab dari kampungnya ia harus berjalan selama lebih dari satu jam untuk mencapai pusat paroki. Ayah saya, seorang guru SD yang diminta pastor Paroki untuk membantu membagi dan mendistribusikan bulgur itu, langsung meminta orang-orang agar membawa Nelis ke rumah kami. Ayah sendiri ikut mengantarkannya ke sana. “Mama, tolong kasih makan anak ini. Ia kelaparan dan kedinginan. Makanya ia jatuh pingsan ketika mengantre bulgur.” Setelah memberi keterangan singkat itu, ayah segera pulang lagi ke pastoran karena tugasnya belum selesai. Semula ibu saya hanya bengong saja melihat kedatangan orang-orang itu yang memapah Nelis. Setelah mereka semua pergi, ia pergi ke dapur mengambil apa saja yang bisa dimakan. Memang kami tidak serba kelebihan dalam soal makanan, tetapi kami tidak kelaparan selama musim lapar yang mencengkam ini. Ibu mencedok makan (nasi jagung) satu piring penuh. Yang tersisa hanya sayur dingin daun singkong. Itu juga diberikan. Tidak ada lauk-pauk lain. Nelis yang kini sudah siuman dan rada pulih kembali, duduk dan mulai makan. Ia makan dengan sangat lahapnya, sebab ia memang sangat kelaparan. Dalam sekejab nasi sepiring penuh dan sayur semangkuk penuh, habis dimakan Nelis, seakan-akan dengan menelannya begitu saja tanpa mengunyah. Sebab ia tidak terutama mau menikmati makanan itu di dalam dan dengan mulutnya, melainkan terutama dengan maksud untuk mengisi perutnya. Memang dalam keadaan seperti ini, makanan bukan lagi terutama untuk mulut, melainkan untuk perut. Lalu ia meminum segelas air yang juga sudah disediakan ibu saya. Barulah sesudah itu ia berdoa, walau pada awalnya tadi ia tidak berdoa. Sekarang ia berdoa sesudah selesai makan. Ia berdoa begitu saja tanpa diawali tanda salib sebagaimana lazimnya orang-orang Katolik berdoa. “Tuhan, terima kasih.” Jeda sejenak. “Makanan adalah surga, makanan adalah kebahagiaan.” Jeda lagi. “Engkau telah datang ke mari lewat mama dan bapa. Mereka dewa penolongku dari kelaparan ini.” Sambil memandang ibuku: “Mama e, ite dewa ata campe saep daku. Ite malaekat campe latang te aku.” Begitulah doanya dengan sepotong kalimat bahasa Manggarai. Sesudah itu, daya makanan itu sudah mulai bekerja di dalam perutnya. Itu tampak dalam pancaran sinar matanya yang mulai cerah bersinar. Ia mulai tersenyum dan mampu berbicara banyak. Memang anaknya seorang periang. Tiada henti-hentinya ia memuji kebaikan Mama yang telah menjadi tangan Tuhan baginya untuk menolong hidupnya. Setelah kenyang dan selamat, ia mohon pamit pada mama untuk kembali masuk dalam antrean di gudang pastoran. Papa memandang dia dengan senyum. Papa yakin ia sudah selamat. Ketika mata Nelis berpautan dengan papa, ia mohon ijin kepada teman di belakangnya agar menjaga baris antreannya karena ia mau menyampaikan sesuatu kepada papa. “Papa, engkaulah dewa penolong dan penyelamatku. Terima kasih bapa. Engkau telah menjadi bapaku.” Papa hanya memandang dengan terharu kepada dia. Lalu Nelis kembali lagi ke barisan antreannya. Kini dengan daya kekuatan baru, dan juga dengan sebuah tekad baru: memulai hidup baru setelah selamat dari ancaman maut kelaparan. Sebab ia tahu, kalau ia tidak segera ditolong, mungkin ia akan segera mati entah kelaparan atau kedinginan. Ia mendapat jatah bulgur, lalu dibawanya pulang untuk dimakan bersama ibunya yang menunggu di rumah. Sesungguhnya bulgur itu rasanya tidak enak di lidah, tetapi makanan bukanlah untuk lidah dan mulut melainkan untuk untuk perut. Karena ia tampak kurang gizi, maka ia juga mendapat jatah tambahan berupa susu bubuk. Tetapi susu ini baunya amis. Tetapi bukan itu masalahnya. Orang di kampung tidak pernah minum susu. Mereka tidak biasa minum susu. Begitu mendapat jatah susu bubuk, mereka mengecapnya dan merasakan sebuah cita rasa aneh. Tetapi lagi-lagi mereka tidak peduli dengan citarasa itu di mulut mereka. Yang penting ialah perut mereka. Sebab perkara perut adalah perkara hidup. Sedangkan perkara mulut adalah perkara kenikmatan sesaat. Dengan konsep seperti itu, Nelis mencoba menikmati semuanya itu dengan penuh rasa syukur kepada Tuhan. Ia diberitahu bahwa sumbangan itu berasal dari Luar Negeri, mungkin dari Amerika Serikat. Konon makanan itu di sana adalah makanan ternak (kuda). Ya, mau apa lagi. Dalam situasi kelaparan seperti ini, mereka tidak punya pilihan lain. Nelis teringat akan cerita gurunya di sekolah pada hari-hari pertama pelajaran agama. Anak bungsu yang nakal itu kelaparan di negeri orang. Ia terpaksa makan makanan babi dan bahkan bersama babi. Setidaknya anak bungsu itu punya pilihan: pulang ke rumah bapanya dan bisa makan kenyang di sana. Nelis tidak mempunyai pilihan itu. Dan ia menangis karena ia tidak tahu siapa ayahnya dan di mana ayahnya. Dan ia tidak mau lagi menanyakan hal itu kepada ibunya. Satu kali ia pernah tanyakan hal itu karena didesak teman-temannya yang mengolok dia “anak lalo” (yatim). Dan ibunya hanya menjawab dengan diam, dan tetesan air mata. Bagi Nelis, tangis ibunya jauh lebih menyakitkan daripada kenyataan bahwa ia tidak tahu siapa dan di mana ayahnya. Maka ia diam. Juga kalau ditanya teman-temannya.

Monday, May 25, 2020

ATG – MENGENAL CLETUS GROENEN OFM

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR, Bandung.




Pater Cletus Groenen. Sebuah nama besar dalam dunia teologi, khususnya teologi biblika di Indonesia. Ia adalah seorang dosen ilmu Kitab Suci pada Seminari Tinggi, Kentungan, Yogyakarta. Ia adalah seorang imam Fransiskan. Ia berasal dari negeri Belanda. Tetapi ia menamatkan sekolah Kitab Sucinya di Roma. Tetapi bukan di Biblikum, juga bukan di Gregoriana, melainkan di Antonianum, universitas milik para pater Fransiskan di Kota Abadi itu. sudah sejak tahun 50-an ia datang untuk berkarya di Indonesia. Mula-mula di Seminari Tinggi Fransiskan di Cicurug, Sukabumi, tetapi kemudian di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta.

Sebenarnya saya sendiri sudah pernah mendengar dan membaca sesuatu tentang nama Cletus Groenen (selanjutnya akan disingkat CG saja) sejak saya masih duduk di bangku Seminari Kecil dan Menengah Pius XII, Kisol, Manggarai Timur, Flores. Pada saat itu saya membaca tentang dia dalam beberapa berita yang ada di dalam majalah mingguan Hidup, ataupun juga dalam pelbagai tulisan dia yang muncul di dalam majalah bulanan Rohani, juga dalam majalah spectrum dari KWI, juga dalam majalah Orientasi, dan terutama sekali dalam buku-buku kitab suci yang dia tulis dalam bidang Kitab Suci, baik yang terbit di Kanisius, maupun terutama yang terbit di Nusa Indah, Ende, Flores.

Setelah tamat dari Seminari Menengah Pius XII Kisol, saya masih melewatkan masa pendidikan Postulant OFM di Biara Santo Yosef Pagal, Manggarai. Di sanalah, selama satu tahun, saya semakin banyak mengenal pater CG lewat majalah bulanan khusus intern keluarga OFM, yaitu Taufan yang asyik dan menghibur itu. Saya juga bisa mengenal beliau melalui majalah dwi-bulanan keluarga Fransiskan, yaitu Perantau, sebab beliau sering sekali menulis di sana tentang hal-hal yang berkaitan dengan spiritualitas Fransiskan. Di postulant ini juga saya bisa mengenal beliau lewat beberapa kepustakaan yang khas Fransiskan.

Hingga tahun 1982, bulan Juli, saya masih belum sempat bertemu dengan dia secara langsung, dari muka ke muka. Karena saya masih di Flores dan dia tinggal di tanah Jawa, persisnya di kota Yogyakarta. Sampai saat itu saya juga tidak tahu apakah ia pernah ke Manggarai. Yang jelas ialah bahwa pertemuan saya yang pertama dengan beliau baru terjadi pada pertengahan bulan Juli 1982. Setelah selesai dengan masa pendidikan postulant kami di Pagal selama satu tahun, saya dengan teman-teman lalu ramai-ramai berangkat menuju ke Yogyakarta untuk memulai pendidikan lanjutan kami yaitu di dalam novisiat Fransiskan di Biara Santo Bonaventura, Yogyakarta.

Baru pada saat itulah saya baru sempat bisa bertemu secara langsung dari muka ke muka dengan beliau. Saat itu ia tinggal di biara santo Bonaventura, Jl.Legi Papringan, No.7, Kotak Pos 29, Yogyakarta. Sehari-hari ia mengajar di Fakultas Teologi di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta, dan juga di STKAT Pradnyaparamita, Yogyakarta juga.

Sejak pertama kali saya melihatnya secara langsung saya langsung kagum dan terkesan sekali: Ia orangnya sangat serius, tekun, pekerja keras, matiraganya kuat (makannya sedikit) yaitu ia hanya makan roti sepotong saja di pagi hari, sedikit nasi di siang hari. Badannya sangat ramping (bahkan cenderung ke arah kurus). Ia juga selalu mengenakan jubah hitamnya. Hidupnya serba sangat teratur dan berirama. Yang sangat menarik perhatian saya ialah, walaupun dia seorang imam, seorang doctor Kitab Suci, seorang dosen yang terkenal, toh ia setiap hari mencuci pakaiannnya sendiri. Ia keringkan pakaiannya sendiri, pokoknya semuanya, dengan cara digantung dengan gantungan di jendela kamarnya yang terbuka kea rah taman bunga. Tampaknya tidak di setrika.

Ia juga seorang perokok sejati. Tidak ada waktu yang tanpa merokok. Ia hanya berhenti merokok kiranya saat ia tidur dan merayakan perayaan ekaristi dan brevir. Pada saat makan, dia juga makan cepat dan sesudah itu ia merokok. Di luar jam-jam itu ia merokok. Ia seorang perokok berat sudah bagaikan gerbong atau lokomotif Kereta Api yang terur berjalan. Ia bangun pagi-pagi dan pergi tidur larut malam, seperti kata pemazmur itu. Ia sangat rajin dan sangat tekun membaca. Di meja kamarnya selalu ada buku tebal yang terbuka dan sedang dibacanya dengan tekun.

Oleh karena ia sangat suka merokok, maka ada banyak lubang-lubang kecil pada jubahnya. Lubang-lubang kecil itu ada di mana-mana, karena pengaruh percikan apir rokoknya sendiri. Ia juga seorang penasihat dan bapa rohani yang tegas dan berwibawa, tetapi juga terkadang jenaka. Selama di masa novisiat saya lebih dari tiga kali pergi meminta waktu dia untuk bimbingan rohani, berbicara dari hati ke hati tentang masalah hidup doa dan hidup seksualitas dan tentang drama jatuh cinta anak manusia.

Di bagian lain saya akan menceritakan satu persatu momen-momen itu. tetapi di sini saya lanjutkan dulu peristiwa perkenalan awal saya dengan beliau. Yang jelas, tidak pernah sekalipun saya melihat dia mengenakan pakaian lain selain jubah. Ia selalu berjubah. Jubah itu adalah pakaiannya sehari-hari, bukan hanya sekadar pakaian formalitas untuk urusan liturgis kegerejaan dan kealtaran saja. Sungguh-sungguh mengagumkan.

Pada suatu kali, saya lupa persis kapan waktunya, saya melihat dia pergi keluar. Oh ya bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Pada saat itu ia mengenakan celana panjang hitam dan baju atasan biru sangat muda (cenderung kea rah putih) dan berlengan panjang. Bajunya itu ia masukin ke dalam celananya. Istilah kami di Flores, khususnya di Manggarai, stell-in (lawannya stell-out). Entah diperoleh dari mana istilah itu. pater CG tampak ramping sekali dan cakep juga. Malam itu ia dijemput oleh seorang bule. Jauh di kemudian hari saya baru tahu bahwa itu tidak lain adalah Pater Dr.Bernhard Kiesser SJ, dosen teologi Moral di seminari Tinggi Kentungan, Yogyakarta.

Saya mendapat penjelasan dari para senior bahwa konon mereka pergi makan di sebuah restoran karena pada hari itu pater CG sedang merayakan hari ulang tahunnya. Belakangan juga saya diberitahu bahwa hanya Pater Bernhard Kiesser sajalah yang bisa mengajak pater CG pergi keluar untuk makan di restoran dengan mengenakan busana sipil (non-jubah). Tetapi itupun tidak pada sembarang waktu. Melainkan hanya pada kesempatan ulang tahunnya saja.

Konon tidak pernah ada vicaris dan kemudian provincial OFM yang bisa membujuk atau mengajak pater CG untuk pergi keluar dengan mengenakan busana sipil, seperti yang bisa dilakukan oleh Pater Kiesser. Maklum, pater Kiesser, konon, dulu adalah mahasiswa kesayangan pater CG, dan hubungan yang baik itu masih terus berlangsung bahkan setelah pater Kiesser sendiri juga sudah menjadi dosen teologi Moral di Seminari Tinggi Kentungan. Ah, pater CG yang unik, nyentrik, eksentrik.

Thursday, May 21, 2020

ATG – PENUH ILAM

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen dan Peneliti FF-UNPAR, Bandung.




Saat saya tinggal di Yogyakarta, saya sering sekali juga ikut perayaan ekaristi di Kapel kecil para suster Klaris Pacet di STM Pembangunan, Mrican. Biasanya yang memimpin perayaan ekaristi di sana adalah pater CG sendiri. Ternyata ada banyak juga umat yang menjadi penggemar dan pendengar setia Kotbah-kotbah Pater CG. Tidak hanya umat umum. Kalangan mahasiswa Katolik juga ada yang menaruh minat sangat besar kepada kotbah-kotbah beliau. Mereka menunggunya dengan sabar dan setia. Ya mereka menantikan kotbah Mingguan pater CG di sana dengan penuh harap dan rasa penasaran. “Kotbah tentang apalagi nanti Pater Groenen yah?” kira-kira begitulah ungkapan harapan dan penantian mereka.

Ada juga beberapa mahasiswa Manggarai yang menempuh studi di Universitas Sanata Dharma yang juga menjadi penggemar berat pater CG. Salah satunya ialah teman saya dari seminari Kisol dan menengah dulu, namanya Heribertus Sambang. Walaupun dia mengaku bahwa sudah banyak lupa karena banyak kesibukan, sudah ada jarak waktu yang sangat jauh juga, tetapi ada beberapa hal yang ia ingat tentang Pater CG. Ada satu poin yang paling dia sangat ingat baik dari rangkaian kotbah-kotbahnya, yaitu mengenai hubungan Israel dan Palestina. Tidak aka nada damai selain perang dan perang di antara keduanya karena memperebutkan Tempat Suci di Yerusalem. Para pihak saling mengklaim sebagai pihak yang paling berhak atas tempat suci itu. Hal kedua yang dia ingat ialah, tentang sosok kepribadian pater CG sendiri. Di mata temanku Heri, pater CG, sama seperti pater-pater OFM yang lainnya, “terkenal dengan kesederhanaannya, selalu hadir sebagai pelayan dalam segala bentuk kehidupan, termasuk dalam urusan dapur juga.” (Ini saya kutip dari WA temanku Heri itu).

Pa Heri memberi pengakuan jujur bahwa hingga sekarang ini ia tetap berangan-angan jika pada suatu saat kelak Vatikan memberi dispensasi kepada pasutri Katolik untuk hidup membiara, dia akan tetap memilih untuk menjadi OFM. Ia merasa bahwa OFM, sudah sangat melekat menyatu dengan hidupnya. Seorang temanku yang lain, Yohanes Rajawali, memberi sebuah kesaksian sbb: “Ia mengenal beliau karena dua hal. Pertama, karena buku pegangan untuk pelajaran agama Katolik. Kiranya buku yang dimaksudkan itu adalah buku Panggilan Kristen. Kedua, John juga pernah mendengar tentang kesederhanaan beliau dalam hidupnya. Ia mencuci sendiri jubah dan baju dalamnya. Bahkan ia hanya mempunyai satu jubah saja. John juga mengaku bahwa saat ia beberapa kali bertemu dengan Pater CG, John sangat merasakan pancaran aura kesucian di dalam hidupnya. Terasa seperti ada sesuatu yang memancar keluar dan sangat bisa kita rasakan pancaran itu. temanku yang lain, yang bernama Sylvester Manti, juga mempunyai kenangan tersendiri akan Pater CG. Pak Syl inilah yang menjadi salah satu penggemar dan penunggu setia kotbah-kotbah pater CG di kapela para suster itu.

Ben Galus, juga merupakan seorang teman yang termasuk orang yang menyukai pater CG. Ia sering menyampaikan kepada saya bahwa ia sudah membaca beberapa buku beliau. Walaupun untuk itu, ia harus mengernyitkan kening karena buku-buku itu membahas tentang Kitab Suci dan teologi, suatu bidang yang berbeda dengan bidang ilmu beliau sendiri. Namun demikian, beliau juga mengaku memiliki beberapa koleksi buku dari pater CG. Suatu hal yang mengagumkan. Masih ada juga beberapa nama lain yang termasuk dalam barisan orang-orang yang mengagumi Pater CG, baik itu terkait dengan cara hidupnya yang sederhana, maupun terkait dengan kotbah-kotbah biblis nya yang oleh banyak pendengarnya dianggap kena dan mendalam. Tetapi mungkin pada kesempatan lain saya akan mengulas tentang hal itu di sini. Untuk saat ini saya hanya menampilkan beberapa kutipan di atas saja. Sekian dan terima kasih.

Tuesday, May 19, 2020

ATG – KEGAMANGAN

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika, FF-UNPAR, Bandung.




Hari baru, 01 Januari 1989. Hari baru. Hidup baru. Saya terbangun pagi dini hari. Karena hari itu kami tidak ada kegiatan serius, maka saya santai saja. Saya mandi. Semua sudah berubah. Semua sudah menjadi lain. Saya sudah lain. Ketiga teman juga sudah menjadi lain. Tetapi mereka tidak atau belum tahu apa yang terjadi semalam. Mereka tidak tahu apa yang saya lakukan semalam. Mereka belum tahu keputusan apa yang sudah saya ambil semalam. Tetapi mereka harus segera tahu. Sebelum saya pergi meninggalkan tempat ini, saya mau pergi baik-baik. Tidak menghilang begitu saja. Tanpa pamit. Saya harus pamit baik-baik kepada ketiga temanku ini. Kami sudah bersama sejak novisiat tahun 1982. Dan sekarang harus mengambil jalan sendiri-sendiri.

Sekarang di pagi hari ini, saya ingat lagi bagaimana semalam, dalam waktu yang tidak lebih dari lima menit, saya keluar dari kamar pater CG dengan membawa sebuah surat yang sudah dimasukkan ke dalam sebuah amplop panjang. Saya tidak tahu apa isinya. Yang jelas, perintahnya jelas: Hari ini saya harus kembali ke Jakarta dan membawa surat ini langsung ke pater Propinsial. Hanya itu. Sedih juga rasanya. Pater CG sangat dingin dan datar. Mungkin karena dia sudah tahu dan hafal semua perjuangan saya selama ini.

Sekarang saya ingat bahwa waktu novisiat dulu saya pernah ke kamar dia lebih dari tiga kali rasanya untuk meminta bimbingan rohani. Waktu belajar teologi entah berapa kali saya ke kamar dia. Tetapi yang terkait dengan bimbingan rohani ada tiga kali juga. Selebihnya saya ke kamar dia untuk bimbingan skripsi atau urusan lain misalnya menanyakan sebuah konsep teologis tertentu yang susah dipahami. Jadi total enam kali saya ke kamar dia untuk bimbingan rohani. Mungkin karena latar belakang itulah, maka saat saya mengatakan bahwa saya berhenti, dia tidak berusaha menahan-nahan lagi.

Tetapi satu hal saya juga merasa senang. Saya lewati tahun 1988 dengan sebuah putusan baru. Sampai kemarin saya masih manusia lama yang bingung. Sekarang per satu Januari 1989 saya sudah menjadi manusia baru, tetapi jujur saja, masih tetap bingung dan gamang juga. Harus hidup bagaimana.

Yang jelas saya harus mulai hidup sebagai manusia baru dengan berangkat dari titik nol, bahkan mungkin juga dari titik di bawah nol. Hal itu sudah jelas dengan sendirinya setelah sekian tahun saya dibentuk di dalam konteks cara hidup tertentu, dan sekarang saya harus terlepas bebas di luar sana. Ya, saya harus mulai. Dengan berani. Dengan tegar. Lega? Ya, setidaknya saya sudah bebas dari tegangan pilihan itu. Saya sudah berani memilih dan memutuskan salah satu. Tidak bisa dua-duanya. Saya lega dalam arti itu. Walaupun tetap juga ada cemas. Saya harus tinggal di mana nanti di Yogya? Bagaimana saya bisa hidup? Bagaimana saya harus kabarkan hal ini ke kampung? Bagaimana saya harus mengabarkan hal ini kepada adik saya yang saat itu ada di novisiat Transitus Depok. Ah semuanya harus dipikirkan. Semuanya harus dicemaskan.

Dulu saya pernah mendapat sebuah nasihat yang sangat indah dalam Bahasa Jerman, katanya: Du brauchst keine Angst zu haben. Engkau tidak usah takut ataupun cemas. Saat saya ingat lagi akan pesan itu, sayup-sayup terdengar lagi sebuah antiphon mazmur completorium: “Tuhan akan menudungi engkau, dengan kepak-Nya, engkau tak usah takut akan bahaya, di waktu malam.” Ah betapa indahnya lagu itu. Betapa indah himbauannya. Tetapi ternyata hal itu tidak mudah untuk dihayati.

Pengalaman keluar dari kelompok yang selama ini telah engkau akrabi dan yang juga telah membesarkan dirimu, saya rasakan seperti pengalaman Yudas. Saya bukannya mau menyamakan diri dengan Yudas. Tetapi saya membayangkan ada suatu kesamaan suasana psikologis. Saya membayangkan bahwa pada malam itu ia pergi meninggalkan kelompok nyamannya untuk pergi ke suatu tempat. Walaupun saya bukan seorang pengkhianat, tetapi rasanya saya bayangkan situasi batin dan psikologisnya mirip. Gamang tingkat dewa. Dari sini dia sudah terlepas atau melepaskan diri. Sementara ke sana (yaitu ke tujuannya) dia belum tentu diterima juga. Sebab di antara mereka yang ada hanya sekadar sebuah hubungan fungsional dan situasional saja.

Menurut Lukas dan Matius, Yudas mencari jalan keluar dari kegamangan itu dengan bunuh diri. Tidak. Saya harus tegar. Saya harus mengatasi kegamangan itu. tidak boleh jatuh ke dalam rasa putus asa. Oh ya, pada saat saya memutuskan hal ini saya belum menyelesaikan ujian pendadaran teologi saya. Mungkin itulah sebagian dari rasa gamang saya itu. di samping rasa gamang lain. Saya tidak bisa menggampangkan situasinya sekarang dengan mengatakan saya gamang, maka saya ada. Sesuatu yang biasanya sering diucapkan orang-orang termasuk saya, dengan memodifikasi ucapan filosofis Cartesius itu. Tidak. Saya mencoba tenang saja. Juga dalam situasi kegamangan. Saya harus mulai dari sini. Dengan hari baru ini. Cerah. 1 Januari 1989. Tidak akan terlupakan dalam hidup saya.

Setelah mandi pagi, saya perlahan-lahan berjalan menuju ke kamar makan. Rupanya pater CG sudah sarapan lebih dahulu sehingga ia tidak ada di sana. Saya merasa senang. Ada ketiga temanku di sana. Sedang pada sarapan. Setelah berdoa, dan belum mengambil sarapan, saya meminta waktu kepada ketiga teman saya. “Teman-temanku, Saya mau berbicara.” Terasa sekali saat itu hening. Mereka bertiga mau mendengar saya. “Teman-teman,” saya ucapkan satu persatu nama mereka masing-masing, “…Saya sudah memutuskan untuk berhenti.” Ketiganya memperlihatkan rasa terkejut. Juga ada rasa tidak percaya. Kok bisa. Bahkan saya masih ingat, salah seorang dari ketiganya mengatakan: “Frans, kau jangan menyangka bahwa kami ini tidak berjuang memikirkan bagaimana ke depannya hidup ini.” “Kita sama-sama berjuang Frans.” “Jatuh dan bangun. Memikirkan banyak kesulitan dan tantangan”. Lalu saya mengatakan: “Iya, teman-teman, saya tahu itu. Tetapi saya sudah memutuskan untuk berhenti. Cukup sampai di sini.” Hening sejenak.

“Bagaimana dengan bapa tua itu?” tanya Dominikus mengenai pater CG. “Ya, tadi malam, tepat jam 12 malam saya sudah menghadap beliau. Dan dia sudah setuju. Bahkan dia sudah menulis surat pengantar untuk saya bawa hari ini ke Jakarta ke Pater Propinsial.” “Jadi, Frans hari ini mau pulang?” tanya Domi lagi. Saya mengangguk. “Iya saya pulang.” Hening lagi.

Sedih juga rasanya karena sebentar lagi saya akan pergi meninggalkan ketiga teman saya itu. Dan karena hari itu memang tidak ada acara serius, terkait libur tahun baru, maka ketiga teman saya pun mengantar saya ke pinggir jalan raya. Dari saya naik angkot menuju ke terminal Cisaat. Cisaat ke Jakarta. Selesailah sudah. Consummatum est.

Sunday, May 17, 2020

ATG - DOMINE, NON POSSUM

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR, Bandung.



Tanpa terasa kami sudah memasuki tanggal 31 Desember 1988. Ya, hari terakhir tahun itu. Karena besoknya tahun baru, maka direncanakan bahwa pada hari itu, kami berlibur. Tidak ada kegiatan ceramah ataupun pendalaman. Bahkan kami juga boleh berjalan keluar. Tetapi hal itu baru akan terjadi besok. Hari ini, masih ada sebuah kegiatan lain yang harus kami lewati. Rupanya hari terakhir di akhir tahun ini mau dibuat oleh Pater CG menjadi sebagai simbolisme bagi titik akhir perjalanan hidup manusia di dunia ini. Maka pada hari ini kami diajak untuk merenungkan tentang puncak-puncak hari tua dan misteri kematian itu sendiri. Ya, kematian itu adalah sebuah misteri. Tidak ada seorang pun yang pernah pulang dari seberang gerbang alam maut itu. Bagi saya istilah mati-suri adalah bukan mati. Paling-paling kita manusia yang masih hidup di dunia ini hanya mencoba membayangkan apa yang akan terjadi di sana.

Dalam untaian refleksinya ini, tidak lupa pater CG memberikan insight fransiskan tentang kematian itu. Kematian adalah sakramen kemiskinan terakhir. Kira-kira begitulah inti teologi fransiskan dan Fransiskus tentang kematian. Pandangan teologi seperti ini dapat dengan mudah kita temukan dalam buku-buku teologi dan spiritualitas standar kefransiskanan. Tetapi dalam bentuk yang popular saya paling suka akan apa yang dibentangkan oleh Carlo Carretto dalam bukunya Io Francesco itu. Entah pengalaman rohani seperti apa yang dialami dan dirasakan oleh Fransiskus, yang jelas dalam salah satu baris dari puisi kosmisnya yang terkenal itu, Kidung Saudara Matahari, Canticum Solis itu, kita menemukan sebuah sapaan yang sangat akrab dan mesra akan maut. Fransiskus menyebut maut itu sebagai saudarinya: Selamat datang saudari maut badani.

Kalau sepanjang hidupmu anda sudah hidup miskin, itu artinya setiap kali anda melakukan aksi let it go, let it go, suatu aksi detachment, melepaskan, membiarkan, pasrah, tidak mengungkungi, tidak mengehaki. Kalau sepanjang hidupmu engkau sudah melakukan aksi let it go itu, maka tatkala maut datang, ia datang sebagai saudari yang merangkul dan memeluk kita dalam kasihnya yang begitu hangat. “Selamat datang saudari maut.” Begitu kata Fransiskus. Dan bersama sang saudari itu kita masuk dan melewati pintu menuju ke ruang keabadian.

Dan tidak lupa Carlo Carretto mengingatkan bahwa sang Tuan Putri Kemiskinan, Domina Paupertas, Lady Poverty itu, mengantar kita melalui sang pintu, yaitu Yesus yang dalam salah satu ucapanNya pernah menyatakan diri sebagai pintu (Yoh 10:9). Dan keajaiban pintu ialah bahwa ia membuka atau terbuka dan begitu terbuka maka sampailah kita di seberang saat itu juga dengan sangat pasti. Dahsyat banget omongan Carretto ini. Secara lebih prosa-liris, sastrawan Amerika, Murray Bodo juga melukiskan kemesraan datangnya saudari maut itu dalam bukunya Saint Francis, Journey and the Dream. Sebuah buku yang indah sekali.

Namun demikian, tetap saja semua hal itu bagi saya seperti sebuah yang seakan-akan menggiring saya ke sebuah lubang hitam, titik akhir. Dan hal itu amat menyesakkan dada dan juga sekaligus menakutkan. Ah, kenapa semua permenungan ini harus sampai bermuara ke sini? Ah hebat sekali pater CG memainkan semuanya ini. Mungkin dia ingin kami agar dilahirkan kembali nanti sesudah pengalaman kesesakan itu. Entahlah. Semoga begitu. Yang jelas sekarang saya seperti merasa terjepit.

Teringat lagi dua hari yang lalu, Provinsial datang secara khusus dari Jakarta untuk mengunjungi kami berempat di Bunut, Sukabumi. Sebagai Bapa ia mengajak kami satu persatu berbicara dari hati ke hati tentang perkembangan yang kami rasakan. Pada saat itu, saya sudah berjuang antara, apakah saya harus jujur sekarang atau tidak? Harus berani jujur sekarang atau tidak? Akhirnya saya memutuskan untuk menunda keberanian dan kejujuran itu. Oleh karena itu, dengan sangat tenang saya mengatakan kepada pater provincial bahwa saya baik-baik saja dan akan terus melangkah dengan pasti.

“Bagus Frans. Undangan Misa Kaul Kekal sudah dicetak. Ada empat nama.” Walaupun terkejut, tetapi saya tetap simpan keterkejutan itu dalam hati saya. Pater provincial tidak menginap di rumah ret-ret. Setelah berbicara dengan masing-masing dari kami, beliaupun pulang lagi ke Jakarta. Itu sudah dua hari yang lalu. Sekarang sudah harus berjuang lagi.

Hari sudah mulai condong ke barat. Kami akan segera mulai lagi sesi di sore hari itu. 31 Desember. Besok adalah hari libur, hari pembebasan dari rutinitas ini. Begitu seruku dalam hati. Setelah mendengarkan lanjutan sesi sore di mana Pater CG membeberkan beberapa pandangan filosofis tentang realitas maut itu dan dicampur juga dengan pandangan teologi pengharapan dari Ladislaus Boros, dan Juergen Moltmann dan Schillebeeckx, saya kembali ke rutinitas personalku di tebing itu. Mendengarkan alam dan suara hatiku sendiri.

Di situlah aku merasa bahwa aku harus segera memutuskan sesuatu. Ataukah saya harus bicarakan dulu dengan ketiga temanku? Sesungguhnya saya ingin sekali membahas dulu hal itu dengan mereka. Tetapi saya melihat dan merasa bahwa ini masalah personal. Lagipula saya melihat mereka bertiga sangat tenang. Seperti tidak ada masalah. Dominikus, yang paling senior di antara kami, karena ia masuk usia sesudah lama bekerja sebagai katekis di Papua, tampak sangat tenang. Dan saya menjadi sangat sungkan melihat gerakannya yang sangat tenang. Saya hanya bisa melihatnya dari jauh. Saya mencoba melihat temanku yang lain, Paskalis Bruno Syukur. Dia pun tampak sangat tenang. Seperti sungguh menguasai diri. Saya lalu menjadi sangat minder melihat ketenangan mereka. Ah jangan-jangan aku yang aneh di sini. Aku yang gila.

Diam-diam kuberharap agar bisa melihat pintu masuk melalui temanku yang ketiga. Saya berharap begitu karena selama ini, kami suka bercanda, suka main gitar dan nyanyi bersama, suka merokok bersama. Tatkala saya melihat dia juga, ah dia juga sangat tenang. Saya merasa semua pintu untuk aku seperti sudah tertutup. Susah sekali rasanya untuk mulai berbicara manakala hatimu sendiri sedang bingung dan goyah, sementara orang yang kau ingin ajak bicara tempat sangat tenang. Jangan-jangan dia tidak akan mempedulikannya? Jangan-jangan dia akan meremehkan? Jangan-jangan dia akan menertawakannya.

Saya sempat berpikir dan mencoba meyakinkan diriku bahwa yang kau lihat itu pada mereka belum tentu benar. Siapa tahu begitu engkau berani mendekati salah satu di antara ketiganya, mungkin akan ada pintu yang terbuka, mungkin akan ada sharing yang menghidupkan dan memberi semangat baru. Sempat pikiran positif itu kubiarkan muncul. Tetapi begitu aku melirik mereka lagi, mereka sudah terhanyut dalam keheningan doa dan kontemplasi mereka masing-masing. Ah Frans, janganlah kau rusakkan kontemplasi mereka dengan kegilaanmu ini. Berhentilah. Berhentilah.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...