Showing posts with label tahun paulus. Show all posts
Showing posts with label tahun paulus. Show all posts

Monday, December 1, 2008

BELAJAR DARI PAULUS, KOMUNIKATOR ULUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Pengantar

Saya diminta Praedicamus untuk menulis tentang komunikasi dari perspektif Kitab Suci. Dari pada berbicara secara teoretis mengenai komunikasi, lebih baik belajar praksis komunikasi dari Paulus, komunikator ulung gereja purba. Maka tulisan ini bukan teori komunikasi. Ini ulasan pengalaman yang berangkat dari praksis komunikasi Paulus. Tulisan ini sangat ringan karena berangkat dari praksis. Bagaimana praksis komunikasi Paulus? Tidak lain ialah surat, korespondensi. Sebelum membeberkan korespondensi Paulus, terlebih dahulu saya mau membeberkan mengenai penetapan tahun Paulus oleh Paus Benediktus XVI. Saya memilih Paulus karena ini adalah tahun Paulus, pewarta ulung gereja purba (praedicator, praedicare, dari mana nama Praedicamus berasal).

Penetapan Tahun Paulus

Setelah terpilih April 2005, Paus mengunjungi Basilika St.Paulus di luar Tembok, untuk berdoa di makam rasul agung. Ini dimaksudkan untuk menghormati warisan misionernya yang agung. Saat itu Paus merenungkan sifat kodrati gereja. Dari kodratnya gereja itu misioner. Tugas utama gereja ialah mewartakan injil. Pada dekade pertama milenium ketiga, gereja merasa bahwa perintah misioner Kristus dulu terasa semakin mendesak dan mendesak lagi dari pada sebelumnya.

28 Juni 2007, menjelang hari raya Petrus-Paulus, Paus mengumumkan rencana membuat tahun Paulus, untuk mengenang dan menghormati Paulus. Juga dimaksudkan sebagai persiapan perayaan 2000 tahun kelahiran rasul para bangsa itu. Perayaan ini berlangsung satu tahun: 29 Juni 2008, sampai 29 Juni 2009. Perayaan ini dimaksudkan untuk menyoroti sumbangan Paulus bagi penyebaran Injil pada abad pertama gereja.

Umumnya para ahli beranggapan bahwa Paulus lahir tahun 10 di Tarsus (Turki modern). Menurut Kisah Para Rasul, ia cukup lama menentang Jalan Tuhan (sebutan cara hidup Kristen). Tetapi dalam perjalanan ke Damaskus untuk menyeret pengikut Jalan itu, ia “bertobat.” (Saya menulis kata ini dalam tanda kutip, mengikuti Carlo Martini, agar membedakan makna tobat itu dalam artian bertobat dari dosa, sebab Paulus tidak berdosa, melainkan tobat dalam artian asli kata itu dalam Yunani, metanoia). Sejak itu, ia menjadi Pewarta Injil terutama kepada para Bangsa, maka ia dikenal sebagai rasul para bangsa.

Paulus: Komunikator Ulung

Paulus berkomunikasi dengan menulis surat. Surat-surat itu ada pada kita dalam Kitab Suci. Surat itu menyapa kita dewasa ini seperti dulu menyapa si alamat. Sifat komunikatif surat itu memang abadi. Penulisnya sama. Tetapi pembacanya berganti, dari waktu ke waktu. Surat-surat Paulus bernilai tinggi karena kita percaya bahwa surat-surat itu terilhami Roh Kudus. Surat-surat itu, walau tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah, tetapi dapat menjadi sumber utama bagi kita tentang sejarah dan ajaran gereja purba yang baru muncul. Surat-surat itu ikut mempengaruhi dan membentuk perjalanan dan perkembangan gereja.

Keadaan jaman Paulus tentu berbeda dengan jaman kita. Saat ini kita punya banyak sarana transportasi dan komunikasi modern, canggih, cepat. Pada jaman Paulus dulu, belum ada teknologi transportasi dan komunikasi seperti dewasa ini. Kalau Paulus punya fasilitas seperti dewasa ini, mungkin wilayah yang dicakupnya dalam layanan komunikasi pastoralnya sangat luas, mungkin seluas dunia seperti Yohanes Paulus II (maka menjadi rasul para bangsa dalam arti sebenarnya). Cakupan itu tidak hanya luas. Pertumbuhan dan perkembangan gereja purba akan menjadi lain sekali kalau Paulus punya media seperti dewasa ini. Tetapi sudahlah. Realistik saja. Paulus berkomunikasi dengan menulis surat, berkunjung, berkaki, berkuda (delman), berlayar. Komunikasi elektronik dewasa ini amat mengagumkan. Dunia menjadi sempit, menjadi dusun global, a global village, kata orang-orang. Paulus si penulis surat dan penginjil utama gereja purba itu, kiranya akan sangat terpesona dengan fasilitas modern ini. Tetapi sekali lagi kita realistik saja.

Keadaan jaman mengkondisikan Paulus untuk menulis surat sebagai sarana dan cara berkomunikasi. Keadaan itu sulit, karena jarak tempuh ke si alamat. Kita tahu bahwa menulis surat saat itu memerlukan kesabaran dan ketekunan luar biasa. Itu sebabnya ketika mengajar teologi Paulus di STFT Fajar Timur Abepura tahun lalu, saya meminta mahasiswa agar merasakan dan mengalami suka-duka Paulus menulis surat. Saya meminta mereka menulis kembali surat Paulus dan dialamatkan kepada saya di Bandung. Sampai saat ini baru ada beberapa yang bisa merampungkan tugas itu, walau belum dikirim. Ini adalah bukti bahwa menulis surat itu sulit. Perlu ketekunan, kesabaran. Tetapi semua itu tidak mengurangi semangat Paulus untuk bersurat, karena bagi dia bersurat adalah sebuah tanda cinta dan per-hati-an. Cinta, juga cinta pastoral butuh pengorbanan, butuh perjuangan, dan karena itu tidak mudah.

Surat dan bersurat adalah satu-satunya cara dan sarana berkomunikasi gereja purba. Memang pada masa Kristianitas purba, perkumpulan jemaat yang ada di tempat yang berbeda, saling berkontak dengan Paulus lewat surat. Pemimpin jemaat lain juga demikian. Mereka saling berkontak dengan surat-menyurat. Sebenarnya ada banyak surat dari pada yang tertampung dalam Perjanjian Baru maupun di luarnya (karena tidak masuk kanon, seperti Pastor Hermas itu). Sayang, banyak dari surat itu kini tidak ada lagi. Beberapa surat Paulus adalah tanggapan atas surat-surat yang dikirim kepadanya. Dengan surat yang dikirimnya, Paulus memberi nasihat, perintah, wejangan, petuah. Dengan itu ia memecahkan soal yang muncul di kalangan jemaat. Ia memberi dorongan, kekuatan, dan penghiburan, memberi visi teologis, kepada komunitas jemaat lokal.

Elemen Korespondensi Gereja Purba

Apa saja unsur korespondensi Gereja Purba? Bagaimana gambaran aktifitas tulis-menulis surat itu dulu? Biasanya surat ditulis pada perkamen (kulit yang disamak). Juga memakai papirus, yang dibuat dari pelepah pandan, dari mana kita mewarisi kata paper. Papirus itu diambil dari pandan, yang banyak tumbuh di pinggir sungai (terutama Nil). Ada yang tebal, ada yang tipis. Ada yang permukaannya halus, ada yang kasar. Perkamen/papirus itu biasanya dibuat dengan ukuran tertentu (10-12 inci) agar dapat disusun menjadi satu kumpulan/jilid. Dari segi bahan tampak bahwa saat itu menulis adalah satu perjuangan, kebutuhan elit, kebutuhan lux. Bisa dikatakan bahwa menulis adalah penderitaan. Jangan sampai kita membayangkan bahwa permukaan papirus/perkamen itu halus sehingga mudah ditulis. Sama sekali tidak. Kertas kita dewasa ini terlalu halus, sehingga sulit kita membayangkan perjuangan dan penderitaan untuk menulis pada jaman dahulu.

Sekarang mengenai pena atau alat tulis. Pena biasanya dibuat dari potongan buluh atau bulu burung. Tintanya kental; biasanya terbuat dari campuran carbon dan lem atau getah pohon. Dengan mutu permukaan papirus/perkamen yang kasar, aktifitas menulis itu sangat sulit. Perlu perjuangan, kesabaran, dan ketekunan, bahkan harus rela menderita. Di atas permukaan yang tidak mulus, si penulis dengan tekun dan perlahan merangkai huruf untuk mengungkapkan pikiran. Jadi, ia berjuang antara kecepatan berpikir dan kecepatan tangan, dan permukaan papirus kasar. Bahkan si penulis harus berjuang menghasilkan huruf-huruf ini. Belum lagi ia harus mencelupkan penanya dan pena itu kering sebelum dipakai menulis. Tinta menguap, pikiran dan ilham bisa lenyap ditelan waktu. Belum lagi ide hilang karena pelbagai pelanturan. Ini adalah penyadaran akan spiritualitas menulis (sebenarnya saya mau memberi judul tulisan ini dengan Spiritualitas Menulis).

Kalau suratnya pendek, maka perjuangan juga pendek walau tetap sulit. Begitu misalnya pesan Paulus kepada Filemon (25 ayat). Surat yang pendek biasanya digulung, lalu dimeterai dengan lilin atau dimasukkan ke dalam kendi. Lalu nama penerima surat ditulis pada bagian luar pembungkus surat. Biasanya ditulis juga nama si pembawa surat. Ada juga yang menyebut tempat-tempat yang bakal dilalui si pembawa surat. Surat yang lebih panjang biasanya digulung dan dimasukkan ke dalam amplop bermeterai; bisa juga dibungkus dengan lembar papirus yang lain, lalu diikat dengan tali dan dimeterai.

Tulisan Tangan dan Aktifitas Korespondensi

Perlu disadari bahwa kegiatan menyusun ide (composition) dan kegiatan menulis surat (ide dituang dalam huruf, writing) adalah proses yang amat sulit. Orang harus berjuang menentukan isi tulisan dan panjangnya teks. Menulis membutuhkan waktu, ruang, dan tenaga, dll. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sbb: Pada setiap papirus rata-rata bisa ditulis 140-an kata. Untuk menulis tiga suku kata perlu waktu satu menit. Jadi, dalam waktu satu jam menulis, dihasilkan kurang lebih 72 kata saja.

Surat Paulus yang paling pertama (teks tertua dalam Perjanjian Baru), adalah surat pertama kepada Jemaat di Tesalonika. Diperkirakan bahwa untuk menulis surat ini Paulus memerlukan kurang lebih 11 lembar papirus dan memakan waktu total 20 jam untuk menulisnya. Suratnya yang terpanjang dan terberat, yaitu Roma, kira-kira membutuhkan 50 lembar papirus, dan memakan waktu kurang lebih 100 jam untuk menyelesaikannya. Sebagai perbandingan: surat terpendek, yaitu Filemon, terdiri atras 335 kata. Untuk menulis 335 kata itu dibutuhkan waktu lebih dari empat jam. Bandingkan dengan kondisi kita dewasa ini. Dalam satu menit kita bisa menulis lebih dari 20 kata, tentu kalau jalan pikiran lancar. Berapa banyak yang dapat kita tulis dalam satu jam? Maka kita dapat mengerti bahwa aktifitas tulis-menulis surat pada jaman Paulus bukan tugas mudah. Butuh pengorbanan, butuh perjuangan. Tanpa korban cinta sulit orang untuk menulis surat. Jadi, kalau Paulus menulis surat, itu artinya ia cinta.

Masih ada hal lain yang harus dipertimbangkan di sini: karena aktifitas menulis adalah satu tugas yang menjemukan dan meletihkan, maka paling banter orang bisa bertahan menulis dalam sehari kerja sebanyak 2-3 jam. (Dengan kondisi fasilitas yang lain, konon J. Henry Nouwen menulis 8 jam sehari; sebab ia hidup untuk menulis. Begitu juga Fransiskan Amerika, Murray Bodo, juga hidup untuk menulis). Dengan perhitungan kasar seperti di atas tadi, maka diperkirakan bahwa untuk menulis surat Roma, Paulus dan juru tulisnya menghabiskan waktu 32 hari kalau mereka memakai 3 jam perhari; atau menghabiskan waktu 40 hari kalau mereka memakai waktu dua jam perhari. Luar biasa.

Hitungan kasar di atas tadi punya arti penting untuk penafsiran dan pemahaman akan surat Paulus. Dalam seluruh proses itu tentu ada interupsi dalam jalan pemikiran, karena banyak yang dipikirkan, karena banyak inspirasi yang muncul. Ada perubahan tiba-tiba; ada pengulangan. Semua ini membuat refleksi dan nasihat atau petuah Paulus tampak rumit dan berbelit-belit. Ada banyak kendala: perlengkapan, waktu; interupsi atau penundaan. Semua ini bisa menyebabkan bahwa isi dan gaya surat Paulus tidak mudah diikuti; apalagi jika teks itu dibacakan dengan keras di tengah jemaat. Mungkin itu sebabnya dalam liturgi ekaristi maupun ibadat harian, teks kitab suci yang dibacakan biasanya disadur; tidak diambil begitu saja dari sebuah terjemahan ilmiah yang standar.

Kesulitan untuk membaca dan memahami surat Paulus bukan kesulitan yang baru muncul dewasa ini karena ada jarak waktu, jarak budaya, dan jarak ruang yang amat besar. Itu adalah kesulitan yang sudah lama disadari. Pengalaman itu sudah mengendap dalam Perjanjian Baru. Itu tampak dalam pengakuan yang jujur dari si penulis surat yang lain dari Perjanjian Baru, yang menghasilkan 2Petrus 3:15-16: “....Paulus, saudara kita yang kekasih, .....Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami.....”

Mengenang Kembali Nilai Menulis Surat Sebagai Komunikasi

Menulis, apalagi menulis surat pribadi dengan tangan, adalah kesenian komunikasi. Semoga tinjauan ulang di atas tadi mengingatkan kita akan arti penting dari tulis-menulis surat sebagai cara dan sarana berkomunikasi. Dewasa ini seni itu menghilang. Orang lebih suka ber-sms. Apalagi di kalangan orang muda: saat ini jempol menjadi pena. Padahal kita tahu, paling tidak dalam masyarakat dengan tradisi tulis, ada efek yang sangat besar dari surat yang ditulis tangan, apalagi itu surat pribadi. Seakan pribadi penulis itu datang dalam dan melalui suratnya. Mungkin itu sebabnya orang suka mendekap surat, terutama surat cinta. Orang mencoba merengkuh penulis dalam dadanya.

Tentu kita tidak sama seperti Paulus yang mendidik orang dengan surat. Tetapi kita, seperti Paulus, sama-sama punya kemampuan dan kesempatan untuk menghibur, menggembirakan, menasihati, menyalami, mendukung satu sama lain. Sebagaimana diteladankan Paulus, tulis surat adalah satu tindakan apostolik-komunikatif yang sangat penting dan bernilai tinggi. Kalau tidak, kiranya Paulus tidak akan bersusah-susah menulis surat. Ingat bahwa Paulus mendukung, menasihati, mengilhami gereja purba dan panggilan imannya dengan suratnya kepada Timoteus dan Titus. Dalam semua suratnya, Paulus mendorong dan menasihati semua kaum beriman yang sudah dibaptis agar setia pada martabat baptisan mereka yang kudus dan mulia.

Menulis surat pribadi adalah ungkapan yang hangat dan luar biasa mengagumkan dari sikap penuh perhatian, penghargaan dan sopan santun. Tulis menulis surat adalah sebuah kerasulan yang terilhami, kerasulan untuk mengungkapkan kasih Allah bagi kita manusia, dan kasih kita akan satu sama lain. Maka marilah kita mengikuti teladan Paulus dengan kerasulan komunikasi tulis surat ini. Kita mengulangi dan membarui kerasulan tulis Paulus ini dalam hidup kita sendiri.

Dimuat dalam Praedicamus edisi Juni 2008.


Thursday, November 27, 2008

TUBUH: BAIT ROH KUDUS

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Kemarin dalam kuliah Fenomenologi Agama, saya membahas tentang jenis-jenis mitos dalam pelbagai macam kebudayaan yang ada di dunia ini. Buku pegangan yang saya pakai sebagai titik tolak adalah Fenomenologi Agama dari Mariasusai Dhavamony. Salah satu dari mitos yang diuraiakn di sana adalah mitos tentang proses penciptaan manusia. Dalam salah satu versi dari mitos itu, konon manusia diciptakan dari semacam lumpur atau tanah liat (clay) yang diambil dari dasar samudera kosmik-mitik-primordial, atau juga dari gumpalan tanah liat. Lumpur atau tanah liat itu dibentuk menjadi boneka, lalu ke dalamnya dihembuskan roh kehidupan oleh sang pencipta, maka mulailah boneka manusia itu hidup dan bergerak.

Kisah mitologis seperti ini dapat juga kita temukan dalam Kitab Suci yaitu persisnya dalam kitab Kejadian 2:7. Di sana Tuhan dilukiskan/dibayangkan secara sangat antropomorfistik sebagai tukang tembikar, tukang priuk, pengrajin tanah liat (potter) yang mengolah tanah liat (clay) lalu setelah manusia terbentuk, maka model awal itu dihembusi oleh roh Allah. Dengan itu maka manusia mulai berada, hidup dan bergerak.

Hanya sayang sekali kita sering sekali mengabaikan versi penciptaan manusia dalam Kejadian 2:7 ini. Saya kira ada beberapa sebab yang bisa diajukan sebagai penjelasannya. Pertama, mungkin karena terlalu kuatnya daya pengaruh dan daya pesona dari versi penciptaan pertama dalam Kej.1:26-28. Padahal kalau dilihat dengan baik maka versi kedua ini sebenarnya sangat penting juga. Kedua, mungkin juga hal ini terabaikan karena kita terpesona oleh kesan creation ex nihilo yang ditampilkan di dalam kitab Kejadian 1:26-28 itu. Padahal sesungguhnya versi kedua ini pun sangat penting dan mendasar juga. Ketiga, mungkin hal ini terabaikan juga karena kita terpesona oleh penegasan dalam kisah penciptaan versi I yaitu bahwa manusia adalah citra Allah, imago dei, sebab mereka diciptakan menurut citra Allah. Tetapi kita arahkan ke yang kedua.

Visi antropologis-teologis ini akan sangat besar dan kuat gema pengaruhnya dalam Kitab Suci, dan juga kemudian dalam teologi atau sejarah pemikiran Kristiani. Tetapi sesungguhnya kisah versi kedua ini pun tidak kalah pentingnya. Sebab ada satu visi teologi penting yang ada di situ. Tubuh kita adalah bait Roh Kudus, tubuh kita adalah bait Roh. Ini juga besar sekali pengaruhnya dalam Kitab Suci, terutama dalam Paulus yang pada suatu saat menghasilkan sebuah printah sebagai berikut: muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu. Karena dalam tubuh kita ada Roh Allah, maka mulia sekali tubuh kita ini. Hendaknya kita tidak berdosa dengan tubuh kita. Kelak kita harus pertanggung-jawabkan. Kita harus menyerahkan kembali Roh itu kepada Tuhan sang empunya roh seperti dilakukan pemazmur 32 dan kemudian dikutip Yesus di salib. Dalam Completorium kita menyanyikan/mengucapkan kidung ini, sebab tidur adalah kematian pendek. (Ebiet: kematian adalah tidur panjang). Kita menyerahkan kembali Roh itu kepada Tuhan dengan harapan Ia akan memberi roh itu esok hari, tatkala kita bangun tidur, dengan semangat baru dan segar untuk memulai kembali segala aktifitas kita. Maka kita dapat bangun tidur pada hari baru dengan rsaa syukur yang kuat dan mendalam.


Bandung, 25 November 2008.

Dikomputerkan 27 November 2008. (diperluas.

Wednesday, November 26, 2008

PAULUS: SEKSUALITAS DAN SPIRITUALITAS

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Dalam sesi tanya-jawab dengan peserta talk-show, ada yang bertanya kepada Ayu Utami (oh ya karena rekan saya adalah Ayu Utami, maka saya perkenalkan diri sebagai Ganteng Utomo, hehehehe walau tidak ganteng) mengenai persoalan yang dapat diungkapkan sebagai hubungan antara seksualitas dan spiritualitas. Walaupun pertanyaan ini tidak diajukan kepada saya, tetapi saya harus mejawabnya karena beberapa tahun belakangan ini saya menyibukkan diri dengan Teologi Tubuh dari Paus Yohanes Paulus II. Dalam rangka itu saya berurusan juga dengan teologi tubuh dan teologi seksulitas Paulus dalam beberapa suratnya. Tahun lalu saya menulis artikel tentang seksualitas dalam surat-surat Paulus dalam Wacana Biblika (majalah Kitab Suci dari LBI). Judulnya “Muliakanlah Tuhan Dengan Tubuhmu.” (Fransiskus Borgias M., Wacana Biblika, Juni 2007). Saya memakai ide pokok tulisan ini untuk menjawab pertanyaan tadi.

Kita tidak boleh bermain-main dengan tubuh kita. Kita harus memuliakan Allah dengan tubuh kita. Mengapa demikian? Karena tubuh adalah untuk Tuhan, bukan untuk makanan, bukan untuk perzinahan, atau pelacuran, percabulan. Kita harus memuliakan Tuhan dengan kebertubuhan kita. Itulah kewajiban fundamental kita sebagai manusia, makhluk berakal budi dan bertubuh ini. Kita harus memuliakan Tuhan dengan tubuh kita karena tubuh kita adalah bait Roh Kudus. Di dalam tubuh kita bersemayamlah Roh Allah. Ide-ide ini ada dalam surat kepada jemaat di Korintus dan di Roma. Cinta kasih Allah dicurahkan ke dalam hati kita, oleh Roh Ilahi, Roh Suci, yang menjadi sumber cinta kasih, dan yang dianugerahkan bagi kita. Jadi, Paulus memberi alasan pneumatologis dan kristologis untuk nasihatnya agar kita jangan menyia-nyiakan tubuh dalam percabulan. Sebab percabulan adalah dosa keji, karena kita melakukannya dengan tubuh kita, padahal tubuh adalah bait Roh Kudus dan anggota Tubuh Mistik Kristus. Kalau kita berdosa dengan tubuh, maka kita menghina Roh Kudus dan menghina Kristus. Ingat bahwa dosa melawan Roh Kudus adalah dosa paling berat, karena tidak dapat diampuni.

Pertanyaan kita selanjutnya, apa dasar biblis dari semua perkataan Paulus ini? Apakah Paulus asal omong, tanpa pendasaran teologis dan biblis? Tentu tidak. Ketika Paulus mengatakan bahwa tubuh kita adalah bait Roh Kudus, ia sebenarnya teringat akan teologi penciptaan versi kedua. Mungkin kita akrab dengan kisah penciptaan versi pertama dalam Kej.1:26-28 di mana diberi kesan bahwa Allah menciptakan manusia dengan firmanNya menurut citraNya. Tetapi kita punya versi lain, dalam Kej.2:7. Di sana Allah dilukiskan secara antropomorfistik sebagai tukang tanah liat (potter) yang mengolah tanah liat (clay) menjadi boneka manusia. Sesudah itu Allah menghembuskan rohNya ke dalam boneka itu dan boneka itupun hidup.

Jadi, sejak penciptaan kita sudah menjadi bait Roh Kudus. Karena itu seluruh tanggung jawab kita dalam hidup adalah memelihara tubuh sebaik-baiknya jangan sampai mencemarkan dan menghinakan kehadiran Roh di sana. Nanti kalau mati kita harus kembalikan Roh itu kepada si empunya Roh, seperti yang dilakukan Yesus di salib: Ke dalam tanganMu kuserahkan RohKu. Sebuah ucapan yang menggemakan kembali Mazmur 32. Ya kita harus mengembalikan Roh itu kepada Allah, dan selama kita hidup dan bernafas (ber-roh) kita harus memuliakan kehadiran Roh Tuhan itu dalam tubuh kita dengan seluruh dimensi kebertubuhan kita.


PAULUS DAN SPIRITUALITAS MENULIS

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Kemarin, 26 November 2008, saya tampil bersama Ayu Utami dalam acara The Passion of St.Paul di Alabene, Bandung, sebuah acara atas hasil kerjasama antara K3S Keuskupan Bandung dan Penerbit Kanisius dan Alebene. Audiens yang hadir adalah para mahasiswa Katolik dari KMK non UNPAR dan Maranata. Peserta cukup banyak yang hadir walaupun hari hujan, sesuatu yang sudah dicemaskan sebelumnya oleh kami penyelenggara. Tentu ini sebuah kesempatan yang baik bagi saya.

Itu adalah sebuah acara talk-show, jadi saya tidak secara khusus mempersiapkan bahan. Tetapi dalam pemaparan awal, saya mengemukakan spiritualitas menulis yang dihayati Paulus. Paulus adalah orang yang amat tekun menulis. Aktifitas itu memerlukan ketekunan dan daya tahan luar biasa. Bayangkan, saat itu, kertas belum semulus yang kita miliki sekarang. Tinta juga belum seperti yang kita punyai sekarang. Tetapi Paulus menghasilkan banyak tulisan. Surat kepada jemaat di Roma saja ada 16 bab. I dan II Korintus juga termasuk surat panjang. Dibutuhkan waktu yang sangat lama untuk bisa menghasilkan tulisan seperti itu. (Bdk.Fransiskus Borgias M., “Belajar dari Paulus, Sang Komunikator Ulung,” dalam Praedicamus, Juni 2008).

Tahun lalu saya mengajar di STFT Fajar Timur Abepura, Papua tentang teologi surat-surat Paulus. Sebagai latihan saya meminta para Frater menulis kembali dengan tangan salah satu surat Paulus, dan kalau selesai dikirim kepada saya di Bandung. Tetapi sampai saat ini, belum ada satupun yang mengirim surat-surat itu kepada saya. Jadi, duduk, dan mulai menulis surat tidak mudah. Tetapi Paulus memberi teladan dalam hal itu. Ia tekun menulis surat. Ini patut kita teladani. Pertanyaan kita selanjutnya, mengapa dan untuk apa Paulus merepotkan dan melelahkan diri dengan menulis surat itu? Itu karena ia mencintai jemaat yang didirikannya. Kepada mereka ia mewartakan Kristus.

Sehubungan dengan Kristus inilah Paulus merasa mempunyai ikatan yang amat kuat dan mendalam. Ia merasa, sejak tobatnya, harus mewartakan injil, kabar gembira yang ia dapat dalam perjumpaan pribadi dengan Yesus Kristus yang hidup. Perjumpaan itu dengan sangat indah dan dramatis dilukiskan Kisah Para Rasul bab 9. Perjumpaan itulah yang menyebabkan Paulus membelokkan seluruh arah hidupnya. Ia menjadi pengikut Yesus. Dia yang tadinya membenci Yesus, kini merasa bahwa ia hidup dalam, dari, dan karena Kristus. Ia hidup demi Kristus. Hal itulah yang patut kita pelajari dan teladani dari hidup Paulus. Ia konsisten dengan tobatnya. Setelah ia berbelok, sejak itu terjadilah apa yang disebut “point of no return,” ia mengalami titik di mana dari titik itu tidak ada lagi jalan kembali, berbalik. Ia jalan terus secara tulus dan konsekwen. Sekali lagi, ia melakukan semuanya itu, karena Kristus.

Sedemikian intimnya hubungan Paulus dengan Yesus sehingga dalam surat kepada jemaat di Filipi ia mengatakan bahwa bagiku hidup adalah Kristus, dan mati adalah keuntungan. Artinya, kalau ia masih diberi kesempatan hidup, maka seluruh hidup itu akan ia baktikan untuk mewartakan Kristus dan tidak mewartakan yang lain. Atau kalau dia harus mati, maka ia menganggap kematian itu sebagai sesuatu yang menguntungkan karena dengan mati maka ia segera mendapat kesempatan mulia untuk bertemu dan bersatu kembali dengan Kristus Yesus di dalam kemuliaan abadi di dalam surga. Itulah yang antara lain dapat kita pelajari dan teladani dari santo Paulus.


Tuesday, November 4, 2008

FANATISME SAULUS 02

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Dalam nafsu fanatismenya, Saulus mau menghancurkan semua pengikut Jalan Tuhan. Dengan bekal surat sakti dari petinggi agama di Yerusalem, ia pun meluncur laksana kilat ke Damaskus.

Entah sudah beberapa hari lamanya, ia meninggalkan Yerusalem menelusuri jalanan kering kerontang dan berpasir menuju ke arah utara. Kota Damaskus, itulah yang menjadi tujuannya, karena ia mendengar bahwa banyak pengikut Jalan Tuhan sudah melarikan diri ke kota itu dari Yerusalem. Maka ia mau melakukan razia KTP di kota itu untuk mencari para pengikut Jalan Tuhan.

Memang sudah sekian lama, entah sejak kapan, ia dirasuki oleh amarah dan dendam yang sulit dipahami, suatu perasaan yang asing sekali. Ganjil. Aneh. Ia marah begitu saja. Ia anti pada nama dan jalan itu. Ya, mungkin itu karena ia sedang dirasuki oleh fanatisme keagamaan yang cenderung membuat pikiran rasionalnya buta.

Fanatisme itu tidak lain adalah satu visi dan keyakinan bahwa hanya dirinya sendiri saja yang benar, dan yang lain itu salah. Hanya dia sendiri saja yang layak masuk surga. Yang lain itu masuk neraka saja. Surga juga sudah dimonopoli oleh kaum fanatik yang gila seperti Saulus ini. Perasaan seperti ini biasanya menyebabkan hati orang tidak dapat lagi berbelas-kasih, tidak dapat lagi menjadi sebuah misericordia, melainkan hati itu sekarang menjadi pahit, keras, kasar, kejam, bengis, dan busuk.

Dengan suasana hati seperti itu, Saulus telah melewati lembah-lembah Yordan di daerah Hulu Sungai Yordan karena ia sedang berjalan ke arah utara. Saat itu daerah itu sebagian besar belum dibudidayakan orang, belum banyak diolah, masih berupa natura, belum bergeser menjadi cultura apalagi horticultura. Sekarang ia mulai menelusuri dataran-dataran yang penuh ditumbuhi rerumputan yang sudah kering, dan mati, karena punggung bumi terlalu panas.

Di sebelah kirinya, nun jauh di sana, terbentang gunung Hermon yang sangat terkenal itu (Mzm.89:12; Ul.3:8-9). Puncaknya putih dan indah karena diselimuti salju abadi, seakan-akan menantang langit biru yang kering kerontang.

Sebentar lagi ia akan mendekati sebuah oase. Sudah terbayang keindahan dan kesejukan. Hijau dedaunan pohon ara. Aroma semerbak mawar dan jasmine. Serba indah. Serba mempesona, menghibur jiwa kembara dan lagi membara oleh angkara murka. Terbayang-bayang juga kebun-kebun bunga dan buah-buahan yang subur karena didukung oleh sistem pengairan yang baik. Semuanya serasa aman dari terik mentari karena serba terlindung di bawah lambaian lembut dan mesra dedauan pohon yang tinggi dan rindang. Semuanya terasa indah dalam bayangan. Semuanya terbayang indah dalam damba. Sebab apalagi hari itu adalah hari di musim panas. Siang terik mencekik dan menyengat. Tetapi sebentar lagi matahari akan mulai condong ke barat, ke arah peraduan di laut Tengah. Bayang-bayang kesejukan senja sudah mulai terasa mendekat. Hal itu memacu semangat untuk semakin mempercepat langkah menuju ke tempat tetirah terdekat. Tetapi, tiba-tiba.......


Tuesday, October 28, 2008

KATEKESE PAULUS: PAUS BENEDIKTUS XVI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)
Bandung, 29 Oktober 2008

Dalam rangka merayakan tahun Paulus (2008-2009), Paus Benediktus XVI mengeluarkan sebuah buku kecil sebagai bahan katekese Paulus yang bisa digunakan sebagai bahan renungan pribadi maupun kelompok (di lingkungan) selama satu tahun peringatan yubileum agung St.Paulus ini. Puji Tuhan buku itu sudah diterjemahkan oleh kelompok penerjemah dari pertapaan para suster-suster Trappistin di Gedono, Jawa Tengah. Dan terjemahannya pun bagus. Saya menerima teks ini tiga minggu yang lalu (12 Oktober) ketika Romo Hari Kustono berkenan datang menjadi narasumber dalam seminar Paulus yang kami adakan di Paroki kami, St.Martinus, Lanud Sulaiman Bandung.

Di tengah-tengah pelbagai macam kesibukan saya, akhirnya hari ini saya baru bisa membaca bab satu dari buku kecil itu. Isinya berupa sebuah perkenalan sangat singkat mengenai siapa sosok Paulus itu. Dengan tepat Paus berusaha memberikan apa yang menjadi sentrum dari seluruh hidup Paulus sesudah peristiwa yang dialaminya dalam perjalanan ke Damaskus itu. Yang jelas ia berangkat ke Damaskus sebagai orang dengan watak dan tujuan serta program tertentu. Tetapi ketika ia kembali dari Damaskus, ia sudah menjadi orang yang lain sama sekali. Ia mengalami semacam metamorfosa batin, metamorfosa rohani. Ia mengalami metanoia. Dan dalam metanoia itu tidak ada lagi titik balik, titik untuk kembali. Yang ada hanya suatu perjalanan terus, maju terus pantang mundur.

Dalam perjalanan ke Damaskus itu ia mengalami apa yang disebut sebagai point of no return. He must go on with his new self-apprehension, self-image, self-understanding. Ada seorang penulis yang membuat pembedaan antara The road to Damaskus dan the road from Damaskus. Yang pertama adalah pelukisan mengenai Paulus yang berangkat ke Damaskus dengan semangat kebencian yang luar biasa membara untuk membinasakan para pengikut jalan Tuhan (he hodos thou theou), sebab itulah yang menjadi program dan ambisi utama kehidupannya. Sedangkan yang kedua, tidak lain adalah pelukisan mengenai Paulus yang sudah mengalami perubahan total dalam hidupnya. Ia hanya berangkat satu kali saja ke Damaskus dengan kebencian yang membara. Yang ada selanjutnya ialah perjalanan dari Damaskus dengan warta damai, warta cinta kasih, dan juga warta sukacita, sebagaimana yang dapat kita baca dalam suratnya kepada Jemaat di Filipi, yang ditandai oleh nada-nada sukacita. Memang kalau kita menghitung kata sukacita dalam surat Filipi, cukup mengesankan, sehingga mau tidak mau kita mendapat kesan bahwa pesan dasar surat itu adalah warta sukacita.

Mari kita kembali lagi ke buku katekese Paus Benediktus itu. Setelah ia melukiskan secara sangat singkat riwayat awal hidup Paulus, lalu Paus menarik beberapa pelajaran yang penting dan menarik.

Pelajaran pertama, ialah bahwa setelah peristiwa Damaskus itu, Paulus tidak pernah ragu-ragu lagi menempatkan Yesus Kristus sebagai pusat seluruh hidupnya. Kristus menjadi segala-galanya. Penempatan Yesus sebagai pusat akan bisa mengubah segala cara pandang kita mengenai apa saja, termasuk cara pandang kita akan Allah, akan diri sendiri, dan terutama akan sesama.

Pelajaran kedua, kalau Yesus sudah ditempatkan sebagai pusat dari segala-galanya dalam hidup kita, maka tidak ada lagi alasan untuk tidak menyampaikan warta tentang Kristus itu kepada siapa saja yang kita jumpai. Maka mewartakan tentang Yesus menjadi sebuah kewajiban mendasar sebagai seorang pengikut Yesus. Dan Paulus sudah melaksanakan hal itu secara sangat konsisten dan dengan sangat tekun. Bahkan ia sampai mengorbankan hidupnya. Paulus bahkan tidak lagi begitu memperhitungkan hidupnya sendiri. Sebab bagi dia, hidup adalah bagi Kristus dan mati adalah keuntungan. Seharusnya inilah juga yang menjadi sikap dan pandangan hidup kita.


BERANGKAT KE DAMASKUS

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Ada suatu misteri kedekatan tertentu yang kita rasakan pada saat kita coba berkenalan dengan dan mengenal sosok pribadi Saulus. Entah mengapa, dan entah bagaimana. Dia yang telah “diterpa” oleh cahaya Api Ilahi dalam perjalanan ke Damaskus itu sudah terjatuh. Terjungkal, kalah. Rubuh. Patah. Bahkan mungkin mengucurkan darah. Tetapi kendati itu semua, ia bisa bangkit lagi, penuh diliputi oleh suatu keajaiban yang tidak dapat dipahami; seakan-akan rahmat ilahi sedang meliputi dia, dan ia sudah dapat merasakannya kendati dan justeru di dalam kekalahannya.

Pengalaman ini memang sangat aneh. Tetapi kita seakan-akan tidak merasa terasing dari pada pengalaman itu. Ya, mungkin karena kita sendiripun dewasa ini dan saat ini sebenarnya sedang menempuh dan menelusuri jalan yang sama, walau mungkin tidak seradikal Saulus.

Di samping Yesus, dialah tokoh dari Perjanjian Baru yang kita rasakan paling hidup, paling akrab. Mungkin karena tentang dia diberi cukup banyak pelukisan rinci di dalam Perjanjian Baru. Sedemikian rincinya sampai kita pun bisa membayangkan wajahnya secara visual dan hal itu sangat jelas. Masalah-masalah yang ia hadapi adalah masalah-masalah yang masih kurang lebih sama dengan masalah yang kita hadapi dan menyibukkan dan menimpa kita dewasa ini.

Manakala kita mendengar ucapan-ucapan dia, entah itu ucapan yang terkenal maupun ucapan yang kurang begitu terkenal, serta merta kita merasakan suatu nada jiwa dan hati yang menyimpan satu rasa kepercayaan yang kuat, yang sulit terlupakan, yang hanya bisa ada pada diri orang-orang yang telah mengalami pengalaman tragis kehidupan ini. Dan pengalaman pahit itulah yang telah mematangkan dia. Jadi, kalau kita merasa akrab dengan Saulus, mungkin itu tidak lain karena kita berada pada tataran pengalaman dan persoalan hidup yang sama. Itu sebabnya studi dan penelusuran tentang Saulus masih tetap penting dan tetap relevan juga dewasa ini.

Keyakinan itulah yang telah mendorong saya menulis untaian refleksi ini apalagi mulai bulan Juni 2008 nanti sampai Juni 2009 oleh Paus Benediktus XVI telah ditetapkan sebagai Tahun Paulus. Inilah cara saya ikut ambil bagian dalam perayaan dua milenium Paulus itu. Saya berharap bahwa apa yang saya tulis ini bisa mengantar kita dengan satu dan lain cara kepada Paulus. Saya juga berharap bahwa apa yang saya usahakan di sini juga bisa menjadi sumber ilham pembaharuan semangat hidup Kristianitas kita sebagaimana halnya dahulu Paulus juga telah menjadi sumber ilham bagi jemaat-jemaat yang didirikannya. Kalau dulu ia mengirim surat, maka sekarang saya menulis butir-butir refleksi ini. Tidak semuanya adalah hasil studi ilmiah. Ada yang merupakan hasil imajinasi. Tetapi dengan mengikuti Murray Bodo, saya pun yakin bahwa imajinasi menyimpan sejarah dengan caranya sendiri. Maka imajinasi juga bersejarah dan mengandung sejarah.

Walau mungkin pendekatan ini sudah ketinggalan jaman, tetapi saya tetap mau memakainya, yaitu memakai Kisah Para Rasul sebagai titik tolak untuk mengisahkan hidup Paulus. Ini saya tempuh karena bagaimana pun juga Kisah Para Rasul adalah salah satu endapan sejarah dari pergulatan, perjuangan, dan pengalaman hidup gereja pertama. Memang ini bukan sebuah studi ilmiah. Melainkan sebuah kisah. Lebih tepat sebuah novel biografis tentang Paulus. Bahasanya nanti tercampur baur antara prosa dan puisi. Tetapi saya membiarkannya saja mengalir spontan begitu saja. Juga tercampur baur antara kisah dalam diri orang pertama, maupun kisah dalam diri orang kedua atau orang ketiga. Terkesan kacau-balau. Namun demikian saya tetap berharap ia tidak menjadi sekadar sampah melainkan menjadi kompos yang bisa menyuburkan kesadaran historis kita semua. Semoga.


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...