Pengantar
Saya diminta Praedicamus untuk menulis tentang komunikasi dari perspektif Kitab Suci. Dari pada berbicara secara teoretis mengenai komunikasi, lebih baik belajar praksis komunikasi dari Paulus, komunikator ulung gereja purba. Maka tulisan ini bukan teori komunikasi. Ini ulasan pengalaman yang berangkat dari praksis komunikasi Paulus. Tulisan ini sangat ringan karena berangkat dari praksis. Bagaimana praksis komunikasi Paulus? Tidak lain ialah surat, korespondensi. Sebelum membeberkan korespondensi Paulus, terlebih dahulu saya mau membeberkan mengenai penetapan tahun Paulus oleh Paus Benediktus XVI. Saya memilih Paulus karena ini adalah tahun Paulus, pewarta ulung gereja purba (praedicator, praedicare, dari mana nama Praedicamus berasal).
Penetapan Tahun Paulus
Setelah terpilih April 2005, Paus mengunjungi Basilika St.Paulus di luar Tembok, untuk berdoa di makam rasul agung. Ini dimaksudkan untuk menghormati warisan misionernya yang agung. Saat itu Paus merenungkan sifat kodrati gereja. Dari kodratnya gereja itu misioner. Tugas utama gereja ialah mewartakan injil. Pada dekade pertama milenium ketiga, gereja merasa bahwa perintah misioner Kristus dulu terasa semakin mendesak dan mendesak lagi dari pada sebelumnya.
28 Juni 2007, menjelang hari raya Petrus-Paulus, Paus mengumumkan rencana membuat tahun Paulus, untuk mengenang dan menghormati Paulus. Juga dimaksudkan sebagai persiapan perayaan 2000 tahun kelahiran rasul para bangsa itu. Perayaan ini berlangsung satu tahun: 29 Juni 2008, sampai 29 Juni 2009. Perayaan ini dimaksudkan untuk menyoroti sumbangan Paulus bagi penyebaran Injil pada abad pertama gereja.
Umumnya para ahli beranggapan bahwa Paulus lahir tahun 10 di Tarsus (Turki modern). Menurut Kisah Para Rasul, ia cukup lama menentang Jalan Tuhan (sebutan cara hidup Kristen). Tetapi dalam perjalanan ke Damaskus untuk menyeret pengikut Jalan itu, ia “bertobat.” (Saya menulis kata ini dalam tanda kutip, mengikuti Carlo Martini, agar membedakan makna tobat itu dalam artian bertobat dari dosa, sebab Paulus tidak berdosa, melainkan tobat dalam artian asli kata itu dalam Yunani, metanoia). Sejak itu, ia menjadi Pewarta Injil terutama kepada para Bangsa, maka ia dikenal sebagai rasul para bangsa.
Paulus: Komunikator Ulung
Paulus berkomunikasi dengan menulis surat. Surat-surat itu ada pada kita dalam Kitab Suci. Surat itu menyapa kita dewasa ini seperti dulu menyapa si alamat. Sifat komunikatif surat itu memang abadi. Penulisnya sama. Tetapi pembacanya berganti, dari waktu ke waktu. Surat-surat Paulus bernilai tinggi karena kita percaya bahwa surat-surat itu terilhami Roh Kudus. Surat-surat itu, walau tidak dimaksudkan sebagai catatan sejarah, tetapi dapat menjadi sumber utama bagi kita tentang sejarah dan ajaran gereja purba yang baru muncul. Surat-surat itu ikut mempengaruhi dan membentuk perjalanan dan perkembangan gereja.
Keadaan jaman Paulus tentu berbeda dengan jaman kita. Saat ini kita punya banyak sarana transportasi dan komunikasi modern, canggih, cepat. Pada jaman Paulus dulu, belum ada teknologi transportasi dan komunikasi seperti dewasa ini. Kalau Paulus punya fasilitas seperti dewasa ini, mungkin wilayah yang dicakupnya dalam layanan komunikasi pastoralnya sangat luas, mungkin seluas dunia seperti Yohanes Paulus II (maka menjadi rasul para bangsa dalam arti sebenarnya). Cakupan itu tidak hanya luas. Pertumbuhan dan perkembangan gereja purba akan menjadi lain sekali kalau Paulus punya media seperti dewasa ini. Tetapi sudahlah. Realistik saja. Paulus berkomunikasi dengan menulis surat, berkunjung, berkaki, berkuda (delman), berlayar. Komunikasi elektronik dewasa ini amat mengagumkan. Dunia menjadi sempit, menjadi dusun global, a global village, kata orang-orang. Paulus si penulis surat dan penginjil utama gereja purba itu, kiranya akan sangat terpesona dengan fasilitas modern ini. Tetapi sekali lagi kita realistik saja.
Keadaan jaman mengkondisikan Paulus untuk menulis surat sebagai sarana dan cara berkomunikasi. Keadaan itu sulit, karena jarak tempuh ke si alamat. Kita tahu bahwa menulis surat saat itu memerlukan kesabaran dan ketekunan luar biasa. Itu sebabnya ketika mengajar teologi Paulus di STFT Fajar Timur Abepura tahun lalu, saya meminta mahasiswa agar merasakan dan mengalami suka-duka Paulus menulis surat. Saya meminta mereka menulis kembali surat Paulus dan dialamatkan kepada saya di Bandung. Sampai saat ini baru ada beberapa yang bisa merampungkan tugas itu, walau belum dikirim. Ini adalah bukti bahwa menulis surat itu sulit. Perlu ketekunan, kesabaran. Tetapi semua itu tidak mengurangi semangat Paulus untuk bersurat, karena bagi dia bersurat adalah sebuah tanda cinta dan per-hati-an. Cinta, juga cinta pastoral butuh pengorbanan, butuh perjuangan, dan karena itu tidak mudah.
Surat dan bersurat adalah satu-satunya cara dan sarana berkomunikasi gereja purba. Memang pada masa Kristianitas purba, perkumpulan jemaat yang ada di tempat yang berbeda, saling berkontak dengan Paulus lewat surat. Pemimpin jemaat lain juga demikian. Mereka saling berkontak dengan surat-menyurat. Sebenarnya ada banyak surat dari pada yang tertampung dalam Perjanjian Baru maupun di luarnya (karena tidak masuk kanon, seperti Pastor Hermas itu). Sayang, banyak dari surat itu kini tidak ada lagi. Beberapa surat Paulus adalah tanggapan atas surat-surat yang dikirim kepadanya. Dengan surat yang dikirimnya, Paulus memberi nasihat, perintah, wejangan, petuah. Dengan itu ia memecahkan soal yang muncul di kalangan jemaat. Ia memberi dorongan, kekuatan, dan penghiburan, memberi visi teologis, kepada komunitas jemaat lokal.
Elemen Korespondensi Gereja Purba
Apa saja unsur korespondensi Gereja Purba? Bagaimana gambaran aktifitas tulis-menulis surat itu dulu? Biasanya surat ditulis pada perkamen (kulit yang disamak). Juga memakai papirus, yang dibuat dari pelepah pandan, dari mana kita mewarisi kata paper. Papirus itu diambil dari pandan, yang banyak tumbuh di pinggir sungai (terutama Nil). Ada yang tebal, ada yang tipis. Ada yang permukaannya halus, ada yang kasar. Perkamen/papirus itu biasanya dibuat dengan ukuran tertentu (10-12 inci) agar dapat disusun menjadi satu kumpulan/jilid. Dari segi bahan tampak bahwa saat itu menulis adalah satu perjuangan, kebutuhan elit, kebutuhan lux. Bisa dikatakan bahwa menulis adalah penderitaan. Jangan sampai kita membayangkan bahwa permukaan papirus/perkamen itu halus sehingga mudah ditulis. Sama sekali tidak. Kertas kita dewasa ini terlalu halus, sehingga sulit kita membayangkan perjuangan dan penderitaan untuk menulis pada jaman dahulu.
Sekarang mengenai pena atau alat tulis. Pena biasanya dibuat dari potongan buluh atau bulu burung. Tintanya kental; biasanya terbuat dari campuran carbon dan lem atau getah pohon. Dengan mutu permukaan papirus/perkamen yang kasar, aktifitas menulis itu sangat sulit. Perlu perjuangan, kesabaran, dan ketekunan, bahkan harus rela menderita. Di atas permukaan yang tidak mulus, si penulis dengan tekun dan perlahan merangkai huruf untuk mengungkapkan pikiran. Jadi, ia berjuang antara kecepatan berpikir dan kecepatan tangan, dan permukaan papirus kasar. Bahkan si penulis harus berjuang menghasilkan huruf-huruf ini. Belum lagi ia harus mencelupkan penanya dan pena itu kering sebelum dipakai menulis. Tinta menguap, pikiran dan ilham bisa lenyap ditelan waktu. Belum lagi ide hilang karena pelbagai pelanturan. Ini adalah penyadaran akan spiritualitas menulis (sebenarnya saya mau memberi judul tulisan ini dengan Spiritualitas Menulis).
Kalau suratnya pendek, maka perjuangan juga pendek walau tetap sulit. Begitu misalnya pesan Paulus kepada Filemon (25 ayat). Surat yang pendek biasanya digulung, lalu dimeterai dengan lilin atau dimasukkan ke dalam kendi. Lalu nama penerima surat ditulis pada bagian luar pembungkus surat. Biasanya ditulis juga nama si pembawa surat. Ada juga yang menyebut tempat-tempat yang bakal dilalui si pembawa surat. Surat yang lebih panjang biasanya digulung dan dimasukkan ke dalam amplop bermeterai; bisa juga dibungkus dengan lembar papirus yang lain, lalu diikat dengan tali dan dimeterai.
Tulisan Tangan dan Aktifitas Korespondensi
Perlu disadari bahwa kegiatan menyusun ide (composition) dan kegiatan menulis surat (ide dituang dalam huruf, writing) adalah proses yang amat sulit. Orang harus berjuang menentukan isi tulisan dan panjangnya teks. Menulis membutuhkan waktu, ruang, dan tenaga, dll. Sebagai ilustrasi dapat digambarkan sbb: Pada setiap papirus rata-rata bisa ditulis 140-an kata. Untuk menulis tiga suku kata perlu waktu satu menit. Jadi, dalam waktu satu jam menulis, dihasilkan kurang lebih 72 kata saja.
Surat Paulus yang paling pertama (teks tertua dalam Perjanjian Baru), adalah surat pertama kepada Jemaat di Tesalonika. Diperkirakan bahwa untuk menulis surat ini Paulus memerlukan kurang lebih 11 lembar papirus dan memakan waktu total 20 jam untuk menulisnya. Suratnya yang terpanjang dan terberat, yaitu Roma, kira-kira membutuhkan 50 lembar papirus, dan memakan waktu kurang lebih 100 jam untuk menyelesaikannya. Sebagai perbandingan: surat terpendek, yaitu Filemon, terdiri atras 335 kata. Untuk menulis 335 kata itu dibutuhkan waktu lebih dari empat jam. Bandingkan dengan kondisi kita dewasa ini. Dalam satu menit kita bisa menulis lebih dari 20 kata, tentu kalau jalan pikiran lancar. Berapa banyak yang dapat kita tulis dalam satu jam? Maka kita dapat mengerti bahwa aktifitas tulis-menulis surat pada jaman Paulus bukan tugas mudah. Butuh pengorbanan, butuh perjuangan. Tanpa korban cinta sulit orang untuk menulis surat. Jadi, kalau Paulus menulis surat, itu artinya ia cinta.
Masih ada hal lain yang harus dipertimbangkan di sini: karena aktifitas menulis adalah satu tugas yang menjemukan dan meletihkan, maka paling banter orang bisa bertahan menulis dalam sehari kerja sebanyak 2-3 jam. (Dengan kondisi fasilitas yang lain, konon J. Henry Nouwen menulis 8 jam sehari; sebab ia hidup untuk menulis. Begitu juga Fransiskan Amerika, Murray Bodo, juga hidup untuk menulis). Dengan perhitungan kasar seperti di atas tadi, maka diperkirakan bahwa untuk menulis surat Roma, Paulus dan juru tulisnya menghabiskan waktu 32 hari kalau mereka memakai 3 jam perhari; atau menghabiskan waktu 40 hari kalau mereka memakai waktu dua jam perhari. Luar biasa.
Hitungan kasar di atas tadi punya arti penting untuk penafsiran dan pemahaman akan surat Paulus. Dalam seluruh proses itu tentu ada interupsi dalam jalan pemikiran, karena banyak yang dipikirkan, karena banyak inspirasi yang muncul. Ada perubahan tiba-tiba; ada pengulangan. Semua ini membuat refleksi dan nasihat atau petuah Paulus tampak rumit dan berbelit-belit. Ada banyak kendala: perlengkapan, waktu; interupsi atau penundaan. Semua ini bisa menyebabkan bahwa isi dan gaya surat Paulus tidak mudah diikuti; apalagi jika teks itu dibacakan dengan keras di tengah jemaat. Mungkin itu sebabnya dalam liturgi ekaristi maupun ibadat harian, teks kitab suci yang dibacakan biasanya disadur; tidak diambil begitu saja dari sebuah terjemahan ilmiah yang standar.
Kesulitan untuk membaca dan memahami surat Paulus bukan kesulitan yang baru muncul dewasa ini karena ada jarak waktu, jarak budaya, dan jarak ruang yang amat besar. Itu adalah kesulitan yang sudah lama disadari. Pengalaman itu sudah mengendap dalam Perjanjian Baru. Itu tampak dalam pengakuan yang jujur dari si penulis surat yang lain dari Perjanjian Baru, yang menghasilkan 2Petrus 3:15-16: “....Paulus, saudara kita yang kekasih, .....Dalam surat-suratnya itu ada hal-hal yang sukar dipahami.....”
Mengenang Kembali Nilai Menulis Surat Sebagai Komunikasi
Menulis, apalagi menulis surat pribadi dengan tangan, adalah kesenian komunikasi. Semoga tinjauan ulang di atas tadi mengingatkan kita akan arti penting dari tulis-menulis surat sebagai cara dan sarana berkomunikasi. Dewasa ini seni itu menghilang. Orang lebih suka ber-sms. Apalagi di kalangan orang muda: saat ini jempol menjadi pena. Padahal kita tahu, paling tidak dalam masyarakat dengan tradisi tulis, ada efek yang sangat besar dari surat yang ditulis tangan, apalagi itu surat pribadi. Seakan pribadi penulis itu datang dalam dan melalui suratnya. Mungkin itu sebabnya orang suka mendekap surat, terutama surat cinta. Orang mencoba merengkuh penulis dalam dadanya.
Tentu kita tidak sama seperti Paulus yang mendidik orang dengan surat. Tetapi kita, seperti Paulus, sama-sama punya kemampuan dan kesempatan untuk menghibur, menggembirakan, menasihati, menyalami, mendukung satu sama lain. Sebagaimana diteladankan Paulus, tulis surat adalah satu tindakan apostolik-komunikatif yang sangat penting dan bernilai tinggi. Kalau tidak, kiranya Paulus tidak akan bersusah-susah menulis surat. Ingat bahwa Paulus mendukung, menasihati, mengilhami gereja purba dan panggilan imannya dengan suratnya kepada Timoteus dan Titus. Dalam semua suratnya, Paulus mendorong dan menasihati semua kaum beriman yang sudah dibaptis agar setia pada martabat baptisan mereka yang kudus dan mulia.
Menulis surat pribadi adalah ungkapan yang hangat dan luar biasa mengagumkan dari sikap penuh perhatian, penghargaan dan sopan santun. Tulis menulis surat adalah sebuah kerasulan yang terilhami, kerasulan untuk mengungkapkan kasih Allah bagi kita manusia, dan kasih kita akan satu sama lain. Maka marilah kita mengikuti teladan Paulus dengan kerasulan komunikasi tulis surat ini. Kita mengulangi dan membarui kerasulan tulis Paulus ini dalam hidup kita sendiri.