Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)
Kemarin dalam kuliah Fenomenologi Agama, saya membahas tentang jenis-jenis mitos dalam pelbagai macam kebudayaan yang ada di dunia ini. Buku pegangan yang saya pakai sebagai titik tolak adalah Fenomenologi Agama dari Mariasusai Dhavamony. Salah satu dari mitos yang diuraiakn di sana adalah mitos tentang proses penciptaan manusia. Dalam salah satu versi dari mitos itu, konon manusia diciptakan dari semacam lumpur atau tanah liat (clay) yang diambil dari dasar samudera kosmik-mitik-primordial, atau juga dari gumpalan tanah liat. Lumpur atau tanah liat itu dibentuk menjadi boneka, lalu ke dalamnya dihembuskan roh kehidupan oleh sang pencipta, maka mulailah boneka manusia itu hidup dan bergerak.
Kisah mitologis seperti ini dapat juga kita temukan dalam Kitab Suci yaitu persisnya dalam kitab Kejadian 2:7. Di sana Tuhan dilukiskan/dibayangkan secara sangat antropomorfistik sebagai tukang tembikar, tukang priuk, pengrajin tanah liat (potter) yang mengolah tanah liat (clay) lalu setelah manusia terbentuk, maka model awal itu dihembusi oleh roh Allah. Dengan itu maka manusia mulai berada, hidup dan bergerak.
Hanya sayang sekali kita sering sekali mengabaikan versi penciptaan manusia dalam Kejadian 2:7 ini. Saya kira ada beberapa sebab yang bisa diajukan sebagai penjelasannya. Pertama, mungkin karena terlalu kuatnya daya pengaruh dan daya pesona dari versi penciptaan pertama dalam Kej.1:26-28. Padahal kalau dilihat dengan baik maka versi kedua ini sebenarnya sangat penting juga. Kedua, mungkin juga hal ini terabaikan karena kita terpesona oleh kesan creation ex nihilo yang ditampilkan di dalam kitab Kejadian 1:26-28 itu. Padahal sesungguhnya versi kedua ini pun sangat penting dan mendasar juga. Ketiga, mungkin hal ini terabaikan juga karena kita terpesona oleh penegasan dalam kisah penciptaan versi I yaitu bahwa manusia adalah citra Allah, imago dei, sebab mereka diciptakan menurut citra Allah. Tetapi kita arahkan ke yang kedua.
Visi antropologis-teologis ini akan sangat besar dan kuat gema pengaruhnya dalam Kitab Suci, dan juga kemudian dalam teologi atau sejarah pemikiran Kristiani. Tetapi sesungguhnya kisah versi kedua ini pun tidak kalah pentingnya. Sebab ada satu visi teologi penting yang ada di situ. Tubuh kita adalah bait Roh Kudus, tubuh kita adalah bait Roh. Ini juga besar sekali pengaruhnya dalam Kitab Suci, terutama dalam Paulus yang pada suatu saat menghasilkan sebuah printah sebagai berikut: muliakanlah Tuhan dengan tubuhmu. Karena dalam tubuh kita ada Roh Allah, maka mulia sekali tubuh kita ini. Hendaknya kita tidak berdosa dengan tubuh kita. Kelak kita harus pertanggung-jawabkan. Kita harus menyerahkan kembali Roh itu kepada Tuhan sang empunya roh seperti dilakukan pemazmur 32 dan kemudian dikutip Yesus di salib. Dalam Completorium kita menyanyikan/mengucapkan kidung ini, sebab tidur adalah kematian pendek. (Ebiet: kematian adalah tidur panjang). Kita menyerahkan kembali Roh itu kepada Tuhan dengan harapan Ia akan memberi roh itu esok hari, tatkala kita bangun tidur, dengan semangat baru dan segar untuk memulai kembali segala aktifitas kita. Maka kita dapat bangun tidur pada hari baru dengan rsaa syukur yang kuat dan mendalam.
Bandung, 25 November 2008.
Dikomputerkan 27 November 2008. (diperluas.
No comments:
Post a Comment