Showing posts with label renungan hari ini. Show all posts
Showing posts with label renungan hari ini. Show all posts

Friday, June 19, 2020

GEREJA IKAN (ICHTOUS DOMESTIK CHURCH)

Oleh: Fransiskus Borgias M. 

Saya tinggal di Kompleks Perumahan Taman Kopo Indah II Bandung sejak awal Desember 1998. Sejak awal saya tinggal di sana, ada beberapa rumah yang berfungsi sebagai gereja. Saya tidak akan menyebutkannya di sini. Juga saya tidak akan mencirikannya. Kurang lebih tiga atau empat tahun terakhir ini, ada sebuah gereja rumah yang menurut saya sangat unik. Bahwa itu adalah gereja rumah, hal itu bisa tampak dari kegiatan pada hari Minggu yang ramai. Ada banyak orang daripada biasanya. Ada banyak mobil dan motor yang parkir di jalan. Jadi, memang ada kegiatan peribadatan. Bagi saya tidak apa-apa. Bukan tentang hal itu saya mau menulis di sini. 

Yang mau saya tulis di sini adalah desain tampang depan dari domestic church itu. Di Bagian atas depan, dari jauh kita bisa melihat gambar seekor ikan raksasa. ada insangnya, ada matanya, dan ada juga mulutnya. Bodi ikan itu tampak sangat jelas sekali. Mungkin karena ada gambar yang berbentuk ikan itulah maka orang-orang menyebutnya gereja Ikan. Dan karena itu adalah rumah maka disebut domestic church, gereja rumahan, gereja di rumah. Dalam bahasa Yunani, ikan itu artinya ialah ichtous. Oleh karena itu, boleh juga disebut Ichtous Church, alias gereja ikan. 

Bagi orang-orang pada umumnya mungkin gambar ikan itu sama sekali tidak ada artinya. Mungkin orang bahkan mengira itu adalah rumah yang jual ikan, dan semua fasilitas pemeliharaan ikan, seperti aquiarium misalnya, sebab di Taman Kopo Indah memang ada banyak rumah-rumah aquarium seperti itu. Tetapi tentu saja rumah itu, bukan rumah ikan biasa. Untuk orang-orang Kristiani yang mengenal sejarah gereja, dan lebih khusus mengenal (tidak usah mendalami) sejarah kesenian Kristiani purba, maka gambar ikan itu pasti membawa satu makna tertentu. Apa itu? 

Bagi orang yang pernah membaca sejarah Gereja Purba, gambar ikan itu mempunyai arti yang sangat jelas. Pertama, pasti gambar ikan itu mengingatkan dia akan beberapa kali sebutan ikan di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru. Bahkan Yesus pernah menyuruh Petrus untuk menangkap ikan dan berhasil menangkap banyak ikan, melampaui apa yang selama ini pernah dialami oleh para nelayan itu. Mungkin juga orang ingat akan mukjizat Makan Kenyang yang dibuat oleh Yesus yang memberi makan kepada lima ribu orang dengan lima roti dan dua ekor ikan. 

Tetapi mungkin orang lain lagi ingat akan kesenian Kristiani purba pada jaman mereka hidup di dalam Katakomba-katakomba, gua dan lorong bawah tanah yang dipakai sebagai tempat persembunyian dari kejaran dan incaran orang-orang yang ingin memusnahkan kekristenan itu dari muka bumi. Agar tempat pelarian dan persembunyian di dalam tanah itu aman dan bisa menyelamatkan, maka mereka memerlukan beberapa simbol penunjuk arah yang berupa sebuah bahasa sandi internal yang hanya dikenal oleh orang-orang dalam saja. 

Sesungguhnya pada waktu itu, mereka memakai banyak simbol. Tetapi salah satu dari simbol-simbol itu ialah ikan. Di dalam bahasa Yunani ikan itu artinya ICHTOUS. Saat orang-orang Kristiani purba itu melihat gambar ikan maka mereka langsung terpikir akan keselamatan. Sebab bagi orang-orang Kristiani purba itu, ICHTOUS itu adalah sebuah singkatan teologis dan kristologis yang luar biasa indah dan mendalam. ICHTOUS itu adalah singkatan dari Iesus Christus Theou Ouios Soter. Artinya ialah Yesus Kristus Putera Allah Penyelamat. Jadi, saat orang melihat gambar itu di dinding lorong, maka itu adalah tanda keselamatan. Saat mereka menempuh lorong gelap dan rahasia itu, maka mereka akan selamat. Setidaknya mereka tidak terjebak di dalam jalan buntu di dalam lorong-lorong gelap di bawah tanah itu. Itulah fungsi dan peranan dari ICHTOUS tersebut. 

Ketika sedang sibuk memikirkan tentang hal ini, tiba-tiba saya terpikir tentang sifat-sifat dari simbol-simbol itu. Ada simbol yang sudah sangat bersifat eksklusif. Misalnya simbol Salib. Tatkala orang melihat simbol salib maka serta merta orang teringat akan Kristianitas, dan praksis doa yang menandai diri sendiri dengan tanda salib tersebut. Sekalipun orang itu orang yang bukan Kristen, tetapi mereka pasti akrab dengan tanda dan gambar salib itu. Bahkan muncul juga fenomena sosial di mana orang takut akan salib, staurophobia, cruciphobia, dan karena ada phobia terhadap stauros (salib), maka orang pun lalu mengembangkan pelbagai macam wacana untuk mematikan tanda salib tersebut. 

Itulah sebabnya, ada orang yang cenderung berpikir bahwa simbol salib itu sudah sangat bersifat eksklusif. Dan tanda khas dari eksklusivisme ialah cenderung mengeliminasi lian betapapun proses eliminasi itu berlangsung sangat halus dan tidak kelihatan. Tanda salib itu membangun semacam ciri pembeda ada aku dan kau, bahkan bukan lagi hanya pembeda, melainkan juga menjadi semacam tembok pemisah yang memisahkan aku dan kau, kami dan kamu, mereka. Walaupun sebenarnya tanda salib itu sangat bersifat universal. Bahkan tanda salib itu sudah ada mendahului kekristenan itu sendiri. Tetapi pengkaitan historis antara salib dan Kekristenan sudah sangat kuat dan karena itu tidak bisa lagi tersangkalkan oleh siapapun, juga tidak bisa lagi dihapus oleh siapapun. 

Itulah yang membedakan simbol salib dengan simbol lain. Dalam konteks ini, salib itu saya kontraskan dengan gambar ikan tadi. Mungkin karena orang tidak tahu, maka penolakan tidak terasa, karena orang tidak tahu. Hal itu misalnya sangat berbeda dari pengenalan orang-orang pada umumnya terhadap salib. Salib itu sudah menjadi semacam tanda pengenal Kekristenan. Salib menandai rumah-rumah orang Kristen. Sedangkan ikan atau ichtous ini, sekalipun sangat luhur dan mulia, karena terkait langsung dengan misteri kristologi, masih sangat bersifat inklusif. Salah satu ciri khas dari sikap inklusif itu ialah kemauan dan kerelasediaan untuk menerima lian apa adanya juga dengan dan dalam agamanya sendiri. 

Dengan pertimbangan seperti itu maka sikap para pemilik domestic ichtous church itu menurut saya sangat bijaksana. Mereka tetap mau setia kepada iman Kristologis, tetapi sekaligus tetap bersikap inklusif di dalam ekspresi simbolik secara sosial di ruang publik. Kita tidak lagi semata-mata terpaku pada satu simbol saja, apalagi kalau simbol itu sudah menimbulkan semacam rasa takut (staurophobia) dan curiga dari lian. Pemakaian simbol ikan, setidaknya hingga saat ini, sangat bersifat inklusif. Saat orang melihat ikan, maka yang spontan terpikirkan ialah mungkin ikan goreng, ikan bakar, ataupun ikan pepes. Tidak ada sama sekali konotasi yang bersifat Kristologis. 

Menurut saya, ini adalah sebuah tantangan bagi Kreatifitas Kristiani, baik untuk menggali simbol-simbol lain yang bersifat historis, tetapi sekaligus bersifat inklusif, maupun, seperti halnya dulu orang-orang Kristiani purba sendiri, mengembangkan eksperimen-eksperimen teologis baru untuk mengembangkan wacana dan imaji-imaji baru yang bisa dipakai sebagai simbol, sekali lagi simbol yang tidak eksklusif, melainkan simbol yang mutlak bersifat inklusif. 

Dosen dan Peneliti FF-UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung. 


Friday, April 10, 2020

PUISI CHAIRIL ANWAR "ISA"

Oleh: Fransiskus Borgias

Kemarin brader Hortensius Mandaru menampilkan sebuah puisi mahaterkenal dari Chairil Anwar, Penyair angkatan 30an (persisnya angkatan 33 sesuai dengan tahun terbitnya buku Siti Nurbaya yang dianggap sebagai tonggak pembatas dengan periodisasi sebelumnya yaitu angkatan 20). Puisi itu sangat terkenal karena sifatnya yang paradoksal. Dalam tulisan ini sesungguhnya saya hanya mau berusaha melukiskan dan membuktikan sifat paradoks dari puisi tersebut. Tetapi sebelum itu, ijinkan saya tambahkan juga sebuah keterangan singkat historis, yang juga sudah disinggung brader Tensi kemarin, bahwa puisi ini dulu terkenal sekali di Seminari Pius XII Kisol, karena hampir setiap tahun pada Hari Jumat Agung, puisi ini dibacakan. Kiranya puisi ini juga sangat berkesan bagi brader Yosef Hambur yang di angkatan kelas kami merupakan seorang deklamator handal dan terkenal dengan suara bassnya yang sangat berwibawa dan menggentarkan, yang membuat baris-baris puisi itu seperti menjadi sangat hidup dan meloncat-loncat keluar dari bibir-bibirnya, alat tuturnya yang luar biasa.

Sekarang saya mau masuk ke dalam sifat paradoksal dari puisi itu. Pertama, puisi itu adalah tentang Isa, yang menurut klaim orang Muslim adalah nama lain dari Yesus, Yesus menurut versi Islam, walaupun klaim itu belum tentu benar, sebab mungkin saja Isa itu berbeda dengan Yesus, sebab Yesus adalah anak Maria, sedangkan Isa adalah anak Mariam yang adalah saudari Musa. Oke-lah. Saya tidak mau mempersoalkan hal itu lebih lanjut di sini. Kita terima saja bahwa Isa yang dimaksudkan Chairil Anwar adalah sama dengan Yesus Kristus, apalagi Chairil mempersembahkan puisinya itu kepada orang Kristen, sebagaimana ia katakan di awal puisinya, Kepada Nasrani Sedjati. Oh ya, Nasrani adalah sebutan versi Al Quran untuk orang-orang Kristiani. Chairil Anwar, yang adalah seorang muslim (penganut Islam) menulis puisi tentang Yesus yang ditujukan kepada orang-orang Kristiani yang sejati (hemmm.... berarti ada yang tidak sejati, Kristiani yang gadungan, istilah yang sangat disukai oleh pater Cletus Groenen OFM).

Dalam terminologi teologi dialog agama-agama ala John S.Dunne, dalam bukunya The Way of All the Earth, Chairil Anwar melakukan aksi passing over, yaitu menyeberang, melintas batas, keluar dari zona nyaman religiusnya sendiri dan masuk ke dalam kandang religiositas Kristiani dan mencoba mengatakan sesuatu dari dalam kolam spiritualias itu untuk para penghuni kolam spiritualitas itu sendiri. Dan bagi saya itu sesuatu yang sangat luar biasa. Itu adalah sesuatu yang sangat berani. Dan hampir dapat dipastikan bahwa Chairil Anwar diperkaya oleh ziarahnya dalam aksi passing over itu dan terutama dalam upayanya membuat puisi tentang Isa. Hampir dapat dipastikan juga bahwa Chairil Anwar juga melakukan timbal balik dari aksi passing-over dalam teologi Dunne tadi, yaitu coming back. Biarpun Chairil Anwar menulis puisi tentang Isa untuk orang Kristen, toh ia tetap seorang penganut muslim yang taat. Setelah melakukan aksi passing over tadi, ia pasti coming back ke dalam samudera spiritualitasnya yang asli sebagai orang Islam. Yang jelas, setelah ia kembali lagi (coming back) dari perjalanan passing over itu, Chairil pasti mengalami semacam metanoia, semacam metamorphosis batiniah. Ia pasti menjadi seorang Islam yang "lain" karena pertautannya yang sangat dalam dengan Kristianitas itu sendiri.

Masih ada satu hal lain yang juga menjadi sangat misteri bagi saya, mengapa Chairil Anwar menulis tentang Isa ini. Dan inilah paradoks yang kedua, yaitu bahwa berbeda dengan teologi Islam (Quran), Chairil Anwar, dalam dan melalui puisi ini memperlihatkan suatu pandangan yang mendasar bahwa Isa itu sungguh-sungguh menderita di salib dan mati di salib. Ini adalah suatu yang tidak ada di dalam Quran. Ini adalah suatu yang disangkal di dalam Quran itu sendiri. Menurut Kristologi (ilmu tentang Kristus, dan bukan ilmu tentang orang Kristen sebagaimana yang dipahami oleh orang-orang Islam) Quran, yang mati di salib itu bukan Yesus (Isa) melainkan orang yang diserupakan dengan Dia. Saya membayangkan bagaimana perjuangan batin si Chairil Anwar ketika menulis puisi ini. Sebab di satu pihak, sebagai orang Islam kiranya ia menganut paham Kristologi Quran (yang tidak mengakui bahwa Yesus menderita sengsara dan mati di salib), dan di pihak lain, toh ia sudah menulis puisi tentang Isa, yang melukiskan tragedi sengsara salib dan kematian itu secara sangat nyata dan gamblang. Bagi saya ini adalah suatu yang luar biasa. Juga masih merupakan misteri. Apa yang saya ungkapkan di sini adalah hipotesis saya saja. Belum tentu Chairil Anwar memang memaksudkannya demikian.

Tetapi begitulah kekayaan jarak atau distansi antara pengarang dan pembacanya pada masa kini. Distansi itu menciptakan ruang untuk membangun dan merekonstruksi makna. Proses distansiasi, istilah dari filsuf hermeneutik besar, Paul Ricoeur, menciptakan ruang dan peluang bagi munculnya tafsir dan pemahaman baru, juga eksplorasi baru. Itu yang saya lakukan sekarang dan di sini. Memaksimalisasi kesadaran akan adanya ruang yang tercipta oleh adanya jarak antara pengarang dan saya sebagai penafsir. Sebab menurut Ricoeur lagi, begitu sebuah karya sudah terbit, maka pengarangnya sudah mati, sudah terkubur di balik karyanya yang sejak terbit menjalani hidupnya sendiri, artinya ia bebas dibaca dan ditafsirkan para penafsir. Sia-sia kita mencari intentio auctoris, kata Ricoeur, karena teks itu selalu bersifat foreward, tidak bersifat backward, jadi teks itu sendiri mengantar kita untuk mencari apa yang dilontarkannya ke depan, foreward, dan tidak usah sibuk mencari ke belakangnya, ke belakang layar, backward.

Tetap tinggal sebuah pertanyaan misterius, mengapa Chairil Anwar melakukan Passing over itu? Apakah hanya sekadar mencari sensasi agar mendapat simpati dari para sastrawan dan kawannya yang Kristiani yang pada angkatan 33 itu memang ada juga yang berpengaruh seperti Johannes Engelbertus Tatengkeng itu. Saya kira tidak hanya sekadar mencari sensasi. Kalau bukan sensasi, lalu apa? Mengapa dan untuk apa Chairil menempuh risiko passing over itu? Setelah cukup lama saya mencari-cari penjelasan dari beberapa penafsir, misalnya dari orang seperti Goenawan Muhammad (tetapi saya lupa di mana ia menulis tentang hal itu, mungkin di salah satu caping dia yang terkenal itu), saya tidak atau lebih baik belum menemukan penafsiran ini. Oleh karena itu, saya mengklaim tafsir ini sebagai penemuan saya, paling tidak untuk sementara waktu sekarang ini.

Yang saya maksudkan ialah suatu penafsiran eksistensial. Menurut pembacaan historis-filosofis saya, Chairil menulis puisi tentang sengsara dan wafat Isa itu karena ia sangat gandrung akan filsafat eksistensialisme yang pada tahun 40an sampai tahun 60an masih merebak dan menjadi mode pemikiran filosofis di seluruh dunia. Terkait dengan nafas pengaruh filsafat eksistensialisme ini, tentu Chairil di Indonesia tidak sendirian. Ada orang seperti Sutan Takdir Alisyabana yang juga dipengaruhi oleh eksistensialisme, bahkan oleh sebuah wujud yang lebih radikal dari eksistensialisme itu dalam tradisi Katolik, yaitu oleh personalisme. STA juga sangat dipengaruhi oleh eksistensialsime Karl Jaspers. Selain STA, masih ada juga orang seperti Iwan Simatupang yang dalam beberapa novelnya yang nyentrik mencoba menggali dan menggambarkan filsafat eksistensialisme itu. Baca saja bukunya yang terkenal, Ziarah, yang oleh Dami N.Toda (sastrawan dari Manggarai, teman angkatan dari Prof.Alan saat di Seminari Kecil dan Menengah di Mataloko dulu, tetapi Toda, ke Ledalero, Prof.Allan ke Cicurug) dianggap sebagai tonggak eksistensialisme Iwan, walaupun saya tidak begitu setuju dengan hal itu, sebab saya lebih suka memilih novel yang lain sebagai tonggak, yaitu Merahnya Merah, sebuah judul yang aneh juga. Kita stopkan di sini ulasan mengenai eksistensialsime dan pengaruhnya ke Indonesia pada tahun 40an hingga 60an.

Lalu ada apa dengan eksistensialisme itu? Apa hubungan antara eksistensialisme itu dengan aksi passing over Chairil yang menghasilkan puisi Isa yang terkenal itu? Hubungannya ialah ini. Salah satu tema paling menarik perhatian para filsuf eksistensialis pada saat itu ialah misteri wajah penderitaan. Para filsuf eksistensialis, seperti Heidegger, Sartre, Camus, dll, berjuang memberi penjelasan dan pemahaman tentang misteri Penderitaan itu. Tetapi tetap saja misteri itu tidak terjelaskan. Dan salah satu contoh sejarah dari penderitaan tragis itu, atau dalam istilah teologis Schillebeeckx, MENDERITA BEGITU SAJA, (yang berbeda dari menderita demi, atau menderita karena), ialah penderitaan yang dialami oleh Yesus Kristus. Menderita bukan karena salahnya sendiri, menderita walaupun ia tidak tahu mengapa harus menderita (seperti drama tragis Ayub itu). Hampir di sepanjang sejarah seni dan sastra di dunia ini, terutama di Eropa, wajah derita Yesus itu memang mewakili secara hakiki inti dari filsafat eksistensialisme itu sendiri.

Nah, Chairil Anwar yang pada tahun 40an juga sangat gandrung akan filsafat eksistensialisme itu, pasti juga menangkap dan memahami bahwa derita Yesus adalah derita eksistensialis, derita yang bisa menggambarkan dengan sangat tepat intuisi dasar filsafat eksistensialisme itu. Dalam drama dan pengalaman penderitaan, manusia diperhadapkan dengan eksistensinya sendiri, berhadapan dengan momen di mana ia harus dan mau tidak mau memutuskan proses pemaknaan hidup itu sendiri. Chairil Anwar kiranya menangkap keterkaitan yang mendasar itu. Oleh karena itu, menurut saya, walaupun dia Islam, tetapi karena dalam wajah derita Yesus terpantul inti dari filsafat eksistensialisme, maka ia pun tidak segan-segan memakainya sebagai sumber ilham puisi eksistensialismenya, walaupun dengan risiko berbeda dan bahkan bertentangan dengan keyakinannya sendiri sebagai seorang muslim.

Untuk menutup catatan ini saya kutipkan lagi di sini puisi itu. Mari kita baca bersama-sama.

ISA
Chairil Anwar
Kepada Nasrani Sedjati

Itoe Toeboeh
mengoetjoer darah
mengoetjoer darah

roeboeh
patah

mendampar tanja: akoe salah?

koelihat Toeboeh mengoecoer darah
akoe berkatja dalam darah

terbajang terang dimata masa
bertoekar roepa ini segara
mengatoep loeka

akoe bersoeka

Itoe Toeboeh
mengoecoer darah
mengoecoer darah

12/11-1943

Thursday, April 9, 2020

MAKAN SAMBIL MENANGIS

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Kira-kira seminggu yang lalu saya menemukan sebuah foto di laman instagram seorang pegiat media sosial (yang kiranya tidak perlu saya sebutkan namanya di sini). Foto itu sangat menyentuh perasaan saya. Jelas, foto itu juga sangat menyentuh perasaan sang pegiat medsos itu. Dalam foto itu tampak tergambar seorang pria yang berprofesi sebagai pengemudi ojek online. Ada dua gambar. Gambar satu, ia sedang makan. Gambar yang kedua, ia sedang menangis, makan sambil menangis. Semula saya tidak begitu paham, ada apa dengan orang tersebut. Saya baru mengerti setelah membaca keterangan yang diberikan oleh si pegiat medsos tersebut. Ternyata pria itu sedang memakan makanan yang dipesan seorang pelanggan, tetapi setelah dibelinya, ternyata si pelanggan tersebut membatalkannya. Tidak ada cara lain bagi si pengemudi ojol itu, selain memakan makanan mewah dari restoran tersebut.

Saya bisa memahami mengapa ia menangis. Mungkin karena, ia sudah mengeluarkan sejumlah biaya dari accountnya, tetapi ternyata si pelanggan sudah membatalkan pesanannya. Tentu ia bisa memakan makanan itu, tetapi belum tentu itulah menu makanan yang hendak ia makan hari itu. Mungkin saja ia merencanakan makanan yang lebih sederhana dari itu. Tetapi ia terpaksa menyantapnya dalam dukacita, dalam tangis. Kata-kata yang ditulis oleh si pegiat medsos itu juga membuat saya sedih, karena ia mencoba mendorong dan menghibur pria itu sambil berharap akan suatu hal yang lebih baik di masa depan, walaupun sekarang ia harus melewati hal sedih seperti ini.

Saat saya membaca dan melihat gambar itu, saya langsung teringat akan beberapa hal. Pertama, beberapa tahun silam beredar sebuah film pendek, kalau tidak salah dari Filipina. Ada sebuah keluarga miskin, pemulung. Ayahnya bekerja sebagai pemulung. Pada suatu saat ia memulung di tempat sampah sebuah restoran mewah. Pada malam sebelumnya ada dua atau tiga perempuan remaja mampir makan di sana. Mereka membeli banyak makanan. Tetapi mereka tidak menghabiskan makanan yang telah mereka pesan. Maka tidak ada pilihan lain bagi pihak restoran selain membuang makanan yang tidak dihabiskan itu ke tempat sampah mereka.

Nah besok paginya, ayah keluarga pemulung itu, lewat di sana. Saat ia membuka tempat sampah, ia melihat kotak-kotak yang masih bersih. Ia mengambilnya, dan membukanya. Tampak sekali ia berbahagia melihat apa yang ditemukannya hari itu di tempat sampah. Ada dada ayam yang masih lumayan utuh. Hanya ada bekas sobekan sedikit di salah satu pinggirnya. Ada juga paha ayam yang hampir masih utuh. Ada juga paham ayam yang sebagian dagingnya sudah dimakan. Tetapi masih ada dagingnya yang menempel pada tulang itu. Ia mengambil dan menyimpannya baik. Dan ada juga nasi yang tidak habis dimakan.

Selesai memulung, ia pun pulang ke rumahnya di sore hari. Rumahnya terletak di bilangan yang kumuh. Isteri dan anak-anaknya sudah menunggu ia pulang. Mereka juga berharap sang ayah akan kembali dengan membawa berkat dan rejeki mereka untuk hari itu. Dan betul saja. Sang ayah membawa berkat yang tidak terkira. Ia membuka bungkusannya di atas meja sederhana yang sudah disiapkan isterinya. Setelah semua sudah tersedia, mereka sudah tidak sabar menyantap makanan itu. Anaknya yang paling kecil tampaknya sudah tidak sabar lagi. Ia mengulurkan tangannya untuk mengambil salah satu potong ayam tadi. Tetapi aksi anaknya itu dirintanginya, karena sebelum makan mereka harus terlebih dahulu berdoa.

Maka mereka pun berdoa. Si ayah memimpin doa itu dengan mengawalinya dengan tanda salib. Ternyata mereka keluarga Katolik. Setelah berdoa, mereka pun menyantap makanan itu dengan penuh sukacita. Apa yang dibuang orang dari kelimpahan mereka, menjadi berkat yang tidak terkira bagi orang lain yang berkekurangan. Apa yang dibuang dari kekenyangan satu golongan berada, menjadi rahmat dan sukacita bagi orang yang berkekurangan.

Entah ada kaitan atau tidak, yang jelas Paus Fransiskus juga menyerukan agar manusia membuang mentalitas "cepat membuang". Ia mencoba melawan mentalitas cari enak, mentalitas dan budaya instant yang maunya cepat-cepat membuang apa saja yang dianggap tidak lagi dibutuhkannya. Paus juga pernah mengatakan bahwa kalau kita membuang makanan kita, itu sama dengan kita merampas makanan yang seharusnya menjadi hak orang miskin dari mulut dan perut mereka yang lapar. Kita membuang dari kelimpahan kita, dan membiarkan orang lain menderita di dalam ketiadaan mereka (bukan sekadar kekurangan, melainkan ketiadaan).

Saat saya menulis ini juga saya langsung teringat akan kisah dalam Injil Lukas tentang si Lazarus dan orang kaya itu (Luk 16:19-31). Lazarus, orang miskin itu datang ke pintu rumah si orang kaya yang sedang makan. Mungkin Lazarus menunggu apa yang mungkin diberikan atau tersisa dari meja si kaya. Tetapi tidak ada. Yang ada, anjing-anjing si kaya menjilati bilur-bilur lukanya. Si kaya lalai, tidak menyadari kehadiran Lazarus. Ini yang kiranya disebut dosa kelalaian. Doa yang sering diakukan pada awal Ekaristi, "...saya telah berdosa dengan pikiran, perkataan, perbuatan dan kelalaian." Lalai maksudnya bukan keliru. Lalai maksudnya kita tidak melakukan apa yang seharusnya dilakukan.

Si kaya lalai, karena seharusnya dia memberi sesuatu kepada si miskin yang hadir di depan pintunya, tetapi ia tidak memberikannya. Betapa dosa lalai seperti ini sering sekali terjadi atau dilakukan oleh kita semua. Dosa lalai itu mempunyai efek mengerikan bagi sesama. Padahal kita dipanggil untuk menaruh perhatian dan peduli pada sesama. Kita dipanggil untuk memberi per-hati-an kepada sesama. Kata Emmanuel Levinas, penampakan wajah sesama, terutama yang menderita, adalah sebuah tantangan dan panggilan etis bagi kita untuk bertindak dan berpihak.

Taman Kopo Indah II, Blok D4 No.40, Bandung.
10 April 2018. Renungan pagi Jumat Agung 2020.

Wednesday, December 26, 2018

DATANGLAH KERAJAANMU: BAPA ALEX NAHAL DAN DOA “BAPA KAMI”

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Awal Agustus 2017 yang lalu saya dan isteri berkesempatan untuk bertemu dan melakukan wawancara dan berdialog dengan Bapa Alex Nahal di rumah kediamannya di Borong. Hal itu saya lakukan dalam rangka menyusun sebuah buku tentang Bapa Alex. Untuk itu saya berusaha menggali banyak segi dalam kehidupannya untuk diungkapkan kepada Publik dalam sebuah buku nantinya. Sudah banyak tulisan singkat-singkat yang sudah berhasil saya lakukan. Tetapi belum sempat-sempat juga untuk merangkumnya menjadi sebuah buku yang utuh dan penuh. Oleh karena itu saya memutuskan untuk mulai saja menerbitkan potongan-potongan tulisan itu dalam blog pribadi saya agar publik bisa menikmatinya juga terlebih dahulu. Siapa tahu ada juga masukan-masukan yang berharga demi perbaikan isi buku itu nantinya. Daya pendengaran beliau sudah mulai berkurang. Begitu juga dengan daya ingatnya. Tetapi untunglah kami banyak dibantu oleh sang Isteri yang bersedia mendampingi kami. Juga kami mendapat sangat banyak bantuan dari salah satu anak lelakinya yang kebetulan rumah kediamannya sangat berdekatan dengan Bapa Alex.

Salah satu hal (dari sekian banyak hal) yang amat menarik yang saya dan isteri temukan dari kekayaan hidup rohani bapa Alex ialah ketekunannya dalam hidup doa. Memang bapa Alex adalah sosok orang guru Katolik yang saleh. Salah satu doa favorit dia adalah Doa Bapa Kami. Sebagai orang Katolik, tentu saja dia sangat hafal akan doa itu, baik dalam versi bahasa Indonesia, maupun versi terjemahan bahasa Manggarainya. Sebagai generasi guru tua di Manggarai, dapat juga dipastikan bahwa dia juga tahu atau hafal versi bahasa Latinnya. Saya sendiri mendengar ia mengucapkan doa Bapa Kami itu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Manggarai (sedikit bergaya logat Mukunan).

Pertama-tama saya harus mengatakan bahwa masing-masing orang Kristiani yang memakai doa ini, pasti memiliki sudut pandang sendiri dan pengalaman sendiri dalam mencoba memahami dan mencintai Doa Tuhan Yesus itu. Misalnya, mungkin ada orang yang sangat terpesona dengan bagian awal doa itu: Dimuliakanlah NamaMu. Atau mungkin ada juga yang sangat terpesona dengan ucapan penggal “Ampunilah kesalahan kami”. Ataupun ada yang tertarik dengan penggal “Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan”. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Menurut pengakuan bapa Alex sendiri dalam sesi wawancara itu, ia terutama sangat tertarik dengan dua penggal dari doa Bapa Kami itu. Yakni ia sangat tertarik dengan ungkapan “Datanglah kerajaanMu” dan “Berilah kami rejeki pada hari ini.”

Saat saya mendengar pengakuan itu sesungguhnya saya tidak terlalu merasa heran juga dengan rasa ketertarikan itu. Sebab dalam sejarah penafsiran cukup banyak orang juga yang tertarik dengan kedua penggal ungkapan itu dari doa Bapa Kami. Para pejuang teologi pembebasan (terutama pembebasan dari kemiskinan) misalnya sangat suka akan ungkapan “Berilah kami rejeki pada hari ini.” (Bahkan mereka suka akan versi Latinnya yang meminta Roti sehari-hari, Daily Bread; hal itu berbeda dengan bahasa Indonesia yang memakai ungkapan rejeki, walau ada juga yang memakai terjemahan roti hari ini). Tetapi yang menjadi sangat menarik bagi saya ialah alasan mengapa bapa Alex merasa sangat tertarik dengan kedua baris itu. Alasan dia adalah karena ia mau “memakai” kedua ungkapan dalam Doa Tuhan Yesus itu sebagai dasar untuk pembangunan dan pemberdayaan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Saat saya mendengar hal itu saya secara spontan sangat terkejut. Maka secara spontan saya pun balik bertanya: Mengapa bapa berpikir seperti itu? Dengan penuh semangat (yaitu dengan mata rada membelalak) ia mencoba menjelaskan pandangan dan pendiriannya. Dan penjelasan yang ia berikan juga sangat menarik.

Begini katanya pada waktu itu: Nak Frans dan Nak Atin, saya sangat yakin bahwa ketika Tuhan Yesus berdoa (atau mengajak kita berdoa) agar “Kerajaan Tuhan itu datang”, tentu itu tidak main-main. Itu bukan sebuah doa yang mengandung kata-kata kosong belaka. Itu bukan hanya sekadar bunyi bibir saja (saya tambahkan bahwa ungkapan itu dalam bahasa kerennya ialah lip-service, hiasan bibir). Kata Bapa Alex: Tentu Tuhan Yesus sungguh-sungguh menginginkan agar Kerajaan Allah itu datang dan terjadi sekarang dan di sini, di Borong ini, di Ketang, di Mukun, di Manggarai ini. Tetapi syaratnya hanya satu: Yakni saya harus ikut ambil bagian di dalamnya. Saya memahami doa itu dengan cara seperti itu. Doa “Datanglah KerajaanMu” itu saya jadikan sebagai dasar atau titik berangkat untuk pembangunan dan pemberdayaan hidup sosial ekonomi masyarakat. Saya dulu yang mulai di Ketang dengan upaya menanam pohon cengkeh. Dan itu tidak mudah, sebab tanah di Ketang itu tanah merah, tidak subur. Saya harus membuat pupuk sendiri (sekarang disebut pupuk kompos). Sebelum saya, Ketang itu masih kosong. Mungkin dulunya penuh dengan kayu Ketang, tetapi semua sudah hilang (karena ditebang orang, penebangan liar). Sebagai seorang guru, saya mulai dengan upaya memberi contoh teladan bagi masyarakat. Saya menanam pohon cengkeh. Kegunaannya dua. Satu efek penghijauan (segi ekologi), dan dua tentu saja untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, meningkatkan pendapatan. Kalau hidup ekonomi rakyat (masyarakat) meningkat, nah itulah Kerajaan Allah itu. Kerajaan Allah itu sudah datang dan terjadi di sini, di Ketang.

Nah, permintaan kedua yaitu “Berilah kami rejeki pada hari ini”. Ya kita meminta rejeki dengan cara bekerja, bukan hanya dengan menadahkan tangan saja; bahasa Manggarainya, “nggelak” (nggelak tiba helang) saja. Kita harus bekerja, yaitu menanam tadi, dan Tuhan pasti akan menumbuhkan. Dan pada akhirnya kitalah yang petik hasil panennya. Nak Frans, Tuhan tidak pernah mengambil lagi hasil panennya. Betapa Tuhan itu baik. Betul kata Mazmur itu. Kecaplah dan rasalah sendiri, betapa sedapnya Tuhan. Pada awal tahun 70an, saya hanya menanam dan menamam saja. Ya, tentu saja saya dan anak-anak saya memang menyiram juga. Tetapi saya yakin Tuhan yang menumbuhkan. Ia menumbuhkannya dengan sangat subur. Itu sebabnya Ketang lalu menjadi hijau permai oleh pohon cengkeh. Ketang yang tadinya tandus, sekarang menjadi hijau permai dan indah. Yang hijau-hijau itu memang indah. Hal itu mungkin terjadi, sebab contoh teladan yang telah saya berikan dengan cukup cepat menular juga kepada masyarakat lain di sekitar. Semua sudah melihat dan sadar bahwa Tuhan menumbuhkan, dan Tuhan tidak pernah mengambil lagi hasilnya. Kita-kita inilah yang menikmati hasilnya. Hanya sering sekali kita lupa untuk berterima kasih.

Lalu ia memberi keterangan tambahan bahwa sejak ia pensiun dan tidak begitu kuat lagi kerja fisik (opus manuale) ia mulai memahami dan mengartikan secara baru dan lain teks doa favoritnya itu. Ia mengaku bahwa Doa “Datanglah KerajaanMu” itu sekarang ini ia coba wujudkan dengan mendorong masyarakat agar terlibat dalam kegiatan ekonomi mikrofinance, melalui credit union yang puji Tuhan di seluruh Manggarai Raya (termasuk Manggarai Timur dengan ibukota Borong) sangat getol digalakkan oleh pihak Gereja melalui Paroki-paroki yang ada. Dalam hal ini ia sangat mendukung upaya gereja paroki dalam rangka pemberdayaan itu. Secara kebetulan saat kami melakukan wawancara untuk calon bahan buku ini ada seorang imam keuskupan Ruteng yang adalah tokoh penggerak credit union yang bernama RD.Simon Nama. Kebetulan saat kami ada di Borong ia bekerja di Ibukota Manggarai Timur itu (Hanya sayang kami tidak sempat bertemu dengan beliau). Bapa Alex merasa sangat sejalan dengan gerakan itu. Ia melihat gerakan CU itu sebagai bagian utuh dari doa Bapa Kami itu: “Datanglah kerajaanMu” dan “Berilah Kami Rejeki pada hari ini.” Oh, ya sebelum CU ia juga menggalakkan gerakan arisan dan aktifitas menabung.

Saat saya mendengar ulasan atau lebih tepat sharing pengalaman dan pemahaman itu, saya benar-benar merasa kagum. Saya kagum karena model penafsiran seperti ini menurut saya benar-benar otentik (original). Mengapa saya berani mengatakan begitu? Karena selama saya belajar teologi dan Kitab Suci saya sudah cukup banyak mempelajari para teolog yang mencoba menafsirkan doa Bapa Kami itu. Misalnya model penafsiran dari para Bapa Gereja (Patrologi) yang menjadikan Doa Tuhan (Oratio Dominica) sebagai sebuah teks dasar dalam teologi mereka. Setidaknya sampai saat ini saya belum menemukan penafsiran dan pemahaman seperti yang dimiliki oleh Bapa Alex ini. Sebagian besar para Bapa Gereja itu memahami teks “Datanglah KerajaanMu” itu secara eskatologis. Yaitu mengharapkan Parousia, saat Tuhan akan datang lagi. Jadi, doa itu menurut mereka, mengarahkan perhatian kita ke akhir jaman (parousia). Tetapi bapa Aleks tidak begitu. Ia membawa perhatian kita dalam doa itu justru untuk masa sekarang ini. Mungkin karena dalam pemahaman dia, masa depan atau akhir jaman itu nanti sangat ditentukan oleh masa sekarang ini. Menurut dia doa Bapa Kami itu adalah doa untuk hari ini. Bukan doa untuk hari-hari yang akan datang. Apalagi doa untuk akhir jaman. Hal itu jauh sekali dari apa yang dipikirkan dan dibayangkan oleh Bapa Alex.

Beberapa para exegese (ahli tafsir kitab suci) yang pernah saya rujuk untuk mencoba menggali makna dan memahami doa Bapa Kami juga amat menekankan nada eskatologis dan orientasi parousia dari doa Bapa Kami itu, khususnya penggalan yang dimaksudkan tadi. Misalnya, saya pernah mendalami buku dari exeget Joachim Jeremis yang mendalami Doa Tuhan itu (Lord’s Prayer). Di sana kentara sekali nada eskatologis dan orientasi parousia itu. saya juga pernah mendalami tafsir dari perspektif sejarah teologi liturgis dari romo Joseph Jungman SJ (pakar sejarah Liturgi Yesuit), History of Christian Prayer. Saya juga mendalami ulasan doa Bapa Kami yang ada dalam buku Katekismus Gereja Katolik yang terbit tahun 90an (abad yang lalu) pada masa pontifikat santo Yohanes Paulus II. Akhirnya yang terbaru (atau relatif baru, tahun 2007) saya juga sudah mencoba mendalami doa Bapa Kami yang diupayakan oleh Joseph Ratzinger yang menjadi Paus Benediktus XVI. Semuanya menekankan dimensi eskatologis dan orientasi parousia dari doa itu. Itulah sebabnya, saya berani mengatakan bahwa tafsir dan pemahaman bapa Alex tadi adalah sangat khas dan mungkin original. Saya akan tetap mempertahankan cap original-otentik ini sampai saya bisa menemukan tafsir yang serupa yang sudah mendahului bapa Alex, tetapi yang masih luput dari jangkauan pencarian dan pendalaman saya.

Dalam artian itulah saya merasa bahwa Bapa Alex telah menjadi guru saya dalam memahami dan mengartikan Kitab Suci. Maka sekali lagi saya menjadi semakin yakin bahwa apa yang disebut “tafsir eksistensial” (existential interpretation) atas Kitab Suci itu sungguh-sungguh ada dan sungguh-sungguh absah juga. Kita tidak dapat dan tidak boleh mengabaikannya ataupun meremehkannya, karena tafsir eksistensial seperti itu sungguh ada dan benar-benar mengalir dan memancar keluar dari perjuangan hidup seseorang itu sendiri dan memperkaya hidup orang itu juga secara sangat kuat dan mendalam.

Dan memang dalam hal itu, maksud saya, dalam hal hidup rohani, bapa Alex tentu saja tidak usah diragukan. Tadi pagi saat saya datang agak pagi ke rumahnya untuk sesi wawancara lanjutan, ternyata ia belum pulang dari gereja untuk mengikuti ekaristi pagi, sebuah rutinitas yang ia tekuni tanpa terlewat satu hari pun kecuali kalau ia sedang sakit berat. Kalau tidak ia akan berjalan kaki ke gereja untuk mengikuti perayaan ekaristi harian. Luar biasa. Ia benar-benar cinta dan rindu bertemu dengan Tuhan Yesus.

#bapa kami #datanglah kerajaanMu #di bumi #di surga #ketang #usaha kecil #alex nahal #hidup rohani

Saturday, December 15, 2018

PARADOKS ADVENT YANG BERNUANSA NATAL

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR. Anggota LBI dan ISBI.


Pengantar Singkat 

Pada tahun 1988 seorang ahli kitab suci Katolik dari Amerika Serikat (Fakultas Teologi Catholic University of America di Washington DC) menerbitkan buku populer dengan judul agak aneh: A Coming Christ In Advent. Aneh karena judul itu berarti, jika diterjemahkan secara harafiah, Kristus yang datang pada Masa Advent. Jadi, judul ini menyiratkan kenyataan bahwa pada masa Advent pun (masa penantian akan kedatangan Tuhan) Kristus justru sudah datang. Oh iya, nama pakar kitab suci itu ialah Pater Raymond E.Brown SS (namanya selanjutnya akan disingkat menjadi REB saja. Sedangkan SS yang ada di belakang namanya itu adalah singkatan nama kongregasinya, karena ia berasal dari kongregasi yang bernama Saint Sulpice, sebuah kongregasi yang berasal dari Prancis). 

Dalam waktu yang relatif singkat Lembaga Biblika Indonesia (LBI), lewat beberapa penerjemah handal yang bekerja di bawah koordinasi Prof.Dr.Martin Harun OFM, menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia. Versi terjemahan Indonesianya terbit pada tahun 1991 (Kanisius, Yogyakarta). Penerjemah buku ini adalah teman saya, Markus K.Mara (dalam kerjasama dengan Dr.Martin Harun OFM). Judul terjemahan Indonesia juga tidak kurang anehnya Kedatangan Kristus dalam Advent. Aneh, karena masih Advent kok ngomong tentang Kristus yang sudah datang? Itulah masalahnya. Tetapi dalam kacamata teologi exegese Raymond E.Brown hal itu memang sangat dimungkinkan.

Versi Populer dari Sebuah Opus Magnum 

Buku ini adalah versi populer (yang sangat ringan) dari salah satu opus magnum REB, yang sudah terbit pada akhir tahun 70-an. Judul Opus Magnum itu ialah The Birth of Messiah (Kelahiran Sang Mesias). Hingga saat ini salah satu buku raksasa (babon) dalam exegese Perjanjian Baru ini khusus mengenai totalitas peristiwa Yesus Kristus, belum diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Semoga nanti ada orang-orang dan penerbit nekat yang berani menerjemahkan dan menerbitkan kaya itu. Menurut kata REB sendiri, buku raksasa ini dimaksudkan bagi para ahli, sebagai sumbangan ilmiah akademik untuk studi Kitab Suci. 

Sedangkan untuk melayani kebutuhan dan kepentingan pastoral umat biasa pada umumnya di paroki-paroki, REB mengolah kembali buku itu dalam bentuk yang lebih ringan dan sangat populer. Tidak ada catatan dan rujukan yang rumit-rumit yang membuat kepala pusing bahkan saat untuk melihatnya saja sebelum membacanya. Hasil dari kerja pengolahan ulang itu ialah adanya dua buku, yaitu A Coming Christ In Advent (Kedatangan Kristus dalam Advent) dan An Adult Christ at Christmas (Kristus Yang Dewasa Pada Masa Natal). Buku terakhir ini juga sudah diterjemahkan ke bahasa Indonesia (Kanisius, Yogyakarta 1995). Penerjemahnya ialah saya sendiri (Fransiskus Borgias) dalam kerja-sama dengan Pater Martin Harun OFM. 

Tafsir Kitab Suci Dalam Bingkai Tahun Liturgis 

Ketika buku Kedatangan Kristus dalam Advent terbit (1991), saya membacanya. Pada tahun 2018 yang silam, entah mengapa saya merasa sangat tertarik lagi untuk membaca buku itu. Tetapi pada tahun 2018 itu saya membacanya dalam versi bahasa Inggris. Perlu juga diinformasikan bahwa pada akhir tahun 80an buku-buku tadi terbit dalam bentuk buku-buku kecil. Karena memang dimaksudkan untuk menghindari kesan ilmiah-angker, yang biasanya bisa dengan segera membuat ciut nyala untuk mulai melihat dan membacanya. 

Lalu kira-kira pada tahun 2007 seri buku kecil-kecil itu diterbitkan menjadi satu buku tebal. Buku edisi baru ini memiliki daya tarik tersendiri karena dilengkapi dengan edisi dan pengantar kritis oleh salah seorang murid REB di CUA. Dalam koleksi gabungan yang cukup besar ini, tampak bahwa REB menaruh perhatian besar pada upaya menafsirkan Kitab Suci dalam rangka pemakaian liturgis sepanjang tahun. Nah penerapan praktis untuk kepentingan liturgis itulah yang merupakan sumbangan terbesar buku ini. Inilah makna terdalam dan terpenting dari buku kompilasi itu. Semoga nanti ada pihak yang menerbitkan kompilasi itu ke bahasa Indonesia. Dan saya kira, penafsiran yang baik dan benar hanya ada dalam rangka pemakaian liturgis saja. 

Natal Antisipatif Dalam Advent 

Saya kembali ke buku Advent tadi. Saat membaca kembali buku itu saya seakan-akan mendapat pembenaran teologis-biblis-exegetis-liturgis mengenai perasaan, pengalaman, dan imajinasi religius yang saya rasakan setiap kali saya mengarungi masa Advent selama ini. Pengalaman yang saya maksud sudah diungkapkan dengan padat dalam judul di atas tadi: Yakni bahwa saya sudah mengalami aroma nuansa dan suasana Natal bahkan dalam dan selama masa Advent itu sendiri. Perayaan masa Advent itu seakan-akan seperti sudah mengantisipasi dalam kerinduan akan perayaan dan peristiwa Natal itu. Hal ini terasa sangat paradoksal. 

Selama ini saya selalu merasa aneh dan rada canggung juga dengan perasaan paradoksal itu. Advent, tetapi kok sudah beraroma, bernuansa Natal. Sudah lama saya berusaha mencari jawaban dan penjelasan terhadap hal ini. Tetapi saya belum berhasil menemukannya. Namun setelah saya membaca kembali buku Raymond E.Brown saya merasa mendapat sebuah pencerahan dan pembenaran: yaitu bahwa perasaan, pengalaman dan imajinasi religius itu tidak salah sama sekali. Mengapa begitu? Sebab menurut Raymond E.Brown, seluruh misteri peristiwa Kristus yang kita imani sudah dikisahkan dalam kisah-kisah injil mengenai masa-kanak-kanak Yesus (Infancy Narratives) yang dibacakan selama masa Advent. 

Beberapa Momen Pengalaman Antisipatif Itu 

Perasaan dan pengalaman itulah yang coba saya uraikan dalam bagian akhir dari tulisan ini. Pertama-tama, sejak kita mulai memasuki masa Advent, maka umat, terutama sekali mereka yang terlibat secara aktif dalam kelompok koor di lingkungan maupun paroki, mulai sibuk mempersiapkan lagu-lagu untuk perayaan malam Natal maupun hari Natal dan masa-masa Natal sesudahnya. Mereka melatih diri untuk membawakan lagu-lagu tersebut dengan sangat serius. Sebab ada keyakinan yang sudah sangat lama tertanam dalam diri kita bahwa siapa yang bernyanyi dengan baik, sudah berdoa dua kali (qui bene cantat bis orat, begitu kata Santo Agustinus dulu). 

Terkait dengan fakta dan kebiasaan itu, dan ini yang kedua, maka kita mengarungi masa Advent sudah dengan nuansa dan aroma Natal justru karena kumandang getar-getar nada lagu-lagu yang kita latih tersebut secara bersama-sama dan dengan sangat serius dan intensif. Mau tidak mau kita (yang berlatih lagu-lagu Natal pada masa Advent itu) terhanyut juga dalam suasana dan nuansa aroma Natal itu. Hal itu terjadi karena dan melalui latihan lagu-lagu tersebut walaupun perayaan Natal itu sendiri belum tiba. Hal itulah yang sama namakan “paradoks Advent”. Dinamakan paradoks karena kita melewati Advent itu sudah dalam nuansa dan aroma Natal. Kita merayakan Natal secara antisipatif dalam dan selama Advent. Dan memang sudah selalu demikian adanya selama ini. 

Ketika Nyanyian Bermetamorfosis Menjadi Doa 

Semakin mendekati pesta Natal, maka latihan-latihan persiapan itu pun semakin intensif dan bahkan koor itu sudah “jadi.” Cara mereka menyanyikan dan membawakan lagu-lagu Natal itu sudah matang. Karena sudah “jadi” dan sudah matang, dan ini yang ketiga, maka nyanyian-nyanyian itu pun seakan-akan mengalami sebuah proses metamorfosis, mengalami sebuah transformasi menjadi untaian doa-doa. Tatkala hal itu terjadi, maka syair-syair lagu natal itu pun sudah melampaui sekadar syair atau puisi untuk nyanyian sebab ia mengalami transformasi atau metamorfosis menjadi ayat-ayat suci doa yang mengisi hati nurani kita, dan dari dalam hati kita syair-syair itu seakan membubung ke atas, ke langit, in excelsis Deo

Syair-syair lagu yang menjadi doa itu, menjadi sangat intens justru karena sudah masuk dan meresap ke dalam hati kita dan dari dalam hati itu memancar keluar dan ke atas. Memang benar kata santo Agustinus dulu, bahwa saat kita bernyanyi dengan baik (Qui bene cantat), kita sudah berdoa dua kali (bis orat). Dua kali itu bagi saya bukan terutama perkara jumlah (kwantitas) melainkan soal mutu dan intensitas (kwalitas). Nyanyian yang mengalir dan memancar keluar dari dalam hati, menjadi sebuah doa yang sangat indah. 

Semakin mendekati Natal, semakin mendekati masa-masa akhir Advent, rasa hati kita pun semakin dibayang-bayangi oleh suasana sukacita Natal yang sedang mendatang dan mendatangi kita sekarang dan di sini. Hal itulah yang bisa menjelaskan suatu perasaan psikologis dalam diri kita mengapa ada rasa pesona tertentu yang bersifat natalis (jadi sudah melampaui ciri Adventis) dalam diri kita walau kita masih berada dalam masa Advent.

Catatan Penutup 

Setelah membaca buku REB ini, akhirnya saya tahu mengapa orang-orang Katolik tidak bisa (tidak boleh) merayakan Natal pada masa Advent. Alasannya, ialah karena selama masa Advent kita membaca bacaan-bacaan liturgis yang berbeda dengan bacaan-bacaan liturgis untuk Perayaan Masa Natal itu sendiri. Sebagai orang Katolik kita tidak bisa dan tidak boleh membaca teks-teks liturgis Natal pada masa Advent. Sesederhana itu. Titik. 

Namun demikian, walaupun secara liturgis kita tidak atau belum boleh merayakan perayaan natal (natalan) pada dan selama masa Advent, tetapi secara praktis-psikologis, kita sebenarnya sudah mengalami dan merasakan seluruh suasana natalis itu dalam seluruh masa adventis. Hal itu terjadi, sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi, karena selama masa Advent kita sudah sibuk dan secara intensif melatihkan lagu-lagu Natal. Dan ketika latihan itu sudah "jadi" dan mencapai tingkat "kematangan" rohani tertentu, maka untaian kata-kata syair lagu-lagu Natal itu berubah menjadi doa yang mengalir keluar dari dalam hati kita. Dengan cara ini, kita sudah Natalis juga di tengah masa Adventis. Tetapi, masa itu tetaplah masa Advent. 


Wednesday, December 5, 2018

FEMINISME KEBABLASAN

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.
Dosen Biblika Fakultas Filsafat UNPAR Bandung, anggota LBI.




Beberapa waktu yang lalu di beberapa WAG yang saya ikuti, beredar sebuah video yang berisi rekaman aksi demo kaum feminis radikal di Buenos Aires yang menuntut agar Paus Fransiskus dibunuh, Gereja Katolik dibubarkan, aksi pembakaran Patung Bunda Maria di sebuah Katedral. Untuk membendung aksi yang rada brutal itu, ada Kelompok para Lelaki yang membentuk pagar betis melindungi gereja; kelompok para lelaki ini melakukan perlawanan sambil berdoa Salam Maria dalam bahasa Spanyol. Di hadapan mereka ada dua orang wanita telanjang dan berperilaku sangat provokatif dan erotis terhadap para lelaki tersebut yang menghadapi mereka dengan sangat tenang sambil berdoa.

Seorang teman di WAG bertanya: Ini Fenomena apa ya? Secara singkat saya berkata sebagai berikut: Ini adalah gerakan kaum feminis di Amerika Latin (persisnya di Argentina) radikal yang menolak segala bentuk dominasi dan supremasi kaum pria (dominasi patriarki, supremasi kuriarkis), dan gereja Katolik dipandang sebagai salah satu bentuk dan lambang dominasi serta supremasi itu. Itulah sebabnya serangan itu diarahkan kepada Gereja Katolik dan Paus sebagai representasi institusional dan personal (semacam corporate-personality) dari dominasi dan supremasi itu. Di dalam Gereja (Katolik) itu tentu saja ada pelbagai macam praktik devosi kepada Bunda Maria, yang dituding selama berabad-abad telah melestarikan dominasi dan supremasi itu. Secara pribadi saya menduga bahwa ada unsur Amerika di belakangnya; Amerika yang protestan itu kiranya mau menggoncang-goncang sendi-sendi dan sentrum Kekatolikan di Amerika Latin, mulai di negara asal Paus, Argentina. Jadi, boleh jadi atau patut diduga bahwa ada kekuatan duit kapitalis Amerika Serikat di sana. Diakui ataupun tidak diakui. Saya menduga bahwa ini adalah bagian utuh dari gelombang dan badai yang menggoncang Gereja Katolik yang seakan-akan tiada habis-habisnya terutama yang paling seru ialah kasus pedofilia yang menimpa beberapa keuskupan di Amerika Serikat, Irlandia, Austria, dan di pelbagai negara yang lainnya.

Setelah menonton video provokatif dan erotis tersebut, saya tiba-tiba teringat akan sebuah buku novel rekaan yang saya beli pada tahun 1983 di sebuah tokoh buku di Yogya. Nama toko buku itu Liberty yang kalau tidak salah ingat terletak di kawasan Malioboro. Entahlah, apakah toko buku itu masih ada dewasa ini. Judul buku yang saya beli itu sangat provokatif: “Bunuh Semua Laki-laki.” Buku itu diterbitkan oleh Penerbit Liberty Yogyakarta. Buku itu tidak terlalu tebal. Sebuah buku yang tipis saja. Sayang sekali bahwa sekarang ini saya sudah lupa nama pengarangnya. Yang pasti itu adalah sebuah buku terjemahan dari bahasa Inggris. Sayang juga buku itu sudah hilang dari koleksi buku-buku saya. Tetapi isinya tidak pernah saya lupakan hingga sekarang ini. Ada pun isi pokok buku itu dapat diringkaskan sebagai berikut ini.

Dalam sebuah kota muncul sebuah kelompok wanita radikal yang tidak suka akan laki-laki. Mereka menolak dominasi dan supremasi kaum pria di muka bumi ini. Mereka menolak dunia dan masyarakat yang dikuasai kaum pria. Mereka mencita-citakan sebuah dunia dan masyarakat tanpa laki-laki (semacam maleless world atau maleless society; kedua istilah ini berasal dari saya sendiri). Maka dari sini muncullah sebuah ide yang sangat gila dan liar, yakni ide untuk membayangkan satu dunia yang dikuasai kaum wanita, sebuah dunia yang serba terbalik dari apa yang kini ada dan berlaku. Tetapi hal itu tidak serba gampang. Hal itu tidak akan dapat diwujudkan kalau struktur dunia lelaki yang sekarang ini masih ada. Pasti akan muncul banyak rintangan dan keberatan dari kaum lelaki. Oleh karena itu, mereka mau membunuh semua lelaki. Kalau semua lelaki sudah mati terbunuh maka akan muncul sebuah tatanan dunia dan masyarakat baru yang didominasi oleh kaum perempuan saja. Nah dalam dunia yang baru itu nanti para lelaki boleh dimunculkan lagi. Tetapi lelaki yang muncul itu adalah lelaki yang baru sama sekali yang tidak diracuni oleh tata dunia lama. Sebaliknya, lelaki yang akan dimunculkan kembali itu, akan tunduk sepenuhnya pada kaum wanita.

Sebagai persiapan ke arah itu mereka membangun sebuah bank-sperma untuk menampung sperma. Nanti kalau semua kaum lelaki sudah mati, maka dalam dunia baru itu, laki-laki akan dimunculkan lagi dari benih-benih sperma yang sudah disimpan di dalam bank sperma tadi. Persiapan yang kedua digagas oleh seorang dokter perempuan yang sangat cerdas (yang menjadi sang penggagas ide gila tersebut sekaligus menjadi pemimpin gerakan tersebut). Untuk tujuan itu, ia lalu menciptakan sebuah zat kimia yang ketika ditebarkan ke udara, akan mematikan semua kaum pria, karena mereka berstruktur kromosom XY. Paduan kromosom XX (jadi, wanita) akan luput dan bertahan hidup. Jadi, ini semacam program pembasmian dan pembantaian kaum pria, tetapi aksi tidak boleh berlangsung kejam dan berdarah-darah. Harus cara yang halus dan ilmiah seperti yang sudah diungkapkan tadi.

Persiapan ketiga, membentuk sebuah pasukan perempuan pamungkas. Mengapa begitu? Karena ternyata zat Kimia tadi tidak akan mampu mematikan kromosom XY yang berdarah 0. Nah, pasukan pamungkas tadi dibentuk untuk dengan kekuatan senjata modern membasmi kaum pria (XY) yang berdarah 0. Ketika zat kimia itu mulai disebar di udara, maka mati lemas semua kaum pria, dengan gejala-gejala seperti sesak nafas, tubuh membengkak dan membiru, lalu mati dan mengering (tidak membusuk). Ketika menyaksikan hal itu kaum pria pun segera sadar akan adanya keanehan yang dirancang seperti ini. Maka kaum pria yang berdarah 0 pun mulai juga membentuk pasukan pembelaan diri dan juga perlawanan. Demi survive, demi bertahan hidup.

Mula-mula mereka sulit melakukan perlawanan. Teapi tetap ada peluang. Dokter perempuan sang pemimpin tadi sudah mengindoktrinasi agar semua kaum perempuan membenci lelaki dan melupakan semua lelaki. Kita bisa membangun dunia baru tanpa laki-laki. Kalau kita butuh laki-laki nanti kita bisa memunculkan lagi mereka dari sperma di Bank data kita. Tetapi lelaki yang muncul itu nanti adalah lelaki yang dikuasai perempuan.

Tetapi rupanya indoktrinasi itu tidak efektif. Ada satu perempuan anggota pauskan elit tadi yang jatuh cinta lama pada seorang pria berdarah 0. Cinta mereka sangat kuat. Tidak luntur oleh indoktrinasi dan bayangan akan dunia baru. Nah perempuan tentara inilah yang membocorkan rahasia kepada kaum pria, sehingga kaum pria mampu membangun strategi perlawanan yang jitu. Setelah rahasia mereka terbongkar, maka perlawanan pun diarahkan kepada si Dokter sang otak utama. Kalau dokter itu sudah mati, maka gerakan itu akan mati juga. Dan betul demikian. Pesan cerita: tidak mungkin wanita tanpa ada pria.

Saturday, November 10, 2018

BOHEMIAN RHAPSODY

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Kemarin Sore, 10 November 2018, bersama isteriku tercinta, Emcies, menonton film di Miko Mall, Bohemian Rhapsody. Sebuah film tentang Freddy Mercury yang diangkat dari judul salah satu lagunya yang terkenal dengan judul yang sama. Saya sudah pernah membaca sesuatu tentang tokoh ini saat di SMA Seminari Pius XII Kisol, di Flores. Tetapi saya baru bisa mendengar lagu-lagunya saat belajar Filsafat di STF Driyarkara Jakarta tahun 1983. Saat itu saya mulai mengenal banyak lagu Queen. Tetapi dalam tulisan ini saya tidak bermaksud menulis tentang film Bohemian Rhapsody itu. Saya mau menulis tiga hal lain yang menyembul keluar saat iklan Film ini muncul di radio dan media lainnya.


Pertama, tentang keyakinan religius Freddy Mercury. Saat pertama kali saya menikmati lagu Bohemian Rhapsody, saya mengira Freddy adalah Islam, karena ada sebuah kata yang dipakai Freddy dalam lagu itu yang secara natural kita hubungkan dengan Islam, Bismillah. Kata itu diulang beberapa kali dalam lagu itu. Ternyata tidak. Ia bukan pemeluk Islam. Ia adalah keturunan Parsi dari Pakistan (tahun 40an wilayah India). Keluarganya hijrah ke Sanzibar di Afrika Timur yang termasuk Tanzania, diduga karena tekanan Islam di India (Pakistan). Freddy lahir di Sanzibar tahun 1946. Kemudian keluarganya pindah ke Inggris. Di sana mereka dikenal sebagai orang Pakistan (sebutan populer Paki, yang dalam Film itu dikenakan kepada Freddy, yang terkesan tidak suka dengan sebutan itu).


Saya sudah lama tahu bahwa Freddy bukan muslim melainkan penganut Zoroaster, sebuah agama kuno Persia (Iran). Banyak sejarawan agama menduga bahwa agama ini punah. Ternyata agama ini masih hidup hingga ke jaman modern ini. Setidaknya, saya mengenal (lewat pembacaan, bukan lewat perjumpaan langsung) dua musisi dunia yang berkeyakinan religius (agama) Zoroaster. Pertama, Freddy Mercury. Sebagaimana sudah dikatakan di atas ia lahir dari keluarga yang berkeyakinan Zoroaster yang berpindah dari Pakistan ke Sanzibar dan kemudian berpindah ke Inggris dan menjadi besar dan terkenal di sana.


Di Fakultas Filsafat Unpar saya mengampu matakuliah Fenomenologi Agama. Dalam pengajaran, salah satu agama yang saya perkenalkan kepada para mahasiswa ialah Zoroaster, yang sejak sangat dini pernah merasuk ke dalam Kekristenan lewat keyakinan religius yang diajarkan oleh tokoh bernama Mani, dari mana nama Manikeisme itu berasal. Diduga ajaran ini merasuki Kekristenan pada abad ketiga Masehi. Salah satu tokoh terkenal dalam teologi Latin, yaitu Agustinus, pernah selama 9 tahun menjadi penganut aliran Manikeisme ini walau hanya sebagai novis saja. Artinya tidak masuk ke dalam kelompok inti, kaum tercerahkan (illuminati) ataupun kelompok elit pilihan (ellecti).


Manikeisme mencoba memadukan ajaran Zoroaster dengan ajaran Kristianitas dan dengan cara itu meracuni Kristianitas dengan ajaran dualismenya, tentang dua prinsip awal mula, prinsip kebaikan atau prinsip terang, Ahura Mazda, dan prinsip keburukan (jahat) atau prinsip gelap, Ahriman. Kedua prinsip ini terus menerus berkonflik secara abadi. Hal ini tentu sangat sulit didamaikan dengan keyakinan monoteisme yang dianut Kekristenan. Tetapi ajaran ini amat menarik bagi orang yang mencoba menjelaskan tentang misteri kejahatan dan penderitaan. Tetapi saya tidak mau melanjutkan pembahasan itu di sini. Semoga di kesempatan lain saya punya kesempatan untuk menguraikan hal itu.


Tokoh kedua yang saya ketahui secara persis sebagai penganut Zoroaster adalah Zuben Mehta. Siapa dia? Dia juga musisi. Dia pernah datang ke Indonesia tahun 1984. Saat itu ia konduktor New York Philaharmonic Orchestra. Saya tidak menonton orchestra itu secara langsung, tetapi sempat menonton pemberitaannya sekilas di Televisi. Dari laporan pandangan mata Mingguan Tempo, saya akhirnya bisa mengenal lebih banyak dan mendalam tentang tokoh ini. Dari Tempo saya tahu bahwa pak Zuben Mehta adalah penganut Zoroaster. Saya tidak sempat mencaritahu lebih lanjut tentang tokoh Zuben Mehta itu. Yang jelas, penampilan mereka di Jakarta saat itu termasuk sukses, bisa menghibur penggemar musik klasik di Jakarta. Dari kedua tokoh inilah akhirnya saya sadar bahwa Zoroaster itu bukan agama dari masa silam yang sudah punah, yang hanya tinggal puing-puing dan fosil saja dalam ingatan kolektif manusia, melainkan agama itu masih hidup juga di jaman modern ini. Bahkan dua tokoh musisi dunia yang terkenal di panggung blantika musik bergengsi, termasuk penganut setia agama ini.


Sekarang kembali lagi ke Freddy. Secara pribadi saya suka lagu Bohemian Rhapsody yang kini diangkat menjadi judul film itu. Tetapi, ini hal ketiga yang ingin saya tulis, sejak saya mendengar Freddy dari tahun 1983, saya menyukai dua lagu dia yang lain. Yang pertama ialah lagu Love of My Life. Yang kedua ialah lagu Teo Torriatte. Selanjutnya mau membahas lagu kedua ini secara singkat. Saya sangat suka akan nada dan kata lagu ini. Pertama karena ada kata-kata Jepang yang terasa ajaib dicampur bahasa Inggris. Saya tidak tahu bahasa Jepang. Tetapi teks berbahasa Jepang itu kiranya merupakan terjemahan dari teks Inggris dengan nada yang sama. Kedua, karena pesan yang terkandung dalam teks berbahasa Jepang itu mengandung arti yang sangat mendalam bagi saya dan juga bagi masyarakat manusia. Itu sebabnya saya menulis dan membagikannya di sini.


Saya tidak akan mengutip seluruh lagu itu di sini. Saya hanya mengutip bagian yang saya anggap sebagai refrein lagu tersebut: “Let us cling together as the years go by, oh my love my love, in the quiet of the night, let our candle always burned, let us never lose the lessons we have learnt”. Wow.... Menurut saya ini adalah pesan yang sangat indah. Sesudah versi Inggris lalu muncul versi Jepang sbb: “Teo torriatte konomama iko Aisuruhito yo, shizukana yoini Hikario tomoshi, Itoshiki oshieo idaki”. Seperti sudah dikatakan di atas teks Jepang itu adalah terjemahan dari Inggris. Inilah versi terjemahan Indonesia menurut intuisi saya: “Marilah kita berjalan bergandengan tangan saat tahun demi tahun (dari hidup kita ini) berlalu, wahai kekasihku kekasihku, di dalam keheningan malam, baiklah lilin kita tetap bernyala, dan jangan sampai kita lupa nasihat-nasihat yang pernah kita pelajari.”


Ya, jangan sampai kita melupakan pelajaran yang pernah kita dapatkan agar kita tidak menjadi orang bodoh, orang dungu, orang tolol, orang gila dalam sejarah ini, yakni mengulang kesalahan karena kita melupakan sejarah. Tepat kata Bung Karno: Jasmerah, jangan sampai melupakan sejarah. Sebab orang yang melupakan sejarah cenderung melakukan ketololan yang sama, padahal even a donkey will not stumble over twice upon the same stone. Freddy, lewat lagu ini, meminta kita agar tidak menjadi keledai dungu.

Wednesday, January 31, 2018

BERUSAHA BETAH DAN CINTA PAROKI SENDIRI

Oleh: Fransiskus Borgias M.



Tulisan ini mau memberi motivasi kepada warga paroki untuk berusaha betah tinggal dan menghayati hidup menggereja dan hidup parokial di paroki sendiri. Niat ini muncul karena terdorong oleh keprihatinan saya akan adanya fenomena orang tidak mau betah di paroki sendiri. Inilah beberapa gejalanya. Pertama, ada yang merasa lebih betah di paroki lain, entah itu di paroki tempat asal orang tuanya (paroki lama tempat mereka dibaptis), atau tempat mereka dididik sebagai orang Katolik, tempat mereka mula-mula aktif dalam hidup paroki dan menggereja. Biasanya di tempat seperti itu, ada banyak teman, dan mungkin ada banyak rekan dan relasi bisnis. Itu semua menjadi faktor yang menyebabkan orang terdorong untuk betah di paroki lain.

Kedua, ada juga yang betah di paroki lain, karena senang dengan pastor di sana. Merebaklah fenomena yang saya sebut “favoritisme pastor”, menyukai pastor tertentu dan tidak menyukai pastor yang lain. Fenomena ini akan menjadi-jadi, kalau umat antipati terhadap pastor paroki sendiri. Orang tidak lagi berusaha menerima pastor paroki apa adanya melainkan orang lari ke paroki lain. Ini adalah kebiasaan yang tidak baik dalam penghayatan hidup iman Katolik. Menghargai dan mencintai paroki sendiri harus tampak dalam sikap dan upaya menerima dan mencintai pastor paroki. Kalau kita tidak menerima dan mencintai pastor yang ditugaskan uskup, bisa saja itu merupakan sebentuk pelecehan terselubung terhadap martabat sakramen imamat. Ini dosa sakrilegi. Kita tidak dapat dan tidak boleh pilih-pilih imam. Ketaatan kepada imam itu sangat penting. Apa yang ditentukan uskup bagi kita, itulah yang kita terima dan kita cintai sebagai pastor paroki. Kalau kita tidak menyukai pastor paroki, jangan-jangan itu adalah sebentuk pembangkangan terselubung kepada uskup yang menugaskan pastor paroki tadi. Ngeri bukan?

Ketiga, ada juga yang lebih betah di paroki lain karena gereja dan fasilitasnya lebih baik. Misalnya, di gereja paroki itu disediakan AC. Atau di paroki itu ada banyak tempat jajan. Padahal kita ke gereja bukan untuk jajan melainkan untuk bersatu dengan Tuhan. Menurut praktek kebiasaan lama dalam tradisi hidup Katolik, orang harus menahan diri (berpuasa) dari makan-minum setidaknya satu jam sebelum dan sesudah menerima komuni kudus. Keempat, ada juga yang merasa bisa lebih betah di paroki lain karena mereka merasa di sana suasananya tidak kampungan. Sedangkan di paroki sendiri, tampak seperti kampung dan dinilai kampungan. Ini juga penilaian yang tidak pada tempatnya.

Kelima, orang bisa juga merasa lebih betah di paroki lain karena tuntutan di sana tidak macam-macam terhadap proses pendidikan agama, persiapan komuni, persiapan penerimaan sakramen penguatan untuk anak-anak. Sedangkan di paroki sendiri, mungkin pastornya dinilai terlalu keras, kaku, mungkin juga ada yang menilai kasar, arogan. Keenam, terkait dengan ini, ada juga kebiasaan orang tua yang membawa anaknya aktif di paroki lain. Praktek seperti ini sama sekali tidak mendidik anak-anak sebagai warga gereja paroki masa depan. Kalau orang tuanya sering mengajak anak mereka ikut perayaan ekaristi di paroki lain, dan bahkan aktif di gereja lain (menjadi pelayan altar atau anggota koor), maka orang tua seperti itu sama sekali tidak mendidik anaknya untuk betah di paroki sendiri. Si anak akan berpikir bahwa parokinya adalah paroki yang sering dikunjungi, padahal mereka berdomisili di paroki lain. Misalnya, rumah mereka ada di Paroki Martinus, Lanud Sulaiman, tetapi setiap hari Minggu mereka membawa anak ke Katedral dan anak itu super aktif di paroki Katedral tersebut sebagai putra altar dan anggota koor anak-anak.

Ada beberapa akibat dari praktek seperti ini. Pertama, jika orang tidak mau betah dan mencintai paroki sendiri, maka lama kelamaan orang tersebut akan menjadi terasing dari parokinya. Bentuknya bisa macam-macam. Misalnya, orang itu tidak mengenal nama pastor parokinya, atau jumlah pastor yang melayani di parokinya. Orang seperti itu juga tidak mengetahui jadwal kegiatan ibadat di gereja parokinya sendiri. Lebih menyedihkan lagi, orang seperti itu tidak mengenal ketua lingkungannya, tidak mengenal nama, tidak mengenal personalia yang melayani lingkungan. Biasanya mereka tidak mau terlibat dalam urusan lingkungan dan paroki sendiri. Toh aku bukan dari sini dan bahkan juga bukan “di sini”, padahal rumahnya jelas-jelas ada di sini (di paroki tertentu). Mungkin ada yang tidak mau terlibat dalam kegiatan pelayanan dalam bentuk menyediakan makanan pastor karena merasa bukan bagian dari paroki ini.

Bahaya kedua ialah bahwa kebiasaan seperti di atas tadi, bisa saja akan mematikan hidup lingkungan dan paroki sendiri. Walau tentu saja hidup lingkungan dan paroki tidak semuanya tergantung pada orang seperti itu, tetapi sikap seperti itu menyebabkan kemacetan dalam urusan paroki dan lingkungan sendiri. Kegiatan doa lingkungan, kegiatan koor, kegiatan pendalaman kitab suci bisa menjadi tidak hidup karena ada orang yang berpandangan seperti di atas.

Dalam sejarah hidup membiara dikenal salah satu janji yang disebut stabilitas loci, yaitu orang berjanji untuk setia tinggal di satu tempat yang sama selama hidup. Tidak berpindah-pindah seperti turis dari tempat yang satu ke tempat yang lain. Ide stabilitas loci seperti itu perlu juga bagi umat agar mereka tidak hanya bergaya turis dalam hidup menggereja. Biasanya fenomena pelancong hidup menggereja adalah sebentuk penghindaran dari tugas dan kewajiban di paroki sendiri. Karena tidak mau aktif di paroki sendiri, maka mereka pergi ke paroki lain. Di paroki lain juga mereka tidak bisa aktif karena mereka bukan warga paroki tersebut. Contoh: si A warga paroki B. Sebenarnya di paroki B si A itu diharapkan untuk menjadi ketua lingkungan. Tetapi ia menghindar dengan mengatakan bahwa saya tidak aktif di paroki B, melainkan aktif di paroki C. Sementara di paroki C, si A juga tidak bisa aktif, sebab dia bukan warga paroki C. Akibatnya, dia menjadi melayang-layang tidak keruan. Seperti pelancong saja, pelancong hidup menggereja. Maka, marilah betah dan cinta pada paroki sendiri.


Thursday, April 13, 2017

KAMIS PUTIH SEBAGAI PESTA CINTA KASIH PERKAWINAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mungkin penafsiran yang saya ajukan di sini tidak umum, mungkin ada juga yang menganggapnya melawan arus. Perayaan Kamis Putih biasanya dikaitkan dengan misteri Kristus, Perjamuan Akhir, institusi ekaristi (sakramen ekaristi), dan erat terkait dengan ini maka orang terpikir juga tentang misteri kehidupan imamat tahbisan (bukan imamat umum). Apalagi ada perayaan ekaristi untuk memberkati tiga jenis minyak pengurapan, yang juga sering dikenal dengan sebutan misa pontifikal itu. ada banyak simbolisme yang kuat yang menjadi objek permenungan kita pada perayaan Kamis Putih ini. Salah satunya ialah peristiwa pembasuhan kaki para murid yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Di sini terkenal sekali kata-kata yang diucapkan Tuhan Yesus sesudah melakukan tindakan tersebut. Inti dari kata-kata itu ialah berupa sebuah dorongan kepada para pengikutNya untuk meniru teladan yang telah Ia berikan. Itu artinya saling melayani dengan sikap rendah hati, dengan penuh kasih, dengan turun ke bawah, turun ke bagian kaki dari orang yang dilayani. Dengan kata lain, jalan pelayanan adalah jalan merendah. Begitu juga halnya dengan kata-kata institusi ekaristi, yang oleh para teolog dipandang sebagai titik awal keberadaan sakramen ekaristi dan sakramen imamat.

Dalam kaitan ini terkenal sekali kata-kata yang diucapkan Yesus baik atas roti maupun atas anggur. Atas Roti dikatakan demikian: Ambil dan makanlah, INILAH TUBUHKU YANG DIKURBANKAN BAGIMU. Atas piala yang berisi air anggur dikatakan demikian: Ambillah dan minumlah, INILAH DARAHKU, darah perjanjian baru dan kekal, YANG AKAN DITUMPAHKAN BAGIMU, dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Dengan kata-kata ini maka terjadilah ekaristi, terjadilah misteri perubahan rupa atau wujud, misteri transubstansiasi itu, roti menjadi tubuh Kristus, anggur menjadi darah Kristus. Itulah yang menjadi keyakinan kita. Saat kita mendengar kata-kata ini secara otomatis kita akan terpikir tentang perayaan ekaristi, tentang kurban Kristus, dan juga tentang para imam yang dikatakan mempunyai titik awal eksistensinya dalam perayaan perjamuan akhir dari Tuhan Yesus ini.

Berbeda dengan pandangan umum itu, saya justru mau mengkaitkan dan menerapkan kalimat institusi di atas pada hidup perkawinan. Saya beranggapan bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Tuhan Yesus untuk setiap pengikutnya, pria dan wanita, untuk setiap bentuk dan cara hidup, bukan monopoli sebuah cara hidup tertentu saja. Tetapi mengapa saya berani melakukan hal ini? Mengapa saya berani melangkah melawan arus? Perhatikan cara saya mengutip kata-kata institusi di atas tadi. Dengan sengaja saya menulis beberapa kata dalam huruf kapital. Terus terang saja, setiap kali saya mendengar kata-kata itu, saya fokus pada kata DIKURBANKAN dan DITUMPAHKAN. Tubuh dan darah dalam hidup dan relasi perkawinan adalah laksana bahan persembahan, yang dipersembahkan bagi dan kepada satu sama lain. Sang suami memberi seluruh dirinya (dilambangkan dengan tubuh dan darah) kepada sang isteri. Bahkan siap menjadi makanan dan minuman. Begitu juga sebaliknya, sang isteri memberi seluruh dirinya (dilambangkan dengan tubuh dan darah) kepada sang suami. Bahkan siap juga untuk menjadi makanan dan minuman. Itu artinya siap dimakan dan diminum.

Hidup perkawinan adalah seluruhnya sebuah kurban, sebuah persembahan hidup, persembahan diri kepada satu sama lain. Dalam imajinasi saya, saya membayangkan bahwa pasangan suami-isteri, dalam perayaan ekaristi, membayangkan diri sebagai sang Kristus yang rela memberikan diriNya menjadi makanan dan minuman bagi umat-Nya. Dengan demikian, hidup perkawinan bagi saya adalah sebuah perwujudan nyata dari totalitas hidup Kristus sendiri. Karena sudah saling menyerahkan diri, maka terjadilah sebuah ikatan dan relasi yang serba eksklusif yang tidak terpisahkan. Penjelasan saya mengenai tidak terceraikannya perkawinan tidak lagi semata-mata bersifat legalistis (sebagai ikatan dan kewajiban hukum belaka) melainkan pertama-tama dan terutama sebagai konsekwensi dari tindakan saling menyerahkan dan mengurbankan diri di atas altar hidup rumah tangga yang terbentuk dalam dan melalui sakramen perkawinan itu. Maka bagi saya, kata-kata INILAH TUBUHKU dan INILAH DARAHKU, menjadi sebuah kalimat yang sangat kuat sebagai simbol dari teologi perkawinan yang berlandaskan pada visi teologi tubuh dari Paus Yohanes Paulus II. Saya tidak mau berhenti pada sekadar memperlihatkan tubuh itu dengan mengucapkan LIHATLAH TUBUHKU, melainkan harus melangkah lebih lanjut ke kurban, ke persembahan diri. Dalam artian itulah hidup perkawinan pun bagi saya sangat berciri ekaristis juga.

Refleksi Kamis Putih, 13 April 2017
Taman Kopo Indah II, D4 No.40 Bandung, 40218.

Sunday, February 26, 2017

PIGRIMAGE OF PAUL COELHO

By: Fransiskus Borgias M.

Two years ago I have bought the book of Paulo Coelho in a certain book store in Bumi Serpong Damai, Tangerang. Two or three days afterward I have finished reading it. Its title is The Pilgrimage; it is translated as Ziarah into Indonesian language. I think this is a very interesting book. Its main plot is a story of the journey of a certain pilgrim, in this case is the personal pilgrimage of Paulo Coelho himself, making a journey of pilgrimage to Santiago Compostela, in Spain. There are a lot of interesting aspects I found in this book. But here I will only concentrate on some important and interesting point for me of course from my present apprehension of the book. First of all, I would like to put emphasis on the importance or significance of pilgrimage itself. According to Paulo Coelho, pilgrimage was very important for Christian life in the early period of its historical existence until the present time. Christians at that time expressed their religious belief and religious life among other things through the pratices of making pilgrimages to the holy shrines.

According to this book of Paulo Coelho, the first road of pilgrimage was headed to Rome. In Rome there is the tomb of St.Peter, St.Paul, some martyrs, and many other holy places (including old churches, catacombs). Usually the pilgrims tracing this way while putting on the symbol of cross on their body. It is said that if we see people put on the cross of crucifix, then we are sure that they are pilgrims to Rome. The second road of pilgrimage was the road to Jerusalem. This is one of the holy places for Christianity since the very old time (although I do not deny the historical fact that it is also apply for the Jews people and the Muslims in the world). In Jerusalem there is a holy sepulchre (the sacred tomb) of Jesus Christ. Of course there are some other holy places in the places near by Jerusalem, for example Betlehem, Nazaret, Kafernaum, river of Jordan, the Dead Sea and the Galilean Sea. The pilgrims tracing this way usually bring the palm leaves. Hence they are called the palm-leaves-bearer. Palm leaves is welknown because this was the leaves used by people in Jerusalem to welcome Jesus just a week before his tragic drama of passion and crucifixion. Nowadays we know this event with the name of Palm Sunday, celebrated just a week before the Week of Holy Easter.

The third road is the road to Compostella, in Spain. There we will find the sepulchre of San Tiago, one of the disciple of Jesus. This sepulchre lays in the city of Compostela. By the way, San Tiago is the Spanish version of the name of Jacob(us), or James, or Giacomo, of Jacques. According to a very old Christian legend, Mary, the mother of Jesus also went to Spain to spread the good news of the Kingdom of God. The name of that places is Compostela, literary means a field full of stars (Campus + stella). Such name is based on a legend of a certain shepherd who saw the stars upon this big field. Field means compos or campos in Spanish and Latin. Stella is Stars. Maybe that is the reason why this road is also known as the Bimasakti road. According to Coelho, the pilgrims who go to make a pilgrimage through this way using the shelf. Until today this road is still used. It is said that Karel the Great (Charlemagne) also walked this way making a certain pilgrimage to that holy place in Spain; it is believed also that St.Francis of Assisi has walked through this way in his journey to Spain; it is believed also that the pope John Paul II himself in our modern time traces this road.

In the later and modern day there appear some other center of pilgimage. For example in Lourdes (related to saint Bernadette), in Fatima (related to Lucia, Jasinta, Francesco), in Russia, in Poland. Now in some countries of Asia we can find also some center for pilgrimage, for example in Vietnam, in Japan, in South Korea, in Taiwan, in the Phillipines, and even also here in Indonesia (Sendangsono, Goa Kerep, Sendang Jatiningsih, Sendang Sriningsih, Lawang Seh, Puh Sarang, Sawer Rahmat, Kanada or Kampung Narindang Dalam, just to mention some pilgrimage centers available in Java). In the USA also there are some centers for Catholic pilgrimage. I have visited the great and grandionse basilica of Saint Mary in the middle of Catholic University of America in Washington DC. What a beautiful and amazing place. I have visited also a Marian pilgrimage in the State of Maryland, which is considered to be the miniature and the imitation of the Lourdes (so it is known as the States Lourdes).
Some few years ago I remembered that, the late Father Kurris SJ, wrote, in Hidup Weekly Catholic Magazine, a story of the Road to Santiago Compostella. I have read the story when it is published as a short story in Hidup. Therefore, I have to find this book to read it once again in its contionus and complete version.

Now in these days I read another interesting book by a certain Spanish journalist, who is also welknown because one of his book has been translated into the Indonesian language, Allah Semacam Ini (Nusa Indah, back in the eighties). The title of this book of Juan Arias, is “Paulo Coelho: Obrolan Dengan Sang Penziarah.” It is a translation from the original work in Spanish: “Paulo Coelho: Las Confesiones del Peregrino.” From this book I came finally to know that Paulo Coelho wrote his book, Ziarah, after he has himself made a journey, a pilgrimage to Santiago of Compostela. It is said by Juan Arias in this book, that Coelho made this pilgrimage journey after he has totally abandoned the atheistic period of his life and decide to come back to the religious belief of his family, his father and his mother, that is Catholic religious faith. He wanted to sign this conversion of life, this metanioa by making a journey of pilgrimage to one of the important holy shrine in Europe. Now I can easily understood why in many of his book, Paulo Coelho write so many things about the detail of Catholic religious life and tradition. For example in the book of “By the River Piedra I Sat Down and Wept,” Coelho wrote many things about the spiritual life of a certain young seminarian who want to become a priest but he also at the same time feel that he is fall in a love with a beautiful girl. The same also can be said about “The Alchemist,” his another book, even his masterpiece, in which he mentions so many things from the Bible (especially the New Testament).

Now in this new book of Juan Arias, I find a very interesting thing about his vision of Catholic practices of religious life. For example Juan Arias asked about the dogma of Catholic church, whether he believes it or not. The answer of Paulo Coelho is very interesting and amazing. He said that he totally believes in those dogmas, because he really want to be a humble religious believer. To underline this religious belief, Paulo Coelho quotes the expression of C.G.Jung, who once said that the dogma is the brilliant expression of the religious geniuses after a very long struggle in theological debates and confrontation. Coelho therefore said, that dogma already has a very long tradition, while I am only fifty years old only by now (at the time of the writing of the book). How small his life and age are compared to the long tradition of life of dogmas and religious doctrines. It seems that he believes dogmas like the welknown expression of Tertullian from the third century of history of Christianity: “credo quia absurdum.” But then he also said that he wants to be believe in order to understand: “credo ut intelligam.” Again this expressions of Tertullian are not a simplistic expression, a shortcut in front of the mystery of faith. No. It is not an easy expression at all. They are born out of the an intellectual struggle to explain and understand the content of the faith doctrines itself.

Plemburan, 31 Mei 2011
Computerized and edited in Nglempong Lor, 26 Februari 2013


Monday, August 22, 2011

KOMUNITAS L'ARCHER

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Sebenarnya sudah cukup lama saya mendengar nama Komunitas L’Archer di Prancis ini. Tetapi saya belum banyak mengenalnya secara khusus dan mendalam. Paling-paling saya hanya mengetahui beberapa informasi mendasar seperti: bahwa komunitas ini didirikan oleh seorang Pastor dari Kanada yang bernama Jean Vanier; dan bahwa komunitas itu didirikan di sebuah dusun di Prancis. Satu lagi: bahwa komunitas ini mengumpulkan orang-orang cacat dengan pelbagai tingkatan. Jadi, komunitas ini memberi perhatian khusus pada orang cacat, termasuk juga cacat mental di dalamnya. Ini adalah sebuah gerakan sosial kemanusiaan yang luar biasa luhur, sangat mulia. Pasti hal itu dilakukan dan dapat terjadi hanya atas dasar cinta dan pengorbanan saja, atas dasar keberanian, kenekadan, dan bahkan juga sedikit kegilaan.

Saya mengenal pertama kalinya tentang komunitas ini secara tidak langsung dari sebuah buku yang ditulis oleh seorang pengarang terkenal dan sangat produktif Henry Nouwen: Mampukah Kamu Minum Cawan ini? Buku ini terbit di Kanisius di akhir tahun 1990an. Konon Nouwen, ketika ia sedang mengalami krisis hidup iman dan hidup imamat, pergi hidup di tengah dan bersama dengan para anggota komunitas itu, yang saat itu sudah ada dan hadir juga di Amerika Serikat. Dalam buku itu ia bahkan menyebut beberapa nama orang-orang cacat itu yang ia sebut sebagai para sahabatnya. Pengalamannya di sana ia tuangkan dalam bentuk refleksi buku kecil ini. Buku ini bagi saya amat mengharukan. “Hidup komunitas” itu yang menyelamatkan iman dan imamatnya.

Pengenalan kedua saya dapatkan lewat kata pengantar yang ditulis oleh Suster Martha Driscoll OCSO untuk sebuah buku terjemahan dari karya Jean Vanier yang berjudul “Tenggelam dalam misteri Yesus; menyelami Injil Yohanes.” Saya sudah menulis sebuah resensi singkat mengenai buku ini untuk jurnal Forum Biblika (LAI Bogor). Riwayat hidup singkat Jean Vanier saya dapatkan sebagian dari buku itu. Begitu juga kisah mengenai sepak terjang hidup, karya, dan pelayanannya. Terima kasih atas terjemahan yang dilakukan oleh Mgr.Ignatius Suharyo atas karya itu.

Saya juga mengenal Jean Vanier, dan ini adalah pengenalan yang ketiga, lewat buku seorang Pengarang Inggris (Irlandia) Frances Young: Brokenness and Blessing, Toward a Biblical Spirituality. Bab 1 dalam buku itu praktis berbicara tentang Jean Vanier. Young memberi sebuah kesaksian bahwa awalnya gerakan komunitas ini adalah komunitas Katolik di Prancis. Tetapi kini komunitas itu menjadi sebuah komunitas internasional, sebuah gerakan internasional, karena sudah ada dan hadir di mana-mana, dan bahkan juga sudah menjadi sebuah interfaith community. Itu tidak lain karena anggotanya yang tinggal dan hidup bersama-sama berasal dari pelbagai latar belakang agama, demikian juga para pengurusnya: berasal dari pelbagai agama.

Jelas, bagi saya ini adalah sebuah inspirasi keagamaan dan kemanusiaan yang sangat luar biasa dari seorang tokoh yang bernama Jean Vanier. Dan gerakan itu terbukti sudah mampu mendatangkan daya transformasi yang luar biasa kuat dan mendalam bagi kemanusiaan di mana-mana. Vanier sendiri mengakui bahwa hal itu hanya mungkin terjadi karena dan lewat pengenalannya yang personal dan mendalam, serta serba mistikal akan Yesus Kristus dalam dan melalui Injil Yohanes. Sepak terjang Jean Vanier ini mengingatkan saya akan tokoh-tokoh lain seperti Bunda Theresa dari Calcuta, Romo Mangunwijaya dari Kali Code Yogyakarta, Mgr.Helder Camara, Padre Charles de Foucault dan pengikutnya Carlo Carreto (dari kongregasi para Petit Freire), para pendiri kongregasi religius sosial-kemanusiaan di Eropa sejak abad 17-19. Juga akhirnya mengingatkan saya akan santo Fransiskus dari Asisi.

Kisah kecil, singkat, dan sederhana ini serta merta mengingatkan saya akan riwayat singkat seorang imam Fransiskan dari Amerika, seorang seniman, sastrawan, penyair, bernama Murray Bodo OFM. Konon ia pernah mengalami krisis rohani, krisis hidup imamat. Tetapi krisis hidup itu ia lewatkan dan berhasil ia atasi dengan sebuah perjalanan rohani ke Asisi, yang kemudian menghasilkan dua buah buku kecil dan mungil; yang satu tentang Fransiskus (judulnya: St.Francis: The Journey and the Dream), dan yang lain tentang Clara (judulnya: Clare: A Light in the Garden; buku kedua ini saya terjemahkan dan sudah terbit di Nusa Indah Ende 1996). Murray Bodo mengakui bahwa proses penulisan kedua buah buku itu adalah sebuah proses katarsis, proses pemurnian, proses peleraian akibat ketegangan krisis hidup panggilan. Dan ia selamat karena hal itu.

Saya juga teringat akan sebuah dialog singkat dengan Pater Konstan Bahang OFM ketika saya hadir di Abepura beberapa tahun silam untuk sebuah perkuliahan semester pendek. Di sana kami melakukan dialog singkat dan ringan beberapa kali pada beberapa kesempatan. Di salah satu kesempatan itu ia sempat melontarkan pernyataan yang bagi saya mengejutkan: Bahwa kalau ada orang yang mengalami krisis panggilan, krisis hidup imamat, datang saja ke Papua, dan orang itu akan selamat. Mengapa? Sebab di Papua orang itu akan sibuk dengan karya pelayanan, sibuk melayani orang-orang secara nyata dan berat dan tidak lagi sibuk memikirkan persoalan dirinya sendiri dan krisis panggilan, krisis rohani, krisis imamat. Mungkin hal itu benar. Atau malah itu pasti. Sebab ternyata Nouwen selamat, Murray Bodo selamat. Dan banyak orang juga selamat setelah dimatangkan oleh pengalaman pelayanan Papua.

Bandung, 06 Juni 2010
Diketik kembali seraya diperluas Yogya, 20 Agustus 2011.

Wednesday, August 17, 2011

MAHATMA GANDHI

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Pada hari ini, 28 Januari 2010, saya tiba-tiba teringat akan sebuah buku biografi tentang Mahatma Gandhi, seorang tokoh agung dari India yang kita kenal semua. Buku itu sangat menarik perhatian saya. Tetapi sayang, sekarang saya sudah tidak ingat lagi apa persis judul buku tersebut. Namun demikian dari buku itu ada beberapa hal yang sangat penting untuk direnungkan bersama sekarang dan di sini. Itulah beberapa hal yang tetap hidup dalam ingatan saya sampai sekarang setelah membaca buku tersebut.

Salah satu adegan penting yang dikisahkan di sana ialah kisah pertobatan dramatis Gandhi sendiri yang menyebabkan dia menjadi seorang pahlawan besar bagi India paling tidak dengan dua prinsip hidup dan filsafatnya yang maha terkenal itu: ahimsa dan satyagraha. Gandhi itu adalah seorang yang berasal dari kaum keturunan Brahma (kasta yang tinggi dalam sistem kemasyarakatan India); dalam posisi sosial yang begitu tinggi dari keluarganya ia mendapat kesempatan besar untuk belajar di luar negeri yaitu tepatnya di Inggris. Ia tidak melewatkan kesempatan emas itu. Ia belajar di Oxford, sebuah universitas yang sangat terkenal di Inggris sejak dari Abad Pertengahan hingga sekarang ini. Sekali lagi saya tekankan di sini bahwa ia berasal dari kasta tertinggi di India.

Ia belajar dengan baik dan juga lumayan berprestasi. Setelah selesai belajar di Inggris ia kembali ke India. Sekarang boleh dikatakan bahwa ia memiliki modal sosial yang sangat besar dan kuat: pertama, ia berasal dari kasta tinggi, dan sekarang ia sudah terpelajar pula, apalagi ia seorang jebolan dari sebuah universitas ternama di Inggris. Maka jadilah ia sebagai seorang pegawai pada kantor pemerintah kolonial Inggris di India.

Tetapi kemudian ia ditugaskan di Afrika Selatan yang saat itu juga merupakan salah satu koloni Inggris. Di sana ia mengalami semacam cultural shock, bahkan juga mungkin mengalami semacam kebingungan orientasi sosial. Afrika Selatan saat itu berbasis rasialis yang ketat. Orang kulit putih dibedakan secara tegas dan ketat dari orang kulit hitam. Gerbong kereta api orang negro lain dari gerbong kereta api bagi orang-orang berkulit putih. Mereka tidak boleh tercampur atau salah masuk gerbong. Begitu juga dengan bis. Begitu juga sekolah. Begitu juga gereja jika mereka adalah penganut Kristiani. Begitu juga halnya dengan restauran.

Konon pada suatu saat Gandhi naik kereta api menuju ke suatu tempat tujuan tertentu. Di sinilah drama kebingungan orientasi sosial itu dimulai. Gandhi tidak mau membeli tiket di gerbong orang negro, karena ia bukan orang hitam (Afrika); ia berasal dari Asia, dari kasta tertinggi pula. Karena itu ia lalu membeli tiket untuk gerbong kereta orang kulit putih. Dan ia mendapat tiket itu.

Tetapi di tengah perjalanan konon ada pemeriksaan oleh petugas kereta api. Dan oleh para petugas itu ia dinyatakan kedapatan salah beli tiket, dan juga salah masuk gerbong. Tentu saja Gandhi tidak mau menerima anggapan dan tuduhan itu. Ia diminta untuk pergi ke gerbong orang hitam, namun ia tidak mau karena memang ia bukan orang berkulit hitam. Bahkan ia juga ikut memandang rendah orang hitam. Ya, memang ia adalah orang Asia. Tetapi aturan rasis tetaplah aturan rasis. Konon serta merta Gandhi dipaksa turun (bahkan ada versi yang mengatakan bahwa ia dibuang ke luar) di tempat itu juga, padahal itu bukanlah stasiun, melainkan masih di tengah hutan. Harga diri Gandhi sebagai orang Asia dari Kasta Tertinggi dan terpelajar pula, serta-merta serasa terbanting dan direndahkan. Tentu saja Gandhi sangat marah. Bagaimana mungkin ia dibuang begitu saja di tengah hutan. Tidak tahu harus meminta pertolongan ke mana atau dari mana.

Konon orang pertama yang datang untuk menolong dia adalah orang Negro. Dan itulah yang menjadi momen pertobatan bagi Gandhi. Orang yang kelompoknya selama ini ia hindari, bahkan mungkin ia pandang rendah juga, justru dari sanalah muncul pertolongan yang tidak terduga-duga, dan yang memang sangat ia butuhkan sekarang dan di sini dalam situasi keterlemparan dan keterpurukan. Maka sejak saat itu Mahatma Gandhi bersumpah untuk melawan kolonialisme dan rasialisme (praksis apartheid) di mana pun di muka bumi ini.

Setelah mengabdi beberapa waktu lamanya di Afrika Selatan ia kembali ke India dan di sana ia memulai sebuah gerakan sosial politik. Di sana ia sangat mengutamakan sebuah gerakan rohani, sebuah gerakan tanpa kekerasan, ahimsa, non-violence movement. Juga ia sangat menekankan agar orang berpegang teguh pada kebenaran (satyagraha). Ia juga sangat menekankan kedaulatan sandang dan pangan (swasembada, swadaya). Itulah sebabnya Gandhi sejak saat itu mulai mengenakan busana khas India, semacam sari (kain tanpa jahitan untuk menutup badan) tetapi yang untuk lelaki. Dan dengan itu ia pun mempunyai daya kekuatan dan basis moral untuk melakukan perjuangan-perjuangan politiknya. Dan akhirnya ia menang. Dan ia pun menjadi seorang tokoh sejarah yang penuh kharisma dan bisa mengilhami banyak orang lain di berbagai belahan dunia. Ia adalah seorang yang mempunyai jiwa besar: Maha Atma.


Bandung, 28 Januari 2010
Diketik dan diperluas, Yogyakarta 18 Agustus 2011

Friday, July 22, 2011

THE HILLS ARE ALIVE

By: Fransiskus Borgias M.

Today (14 April 2011), very early in the morning, I read in the Face Book of my Friend, a short quotation from a well known musical film from the Seventies, Sound of Music. I like almost all of the songs in that film; but I live very much one of those songs. Its title is The Hills Are Alive. The song goes like this:

“The hills are alive
with the sound of music,
with songs they have sung
for a thousand years,
the hills fill my heart
with the sound of music,
my heart wants to sing every song it hears.
My heart wants to... (I forgot this particular part)...
like a ........ (I also forgot this particular part)...
My heart wants to.... (I forgot this part)
that fall over stones on its way....
My heart.... (I forgot this part)...
that flies from a church on a breeze...
........ (I forgot also this part)...
To sing through the night,
like a lark who is learning to pray,
I go to the hills,
when my heart is lonely,
I know I will hear,
what I have heard before,
my heart will be blessed
with the sound of music,
and I’ll sing once more.”

Again, what a nice and beautiful music and lyric, and song it is. It describes the mystical-cosmic experience, experienced by the writer and the singer. It tries to describe a very close experience to the elements of nature, in their very ordinary life. In nature s/he sees his or her own way of life; his or her struggle for life through the banalities. Even s/he also wants to learn to pray from the lark. Yes, the nature gives us many inspirations for religious and spiritual life. The beauty of nature inspires us to pray, to praise the Lord, the Creator of the Universe. The Nature, the hills, the trees, the rivers, the mountains are full of songs and melodies, that can enforce us also to sing, sing of praise and worship. Mystical cosmic experiences are always possible from time to time.

I remember once that, the writer of the Book of Daniel in the Old Testament summons all the elements of universe to praise God the Lord. For example the writer of the Book of Daniel mention the elements like water, sun, moon, stars, rain, dew, wind, fire, heat, cold and freeze, snow, ice, day and night, light and darkness, lightening and cloud, mountains, plants, hills, ocean and rivers, the leviathans, birds, the wild animal and the cattle, human being, Israel, and priests. We see that almost all the elements of nature are mentioned and called to praise the name and the existence, and also the presence of God the Lord.

Later on, in modern time of our common era, St.Francis just put the word brother and sister in front of these natural elements, and also summons or invites them to praise God the Lord. When we read his well-known poem, Canticum Solis or Canticle of Brother Sun, we will find the fact that almost of all those natural elements mentioned in the Book of Daniel are mentioned and invited once again in the cosmic poetry of Saint Francis himself. For example we will see the elements of earth, wind, fire, rain, sun, water, moon, cloud, soil, plants. Of course there are also elements that are not mentioned in Francis’ poem but presented in Daniel’s book.

But there is one element that very unique in the poem of St.Francis; it is the element of sister death. This is the very new element in the cosmic poetry of St.Francis. He calls death as a sister. It is wonderful. I remember once Abraham Yoshua Heschel said that there are three ways for human being to confront the fact of death: mourning, silent, and sing in praise. St.Francis, I think was already in this third condition or stage of life-realization: sing in praise to greet the coming of sister death. Again it is very wonderful. In the modern time, we have this present writer with his sound of music, with his The Hills Are Alive. Again and again, this is really wonderful, because all of these are full of wonder.

Yogya, 14 April 2011
Computerized and broadened and reedited on 21 July 2011.

Monday, July 18, 2011

MENGENANG SANTO BONAVENTURA

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Tanggal 15 Juli adalah Pesta Santo Bonaventura. Ia adalah orang besar dalam sejarah gereja, dalam sejarah pemikiran Kristiani (baik itu filsafat maupun teologi), dalam sejarah pemikiran abad pertengahan, dan khususnya dalam sejarah hidup ordo Fransiskan. Ada banyak aspek yang bisa ditulis tentang beliau karena memang beliau adalah orang yang hidupnya sangat kaya dan mendalam. Dalam tulisan singkat dan sederhana ini saya hanya akan mencoba melihat dan mengangkat beberapa aspek sederhana saja dari hidup beliau.

Pertama, sebagai penasihat hidup rohani Bonaventura terkenal dengan pelbagai nasihat-nasihat rohaninya bagi para suster: Admonitio ad Sorores. Ia juga terkenal karena pelbagai macam nasihat rohaninya pada umumnya yang terkumpul dalam sebuah serial kumpulan yang juga terkenal Speculum Perfectionis (Cermin Kesempurnaan). Kalau saya tidak salah ingat, kedua karya ini (terutama yang terakhir) sudah pernah diupayakan terjemahannya oleh para Saudara Dina Cicurug di bawah Komando pater Cletus Groenen OFM.

Kedua, dalam bidang pemikiran filsafat dan teologi, Bonaventura terkenal dengan kata kunci exemplasimenya itu, yang ia bentangkan dengan mantap dan mendalam dalam buku kecil-mungilnya yang juga sangat terkenal Itinerarium Mentis in Deum, atau Mind’s Journey to God (Perjalanan Jiwa Menuju Allah). Karena buku kecil-mungil inilah, Bonaventura, oleh banyak pemikir moden (antara lain seperti Zachary Hayes OFM), dipandang sebagai salah satu filsuf alam (filsuf ekologi) yang besar. Itulah sebabnya ketika dipercayai mengampu Mata Kuliah Filsafat Abad Pertengahan di Fakultas Filsafat UNPAR beberapa tahun silam, saya selalu mengangkat sosok dan pemikiran tokoh agung ini. Dan Puji Tuhan, cukup banyak mahasiswa saya yang selalu ingat akan uraian saya tentang Bonaventura ini. Saya juga harus secara jujur mengakui bahwa orang paling pertama yang memperkenalkan pemikiran mistik-kosmik Bonaventure kepada saya ialah Pater Vincente Kunrath OFM. Saat itu saya masih ingat dengan sangat baik; beliau adalah magister kami di postulat OFM Pagal. Ia sudah memberi kami kuliah tentang Bonaventura di Postulan itu; kemudian saya mendengar bahwa banyak orang mengeritik dia saat itu, tetapi jika ia tidak memberi kuliah itu di postulan, dapat dipastikan bahwa kami tidak dapat apa-apa juga sesudahnya juga dari dan oleh para pengeritiknya itu.

Ada satu hal lagi yang penting sehubungan dengan tokoh Bonaventura ini. Bona adalah tokoh besar dan tokoh pembaharu penting dalam sejarah ordo Fransiskan. Sedemikian besarnya peran Bonaventura dalam gerakpembaharuan ordo, sampai-sampai orang sulit membedakan dua hal ini dalam diri beliau: Bonaventure is the SECOND FOUNDER of the Order dan ungkapan yang lain, Bonaventure is the FOUNDER OF THE SECOND order. Ini adalah dua aliran pemikiran historis yang masing-masingnya juga mempunyai para pendukung dan garis argumentasi yang sangat kuat. Menurut yang pertama, Bonabentura tidak mendirikan ordo baru sama sekali. Ordonya tetap sama, ia hanya mengadakan pembaharuan saja. Bonaventura hanya melakukan pembaharuan ordo lama saja, walau ia membaharuinya secara sangat radikal sehingga terkesan seakan-akan sesuatu yang baru dan lain sama sekali. Menurut yang kedua, Bonaventura mendirikan ordo baru sama sekali yang tidak ada kaitan historis apa pun dengan ordo yang dirintis dan didirikan oleh Fransiskus dari Asisi. Seakan-akan ada loncaran historis-dialektis yang besar antara apa yang dimulai Fransiskus, dan apa yang dimulai oleh Bonaventura.

Saya sendiri memang bukan seorang sejarawan profesional, tetapi saya sangat mencintai disiplin ilmu sejarah. Atas dasar kecintaan itulah saya berpendapat bahwa Bonaventure is the second founder of the order, and not the founder of the second order at all. Mengapa saya berani mengatakan demikian? Apa yang menjadi dasar pemikiran saya? Menurut hemat saya, ada cukup banyak petunjuk bukti yang mendorong saya ke arah simpulan seperti itu. Pertama, Bonaventura adalah seorang yang sangat mengagumi santo Fransiskus dari Asisi. Ia menjadikan Fransiskus sebagai model hidupnya. Bahkan kita juga tahu bahwa hidup Bonaventura pada masa kecilnya sangat tergantung pada mukjizat yang terjadi dengan pengantaraan Fransiskus Asisi ini. Hal itu dapat kita baca dalam riwayat hidup Bonaventura. Jadi, kita dapat membayangkan betapa dekatnya relasi rohani antara Bonaventura dan Fransiskus Asisi. Kedua, karena cinta, hormat, dan kagumnya akan Fransiskus, maka Bonaventura ketika sudah menjadi anggota ordo sebagai intelektual terkenal, menulis dua riwayat hidup standar dan resmi dari Fransiskus dari Asisi. Kedua buku itu ialah Legenda Major dan Legenda Minor. Keduanya sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia oleh Pater Wahyo OFM.

Ketiga, dan ini yang terpenting bagi saya. Konon ketika akan menjabat sebagai pejabat penting dan tinggi dalam ordo, Bonaventura dengan sengaja dan sadar menyediakan waktu untuk pergi bertapa di La Verna. Apa arti penting dari tindakan ini? La Verna adalah tempat sangat istimewa bagi Fransiskus Asisi. Itulah tempat retret tahunan bagi dia. Di sanalah ia mendapat stigmata yang terkenal itu. Dalam pembacaan saya, Bonaventura yang akan menjadi pemimpin pembaharu Ordo, seakan-akan mau melandasi kepemimpinan dan semangat pembaharuan itu pada sumber hiduprohani sang pendiri awal sendiri yakni La Verna. Jadi, Bonaventura mengadakan pembaharuan dengan menukik lagi ke tradisi awal, kembali ke akar, kembali ke radix, ke pengalaman dasar, foundational experience, ke root metaphor. Bonaventura melakukan gerak yang sangat populer dalam Konsili Vatikan II, ad fontes itu, kembali ke sumber-sumber asali. Dan hasilnya kita semua tahu: Bonaventura mampu membaharui ordo sehingga menjadi ordo yang baru dan kuat yang mampu menghadapi terpaan jaman, para bidaah, maupuan para pesaing dalam gereja sendiri, termasuk para imam diosesan yang pada jaman Bonaventura sempat membidaahkan hidup miskin itu sendiri. Dan Bonaventura tampil sebagai pembela hidup kemiskinan itu sebagai vita evangelica dan vita apostolica sejati.

Selamat pesta Bonaventura. Semoga tulisan sederhana ini bermanfaat.

Fransiskus Borgias M.
Yogya, 13 Juli 2011.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...