Oleh: Fransiskus Borgias
Hari Senin tanggal 21 Januari
2019 yang silam, saya pergi ke toko Buku Gramedia di jalan Merdeka Bandung. Di
sana saya membeli beberapa buku. Salah satunya ialah buku yang berjudul Ben
Hur, hasil karya dari Lewis Wallace, seorang pengarang yang berasal dari
Amerika Serikat. Itu sebuah buku lama. Tetapi baru sekarang inilah saya melihat
versi terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia. Saat saya melihat buku itu,
serta-merta saya ingat bahwa dulu pada masa SMP di Seminari Pius XII Kisol saya
pernah membaca versi komik dari cerita tersebut. Juga saya membaca versi Bahasa
Inggrisnya. Sekarang ini saya membaca hasil terjemahan ke dalam Bahasa
Indonesia terbitan Gramedia.
Saat saya sekarang ini membacanya
kembali, saya terkesan karena beberapa hal ini. Salah satunya ialah hal yang
akan kuceritakan sekarang ini. Ben Hur ini sesungguhnya berkisah tentang Yesus
Kristus (sebagaimana tampak dalam judul kecilnya). Kelahirannya ditandai dengan
peristiwa angkasa (kosmis) yang luar biasa, yaitu ada sebuah bintang cerah
berjalan (komet?), yang serentak dilihat oleh tiga orang pintar (majusi) berbeda
di tempat yang berlainan dan berjauhan. Satu di Mesir, satu di Yunani, dan satu
lagi di India. Menariknya lagi ialah ketiga orang pintar ini awalnya bisa
melihat dan menyadari terbitnya bintang itu justru dengan melihat ke bawah,
yaitu melihat ke air (masing-masing melihat air danau, air laut, air kolam).
Setelah mereka melihat ke bawah barulah mereka melihat ke atas dan di sana
mereka melihat bintang itu yang sedang bersinar terang benderang. Paradoksal
sekali.
Hal ini mengingatkan saya akan
sebuah film pendek yang beredar dalam beberapa WAG menjelang perayaan Natal
2018 yang lalu. Film pendek itu melukiskan ada tiga orang yang berdiri di tepi
sebuah sumur dan ketiganya sedang memandang ke dasar sumur yang berair itu. Di
dalam sana mereka melihat pantulan sebuah bintang yang bercahaya terang
benderang di angkasa. Langit malam yang sangat cerah juga terpantul di sana. Indah
sekali. Tetapi langit biru malam itu kalah oleh cahaya bintang yang terang
benderang itu. Sesudah mereka menemukan pantulan itu di dalam air sumur itu barulah
mereka bersama-sama melihat ke atas, yaitu ke angkasa (ke langit). Dan di sana
mereka melihat sebuah bintang yang bercahaya terang benderang.
Nah, hal seperti itu jugalah yang
terjadi dan dilukiskan di dalam buku Ben Hur ini. Hanya bedanya ialah bahwa
mereka (tiga tokoh di dalam buku Ben Hur) ini melihat di tempat yang berbeda,
yaitu dari tempat mereka masing-masing (Mesir, Yunani, dan India). Namun
demikian yang menarik ialah bahwa simpulan mereka setelah melihat penampakan
sinar bintang itu sama. Apa simpulan itu? Bintang itu menandakan kelahiran
seorang Raja Israel yang baru.
Oleh karena itu, ketiga orang itu
secara terpisah juga merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat untuk pergi
mencari raja yang baru lahir itu, untuk kemudian mereka bisa menyembah-Nya. Maka
mereka pun mulai bergerak dari tempat mereka masing-masing dan mencoba
mengikuti petunjuk yang ada di langit sebagaimana yang diperlihatkan oleh
bintang terang tersebut. Perjalanan mereka tentu saja sangat jauh dan
melelahkan. Tetapi mereka tidak berputus-asa sama sekali. Sebab mereka ingin
sekali melihat apa yang terjadi yang ditandakan oleh bintang terang tersebut. Setelah
mereka menempuh perjalanan beberapa lamanya, akhirnya mereka pun, karena
dituntun oleh cahaya bintang tersebut, yang mereka bisa baca berdasarkan ilmu
perbintangan (astronomi) yang mereka kuasa, bertemu di sebuah titik yang
mengarah ke Betlehem. Lalu ketiganya pun menjadi semakin penuh gairah setelah
mengetahui bahwa masing-masingnya sama sekali tidak sendirian di dalam
petualangan ini. Melainkan mereka telah menemukannya sendiri-sendiri, tetapi
akhirnya tertuju kepada satu tujuan yang sama. Bahkan buku dari Wallace ini
memberi kesan bahwa ketiga orang itu sudah saling mengenal satu sama lain.
Mungkin mereka adalah bagian dari sebuah komunitas intelektual, komunitas
ilmuwan yang sering saling bertukar informasi pengetahuan dan terutama penelitian
yang sedang mereka geluti. Oleh karena itu, saat mereka bertemu satu sama lain,
maka dialog pun menjadi semakin seru dan akrab dan hangat, apalagi yang
dibicarakan itu adalah sebuah topik yang satu dan sama.
Dari
manakah datang dan berkembangnya imajinasi tentang adanya tiga raja itu yang
datang dari Timur itu yang datang menyembah Yesus? Imajinasi itu sesungguhnya
“dibentuk” atau lebih tepat “dikondisikan” oleh informasi yang tertulis di
dalam Injil Matius. Di dalam kisah Natal versi injil Matius, dikisahkan bahwa
tatkala Yesus dilahirkan di Betlehem, sang bayi itu mendapat kunjungan dari
tamu agung yang berasal dari dunia Timur. Sama sekali tidak disebutkan bahwa
ada tiga orang. Juga tidak disebutkan bahwa mereka itu raja. Juga injil tidak
menyebut nama ketiga tokoh itu. nah, dari nama simpulan bahwa ada tiga orang
yang datang menyembah? Simpulan itu berasal dari kisah injil yang menyebutkan
bahwa pengunjung itu membawa tiga hadiah yang mahal-mahal, barang mewah. Jadi,
karena ada tiga hadiah barang mahal, maka pasti harus ada tiga raja yang telah
menghadiahkan barang-barang mewah tersebut. Simpulan dalam daya imajinasi itu
tidak hanya berhenti di situ saja. Setelah ada tiga raja, tradisi gereja dalam
sebuah daya imajinasi sama sekali tidak membiarkan bahwa tiga tokoh agung itu
tidak bernama sama sekali (anonym). Oleh karena itu maka tradisi pun memberi
nama kepada masing-masing dari ketiga raja tersebut. Nama mereka ialah Melkior,
Gaspar, dan Balthasar.
Lewis Wallace mengembangkan
ceritanya berdasarkan informasi yang ada di dalam injil, tetapi terlebih lagi
berdasarkan informasi yang telah tersedia dan hidup di dalam tradisi gereja,
bahkan secara khusus di dalam tradisi liturgis gereja. Salah satu pesta yang
dipestakan dalam tradisi liturgis gereja Katolik ialah pesta tiga raja dari
Timur. Pada saat pesta itulah, patung tiga raja tadi dipajangkan di dalam gua
atau kandang natal yang biasanya dibangun di dalam gereja sebagai bagian utuh
dari perayaan Natal itu sendiri. Tidak lupa juga ada sebuah bintang yang
bercahaya digantung di salah satu bagian dari gua atau kandang tersebut.
Sungguh sebuah narasi imajinatif yang indah dan mengagumkan. Dan hal itu tetap
hidup hingga sekarang ini, juga hidup di dalam kenangan, di dalam memori
imajinatif seluruh umat beriman.
Cerita ini sangatlah mengesankan
bagi saya. Hal itu disebabkan karena cerita tentang datang berkunjungnya tiga
tamu agung dari para bangsa menyiratkan kepada saya bahwa ada kemungkinan bagi
semua orang, bagi siapa saja untuk bisa datang dan sampai kepada Yesus dan
menyembah-Nya melalui dorongan hati kodrati dari dalam tanpa harus mengenal
sejarah perwahyuan Israel sebagai landasan ataupun persiapannya (praeparatio evangelica). Alam bisa juga
menjadi sebuah preambulum fidei
(sebuah pengantar kepada iman). Dalam kisah ini saya melihat percikan wahyu
umum, wahyu alam, yang bisa dibaca oleh semua orang, dikenal oleh semua orang.
Tidak hanya dibatasi dalam teks-teks Roma seperti dalam kuliah teologi dasar
itu, inilah jalan intuisi hati nurani sebagaimana dicanangkan John Henry
Newman. Kiranya teks tentang tiga raja ini perlu digali lebih lanjut sebagai
basis untuk wahyu umum bagi kaum beriman pada umumnya.
Penulis: Dosen teologi pada
Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St. Hieronimus, Keuskupan
Bandung.