Showing posts with label RESENSI BUKU. Show all posts
Showing posts with label RESENSI BUKU. Show all posts

Friday, June 26, 2020

BEN HUR

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Hari Senin tanggal 21 Januari 2019 yang silam, saya pergi ke toko Buku Gramedia di jalan Merdeka Bandung. Di sana saya membeli beberapa buku. Salah satunya ialah buku yang berjudul Ben Hur, hasil karya dari Lewis Wallace, seorang pengarang yang berasal dari Amerika Serikat. Itu sebuah buku lama. Tetapi baru sekarang inilah saya melihat versi terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia. Saat saya melihat buku itu, serta-merta saya ingat bahwa dulu pada masa SMP di Seminari Pius XII Kisol saya pernah membaca versi komik dari cerita tersebut. Juga saya membaca versi Bahasa Inggrisnya. Sekarang ini saya membaca hasil terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia terbitan Gramedia.

Saat saya sekarang ini membacanya kembali, saya terkesan karena beberapa hal ini. Salah satunya ialah hal yang akan kuceritakan sekarang ini. Ben Hur ini sesungguhnya berkisah tentang Yesus Kristus (sebagaimana tampak dalam judul kecilnya). Kelahirannya ditandai dengan peristiwa angkasa (kosmis) yang luar biasa, yaitu ada sebuah bintang cerah berjalan (komet?), yang serentak dilihat oleh tiga orang pintar (majusi) berbeda di tempat yang berlainan dan berjauhan. Satu di Mesir, satu di Yunani, dan satu lagi di India. Menariknya lagi ialah ketiga orang pintar ini awalnya bisa melihat dan menyadari terbitnya bintang itu justru dengan melihat ke bawah, yaitu melihat ke air (masing-masing melihat air danau, air laut, air kolam). Setelah mereka melihat ke bawah barulah mereka melihat ke atas dan di sana mereka melihat bintang itu yang sedang bersinar terang benderang. Paradoksal sekali.

Hal ini mengingatkan saya akan sebuah film pendek yang beredar dalam beberapa WAG menjelang perayaan Natal 2018 yang lalu. Film pendek itu melukiskan ada tiga orang yang berdiri di tepi sebuah sumur dan ketiganya sedang memandang ke dasar sumur yang berair itu. Di dalam sana mereka melihat pantulan sebuah bintang yang bercahaya terang benderang di angkasa. Langit malam yang sangat cerah juga terpantul di sana. Indah sekali. Tetapi langit biru malam itu kalah oleh cahaya bintang yang terang benderang itu. Sesudah mereka menemukan pantulan itu di dalam air sumur itu barulah mereka bersama-sama melihat ke atas, yaitu ke angkasa (ke langit). Dan di sana mereka melihat sebuah bintang yang bercahaya terang benderang.

Nah, hal seperti itu jugalah yang terjadi dan dilukiskan di dalam buku Ben Hur ini. Hanya bedanya ialah bahwa mereka (tiga tokoh di dalam buku Ben Hur) ini melihat di tempat yang berbeda, yaitu dari tempat mereka masing-masing (Mesir, Yunani, dan India). Namun demikian yang menarik ialah bahwa simpulan mereka setelah melihat penampakan sinar bintang itu sama. Apa simpulan itu? Bintang itu menandakan kelahiran seorang Raja Israel yang baru.

Oleh karena itu, ketiga orang itu secara terpisah juga merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat untuk pergi mencari raja yang baru lahir itu, untuk kemudian mereka bisa menyembah-Nya. Maka mereka pun mulai bergerak dari tempat mereka masing-masing dan mencoba mengikuti petunjuk yang ada di langit sebagaimana yang diperlihatkan oleh bintang terang tersebut. Perjalanan mereka tentu saja sangat jauh dan melelahkan. Tetapi mereka tidak berputus-asa sama sekali. Sebab mereka ingin sekali melihat apa yang terjadi yang ditandakan oleh bintang terang tersebut. Setelah mereka menempuh perjalanan beberapa lamanya, akhirnya mereka pun, karena dituntun oleh cahaya bintang tersebut, yang mereka bisa baca berdasarkan ilmu perbintangan (astronomi) yang mereka kuasa, bertemu di sebuah titik yang mengarah ke Betlehem. Lalu ketiganya pun menjadi semakin penuh gairah setelah mengetahui bahwa masing-masingnya sama sekali tidak sendirian di dalam petualangan ini. Melainkan mereka telah menemukannya sendiri-sendiri, tetapi akhirnya tertuju kepada satu tujuan yang sama. Bahkan buku dari Wallace ini memberi kesan bahwa ketiga orang itu sudah saling mengenal satu sama lain. Mungkin mereka adalah bagian dari sebuah komunitas intelektual, komunitas ilmuwan yang sering saling bertukar informasi pengetahuan dan terutama penelitian yang sedang mereka geluti. Oleh karena itu, saat mereka bertemu satu sama lain, maka dialog pun menjadi semakin seru dan akrab dan hangat, apalagi yang dibicarakan itu adalah sebuah topik yang satu dan sama.

Dari manakah datang dan berkembangnya imajinasi tentang adanya tiga raja itu yang datang dari Timur itu yang datang menyembah Yesus? Imajinasi itu sesungguhnya “dibentuk” atau lebih tepat “dikondisikan” oleh informasi yang tertulis di dalam Injil Matius. Di dalam kisah Natal versi injil Matius, dikisahkan bahwa tatkala Yesus dilahirkan di Betlehem, sang bayi itu mendapat kunjungan dari tamu agung yang berasal dari dunia Timur. Sama sekali tidak disebutkan bahwa ada tiga orang. Juga tidak disebutkan bahwa mereka itu raja. Juga injil tidak menyebut nama ketiga tokoh itu. nah, dari nama simpulan bahwa ada tiga orang yang datang menyembah? Simpulan itu berasal dari kisah injil yang menyebutkan bahwa pengunjung itu membawa tiga hadiah yang mahal-mahal, barang mewah. Jadi, karena ada tiga hadiah barang mahal, maka pasti harus ada tiga raja yang telah menghadiahkan barang-barang mewah tersebut. Simpulan dalam daya imajinasi itu tidak hanya berhenti di situ saja. Setelah ada tiga raja, tradisi gereja dalam sebuah daya imajinasi sama sekali tidak membiarkan bahwa tiga tokoh agung itu tidak bernama sama sekali (anonym). Oleh karena itu maka tradisi pun memberi nama kepada masing-masing dari ketiga raja tersebut. Nama mereka ialah Melkior, Gaspar, dan Balthasar.

Lewis Wallace mengembangkan ceritanya berdasarkan informasi yang ada di dalam injil, tetapi terlebih lagi berdasarkan informasi yang telah tersedia dan hidup di dalam tradisi gereja, bahkan secara khusus di dalam tradisi liturgis gereja. Salah satu pesta yang dipestakan dalam tradisi liturgis gereja Katolik ialah pesta tiga raja dari Timur. Pada saat pesta itulah, patung tiga raja tadi dipajangkan di dalam gua atau kandang natal yang biasanya dibangun di dalam gereja sebagai bagian utuh dari perayaan Natal itu sendiri. Tidak lupa juga ada sebuah bintang yang bercahaya digantung di salah satu bagian dari gua atau kandang tersebut. Sungguh sebuah narasi imajinatif yang indah dan mengagumkan. Dan hal itu tetap hidup hingga sekarang ini, juga hidup di dalam kenangan, di dalam memori imajinatif seluruh umat beriman.

Cerita ini sangatlah mengesankan bagi saya. Hal itu disebabkan karena cerita tentang datang berkunjungnya tiga tamu agung dari para bangsa menyiratkan kepada saya bahwa ada kemungkinan bagi semua orang, bagi siapa saja untuk bisa datang dan sampai kepada Yesus dan menyembah-Nya melalui dorongan hati kodrati dari dalam tanpa harus mengenal sejarah perwahyuan Israel sebagai landasan ataupun persiapannya (praeparatio evangelica). Alam bisa juga menjadi sebuah preambulum fidei (sebuah pengantar kepada iman). Dalam kisah ini saya melihat percikan wahyu umum, wahyu alam, yang bisa dibaca oleh semua orang, dikenal oleh semua orang. Tidak hanya dibatasi dalam teks-teks Roma seperti dalam kuliah teologi dasar itu, inilah jalan intuisi hati nurani sebagaimana dicanangkan John Henry Newman. Kiranya teks tentang tiga raja ini perlu digali lebih lanjut sebagai basis untuk wahyu umum bagi kaum beriman pada umumnya.

 

Penulis: Dosen teologi pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St. Hieronimus, Keuskupan Bandung.

 


Friday, December 9, 2011

RESENSI BUKU

Judul : TANDA-TANDA KEHIDUPAN, 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya
Pengarang : Scott Hahn
Penerjemah : Ernest Mariyanto
Penerbit : DIOMA PUBLISHING
Terbit : 2011
Halaman : 1-348.
Peninjau : Fransiskus Borgias M.


Hidup manusia selalu ditandai pelbagai upacara keagamaan sehingga hidup penuh aura suci, penuh signal of transcendence, kata Peter L.Berger. Karena itu setiap tahap hidup ada upacaranya, ada ritus peralihan (rites of passages). Ini adalah pemahaman yang hidup sejak lama dalam sejarah, mulai dari agama asli hingga ke agama samawi. Tidak ada tahap hidup yang tanpa upacara. Upacara itulah yang memberi legitimasi agar hidup itu sah dan layak dihidupi. Jika orang lalai menjalankan upacara itu, terasa ada yang kurang, ada yang hilang, ada ganjalan. Antropolog agama juga menggaris-bawahi arti penting upacara keagamaan bagi manusia. Kita tidak boleh bermain-main dengan upacara suci keagamaan itu.

Buku Scott Hahn ini berurusan dengan pelbagai upacara keagamaan, sebagaimana dihayati dalam tradisi gereja Katolik. Memang Gereja Katolik dikenal karena banyak ritual. Karena berulang-ulang, praksis ritual, jika tidak diberi pendasaran teoretis dan teologis memadai, bisa menjadi hampa, serba rutin, dangkal. Itu bisa terjadi jika orang tidak menelusuri arti terdalam dari upacara agama. Buku ini dimaksudkan untuk menelusuri makna terdalam upacara keagamaan, termasuk praksis devosi Gereja Katolik, sekaligus diberi pendasaran teologis, biblis, patristik. Untuk itu Hahn mengumpulkan 40 kebiasaan Katolik. Hal itu tampak dalam judul kecil buku ini: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya. Hahn memberi judul bukunya Signs of life atau Tanda-tanda Kehidupan. Seakan diberi isyarat bahwa upacara keagamaan yang diterima orang menjadi tanda bahwa hidup memang benar-benar hidup dan menjadi bermakna justru karena upacara keagamaan.

Buku ini terdiri atas 9 Bab, ditambah pendahuluan dan epilog; total ada 11 Bab. Keempat puluh kebiasaan itu dibagi dalam 9 bab mengikuti perkembangan hidup manusia. Hidup pasti ada awalnya yang ditandai upacara agama. Awal itulah yang dibahas dalam Bab 1. Dalam rangka itu ia menyebut beberapa ritual awal yang berulang sepanjang hidup. Ia membahas 5 topik: air suci, tanda salib, baptis, misa, dan malaekat pelindung. Mengapa malaekat pelindung dibahas di sini? Mungkin itu terkait dengan satu paham sakramen baptis bahwa di sana kita diberi karunia roh kudus, diangkat menjadi Anak Allah. Itu dilambangkan dengan kehadiran malaekat pelindung di samping kita yang menuntun kita ke arah yang baik.

Hidup manusia cukup panjang di dunia ini. Hidup itu dibagi dalam penggal tahun. Penggal tahun itu ditandai perayaan besar (Bab 2). Itu sebabnya di sini Hahn membahas 4 topik: penanggalan gereja, Prapaskah dan Paskah, Adven dan Natal, Novena. Penggal tahunan dibagi dalam bulan, minggu, hari, jam. Hal apa saja yang bisa menjadi kebiasaan dalam hidup kita (Bab 3). Itu yang disebut Devosi Harian. Di sini ada 6 topik: tata gerak tubuh, persembahan pagi, doa-doa kerinduan, Doa Angelus, rahmat dalam perjamuan, pemeriksaan batin. Semuanya bisa menjadi praksis demi pengudusan hidup kita. Seperti halnya hidup jasmani kita membutuhkan gizi bermutu, demikian juga hidup rohani kita membutuhkan gizi bermutu. Hal itu dapat kita temukan dalam Kitab Suci, Bacaan Rohani, dan retret. Itulah isi Bab 4, dan karena itu berjudul pelajaran untuk hidup.

Hahn memberi judul Bab 5 “Tahap-tahap Kehidupan”. Di sini ia membahas 4 topik: sakramen Krisma, perkawinan, imamat, dan pengurapan orang sakit. Hahn hanya memilih keempat sakramen ini untuk dibahas di sini. Mungkin karena keempat sakramen itu secara tegas menandakan perkembangan hidup Kristiani ke arah kedewasaan (Krisma, perkawinan, Imamat) dan titik finalnya (pengurapan orang sakit). Ada pelbagai pernak-pernik dalam hidup devosional kita yang bisa memperkaya liturgi. Itulah yang disebut Bumbu Kehidupan (Bab 6). Di sini ada 5 pokok: dupa, lilin, patung kudus, relikui, puasa dan matiraga. Menarik mengamati judul bab 7: Hidup Yang Berkelimpahan. Mungkin karena di sini ia membahas 6 topik: dosa, indulgensi, doa para kudus, ziarah, kehadiran Allah, berderma. Semua itu diyakini bisa mendatangkan efek hidup berkelimpahan dalam dan bersama Tuhan.

Judul Bab 8 menarik: Kesayangan dalam hidupku. Di sini ia bahas 5 pokok: Devosi Kepada Tritunggal, Rosario, Skapulir dan Medali, Doa Batin, Penghormatan kepada Tabernakel. Judul Devosi Kepada Tritunggal jangan dipahami keliru, seakan itu sekadar devosi, dan bukan pokok iman Kristiani. Devosi itu harus dilandaskan pada iman akan Allah Tritunggal. Tanpa iman ini, devosi tidak bermakna. Hidup manusia ada akhirnya: Sein zum Tode, kata Heidegger. Titik akhir itu adalah maut. Dengan maut, hidup hanya diubah, bukan dilenyapkan, vita mutatur sed non tolitur. Itulah salah satu pokok bahasan Bab 9 (Hidup Takkan Berakhir). Maut adalah titik final; karena itu perlu persiapan untuk menghadapinya. Persiapan paling mendasar ialah iman, harapan, dan kasih. Tradisi Katolik juga menegaskan mengenai arti penting praksis doa untuk orang yang sudah meninggal (salah satu pokok di sini).

Kiranya Hahn mengajar berdasarkan pengalaman dan penghayatan. Atas dasar itu ia menegaskan (saya setuju), bahwa orang Katolik akrab dengan kitab suci, sebab seluruh praksis kesalehannya berakar dalam Kitab Suci. Liturgi adalah kitab suci yang dirayakan, theology in actions, mengikuti ungkapan Rublev, theology in colors (ketika berteologi tentang ikon dalam tradisi Ortodoks Russia).

Hidup ditandai upacara. Eliade mengatakan bahwa ada tiga komponen penting dalam agama: ritus, mitos, dan simbol. Pada awal mula adalah pengalaman dan reaksi atas pengalaman itu. Kemudian ada penjelasan verbal-rasional atas pengalaman itu. Itulah teologi. Ada kesan juga bahwa Hahn bernada apologetis, historis biblis dan patristik. Mungkin karena ia tadinya adalah Protestan. Nada yang sama seperti terasa dalam buku-buku lain terutama Rome Sweet Home. Ternyata sweet home itu Roma, bukan Canterburry atau Geneva. Buku ini menggambarkan dengan baik sebuah teologi dalam praktek penghayatan liturgis.

Keunggulan buku Hahn ini juga terletak dalam kenyataan bahwa ia mencari pendasaran dari semua praksis ini dalam tradisi biblis, patristik, dan teologi sepanjang jaman, termasuk praksis teologi masa kini. Dengan pemaparan seperti ini, kita semakin diperkaya dalam pemahaman akan akar tradisi biblis. Dengan itu, semakin kuat pula keyakinan saya bahwa orang Katolik, jika menghayati semua unsur liturgi dengan baik, akan terserap ke dalam Kitab Suci dan tradisi agung. Mengapa? Karena semua tradisi liturgis kita, berurat dan berakar dalam kitab suci. Buku Hahn ini dengan sangat baik, ringan, ringkas, dan mudah menampilkan hal itu. Sifat ringan itu juga tampak sangat kentara dalam bahasa terjemahan yang diupayakan dengan baik oleh Ernest Mariyanto.

RESENSI BUKU

JUDUL BUKU : YERUSALEM 33, IMPERIUM ROMANUM, KOTA PARA NABI, DAN TRAGEDI TANAH
SUCI.
PENGARANG : TRIAS KUNCAHYONO
PENERBIT : BUKU KOMPAS, APRIL 2011
HALAMAN : XXXVLL+ 330.
PENINJAU : FRANSISKUS BORGIAS M.

Berbicara tentang Yerusalem, tidak akan habis. Ada banyak buku yang ditulis tentang kota itu. Ada Karen Armstrong, Amy Dockserr Marcus, dan Trias Kuncahono yang menulis dua buku. Inilah bukunya yang kedua setelah yang pertama menjadi best-seller, Jerusalem. Berbicara tentang Yerusalem, saya teringat akan P.C.Groenen OFM, pakar Kitab Suci. Suatu saat dalam kuliah Kitab Suci Perjanjian Lama di Biara St.Bonaventura Papringan, ia mengatakan, “dunia tidak akan damai selama Jerusalem tidak damai,” selama Yerusalem tercabik-cabik. Groenen mendasarkan pernyataannya pada sejarah, di mana Yerusalem selalu menjadi sign of contradiction, dari dulu hingga kini, dan nanti. Kota itu dipenggal dalam beberapa bagian dengan penguasa yang berasal dari tradisi agama. Islam punya bagiannya, Yahudi punya bagiannya, Kristiani juga punya bagiannya. Penggal Kristiani juga terbagi dalam beberapa bagian.

Buku ini berbicara secara historis tentang Yerusalem. Buku ini terdiri atas 8 Bab, dilengkapi dua prolog dan satu epilog. Buku ini membahas substansi eksistensi Jerusalem dari jaman ke jaman. Yang paling besar pengaruhnya ialah fakta bahwa Jerusalem ialah tanah para nabi (bab 1); ada banyak nabi menyinggung, atau menziarahinya. Setelah cukup panjang membeberkan biologi dan geografi Palestina, penulis membahas secara khusus paradoks para nabi (h.50): Mereka hadir di Yerusalem, tetapi kota itu menjadi kota penuh konflik. Kota itu terletak di Timur Tengah, menjadi bagian utuh dari Kanaan dan Palestina (Bab 2), sebuah urutan yang tepat. Negeri itu dilanda peperangan dari dulu hingga kini. Selalu ada kelompok yang memperebutkannya dari waktu ke waktu. Yang menarik ialah bahwa secara tradisional nama negeri itu, Kanaan. Ada penelusuran etimologis kata Kanaan dan sejarah nama itu (h.80). Ketika Roma berkuasa ada kebijakan membuat “politik pengubahan nama” dari Kanaan menjadi Palestina (hal.92). Roma bermaksud menghapus kenangan akan Israel dari sejarah, sesuatu yang kini bergema kembali dalam diri presiden Iran yang mau melenyapkan Israel dari Peta bumi.

Salah satu episode sejarah yang penting bagi Yerusalem ialah ia pernah dikuasai Roma (bab 3). Tentu ini tidak lengkap jika tidak menyebut Helenisme, Persia, Babel, dan Asyur. Alur sejarah itu dimulai dengan pelukisan sejarah kerajaan di Israel (Hakim-hakim tidak dibahas, h.109). Setelah masa jaya yang hanya sebentar, Israel dikuasai Asyur dan Babel (h.112.113). Kemudian terjadi Helenisasi (h.113-17), dan dikuasai Roma (h.117-144). Hal yang membedakan Roma dari penguasa lain ialah Roma memberi perlakuan khusus terhadap Yahudi sebagai umat berkitab (p.127). Alur perjalanan peziarah Eropa Abad Pertengahan ialah dari Kaisarea ke Yerusalem (Bab 4). Judul itu menyiratkan ada pergeseran dari kota Helenis Kaisaria ke kota Zionis, Yerusalem. Secara cukup panjang pengarang membahas sejarah Kaisarea. Lalu dibahas sejarah Yerusalem, walau yang lebih mencolok ialah pelukisan mengenai beberapa kelompok aliran politik dan teologi jaman itu. Seluruh hidup dan pergolakan bangsa Yahudi terfokus di Jerusalem.

Jerusalem tidak selalu cemerlang sepanjang jaman. Pernah ia ditinggalkan, dan menjadi sarang penyamun (Bab 5). Itu sebabnya kota itu penuh paradoks (h.182). Ada yang memujinya sebagai metropolis, tetapi ada juga yang mencemoohnya hanya sebagai lobang di pojokan (h.183). Hal itu benar sehubungan dengan masa kegelapan pasca penghancuran oleh Babel dan penghancuran oleh Roma tahun 70-an. Itulah zaman gelap Jerusalem (bab 6). Setelah secara singkat menyinggung penghancuran Yerusalem oleh Roma di awal bab, seluruh sisa bab membahas hukuman salib sebagai hukuman keji, tidak manusiawi. Disinggung juga mengenai bentuk salib (h.220-21). Ini jaman kekelaman bagi kemanusiaan; salah satu korbannya ialah Yesus Kristus yang mati di salib.

Fokus Bab 7 ialah peristiwa dramatis, sengsara dan wafat Tuhan. Beberapa pertanyaan besar coba dijawab: Mengapa Yesus dihukum mati, kapan itu terjadi, siapa yang memutuskan hukuman itu? Seluruh uraian difokuskan pada satu tesis bahwa Yesus dibunuh atas dasar konspirasi politis-keagamaan, antara penguasa negara, penguasa agama, dan rakyat kebanyakan. Ada triumvirat jahat yang menyebabkan Yesus dihukum mati, yaitu wali negeri, raja, dan Imam Agung (h.261). Tadinya saya mengira buku ini adalah buku sejarah. Tetapi setelah membacanya sampai bab 8 saya sadar bahwa penulis menulis buku ini sebagai orang Kristiani, yang memuncaki bukunya dengan pelukisan mengenai hari dramatis yang ditandai bulan memerah ketika Yesus wafat (h.310). Ini sebuah apologia iman. Hal itu tampak di bagian akhir bab 8 ini: Yerusalem adalah tempat Yesus dikorbankan, tempat Yesus menyerahkan hidup-Nya di kayu salib bagi keselamatan umat manusia. Karena itu, menyusuri Jalan Salib,Via Dolorosa, di Yerusalem adalah menyusuri jalan iman. Salib mengubah kebinasaanmenjadi keselamatan (h.312).

Ya, berbicara tentang Yerusalem tidak akan selesai. Kita bisa belajar banyak dari Yerusalem seperti dikatakan Zuhairi Misrawi dalam epilog. Ada anakronisme di sana. Dikatakan bahwa pada jaman Muhammad, umat berkiblat ke Masjid al-Aqsha di Yerusalem (h.314). Saat itu, mesjid itu belum ada; baru ada setelah Yerusalem dikuasai Islam. Qiblat pertama ialah situs bait Allah di Yerusalem. Qiblat itu diubah setelah terjadi konflik tajam antara Islam dan orang Yahudi.

Bahasa buku ini lancar dan ringan. Tetapi secara pribadi saya terganggu dengan ungkapan yang tidak lazim yang dipakai Trias: Kakek moyang (mis:h.9,29, 67, 96, dll). Beberapa pihak mengatakan itu aneh. Yang biasa ialah ungkapan nenek-moyang. Entah apa pertimbangan Trias menggantinya. Ada bagian yang seperti copy-paste. Misalnya info mengenai beberapa nabi dan aktifitas mereka yang diulang di beberapa tempat. Juga informasi mengenai nama beberapa faksi politik dan agama dalam masyarakat Yahudi yang diulang hampir sama di beberapa tempat. Contoh: uraian tentang Farisi yang ada di pendahuluan (h.13-14) sama dengan yang ada pada Bab 4 (h.161). Hal itu bisa diatasi dengan parafrase, tetapi itu tidak dilakukan.
Secara keseluruhan penulis ini lancar memberi banyak informasi populer, penting dan menarik tentang sejarah perjanjian lama dan baru, gereja awal, kekaisaran roma, kekuatan besar dunia yang mengobok-obok Timur Tengah kuno, termasuk Kanaan. Buku ini mengandung “campuran” antara informasi serius yang digali dari resources dan pengalaman pribadi akan Jerusalem dan sekitarnya. Buku ini berguna bagi pemula yang mendalami sejarah timur tengah kuno, sejarah Kaisarea (h.151-162), Yerusalem, Kekaisaran Romawi. Misalnya informasi tentang teori migrasi Abraham (h.70), atau sejarah kemunculan Sabat (h.161-163). Tetapi bagi orang yang sudah mendalami dunia perjanjian lama dan baru, dan sejarah gereja awal, informasi yang ada di sini sama sekali tidak baru; paling-paling ini hanya berfungsi sebagai penyegaran.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...