Friday, April 7, 2023

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias

Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung.


Menyongsong Mentari Dengan Tari 

Puncak perayaan penti adalah Songka Lesong. Secara harafiah istilah itu berarti Tarian (Songka/Congka) Mentari (Leso-ng; proses verbalisasi kata benda atau noun Leso, Mataleso). Itu adalah ritual puncak perayaan penti, paling tidak dalam penghayatan orang Perang, desa Pontoara, Lembor, Manggarai Barat), di mana orang menari (songka) persis pada jam 12 malam, saat diyakini mulai terbit matahari pada hari baru, bur leso (dalam istilah Manggarainya). Oleh karena itu, Songka Lesong tidak lain berarti tarian atau menari untuk menyongsong matahari baru yang sebentar lagi akan terbit. Dan itulah tahun baru. 

Walaupun saya tahu ada juga beberapa peneliti kebudayaan Manggarai yang memakai sebutan atau istilah lain (misalnya Congka Kolong), tetapi saya tetap lebih suka akan istilah Songka Lesong itu. Di dalam disertasi saya di UGM, saya sudah menjelaskan bahwa istilah itu saya dapatkan di Perang, Lembor, dari nara sumber saya yang utama, bapa Stanis Jomar (sudah almarhum). Di dalam disertasi itu juga saya sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan Songka Lesong itu. 

Sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi, songka lesong itu adalah momen puncak perayaan Penti di mana orang menari di sekeliling siri bongkok (dalam rumah gendang) pada jam duabelas malam sambil menyanyikan lagu-lagu permohonan kepada Sang Tuhan Pencipta dan Sang Pembentuk kehidupan, atau dalam bahasa Manggarai dikenal dengan nama atau lebih baik gelar, Mori Jari agu Dedek, Mori Jiri agu Wowo (dan pelbagai nama atau sebutan lainnya). 

(NB: Berkaitan dengan nama atau sebutan “Songka Lesong” itu perlu diberi catatan sedikit. Ada yang mengucapkannya menjadi Congka Lesong, jadi S menjadi C. Tetapi saya beranggapan bahwa lafal S jauh lebih tua (proto) daripada C, sebab pengucapan C adalah perkembangan yang jauh lebih kemudian daripada pengucapan dengan S. Misalnya, Sa o nai; atau O siri so o sa ga e, atau Inang dalu Cibal e, amang dalu Lamba, siri soo e, toe pening one peti manuk kiok kok. Terkait dengan sebutan Congka Kolong yang disebut beberapa peneliti Manggarai yang lain. Tetapi saya tidak menerima sebutan ini sebab sebutan ini tidak ada artinya sama sekali).

Dua Baris Lagu Permohonan 

Ada dua baris lagu yang saya ingat dari masa kecil, dari sebuah lagu sanda dalam Pesta Penti di kampung Lentang. Begini isi atau bunyi syairnya sejauh saya masih ingat: (Bagian Cual) Ere lele oooo e ba’eng koe, (Bagian Wale) aaaaa…. eoooo…. Ao dendeng ine a dendeng sala ine, Yo Mori dendeng sala ine, pedeng jerek wae susu yo Mori. Itulah poin permohonan yang pertama. Lalu poin permohonan yang kedua ialah sbb: Ere lele ooooo e ba’eng koe, aaaa…. Eooo…aooo… dendeng ine a dendeng sala ine, yo Mori dendeng sala ine, porong uwa haweng wulang yo Mori (pada bagian atau baris ketiga bagian terakhir ini diganti dengan "porong langkas haeng ntala yo Mori").

Apa arti dari teks lagu itu? Pada masa kecilku saya selalu berpikir bahwa yang dimaksudkan dengan ungkapan “wae-susu” (air susu) dalam lagu itu yang diminta dalam lagu tadi adalah air susu ibu (asi), yang biasanya diisap bayi agar mereka bisa hidup dan kebal terhadap pelbagai macam penyakit. Sebab memang air susu ibu adalah sumber kekebalan atau imunitas alami bagi hidup sang bayi itu. Jika air susu ibu sang bayi itu tidak banyak, hal itu akan menimbulkan "masalah" bagi perkembangan si anak, terutama bagi sistem kekebalan (imunitas) alaminya. 

Saat saya menulis kalimat yang baru saja lewat itu tiba-tiba saja saya teringat akan mulut bayi yang baru lahir yang otomatis bergerak seperti mau mengisap, sebuah gerak naluriah alami, yang biasanya oleh para bidan yang membantu proses kelahiran akan dilakukan ritual yang disebut inisiasi itu, menempatkan bayi yang mulutnya bergerak-gerak mengisap tadi ke dada ibunya. Dan secara naluriah alamiah pun mulut anak itu akan mencari puting susu ibunya dan begitu menemukannya ia akan mulai mengisap dan dengan itu dimulailah sebuah perjalanan kehidupan baru. 

Apa itu "Wae susu"? 

Kembali lagi ke alur tulisan saya. Jadi, saat saya mendengar ungkapan “pedeng jerek wae susu” saya membayangkan bahwa para penari dan penyanyi dalam ritual Songka Lesong itu sedang meminta sumber daya hidup, saripati makanan kepada Tuhan yang empunya kehidupan. Saripati itu dilambangkan secara padat dengan wae-susu itu.

Ketika saya banyak berdiskusi dengan Pater Flori Laot OFM tentang adat dan budaya Manggarai, saya juga sempat menanyakan hal itu, yaitu pemahaman dia tentang ungkapan “wae-susu” itu. Dari dialog dan wawancara itu, saya mendapat kesan dan merasa bahwa beliau pun berada pada jalur pemahaman yang kurang lebih sama dengan pemahaman saya tadi: secara harfiah orang meminta air susu ibu (pedeng jerek wae susu) yang memang pada faktanya bisa menghidupkan dan secara alamiah memberi kekebalan tubuh. 

Wae Susu: Metafora Untuk Sperma

Tetapi pemahaman itu akhirnya berubah secara total saat saya bertemu dengan Bapa Stanis Jomar di Perang, Lembor, saat saya melakukan penelitian lapangan (field research) di sana untuk mendapatkan bahan disertasi saya. Pada saat itu, di antara banyak hal yang saya tanyakan, saya bertanya tentang “wae-susu” ini juga. Ketika saya tanyakan tentang apa arti dari ungkapan tersebut kepada dia, saya pun sangat kaget. Kaget karena ternyata apa yang saya pahami selama ini, yang juga didukung oleh P. Flori tadi, tidak benar sama sekali. 

Menurut Bapa Stanis Jomar, “wae-susu” yang dimaksudkan dalam syair lagu itu adalah air mani pria. Jadi di dalam syair lagu Songka Lesong itu, orang meminta sedikit pancaran setetes (jerek) dari air mani tersebut, yang dalam ungkapan Bahasa Manggarai, secara metaforis juga disebut “wae-bur”, tajen (Jawa). Jadi, orang meminta benih-benih awal hidup kepada Tuhan yang mahatinggi, sang pencipta dan pembentuk kehidupan. Hidup tidak akan muncul tanpa adanya pancaran benih-benih awal tersebut.

Keterangan Bapa Stanis ini telah mendorong dan menggerakkan saya untuk berpikir dan bertanya lebih lanjut, yakni mengapa orang meminta air mani itu dan bukannya meminta “air-susu” yang memang eksplisit disebutkan dalam doa permohonan tersebut? Kiranya karena air mani itulah yang mendatangkan hidup. Air mani (dilambangkan dengan wae susu, karena prinsip sama warna) menjadi pangkal hidup. Sedangkan air susu ibu yang keluar dari tetek ibu, adalah penjamin hidup selanjutnya. Nah, yang dimintakan dalam ritual Songka Lesong ini ialah benih awal hidup itu yang berasal dari pancaran sperma pria. 

Perempuan "Selalu" Subur 

Di sini diandaikan bahwa indung telur selalu ada dan selalu tersedia dalam Rahim ibu (walau tidak selalu demikian adanya, sebab bisa saja perempuan itu mandul atau indung telurnya tidak matang untuk dibuahi). Teteapi yang jelas ialah bahwa dalam lagu pengiring ritual songka lesong itu, orang jelas dan eksplisit meminta agar ada kesuburan pria, agar hidup dapat terus berlanjut. 

Orang tidak meminta kesuburan wanita di dalam ritual penti, walaupun ada ritual khusus untuk meminta kesuburan di dalam hidup perkawinan, dalam event kehamilan. Sepertinya kesuburan wanita dan ketersediaan indung telur di dalam Rahim wanita, selalu diandaikan ada dan tersedia begitu saja. Saya mendapat kesan seperti itu dari untaian penjelasan yang diberikan oleh bapa Stanis.

Karena itu, dalam ritual penti, khususnya dalam bagian Songka Lesong, orang meminta kesuburan pria, kesuburan suami. Kesuburan pria (suami) itu diharapkan terpancar selalu, tidak mati, tidak mongering. Hal itu kurang lebih sama dengan doa untuk mata air, porong mboas wae woang, porong kembus wae teku

Tafsir Maskulin dan Tafsir Feminin 

Walau ada pemaknaan seperti itu dari Bapa Stanis Jomar, saya akhirnya sampai pada satu rumusan pemahaman sintesis yang mencoba mendamaikan dua makna tadi: Saya sebut saja tafsir feminine dan tafsir maskulin, tafsir ibu, dan tafsir ayah, tafsir laki-laki, tafsir perempuan. Saya sampai pada keyakinan bahwa penjelasan P. Flori dulu, yang juga saya anut tidak salah seluruhnya. 

Oleh karena itu, saya mencoba mensintesiskan kedua perspektif tafsir dan pemaknaan itu. Bahwa yang diminta dalam Songka Lesong adalah kedua hal itu sekaligus. Sebelum ada bayi baru (meka weru, meka le mai puar, kata puar di sini berarti menunjukkan dimensi misteri dari asal-usul manusia), orang meminta air mani. Bila sudah ada bayi baru yang terlahir dari perkawinan, maka orang pun lalu meminta air susu

Dengan cara penafsiran sintesis seperti ini maka kedua macam tafsir dan pemaknaan itu pun menjadi satu. Tidak usah lagi harus bertentangan satu sama lain, tidak usah lagi harus saling menyingkirkan satu sama lain. Bahkan kedua macam penafsiran itu saling mengandaikan dan memperkaya satu sama lain juga. Itu adalah sebuah sintesis hermeneutik yang amat menarik dan memperdalam makna. 


(NB: Ini adalah tafsir saya. Mungkin ada cara penafsiran dan pemaknaan serta pemahaman yang lain. Saya terbuka saja terhadap tafsir dan pemaknaan yang lain). 


Monday, June 29, 2020

MENGENDUS KEHADIRAN TUHAN DALAM KITAB ESTER

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Tanpa tambahan kitab Ester, maka kitab Ester adalah sebuah kitab yang mengandung cerita duniawi yang biasa-biasa saja. Mengapa demikian? Itu karena Kitab Ester adalah satu-satunya kitab dalam Kitab Suci yang tidak pernah menyebut nama Allah. Memang terasa sangat aneh dan juga luar biasa bahwa Kitab Suci mempunyai satu kitab yang tidak pernah menyebut nama Allah. Mungkin itu sebabnya ada orang yang berinisiatif untuk menyisipkan beberapa tambahan di sana-sini ke dalam kitab tersebut. Mungkin para inisiator ini merasa terganggu dengan fakta tadi. Mungkin ada pihak yang tidak mau memasukkan kitab itu ke daftar kanon, dengan alasan bahwa kitab itu tidak pernah menyebut nama Allah. Untuk menyelamatkan kitab ini, agar lolos masuk kanon, ditambahkanlah beberapa tambahan ataupun sisipan ke dalam kitab itu. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah tambahan kitab Ester. Di dalam sisipan itulah ada nama Allah disebut. Dengan cara itu maka kitab ini pun lalu berciri rohani, berbau keagamaan.

Dengan sisipan ini maka tidak tepat lagi untuk mengatakan bahwa dalam kitab Ester tidak ada nama Allah. Sebab nama itu dengan sangat mudah ditemukan di dalam sisipan tersebut. Sisipan itu, bersama beberapa kumpulan lain, dikenal dengan sebutan, Deuterokanonika. Bagi orang Katolik hal ini sah dan utuh.

Pertanyaannya sekarang ialah apakah dalam sifat profan seperti yang disinggung di atas tadi, di dalam kitab Ester memang sama sekali tidak ada singgungan tentang Allah ataupun kehadiran Allah? Menurut saya tidak demikian. Kalau kita membaca dengan teliti kitab Ester tanpa tambahan tadi, paling tidak ada satu tempat dalam kitab Ester di mana kita dapat merasakan bahwa Allah disinggung di situ walaupun secara sangat implisit dan serba sangat tersirat. Kiranya di dalam teks Est 4:14, ada singgungan yang bersifat implisit seperti itu akan Allah. Dalam teks itu rasanya saat membacanya kita mau tidak mau terpikir tentang Allah, walaupun kehadiran itu serba tersamar. Teks itu berbunyi sebagai berikut di dalam terjemahan yang kita miliki: “Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain.”

Menurut pembacaan saya di sini penulis teks Ester menyiratkan bahwa di balik apa yang terjadi sebenarnya Allah yang giat bekerja. Bagaimana pun juga kisah yang ada dalam kitab Ester adalah sebuah kisah pembebasan agung umat Allah dari ancaman genosida yang mengerikan. Jadi, umat pilihan Allah terancam eksistensinya dari muka bumi. Tetapi, anehnya, kok Allah sepertinya tidak hadir di sana, seperti tidak mau turut campur tangan di dalam masalah tersebut. Jangankan hadir; disebut saja pun tidak ada. Hal ini pada gilirannya menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Mengapa Allah seperti itu? Salah satu cara penjelasan ialah bahwa kisah Ester ini adalah kisah Eksodus baru. Dalam kisah exodus lama, yaitu peristiwa keluaran dari perbudakan Mesir, Musa adalah tokohnya. Sedangkan dalam kisah Eksodus baru, yaitu kisah pembebasan dan penyelamatan dari upaya genosida sistematis yang dirancangkan oleh para lawan Israel, Ester adalah tokohnya. Dalam kisah Eksodus lama (kisah keluaran asali) Allah tampak sangat kentara. Allah dirasakan sungguh-sungguh hadir. Ia hadir di dalam penampakan dan manifestasinya, dalam kekuatan-kekuatan dahsyat yang luar biasa.

Mungkin hal itu disebabkan karena kiranya para penulis kitab Ester berpikir bahwa tampaknya Allah tidak akan melakukan lagi hal-hal seperti itu dulu dalam konteks dunia sekarang dan di sini. Kiranya apa yang dialamisi penulis kitab Ester seperti yang kita saat ini alami saat membaca kisah Keluaran yang dahsyat itu, di mana ada tiang-tiang awan dan api, awan-awan, dan Laut Merah yang terbelah. Hemmm…. Luar biasa. Ajaib. Walau dalam alam secular ini rasanya Allah seperti tidak hadir, tetapi apakah memang benar bahwa Allah tidak bekerja. Rasanya tidak. Allah bekerja dalam senyap. Ester melakukan hal yang berani dan benar. Ester berani mengambil risiko. Ternyata berhasil. Sukses. Itu terjadi karena semua seperti berjalan lancar dan semesta mendukung. Dalam Ester, Allah bekerja secara awanama, dalam diam, dalam satu dunia di mana Dia tidak kentara ikut campur tangan. Perbuatan Ester yang berani dan penuh percaya itu, berkenan pada Allah dan Allah menerimanya. Bahkan Allah membuat kesukarannya melebihi apa yang diduga dan diharapkan Ester. Mungkin kalau Ester sendiri yang bekerja maka ia hanya dapat 30 sampai dengan 50 poin saja. Tetapi karena Allah ikut campur tangan diam-diam maka hasilnya 100. Itulah peran pentingnya iman (percaya). Iman adalah bentuk perlindungan lain dari hubris dan utopianisme. Di sini apa yang bisa kita buat itu penting sekali. Tetapi akhirnya kira harus membiarkan Allah bertindak menurut kehendakNya sendiri yang tidak selalu dapat dipahami tetapi hasilnya pasti sangat maksimal.

Tetapi Ester dalam perspektif sebagai orang Katolik, saya harus memberi catatan tambahan yaitu bahwa yang disebut kitab Ester dalam tradisi Katolik tidak hanya kitab Ester saja. Ada tambahan kitab Ester. Dalam kitab tambahan Ester itulah kita bisa menemukan nama Tuhan. Dengan tambahan kitab Ester, maka kitab Ester menjadi berciri religius, walaupun religiositas itu tidak harus dikaitkan dengan penyebutan nama Tuhan secara eksplisit. Tetapi nama adalah kehadiran. Kehadiran tanpa nama lalu menjadi sulit untuk memahami dan merasakan kehadiran itu.

Kiranya itulah yang menyebabkan editor kitab Ester menambahkan tambahan kitab Ester. Dalam tambahan itu kita menemukan nama Tuhan, sebab mereka yakin dan berpandangan bahwa nama adalah kehadiran. Nama itu bukan hanya sekadar sebuah label, sekadar sebuah kata kosong, melainkan sebuah kehadiran. Untuk menandakan kehadiran dan aktifitas itulah maka nama untuk sang mahatinggi biasanya mengambil kata kerja atau selalu berupa sebuah konstruksi kalimat. Begitulah misalnya YHWH antara lain diartikan sebagai Akulah yang Aku ada. Saya selalu memahami konstruksi ini sebagai sesuatu yang menandakan kehadiran dan kehadiran bagi saya selalu berarti kehadiran yang aktif dalam tindakan, dalam perbuatan, dalam karya.

Fenomena seperti itu ada juga dalam pelbagai Bahasa dan tradisi keagamaan lain. Saya mengambil contoh tambahan sebagai bukti petunjuk misalnya dalam tradisi keagamaan asli Manggarai, sang realitas mahatinggi itu disebut dengan beberapa kata kerja yang menunjukkan aktifitas: Jari-agu-Dedek, Jiri-agu-Wowo. Masing-masingnya berarti Yang Menjadikan Yang Menciptakan (Membuat), Yang Mengadakan dan Yang Menuang. Jadi, nama itu adalah aktifitas, dan aktifitas itu itu mencirikan kehadiran.

Akhirnya, kembali lagi ke kitab Ester. Memang seperti telah dikatakan bahwa tanpa penyebutan nama Tuhan secara eksplisit pun kehadiran Tuhan pasti diandaikan ada dalam kitab itu. Tetapi kehadiran itu menjadi semakin jelas dan nyata dengan adanya tambahan kitab Ester sebab dalam bagian tambahan itulah nama Tuhan itu disebut dengan jelas. Mungkin perlu juga saya tambahkan bahwa biasanya tambahan-tambahan itu disisipkan di tempat di mana orang merasa bahwa ada sebuah misteri kekuatan ajaib yang aktif bekerja di sana. Nah tambahan kitab Ester membuat intuisi itu menjadi lebih jelas dan nyata dengan memberinya sebuah nama yang menandai kehadiran dan aktifitas.

 

Penulis: Dosen teologi Biblika pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung.

 

Sunday, June 28, 2020

SHUSAKU ENDO (BGN 1).

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Dalam kesempatan kali ini saya mau menulis sesuatu tentang seseorang yang bernama Shusaku Endo. Sejujurnya saya belum mengenal dan membaca tentang beliau secara langsung. Hal itu disebabkan karena hingga saat ini saya belum mendapatkan buku-bukunya. Tetapi apa yang saya persembahan di sini adalah semacam hasil referat (turunan) dan hasil olahan ulang dari hasil studi orang-orang lain tentang dia. Tetapi hasil studi orang tersebut telah cukup banyak membantu saya untuk bisa mengenal orang ini dan bisa juga mengatakan sesuatu tentang orang tersebut. Ada beberapa hal yang bisa saya kemukakan tentang orang ini berdasarkan hasil studi tadi.

Pertama, orang ini adalah seorang Novelis Katolik yang berasal dari Jepang. Ia menjadi terkenal di dunia karena ia pernah menulis sebuah novel menarik yang berjudul A Life of Jesus (Kehidupan Yesus). Judul ini tentu saja judul versi terjemahan dari novel itu ke dalam Bahasa Inggris yang diterbitkan pada tahun 1978 (oleh Paulist Press; terus terang saya belum menemukan judul aslinya di dalam Bahasa Jepang). Kiranya karena factor terjemahan ke dalam Bahasa Inggris inilah yang telah membuat namanya melambung ke tingkat dunia yang lebih luas. Mungkin kalau tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, maka karya dia juga tidak mendapat pengakuan internasional.

Kedua, yang jelas ialah bahwa dalam dan melalui buku itu Endo mencoba mengembangkan sebuah bentuk penghayatan iman Kristen yang ia yakin terasa lebih “mengena” (cocok) bagi orang-orang Jepang. Walaupun ia menjadi orang Kristen ia tetap saja merasa bahwa beberapa aspek dari iman itu dirasakan tidak begitu nyaman olehnya. Ia tidak begitu mudah bisa menjelaskan pengalaman itu. Tetapi pengalaman itu sungguh ada dan terjadi. Ya mungkin karena iman Kristiani itu sudah mengalami semacam bias dengan kebudayaan Barat. Entahlah. Tetapi tidak begitu jelas sebenarnya, aspek manakah yang dari iman Kristiani itu yang dianggapnya tidak begitu mengena. Yang jelas bahwa ia merasa bahwa hal itu terasa seperti mengenakan sebuah baju yang jahitannya tidak “pas” di badan. Ada rasa aneh, ada rasa tidak nyaman, ada rasa tidak enak, walaupun baju itu sudah bisa menutup badan, tetapi tetap terasa ada sesuatu yang tidak cocok, entahlah bagaimana. Sebuah pengalaman yang tidak selalu mudah untuk dijelaskan secara verbal. Kiranya versi Barat dari iman Kristiani itu terasa tidak begitu cocok dengan konteks Jepang. Padahal agama Kristiani itu berasal dari Asia. Semestinya ia terasa bisa cocok dengan mudah dengan orang Asia, tetapi mungkin karena agama Kristiani yang berkembang di Asia adalah iman Kristiani yang sudah berkembang sangat lama di dunia Barat.

Itulah hasil dari studi dan telaah yang dilakukan oleh Emi Mase-Hasegawa atas karya-karya Endo tadi (Christ in Japanese Culture: Theological Themes in Shusako Endo’s Literary Works, 2008:78). Salah satu tokoh penting di dalam novel tersebut adalah orang yang bernama Otsu. Orang inilah yang mengungkapkan rasa tidak nyaman tadi. Dikatakan bahwa Otsu pernah belajar teologi di Eropa. Tetapi teologi yang dipelajarinya di Eropa terasa asing (terasing) dari cara berpikir dia sebagai orang Jepang. Pengalaman terasing seperti ini cukup banyak diungkapkan oleh para teolog Asia yang pernah belajar di Barat. Pengalaman itu pernah diungkapkan oleh beberapa teolog dari Korea, India, dan juga dari Filipina. Walaupun ada rasa dan pengalaman keterasingan seperti itu, namun demikian ia (tokoh kita di dalam novel tadi) tidak mau begitu saja meninggalkan iman Kristiani ataupun meninggalkan Kristus. Melainkan ia tetap berusaha untuk setia sebagai seorang pengikut yang sejati.

Ketiga, untuk mengungkapkan kesetiaannya itu, tokoh kita menyampaikan ungkapan berikut ini. Beginilah katanya: “I haven’t be able to adapt myself to the thinking and the theology of Europe, but when I suffer all alone, I can feel the smiling presence of [Jesus], who knows all my trials.” (Shusako Endo, Deep River, 1995: p.119). Kiranya pengalaman rohani dan batin seperti inilah yang bisa menjelaskan mengapa Endo bisa sampai pada satu keyakinan yang sangat kokoh bahwa Yesus adalah tokoh “the eternal companion” of those who suffer (Shusaku Endo, A Life of Jesus, p.85-86). Jadi, bagi orang yang menderita Yesus adalah dan juga dialami sebagai seorang sahabat abadi.

Hal ini kurang lebih sama dengan sebuah gelar yang dikaitkan dengan Bunda Maria, yaitu sang penolong abadi the perpetual help, perpetua adjutrix. Dalam artian itu kedua tokoh ini (Yesus dan Maria) bisa menjadi sumber penghiburan dan kekuatan di dalam hidup terutama di kala dukalara datang menimpa. Salah satu gelar Bunda Maria dalam Litania Santa Perawan Maria adalah pohon atau pokok sukacita kami, alias sumber segala sukacita dan penghiburan. Hal ini sangat berkembang di dalam hidup dan teologi devosi orang-orang Katolik.

Terkait dengan pengalaman ini saya teringat akan perkataan seorang teolog Jepang, tetapi sayang sekali bahwa saya tidak begitu mengingat lagi namanya. Semoga di lain kesempatan saya bisa menemukan lagi nama beliau. Yang terpenting saya ingat akan apa yang ia katakan. Menurut dia orang Jepang yang beriman Kristiani, di dalam hidup mereka selalu membutuhkan dua huruf J. J yang pertama ialah Jepang, Japanese, fakta bahwa mereka adalah orang Jepang. Kejepangan adalah fakta terberi yang sudah ada secara alami di dalam hidup mereka. J yang kedua ialah Jesus. Setelah mereka mengenal dan menerima Jesus, maka Jesus itu sudah mendarah daging di dalam hidup mereka sebagai orang Jepang. Karena itu, J yang kedua ini sudah sulit dilepaskan dari J yang pertama, yaitu dari kehidupan mereka sebagai orang Jepang itu sendiri.

Ketika hal seperti ini diterapkan ke dalam konteks Indonesia, maka mungkin orang-orang Jawalah yang paling gampang menerapkan hal itu, karena factor huruf J tadi. Orang-orang Jawa yang Kristiani misalnya bisa mengatakan bahwa mereka selalu membutuhkan dua huruf J di dalam hidup mereka. J pertama ialah Kejawaan dan J yang kedua ialah Jesus. Tetapi kiranya soal penerimaan iman akan Yesus ini bukan perkara huruf belaka. Kalau sudah diterima dan mendarat di dalam hati, maka Ia sudah mendarat di dalam hati. Mungkin kira-kira seperti dikatakan oleh orang-orang Manggarai di Flores: Serani nai kontas bokak, sebuah ungkapan yang menandakan bahwa kekatolikan mereka sudah mendarah daging, sudah mengakar kuat di dalam seluruh tatanan hidup mereka. Hal itu dilambangkan dengan sebutan serani dan lambang Rosario. Serani itu sudah mengakar di dalam hati dan jiwa (nai) dan Rosario itu sudah selalu menggantung di leher sebagai kalung kehidupan. Jadi, walaupun tanpa ada kemiripan dalam huruf, toh orang-orang Manggarai yang Katolik bisa dengan bangga menegaskan relasi dan kepercayaan diri seperti itu.

 

Penulis: Dosen teologi dan peneliti teologi dan kebudayaan pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung. 



Saturday, June 27, 2020

BIARA MENYELAMATKAN GEREJA

Oleh: Fransiskus Borgias


 

W.L. Helwig, seorang penulis yang berasal dari negeri Belanda, sudah menulis sebuah buku Sejarah Gereja yang kiranya cukup terkenal dalam lingkup gereja Katolik di Indonesia. Pada akhir tahun 70an, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Romo Dick Hartoko SJ, dan sudah mengalami cetak ulang sebanyak delapan kali (mungkin sekarang sudah lebih dari delapan kali, karena versi yang ada di tangan saya berasal dari awal tahun 90an). Ini adalah sebuah prestasi penerbitan yang sungguh luar biasa mengagumkan. Jarang sekali terbitan teologi seperti itu mencapai sukses yang sedemikian besar. Buku itu menjadi laris manis di pasaran buku Indonesia. Judul buku itu dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia adalah Sejarah Gereja Kristus. Buku itu sendiri dalam versi Bahasa Indonesia terdiri atas tiga jilid, dari jilid satu sampai dengan jilid tiga. Judul asli dalam Bahasa Belanda ialah De Katholieke Kerk in de loop der eeuwen (kira-kira demikian, Gereja Katolik dalam rentang perjalanan jaman). Bahasa terjemahan dari pater Dick Hartoko, sangat menarik, indah dan renyah dibaca. Sama sekali tidak terasa kaku. Melainkan sangat serba lancar, membuat kita para pembaca seperti terbuai oleh keindahan tersebut.

Bagi saya ini adalah sebuah buku yang menarik. Menarik karena ia berhasil dengan sederhana menggambarkan secara singkat dan padat seluruh garis dan dinamika perkembangan historis Gereja Katolik sejak dari awal mula hingga ke abad duapuluh yang silam. Menurut pengamatan dan penilaian saya, pater Dick Hartoko juga sangat berhasil menampilkan gaya Bahasa yang indah dan sederhana itu di dalam versi terjemahannya sendiri. Saya tidak akan membuat catatan menyeluruh atas seluruh buku itu yang terdiri atas tiga jilid tadi. Di sini saya hanya mau memusatkan perhatian pada jilid satu saja.

Sebagai puncak dari jilid yang pertama kita menemukan Bab ketujuh yang berjudul Biara Menyelamatkan Gereja. Dalam tulisan saya kali ini saya mau memberi sebuah catatan khusus tentang hal ini. Dengan judul tersebut pengarang mau menunjukkan bagaimana hidup membiara akhirnya mampu menyelamatkan gereja dari sebuah krisis sejarah yang sangat besar yaitu krisis yang dikenal dengan sebutan krisis investitura. Pertikaian investitura itu sendiri singkatnya adalah campur tangan kaum awam ke dalam proses pemilihan para pejabat gereja, yang pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh banyak kepentingan politik duniawi. Proses penyelamatan itu bisa terjadi berkat gerakan pembaruan yang mula-mula terjadi dalam lingkup biara itu sendiri, tetapi kemudian nafas dan ilham pembaharuan itu merambat keluar dari banteng-benteng biara sehingga bisa mempengaruhi seluruh gereja dan masyarakat Kristiani pada waktu itu. dan pusat gerakan pembaharuan biara itu dimulai di sebuah biara yang bernama Cluny (sebuah biara yang didirikan oleh seorang bangsawan yang bernama William dari Acquitane) dan kemudian berlanjut ke biara-biara yang lain seperti di Citeaux dan Clairvaux (semuanya dalam lingkup wilayah Perancis modern sekarang ini). Tentu saja hal itu sangat patut disyukuri. Salah satu tokoh terkenal dari Clairvaux ialah Santo Bernardus dari Clairvaux itu.

Dan hal yang paling menentukan ialah bahwa kemudian di dalam perkembangan sejarahnya gerakan pembaharuan Cluny ini mendapat momentum yang dahsyat dalam diri Paus Gregorius VII. Dia sendiri adalah seorang biarawan yang berasal dari lingkaran gerakan pembaharuan Cluny itu. setelah dia menjadi paus maka ia mengambil gerakan pembaharuan tersebut menjadi program seluruh gereja. Hal itulah yang bisa menjelaskan mengapa kemudian gerakan pembaharuan itu, yang semula hanya terbatas dalam biara-biara saja, akhirnya juga menjadi sebuah gerakan seluruh gereja. Efeknya ialah bahwa yang mengalami pembaharuan itu tidak hanya biara-biara (karena itulah yang menjadi tujuannya yang semula dan asali) melainkan berdampak juga bari seluruh gereja. Karena gerakan ini bermula dari Cluny (Burgundy) maka itulah sebabnya gerakan pembaharuan ini dikenal dengan sebutan Cluniac reform, atau reformasi Cluny tadi. Semuanya adalah gerakan pembaharuan dalam lingkup ordo Benediktin (karena itu juga dikenal dengan sebutan gerakan pembaharuan Benediktin), sebab itulah ordo-ordo besar yang ada dalam gereja pada jaman itu, selain Augustinian (Fransiskan dan Dominikan baru muncul pada abad ketigabelas, sebagai gerak lanjutan dari dinamika pembaharuan ini).

Tetapi ternyata saat gereja itu kemudian berkembang ke Timur seperti ke Asia (Jepang, Korea, China, India, dan Indonesia) tercatat sebuah fakta yang menarik dan mungkin juga amat mengejutkan bahwa yang bisa menyelamatkan hidup gereja di sana adalah justru kaum awam. Henry Daniel Rops misalnya pernah mencatat bahwa di Korea dan jepang pernah ada masa yang sangat panjang (mungkin hampir dua abad) di mana hidup gereja Katolik itu diselamatkan oleh kaum awam yang tetap bertekun di dalam iman dengan menjalani hidup devosional kerakyatan, tanpa nuansa-nuansa agama institusional hirarkis karena memang pada saat itu tidak ada para imam sama sekali. Lalu apa yang bisa menjelaskan hal itu? satu-satunya penjelasan ialah bahwa umat dengan setia menjaga dan memelihara hidup devosional mereka. Dengan cara itu, mereka tetap setia mempertahankan iman. Begitu para imam datang, maka mereka datang dan menabur firman di atas lahan subur yang telah disediakan oleh hidup devosional para umat yang dengan setia telah menghayati hidup devosional tersebut. Benar-benar luar biasa dan mengagumkan.

Begitu juga halnya dengan iman Katolik di Larantuka, yang bertahan karena peranan kaum awam. Sejauh yang saya ketahui gereja Katolik masuk ke daerah Larantuka, dan juga Timor Leste, karena jasa orang-orang Portugis yang menjajah wilayah tersebut sejak dari abad ke-enambelas (1500an ke atas). Hal itu berlangsung, sejauh pengetahuan saya, sampai tahun 1859 (jadi, abad kesembilan belas), di mana terjadi sebuah perjanjian singkat antara Belanda dan Portugis mengenai semacam pembagian wilayah kekuasaan dagang di kawasan Sunda Kecil. Sejak saat itu imam-imam Portugis meninggalkan wilayah Larantuka dan sekitarnya, dan hanya menyisakan Timor Leste saja (hingga tahun 1970an, saat perang kemerdekaan Timor Leste terjadi). Tatkala para imam Portugis meninggalkan wilayah tersebut, ternyata tidak segera mendapat para pengganti dari kalangan imam-imam Belanda. Para imam Belanda baru datang, sejauh pengetahuan saya, pada akhir abad ke-sembilan belas. Sesungguhnya sudah terjadi kekosongan di wilayah Larantuka mendahului tahun 1859 di atas tadi. Lalu, apa yang bisa menjelaskan bahwa iman Katolik itu hidup terus? Menurut saya, hanya satu saja jawabannya: yaitu iman umat awam, yang tetap setia memelihara iman itu dalam praksis hidup devosional mereka. Dan salah satu praksis devosional yang mereka hayati dan mereka tetap pelihara ialah praksis di sekitar perayaan pekan suci atau Semana Sancta yang terkenal itu. Hanya di atas praksis itulah, maka iman Katolik (Gereja Katolik) tetap bisa bertahan.

Tetapi peranan nyata kaum awam itu tidak menjadi judul khusus dalam buku-buku sejarah Gereja. Bagi saya itu adalah sebentuk pengabaian, suatu ketidak-relaan untuk mengakui peranan kaum awam yang sungguh nyata dan sama sekali tidak mengada-ada. Terlepas dari hal itu haruslah diakui bahwa hidup devosional umat awamlah yang menyelamatkan gereja.

 

Penulis: Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung.

 


Friday, June 26, 2020

BEN HUR

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Hari Senin tanggal 21 Januari 2019 yang silam, saya pergi ke toko Buku Gramedia di jalan Merdeka Bandung. Di sana saya membeli beberapa buku. Salah satunya ialah buku yang berjudul Ben Hur, hasil karya dari Lewis Wallace, seorang pengarang yang berasal dari Amerika Serikat. Itu sebuah buku lama. Tetapi baru sekarang inilah saya melihat versi terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia. Saat saya melihat buku itu, serta-merta saya ingat bahwa dulu pada masa SMP di Seminari Pius XII Kisol saya pernah membaca versi komik dari cerita tersebut. Juga saya membaca versi Bahasa Inggrisnya. Sekarang ini saya membaca hasil terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia terbitan Gramedia.

Saat saya sekarang ini membacanya kembali, saya terkesan karena beberapa hal ini. Salah satunya ialah hal yang akan kuceritakan sekarang ini. Ben Hur ini sesungguhnya berkisah tentang Yesus Kristus (sebagaimana tampak dalam judul kecilnya). Kelahirannya ditandai dengan peristiwa angkasa (kosmis) yang luar biasa, yaitu ada sebuah bintang cerah berjalan (komet?), yang serentak dilihat oleh tiga orang pintar (majusi) berbeda di tempat yang berlainan dan berjauhan. Satu di Mesir, satu di Yunani, dan satu lagi di India. Menariknya lagi ialah ketiga orang pintar ini awalnya bisa melihat dan menyadari terbitnya bintang itu justru dengan melihat ke bawah, yaitu melihat ke air (masing-masing melihat air danau, air laut, air kolam). Setelah mereka melihat ke bawah barulah mereka melihat ke atas dan di sana mereka melihat bintang itu yang sedang bersinar terang benderang. Paradoksal sekali.

Hal ini mengingatkan saya akan sebuah film pendek yang beredar dalam beberapa WAG menjelang perayaan Natal 2018 yang lalu. Film pendek itu melukiskan ada tiga orang yang berdiri di tepi sebuah sumur dan ketiganya sedang memandang ke dasar sumur yang berair itu. Di dalam sana mereka melihat pantulan sebuah bintang yang bercahaya terang benderang di angkasa. Langit malam yang sangat cerah juga terpantul di sana. Indah sekali. Tetapi langit biru malam itu kalah oleh cahaya bintang yang terang benderang itu. Sesudah mereka menemukan pantulan itu di dalam air sumur itu barulah mereka bersama-sama melihat ke atas, yaitu ke angkasa (ke langit). Dan di sana mereka melihat sebuah bintang yang bercahaya terang benderang.

Nah, hal seperti itu jugalah yang terjadi dan dilukiskan di dalam buku Ben Hur ini. Hanya bedanya ialah bahwa mereka (tiga tokoh di dalam buku Ben Hur) ini melihat di tempat yang berbeda, yaitu dari tempat mereka masing-masing (Mesir, Yunani, dan India). Namun demikian yang menarik ialah bahwa simpulan mereka setelah melihat penampakan sinar bintang itu sama. Apa simpulan itu? Bintang itu menandakan kelahiran seorang Raja Israel yang baru.

Oleh karena itu, ketiga orang itu secara terpisah juga merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat untuk pergi mencari raja yang baru lahir itu, untuk kemudian mereka bisa menyembah-Nya. Maka mereka pun mulai bergerak dari tempat mereka masing-masing dan mencoba mengikuti petunjuk yang ada di langit sebagaimana yang diperlihatkan oleh bintang terang tersebut. Perjalanan mereka tentu saja sangat jauh dan melelahkan. Tetapi mereka tidak berputus-asa sama sekali. Sebab mereka ingin sekali melihat apa yang terjadi yang ditandakan oleh bintang terang tersebut. Setelah mereka menempuh perjalanan beberapa lamanya, akhirnya mereka pun, karena dituntun oleh cahaya bintang tersebut, yang mereka bisa baca berdasarkan ilmu perbintangan (astronomi) yang mereka kuasa, bertemu di sebuah titik yang mengarah ke Betlehem. Lalu ketiganya pun menjadi semakin penuh gairah setelah mengetahui bahwa masing-masingnya sama sekali tidak sendirian di dalam petualangan ini. Melainkan mereka telah menemukannya sendiri-sendiri, tetapi akhirnya tertuju kepada satu tujuan yang sama. Bahkan buku dari Wallace ini memberi kesan bahwa ketiga orang itu sudah saling mengenal satu sama lain. Mungkin mereka adalah bagian dari sebuah komunitas intelektual, komunitas ilmuwan yang sering saling bertukar informasi pengetahuan dan terutama penelitian yang sedang mereka geluti. Oleh karena itu, saat mereka bertemu satu sama lain, maka dialog pun menjadi semakin seru dan akrab dan hangat, apalagi yang dibicarakan itu adalah sebuah topik yang satu dan sama.

Dari manakah datang dan berkembangnya imajinasi tentang adanya tiga raja itu yang datang dari Timur itu yang datang menyembah Yesus? Imajinasi itu sesungguhnya “dibentuk” atau lebih tepat “dikondisikan” oleh informasi yang tertulis di dalam Injil Matius. Di dalam kisah Natal versi injil Matius, dikisahkan bahwa tatkala Yesus dilahirkan di Betlehem, sang bayi itu mendapat kunjungan dari tamu agung yang berasal dari dunia Timur. Sama sekali tidak disebutkan bahwa ada tiga orang. Juga tidak disebutkan bahwa mereka itu raja. Juga injil tidak menyebut nama ketiga tokoh itu. nah, dari nama simpulan bahwa ada tiga orang yang datang menyembah? Simpulan itu berasal dari kisah injil yang menyebutkan bahwa pengunjung itu membawa tiga hadiah yang mahal-mahal, barang mewah. Jadi, karena ada tiga hadiah barang mahal, maka pasti harus ada tiga raja yang telah menghadiahkan barang-barang mewah tersebut. Simpulan dalam daya imajinasi itu tidak hanya berhenti di situ saja. Setelah ada tiga raja, tradisi gereja dalam sebuah daya imajinasi sama sekali tidak membiarkan bahwa tiga tokoh agung itu tidak bernama sama sekali (anonym). Oleh karena itu maka tradisi pun memberi nama kepada masing-masing dari ketiga raja tersebut. Nama mereka ialah Melkior, Gaspar, dan Balthasar.

Lewis Wallace mengembangkan ceritanya berdasarkan informasi yang ada di dalam injil, tetapi terlebih lagi berdasarkan informasi yang telah tersedia dan hidup di dalam tradisi gereja, bahkan secara khusus di dalam tradisi liturgis gereja. Salah satu pesta yang dipestakan dalam tradisi liturgis gereja Katolik ialah pesta tiga raja dari Timur. Pada saat pesta itulah, patung tiga raja tadi dipajangkan di dalam gua atau kandang natal yang biasanya dibangun di dalam gereja sebagai bagian utuh dari perayaan Natal itu sendiri. Tidak lupa juga ada sebuah bintang yang bercahaya digantung di salah satu bagian dari gua atau kandang tersebut. Sungguh sebuah narasi imajinatif yang indah dan mengagumkan. Dan hal itu tetap hidup hingga sekarang ini, juga hidup di dalam kenangan, di dalam memori imajinatif seluruh umat beriman.

Cerita ini sangatlah mengesankan bagi saya. Hal itu disebabkan karena cerita tentang datang berkunjungnya tiga tamu agung dari para bangsa menyiratkan kepada saya bahwa ada kemungkinan bagi semua orang, bagi siapa saja untuk bisa datang dan sampai kepada Yesus dan menyembah-Nya melalui dorongan hati kodrati dari dalam tanpa harus mengenal sejarah perwahyuan Israel sebagai landasan ataupun persiapannya (praeparatio evangelica). Alam bisa juga menjadi sebuah preambulum fidei (sebuah pengantar kepada iman). Dalam kisah ini saya melihat percikan wahyu umum, wahyu alam, yang bisa dibaca oleh semua orang, dikenal oleh semua orang. Tidak hanya dibatasi dalam teks-teks Roma seperti dalam kuliah teologi dasar itu, inilah jalan intuisi hati nurani sebagaimana dicanangkan John Henry Newman. Kiranya teks tentang tiga raja ini perlu digali lebih lanjut sebagai basis untuk wahyu umum bagi kaum beriman pada umumnya.

 

Penulis: Dosen teologi pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St. Hieronimus, Keuskupan Bandung.

 


Thursday, June 25, 2020

YUDA BEN HUR

Oleh: Fransiskus Borgias

 

Kemarin saya sudah menulis tentang Paul Meier. Saya menulis tentang Paul Meier sebagai salah satu orang yang mempraktekkan suatu pandangan dan keyakinan tertentu tentang kemampuan dan kekuatan daya khayal atau mungkin lebih tepat daya imajinasi manusia. Jauh sebelumnya saya menulis tentang Murray Bodo OFM, yang dalam pengantar bukunya tentang santa Klara mengatakan bahwa daya khayal manusia bisa menyimpan dan mengingat kenangan historis dengan suatu cara yang lain dan berbeda dari cara sejarah mencatat dan mengingat kenangan tersebut. Ternyata pandangan dan keyakinan itu dipraktekkan oleh banyak orang. Kemarin saya sudah mengemukakan bagaimana Paul Meier, melalui bukunya Pontius Pilatus itu, dengan sangat mahir memperlihatkan dan membuktikan kemampuan itu. Pada hari ini saya mau menulis tentang seorang yang lain yaitu Lewis Wallace.

Menurut pengamatan saya, Lewis Wallace juga mempunyai pengalaman yang kurang lebih sama. Ia menulis buku yang sangat terkenal yang berjudul Ben Hur; saya mengangkat buku ini karena memang ada banyak sekali rajutan imajinasi yang kuat dan mengagumkan di dalam buku itu. Tetapi di sini saya hanya mau focus pada bagian terakhir dari buku itu.

Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru khususnya Kisah Para Rasul kita membaca bahwa Paulus memulai kariernya sebagai seorang pewarta iman Kristiani dari kota Antiokhia. Ada sebuah kesan yang kuat bahwa di kota itu sudah ada sebuah komunitas Kristiani yang mapan di sana, jauh mendahului Paulus. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang seperti Barnabas. Orang ini diduga adalah orang berada. Kis 11:26, memberi kita sebuah informasi penting, yaitu bahwa di Antiokhialah mereka untuk pertama kalinya disebut Kristianoi.

Saat ada krisis kelaparan dan kekeringan di tanah Yudea, jemaat di Antiokhia ini yang sedikit makmur dan mapan, membantu mereka dengan bantuan pangan. Paulus-lah orang yang membawa bantuan tersebut. Nah, dari mana atau dari siapakah sumbangan itu berasal? Tentu sumbangan dan bantuan itu kiranya berasal dari hasil kolekte para anggota jemaat Kristianoi yang ada di kota Antiokhia tersebut.

Tetapi di dalam daya imajinasi historis Lewis Wallace, ada satu nama yang menjadi sponsor utama untuk tersedianya bantuan tersebut. Orang itu adalah Yuda Ben Hur. Orang ini adalah seorang yang sangat kaya. Ia menjadi kaya karena sebuah nasib baik, yaitu mendapat warisan dari seorang Hakim Roma, yang telah mengambil dan mengangkatnya sebagai seorang anak angkat. Ben Hur ini juga menjadi kaya karena ia mendapat harta warisan keluarga Hur, yang selama ini dikelola dengan sangat baik oleh bekas budak keluarga mereka, Simonides, yang menjalankan roda bisnis dan ekonominya dari kota pelabuhan, Antiokhia, yang memang terletak di pinggir sungai besar, Orontes itu.

Nah menurut Lewis Wallace bantuan yang dikirim ke Yerusalem itu terutama sekali disponsori oleh Yuda Ben Hur ini, yang memang menjadi sangat kaya, sebagaimana sudah dilukiskan di atas tadi. Solidaritas antara kaum beriman akhirnya memang mampu mengatasi dan melewati krisis kemanusiaan akibat kelaparan dan kekeringan yang melanda negeri Yudea itu.

Masih dari Lewis Wallace ini. Imajinasi dia terus berlanjut tentang si orang kaya dari Antiokhia, Yuda Ben Hur tadi. Akhirnya, ia menjadi Kristiani. Orang ini ternyata sudah menjadi Kristiani. Ia menjadi Kristiani, dan ini sangat menarik, bukan karena peristiwa kebangkitan, sebagaimana orang-orang pada umumnya, melainkan justru karena balada penyaliban. Bagi dia balada penyaliban adalah sebuah momen penyingkapan, sebuah momen pewahyuan, sebuah momen theofani yang sangat penting dan mendasar. Pengalaman dia ini kurang lebih sama dengan pengalaman seorang prajurit yang menikam lambung Yesus dan setelah terpancar air dan dari lambung tersebut, ia pun menjadi percaya: sungguh orang ini adalah anak Allah (bdk. Mrk 15:38-38; Mat 27:54; Luk 23:47; Yoh 19:31-37).

Setelah ia menjadi Kristiani konon ia mula-mula menetap di Antiokhia dan melanjutkan bisnis keluarganya. Saat itu pada tahun 60an-70an terjadi pengejaran besar-besaran dan sistematis terhadap orang-orang Kristiani di Roma. Si Yuda Ben Hur ini, setelah didorong oleh manajernya, Simonines, Yuda dan keluarganya berangkat dan tinggal di kota Roma. Tujuan mereka hanya satu. Menyelamatkan orang-orang Kristiani yang ada di sana dari kejaran dan kekejaman tentara Nero, Kaisar yang maniak dan gila itu. Orang Kristiani di kota itu sangat sulit berdoa, karena mereka terus menerus direcoki oleh orang-orangnya Nero ini.

Karena itu, dengan kekayaan yang dimilikinya, Yuda Ben Hur pun, setelah tiba di Roma, bisa membangun ruang-ruang bawah tanah yang menjadi tempat persembunyian bagi orang-orang Kristiani. Tempat-tempat seperti itu sekaligus juga menjadi tempat orang Kristiani berkumpul dan berdoa. Tempat atau ruangan tersembunyi dan rahasia di bawah tanah tersebut disebut Katakomba.

Dalam daya imajinasi Lewis Wallace, katakomba itu hanya bisa dibangun oleh orang yang amat kaya raya, sebab ia bisa menyewa para pekerja dan juga bisa menutup mulut mereka agar katakomba itu tetap tersembunyi dan rahasia bagi masyarakat umum. Dikatakan juga bahwa lorong-lorong atau ruang-ruang di bawah tanah itu dilengkapi dengan symbol-simbol rahasia bagi orang Kristiani yang datang ke sana. Dan konon symbol yang paling popular ialah ikan, yang dalam Bahasa Yunani ialah ichtous. Lorong yang ditandai dengan gambar ichtous itu adalah lorong keselamatan. Dan masih ada banyak lagi kode-kode rahasia lain yang diambil dari ilham kitab suci.

Tetapi mengapa mereka memakai symbol rahasia ikan tersebut? Mereka memakai symbol tersebut karena bagi mereka symbol ikan, ichtous, tersebut mendapat makna baru. Selain ikan muncul di dalam mukjizat makan kenyang yang dikisahkan di dalam keempat injil, bagi orang-orang Kristiani purba kata ichtous itu mendapat pemaknaan baru. Bagi mereka ichtous itu adalah sebuah singkatan. I adalah huruf awal dari nama Yesus dalam Bahasa Yunani dan Latin, Iesus. Ch adalah (chi) huruf awal dari nama Kristus. Th adalah huruf awal dari kata theos dalam Bahasa Yunani yang artinya ialah Allah atau Tuhan. Ou adalah huruf awal dari kata Ouios dalam Bahasa Yunani yang artinya ialah anak atau putera. S adalah huruf pertama dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu Soter yang artinya ialah sang penyelamat.

Karena itu, kalau dibaca secara lengkap maka kata ichtous itu menjadi sebuah kalimat yang mengungkapkan iman Kristiani akan Yesus Kristus. Yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Putera Allah sang Penyelamat. Itulah sebabnya tadi di atas sudah dikatakan bahwa saat orang-orang Kristiani purba melarikan diri ke dalam lubang-lubang rahasia itu di dalam tanah, mereka bisa selamat karena membaca pelbagai petunjuk atau kode sandi tersebut, yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang lain. Rahasia itu dipegang teguh oleh mereka sehingga hal itu menjadi semacam pengetahun esoteric bagi mereka yang tersembunyi bagi orang-orang lain di luar kelompok mereka.

 

Penulis: Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung.

 


Wednesday, June 24, 2020

PAUL MEIER: PONTIUS PILATUS

Oleh: Fransiskus Borgias



Beberapa waktu yang lalu saya menulis tentang daya kekuatan imajinasi anak manusia yang dalam ungkapan Murray Bodo, seorang sastrawan kefransiskanan Amerika Serikat, dikatakan mempunyai daya kekuatan yang luar biasa untuk merekam dan menyimpan ingatan manusia akan sejarah, sehingga ia bisa menjadi sebuah alternative bagi sejarah itu sendiri. Bagi orang seperti Murray Bodo, daya ingat imajinasi manusia bisa menjadi sebuah alat bantu untuk mengingat dan menyimpan. Dengan konsep seperti itulah Murray Bodo pun menulis dua buah karya fiksi yang indah. Yang satu tentang Fransiskus dari Asisi, untuk mencoba mengingat dan merekam pelbagai hal tentang tokoh agung itu. Yang lain ialah tentang Clara dari Asisi, juga untuk mencoba mengingat dan merekam pelbagai hal tentang tokoh agung itu.

Rupanya di dalam sejarah ada banyak juga orang yang mempunyai pandangan dan keyakinan seperti itu. Ya, tidak hanya Murray Bodo saja yang mempunyai pengalaman dan kesaksian tentang daya kekuatan imajinasi manusia untuk menyimpan dan mengingat sejarah masa silam. Orang seperti Paul Meier, yang menulis sebuah buku yang menjadi best-seller internasional, yang berjudul Pontius Pilatus, juga mempunyai pengalaman yang kurang lebih sama. Pada saat menulis buku Pontius Pilatus tadi, ia mencoba menggali pelbagai macam catatan sejarah Roma, juga catatan-catatan dan informasi yang ada di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dan juga pelbagai macam catatan-catatan yang lainnya.

Lalu Meier dengan kepiawaian seorang sejarawan mencoba merangkai semua informasi dari semua sumber itu tentang Pontius Pilatus. Ia mula-mula mencoba mengikuti informasi yang ada di dalam catatan-catatan sejarah Roma. Kalau ada catatan dan rekaman yang putus di dalam untaian sejarah itu, ia coba rujuk ke informasi dari Kitab Suci dan juga dari catatan-catatan sejarah yang lain. Jadi, pokoknya, semua catatan ia pakai secara silang untuk saling melengkapi dan memperkaya. Kalau di dalam upaya persilangan itu, masih ada titik-titik yang putus ataupun kabur, maka di situlah ia mencoba mengisinya dengan daya imajinasinya. Seperti halnya Murray Bodo, Paul Meier pun sangat yakin bahwa daya khayal, daya imajinasi manusia bisa dengan satu dan lain cara menurut alur logikanya sendiri mengisi kekosongan dan keterputusan itu.

Nah dengan cara itu maka terangkailah kisah yang utuh dan indah mengenai Pontius Pilatus dalam dua jilid buku yang tebal. Sebagai contoh mengenai keterputusan dan kekaburan historis itu, misalnya ialah demikian: injil-injil dan sejarah Roma tidak memberi informasi sama sekali kepada kita bagaimana akhir dari karya Pontius Pilatus yang terlibat di dalam peristiwa dramatis sejarah, yaitu penyaliban Yesus Kristus itu. Jelas, di sana ada sebuah kekosongan informasi yang sangat besar. Paul Meier tidak membiarkan kekosongan itu menganga lebar, melainkan ia mencoba mengisinya dengan sebuah upaya kreatif yang menarik. Di dalam imajinasi Paul Meier diceritakan bahwa Pontius Pilatus akhirnya kembali ke Roma, dan saya kira itu sesuatu yang wajar saja, karena dia memang orang Roma. Itu sebuah logika yang wajar-wajar saja, mudik, kembali ke kampung asal setelah selesai melaksanakan tugas bakti bagi bangsa dan negara.

Tetapi tidak berhenti di sana. Setelah ia pension dari dinas pemerintahan dan kemiliteran Kekaisaran Roma, akhirnya ia menjadi seorang pengikut Yesus Kristus, menjadi seorang Kristianoi (Christianoi, Kis 11:26). Tetapi bagaimana hal itu mungkin terjadi? Menurut daya imajinasi Paul Meier, putusan itu bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba begitu saja. Melainkan hal itu terjadi melalui beberapa proses persiapan dan perjuangan serta pengalaman batin yang panjang. Mana saja tahap-tahap persiapan itu?

Kiranya di sini bisa disebutkan empat macam atau tahap persiapan personal historis yang dialami dan dilewati oleh Pontius Pilatus. Pertama, hal itu tampak dengan sangat kuat, sebagaimana dipersaksikan di dalam Kisah Sengsara di dalam Perjanjian Baru, dalam sikap dan keengganan Pontius Pilatus untuk menghukum Yesus. Keempat injil mencatat dengan jeli bahwa sesungguhnya Pilatus dengan caranya sendiri berusaha membebaskan Yesus dari ancaman hukuman. Bahkan ia juga beberapa kali menegaskan di hadapan orang banyak yang mabuk agama, bahwa orang ini sama sekali tidak bersalah. Kalaupun toh dia bersalah, ya salahnya tidak pantas untuk dijatuhi hukuman mati. Kedua, ada campur tangan sang isteri untuk tidak usah terlibat di dalam urusan orang itu. Konon campur tangan sang isteri itu didapat oleh sang isteri dari sebuah mimpi yang sangat mengganggu tidurnya. Mungkin karena itulah maka Pilatus secara harfiah meminta air dan mencuci tangannya dan kemudian juga secara public menyatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas darah orang ini. Terhadap pernyataan itu, orang-orang yang mabuk agama pun berteriak-teriak bahwa biarlah darah orang ini ditimpakan ke atas diri kami.

Ketiga, Pontius Pilatus pension setelah lewat beberapa tahun dari proses penyaliban ngeri itu di Yerusalem. Dan dalam rentang waktu beberapa tahun itu, berkembanglah sebuah keyakinan religious baru yang tersebar ke mana-mana, mulai dari Yerusalem hingga ke Yudea, dan Samaria dan akhirnya ke seluruh dunia, sebuah gerak sentrifugal yang sangat kuat dan dahsyat sekali. Pontius Pilatus pulang ke Roma dengan menempuh perjalanan darat mengikuti fasilitas jalan raya Roma. Nah di dalam perjalanan pulang itulah, betapa ia sangat terkejut bahwa cerita tentang tokoh Yesus itu sudah tersebar ke mana-mana ke seluruh “dunia” pada saat itu. nah cerita-cerita yang ia dengar tentang Yesus dalam perjalanan pulang ke Roma lewat jalan darat, juga ikut menentukan di dalam proses dia di Roma kelak untuk mengambil keputusan. Keempat, di dalam perjalanan itu ke Roma itu, konon Pontius Pilatus juga mengalami sebuah perjumpaan personal di suatu kota. Mungkin saja ia bertemu dengan Paulus di Antiokhia, yang memang telah dijadikan oleh Paulus sebagai base-camp bagi aktifitas misioner dan pewartaannya ke seluruh Asia Kecil dan juga akhirnya ke Eropa.

Saya harus menambahkan factor kelima (yang tidak ada di dalam buku Paul Meier). Factor kelima ialah, factor perjumpaan Pontius Pilatus sendiri dengan Yesus Kristus. Terkait dengan ini, kiranya injil Yohanes mempunyai bantuan yang sangat kuat. Di sana Yohanes mencatat sebuah proses pengadilan yang sangat intensif yang dilakukan oleh Pontius Pilatus atas Yesus. Dan Yohanes tidak lupa mencatat bahwa di dalam salah satu untaian proses pengadilan itu, Pontius Pilatus mengakhiri salah satu sesi tanya jawabnya dengan sebuah pertanyaan retoris yang sangat terkenal: apa itu kebenaran? Di dalam peristiwa pengadilan itu sendiri, tampak bahwa untuk sementara Pilatus tidak atau belum membutuhkan jawaban. Itu sebabnya Yohanes langsung pindah ke adegan selanjutnya. Tetapi saya dapat membayangkan bahwa betapa pertanyaan retoris yang menggantung itu, akan selalu mengganggu suara hati Pontius Pilatus: apa itu kebenaran? Siapa itu kebenaran? Di mana kebenaran itu dapat dijumpai?

Menurut Paul Meier, semua keempat poin itu ikut membantu dalam proses pertobatan Pontius Pilatus saat ia sudah tiba di Roma. Menarik sekali cara Paul Meier mengakhiri ceritanya di dalam buku itu. Pontius Pilatus sukses sebagai gubernur di Galilea, dank arena itu ia dengan kepala tegak bisa kembali ke Roma, dan di Roma ia menikmati masa pension yang enak dan nyaman sebagai seorang Kristiani, seorang pengikut Kristus di Roma. Luar biasa bukan?

 

Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci, Santo Hieronimus Keuskupan Bandung.


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...