Saturday, February 8, 2014

MEMAHAMI DAN MENIKMATI MAZMUR 104

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu mahamulia dan maha berjaya di atas para kerubim dan serafim dan di atas para bala tentara surgawi. Tetapi kita tidak dapat melihat kemuliaan Tuhan itu kecuali lewat beberapa kesaksian dari para nabi yang sempat terekam bagi kita sekarang ini dalam Kitab Suci. Misalnya seperti kisah visiun Yesaya (6) dan Yehezkiel (1-3). Namun demikian kita juga percaya bahwa kemuliaan Tuhan itu dapat dilihat dan dirasakan dalam dan melalui semua makhluk ciptaan-Nya yang ada dalam alam semesta ini. Bila kita memandang makhluk ciptaan Allah maka sebagai orang yang mempunyai kepekaan rohani tertentu (sensus religious), kita pun bisa merasakan bahwa kemuliaan Tuhan itu dapat terasa dalam dan melalui segala makhluk ciptaan Tuhan sendiri. Itulah yang dipentaskan dalam Mazmur 8 yang terkenal itu (yang sudah saya bahas dalam buku saya yang terdahulu, Berjalan Zig Zag Menuju Allah, Pustaka Nusatama, Yogyakarta, 2012). Hal seperti itu jugalah yang dibahas dalam Mazmur 104 ini. Itulah yang kelak di kemudian hari oleh Bonaventura disebut dengan ajaran exemplarisme-nya yang amat terkenal itu. Bonaventura sendiri pada gilirannya sangat diilhami oleh Agustinus dan Agustinus sendiri diilhami oleh Mazmur 8 dan pelbagai teks lain dalam Kitab Suci yang mementaskan kepekaan religious kosmis manusia beriman.

Namun sebelum melangkah lebih jauh, terlebih dahulu saya mau melihat beberapa hal teknis terkait dengan upaya penjelasan dan pemahaman akan Mazmur ini. Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu mencapai 35 ayat. Judul mazmur ini dengan sangat tepat meringkaskan seluruh isi mazmur itu: “Kebesaran Tuhan dalam segala ciptaan-Nya.” Untuk dapat menikmati dan memahami mazmur ini dengan baik saya akan membagi mazmur ini menjadi empat bagian besar. Bagian I mencakup ayat 1-9. Bagian II meliputi ayat 10-18. Bagian III meliputi ayat 19-30. Bagian IV meliputi ayat 31-35. Dalam bagian berikut di bawah ini saya akan segera mulai dengan melihat Bagian I.

Dalam Bagian I (ayat 1-9) ini si pemazmur mengawalinya dengan sebuah ajakan kepada dirinya sendiri untuk memuji dan memuliakan Tuhan. Perhatikanlah bahwa mazmur ini diakhiri juga dengan seruan yang sama yaitu pujilah Tuhan, yang akhirnya dalam bagian akhir ini dipertegas dengan pekik halleluya, Pujilah Tuhan (ayat 35). Dalam hal ini, mazmur 104 ini kurang lebih mirip dengan mazmur 103 yang terdahulu: diawali dan diakhiri dengan ajakan untuk memuji Tuhan (membentuk ayat pembingkai, inklusi). Tuhan itu dipuji dan dimuliakan karena keagungan karya ciptaan-Nya. Detail dari karya penciptaan itu dilukiskan dalam ayat 1-9. Jika diperhatikan dengan baik maka dalam bagian ini kita melihat bahwa perhatian si pemazmur sedang memandang ke atas yaitu ke karya Tuhan di bentangan langit dan cakrawala walaupun akhirnya ada juga kaitannya dengan bumi. Unsur kosmis seperti langit, air, awan disebut di sini, juga bumi dan air laut. Air itu terkesan ada di mana-mana, seperti dalam kitab Kejadian itu di mana air dikesankan ada di bawah dan di atas bumi (Kej.1:6-7); tetapi menarik sekali bahwa Tuhan mampu menetapkan batas-batasnya dengan baik sehingga bumi dan cakrawala itu tidak tenggelam oleh dan dalam air yang melimpah ruah itu.

Dalam bagian II (ayat 10-18), masih disinggung karya penyelenggaraan Allah atas semua makhluk hidup (ciptaan) yang ada di atas muka bumi. Unsur yang terpenting dalam totalitas proses pemeliharaan itu tidak lain adalah air. Jadi, air itu sangat penting, sangat vital, menyangkut hidup; air adalah kehidupan; maka ada ungkapan fons vitae, mata air ke-hidup-an. Memang tanpa air semua makhluk hidup bisa mati kehausan, kelaparan, dan kelemasan. Air itu yang memuaskan dahaga segala binatang, yang membuat mereka bersukacita lalu bisa bersiul-siul dan bernyanyi, yang bisa menumbuhkan rerumputan sehingga dapat menjadi makanan bagi hewan. Tetumbuhan juga menjadi makanan dan komoditas bagi manusia, juga menumbuhkan anggur yang membawa sukacita manusia. Pepohonan juga bertumbuh dan menjadi tinggi dan rimbun dan rindang sehingga bisa menjadi tempat yang aman bagi sarang burung untuk dapat meletakkan telur dan anak-anaknya. Tuhan jugalah yang menjadikan gunung sebagai tempat kediaman dan perlindungan bagi beberapa jenis binatang tertentu.

Dalam Bagian III (ayat 19-30), mata si pemazmur memandang lagi ke atas yaitu ke langit, lalu mulai mendaftarkan beberapa benda angkasa yang di sana sebagai ciptaan Tuhan. Misalnya, ia menyebut bulan dan matahari sebagai benda-benda langit yang menentukan waktu. Ada siang dan ada malam. Semuanya ada waktunya dan pada waktunya. Ada makhluk malam dan ada makhluk siang juga dengan jenis aktifitasnya sendiri-sendiri. Semuanya dengan jadwal aktifitas masing-masing. Si Pemazmur sadar betul akan kebijaksanaan Tuhan dalam karya penciptaan-Nya. Muka bumi penuh dengan ciptaan Tuhan. Laut juga demikian. Laut bahkan menjadi lalu lintas bagi kapal-kapal buatan manusia. Juga bagi pelbagai binatang laut raksasa seperti leviathan itu. Tetapi semuanya tidak serba kacau atau ngawur, melainkan semuanya menunggu giliran Tuhan memberi makanan bagi mereka tepat pada waktunya. Di sini muncul ide penciptaan dengan roh itu. Tuhan menciptakan dengan Roh-Nya. Tuhan juga membaharui segala sesuatu dengan daya kekuatan Roh-Nya: “Apabila Engkau mengirim Roh-Mu, mereka tercipta, dan Engkau membaharui muka bumi” (ay.30). Kelak di kemudian hari sepenggal ayat ini muncul dan bergema kembali dalam sebuah lagu liturgi pada masa Pentakosta: Veni Creator Spiritus, di mana salah satu ayatnya menyinggung mengenai karya penciptaan Roh yang mampu membaharui muka bumi.

Akhirnya dalam Bagian IV (ayat 31-35), si pemazmur sadar betul akan kemuliaan Tuhan dan membiarkan Tuhan itu tetap berada dan bertahta dalam kemuliaan-Nya. Ia hanya menegaskan kepada dirinya sendiri agar selalu memuji dan memuliakan Tuhan. Jangan sampai ia melupakan Tuhan dalam dan selama hidupnya di dunia ini. Hanya itu saja. Ia berharap agar kidung pujiannya bisa terdengar manis dan merdu di hadapan Tuhan sendiri. Serentak ia juga berharap agar orang-orang fasik segera lenyap dari muka bumi ini. Sebagaimana sudah dikatakan sebelumnya, mazmur ini, seperti pada bagian awalnya dimulai dengan hallel, maka sekarang pada bagian akhir juga diakhiri dengan Hallel. Kenyataan itu hanya mau menegaskan sebuah kebenaran berikut ini: bahwa hanya hal yang seperti itu saja yang pantas untuk dilakukan oleh umat manusia dalam dan selama hidupnya di dunia ini. Bukan yang lain, dan juga tidak boleh ada yang lain.


Dempol, pertengahan Oktober 2013
Fransiskus Borgias M


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...