Showing posts with label percikanrefleksikitabsuci. Show all posts
Showing posts with label percikanrefleksikitabsuci. Show all posts

Tuesday, May 26, 2020

KITAB 1MAKABE: SEKILAS CATATAN

Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung.




Kalau kita membolak-balik dan membaca kitab 1Makabe dengan teliti maka akan terasa sekali bahwa sesungguhnya rada sulit juga bagi kita untuk menemukan penyebutan nama Tuhan Allah dalam kitab 1Makabe tersebut. Mungkin hal itu terasa aneh, tetapi hal itu adalah suatu fakta yang jelas tidak terbantahkan juga. Banyak orang, atas dasar kenyataan tersebut, lalu menganggap bahwa kitab 1 Makabe itu hanyalah sebuah karya sastra keduniaan (sebuah sastra profan yang tidak ada kaitannya apa-apa dengan yang surgawi, yang adikodrati) belaka, tanpa suatu nilai keagamaan apa pun juga. Lebih jauh mereka juga tidak mau mengakui sifat inspiratif dari kitab itu. Artinya, kitab itu tidak berasal dari inspirasi ilahi, tidak turun dari ilham surgawi. Hal itu membawa akibat tertentu pada status kanonik kitab tadi. Yaitu akibatnya ialah bahwa kitab 1Makabe itu tidak lolos masuk daftar protokanon (kanon pertama). Ia hanya lolos dalam daftar deutero-kanon saja. Lumayanlah. Daripada tidak lolos masuk kanon sama sekali, walaupun deutero-kanon (kanon kedua). Sebab ada pihak yang sama sekali tidak mengakui kitab-kitab Deutero-kanonika tersebut.

Tetapi hendaknya selalu disadari oleh para pembaca nan budiman sekalian, bahwa walaupun tidak ada sebutan secara eksplisit nama-ilahi di dalam kitab itu, tetapi tidak bisa disangkal sama sekali bahwa ada rasa hormat yang luar biasa akan nama ilahi itu, sesuatu yang sangat biasa dalam jaman pasca-pembuangan. Jadi, kalau ada rasa hormat, maka rasa hormat itu mengandaikan ada yang dihormati, bukan? Jadi, adanya rasa hormat akan yang ilahi, kiranya sudah dengan sangat jelas memperlihatkan adanya kepercayaan akan yang ilahi itu. Sebab untuk apa ada rasa hormat, kalau yang dihormati itu tidak diyakini ada? Kira-kira begitulah jalan argumentasinya.

Tentu saja agar hal itu bisa diterima, maka ia harus dibuktikan. Cara pembuktiannya sederhana saja yaitu dengan menunjukkan beberapa contoh kongkret saja. Misalnya, rasa hormat itu tampak dalam beberapa gejala atau praktik berikut ini. Pertama, si penulis kitab 1Makabe itu memakai banyak paraphrase untuk Allah. Di sini bisa dikemukakan bebercapa contoh sebagai bukti pendukung: misalnya, ia memakai kata “surga/sorga” (hal itu tampak dalam beberapa teks berikut ini: 3:19: “Sebab bagi Sorga tiada bedanya menyelamatkan dengan perantaraan banyak orang…”; 4:10;40; 9:46; 12:15; 16:3: “Semoga bantuan dari Sorga selalu menyertai kamu”). Surga selalu berarti menunjuk suatu “tempat kediaman” Tuhan, entah bagaimana pun hal itu dibayangkan manusia dalam imajinasi keagamaan mereka (religious imagination of the faithful). Ataupun ia juga memakai kata ganti orang ketiga, “Dia” (hal itu antara lain tampak dalam beberapa teks-teks berikut ini: 2:61: “Belum pernahlah lemah barangsiapa percaya pada Tuhan (di dalam terjemahan kita dipakai kata Tuhan, seharusnya kata ganti orang ketiga “Dia”); 3:22: “Sorgalah (baca: Dialah) yang akan menggempur mereka di hadapan kita!”; 16:3).

Selain itu, para pahlawan yang dikisahkan dalam kitab 1Makabe ini pun, selalu berdoa sebelum mereka masuk ke dalam medan perang dan tentu saja hal itu mengandaikan bahwa mereka percaya pada kekuatan doa dan percaya kepada sang arah dan tujuan doa tersebut (hal itu misalnya tampak jelas dalam beberapa teks-teks berikut ini: 3:46-54: “Kemudian berserulah mereka ke Sorga dengan suara lantang…”; 4:10: “Nah sekarang, baiklah kita berseru kepada Sorga, semoga Tuhan (Dia) berkenan kepada kita dan ingat akan perjanjian dengan nenek moyang kita lalu pada hari ini juga menggempur bala yang di hadapan kita itu”; 7:37-38: “Rumah ini telah Kaupilih, supaya disebut menurut namaMu dan supaya menjaga rumah sembahyang dan doa bagi umat-Mu. Sudilah kiranya Kaubalas dendam kepada orang itu dan kepada bala tentaranya! Semoga mereka tewas karena pedang! Ingatlah kepada hujatan mereka dan jangan membiarkan mereka tetap hidup”; 9:46: “Maka dari itu menjeritlah sekarang kepada Sorga, supaya kamu diselamatkan dari tangan musuh kita!”; 11:71; 12:11).

Akhirnya, pengarang kitab itu juga berbicara tentang Allah sebagai sang penyelamat Israel (hal itu misalnya tampak jelas dalam beberapa teks berikut ini: 2:61; 3:10; 12:15: “Sebab kami telah mendapat bantuan dari Sorga yang datang membantu kami. Dan kamipun telah dibebaskan juga dari musuh kami yang direndahkan”; 16:3: “…Semoga bantuan dari Sorga selalu menyertai kamu!”). Dan kita semua sudah tahu dengan pasti bahwa doa selalu mengandaikan adanya iman dan harapan dan kasih akan Allah. Kalau orang berdoa, maka hal itu berarti orang percaya akan Allah. Tidak mungkin orang berdoa tanpa adanya sikap dasar percaya dan berharap tersebut.

Pengarang kitab 1Makabe juga tampak lebih menekankan elemen manusia daripada elemen ilahi di dalam sejarah; mungkin karena manusialah yang terlibat di dalam mengarungi gelombang dan dinamika sejarah itu sendiri. Walaupun ada penekanan seperti itu, adalah sangat jelas juga bahwa pengarang 1Makabe ini sangat dipengaruhi oleh satu kebenaran yang mendasar yaitu bahwa adalah Allah-lah yang menuntun perkembangan dan dinamika sejarah. Allah itu juga yang memutuskan dan menentukan perihal nasib dari umat Pilihan-Nya. Adalah satu hal yang sangat pasti tentang kitab ini. Yaitu bahwa melalui kitab ini sang penulis ingin membuat para pembacanya menjadi sangat terkesan akan kasih Allah, cinta akan bangsa, kesetiaan kepada hukum Taurat, dan keteguhan untuk mengabdi Allah, apapun dan bagaimanapun keadaannya. Semua nilai-nilai itulah yang ditunjukkan dan dihayati oleh para tokoh agung yang dikisahkan di dalam kitab ini.

Kalau dikatakan barusan bahwa pengarang menekankan rasa bakti kepada Allah, daripada kepada manusia, kiranya hal itu sangat jelas merupakan sikap antithesis orang Yahudi (para pemimpin yang sadar dan punya visi historis serta teologis tertentu) terhadap keangkuhan helenisme yang sangat bercorak antroposentris (berpusat pada manusia, menjadikan manusia sebagai pusat) itu. Nilai dan daya tarik yang kuat dan abadi dari kitab ini terletak di dalam ajakannya yang samar-samar namun kuat kepada para pembacanya, yaitu ajakan untuk menyamai bahkan bila perlu juga melampaui semangat, kegairahan, dan kelemah-lembutan dari para pahlawan Makabe ini sebagaimana yang sudah dibentangkan dengan sangat jelas dalam kitab ini.
Jadi, keagungan dan kesatriaan para pahlawan Makabe dikisahkan sedemikian rupa untuk dapat menjadi model bagi para pembacanya untuk dijadikan patokan dan teladan. Kalau bisa di dalam perilaku mereka, mereka berusaha menyamai idealisme para tokoh Makabe. Jauh lebih hebat lagi jika mereka bisa melampaui kehebatan para tokoh pahlawan Makabe tersebut. (NB: Hal ini sangat berbeda dengan kitab Esther, yang karena tidak ada sebutan nama YAHWEH sama sekali di dalamnya, maka diberi beberapa sisipan dan tambahan di sana sini; di dalam tambahan itulah ada nama Allah; dengan cara itu maka kitab itupun lalu memiliki nilai religious juga. Tanpa tambahan itu, maka kita Eshter adalah kitab roman percintaan dan perjuangan yang bersifat secular semata-mata).

Thursday, April 30, 2020

PEMAPARAN TEKS KEL 3:1-14

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
.



Teks Kel.3:1-14 selalu menarik perhatian banyak orang, baik pakar ataupun pembaca umum. Hal itu sudah berlangsung lama, dari dulu sampai sekarang dan melibatkan pakar baik dari kalangan Yahudi maupun Kristiani. Komentar dan tafsir atas teks itu pun sudah sangat banyak. Artikel yang ditulis secara khusus tentang teks ini juga sudah banyak di jurnal-jurnal teologi maupun khusus jurnal-jurnal Kitab Suci. Apa yang saya usahakan di sini hanya semacam upaya derivasi, referat, dalam rangka membeberkan apa yang saya baca dari pelbagai sumber hasil studi para ahli tentang hal itu. Baik itu hasil secara eksegetis murni maupun tafsir dalam kerangka pengembangan penafsiran teologis. Dalam posisi saya, saya lebih pada posisi pengembangan penafsiran teologis itu, dengan mengikuti pembacaan secara eksegetis yang diupayakan para ahli tafsir. Pembacaan saya ini adalah sebuah upaya sederhana dari saya dengan menimba dari beberapa sumber ahli teologi dan ahli tafsir. Sebagai langkah awal, saya membaca teks ini dalam konteksnya.

Mari kita melihat konteks historis yang sedikit lebih luas dari teks khusus ini. Setelah Yusuf menjadi pejabat tinggi di Mesir (ini sebuah nasib baik dari seorang pekerja imigran yang mungkin menjadi korban praktek human-trafficking pada jaman itu dulu), maka ia berdamai kembali dengan abang-abangnya lewat suatu proses penyingkapan yang dramatis dan penuh ketegangan. Setelah melewati semuanya itu, dan terutama setelah ia tahu bahwa sang ayah masih hidup, maka Yusuf pun mengundang seluruh keluarga ayahnya agar ikut bermigrasi dari Palestina (yang kering dan tandus dan terancam kelaparan) dan tinggal di Mesir yang subur dan mempunyai banyak lumbung beras, karena negeri itu mendapat sumber pengairan (irigasi) yang melimpah dari sungai Nil . Maka pindahlah Yakub dan seluruh keluaganya ke negeri Mesir yang makmur dan kaya itu. Karena mereka adalah kaumnya Yusuf, maka mereka pun diberi tempat istimewa di Mesir yaitu di sebuah daerah yang sangat subur yang bernama Gosyen. Setelah berdiam beberapa lama di sana, di daerah yang subur permai itu, maka orang Israel pun bertumbuh subur, berkembang biak dan menjadi sangat banyak dan makmur. Sementara itu, Yusuf sudah meninggal dunia.

Perkembang-biakan orang-orang Israel di tanah Mesir itu tentu saja sangat mencemaskan orang-orang Mesir itu sendiri. Mereka mulai takut karena jumlah mereka menjadi sangat banyak. Jangan sampai jumlah mereka melebih jumlah penduduk asli, orang Mesir. Hal itulah yang dicemaskan. Orang takut membayangkan terjadinya kemungkinan itu. Untuk menghambat perkembangan yang mencemaskan itu, maka dibuatlah sebuah kebijakan pembatasan dan pengendalian jumlah kependudukan baru (semacam program birth-control). Salah satunya ialah pembatasan jumlah anak laki-laki Israel. Oleh karena itu, setiap anak laki-laki yang lahir dari wanita Ibrani harus dibantai. Dan kita semua sudah tahu akan hal itu. Tetapi ternyata ada satu yang luput, yaitu Musa. Karena program pembatasan dan pengendalian kependudukan rupanya tidak begitu berhasil (mungkin banyak bayi “musa-musa” lain yang luput dari program pembantaian massal itu), maka dibuatlah sebuah program baru, yaitu semacam kerja-paksa. Orang-orang Israel dirintangi laju perkembangan jumlahnya dengan menjadikan mereka budak-budak kerja rodi. Diharapkan keletihan kerja rodi akan membuat mereka mengalami hambatan dalam berkembang biak. Tidak tanggung-tanggung, mereka menjadi budak untuk membangun sebuah kota yang hebat pada jaman itu.

Singkat cerita, orang-orang Israel menjadi budak dalam sebuah sistem roti atau kerja paksa di Mesir. Mereka yang tadinya diistimewakan karena termasuk keluarga Yusuf, kini ditindas karena penguasa Mesir yang baru sudah tidak lagi mengenal Yusuf. Kini mereka semua dipaksa masuk dalam sistem kerja rodi. Dan sejak saat itu hidup mereka sangat menderita karenanya, sebab aturan kerja rodi itu kian hari kian diperketat dan diperkeras tuntutan dan persyaratannya. Sebagaimana kita tahu, setelah Musa menjadi besar, ia melarikan diri dari Mesir dan pergi ke Midian dan di sana ia tinggal pada Yitro. Ia melarikan diri karena takut pada murka Firaun. Di Midian ia menjadi gembala ternak Yitro dan juga menjadi menantu Yitro karena Musa kawin dengan salah satu putri Yitro. Tetapi Musa tidak pernah melupakan nasib bangsanya yang tertindas di Mesir.
Di tengah-tengah tugasnya sehari-hari menjadi sebagai penggembala ternak, Tuhan menampakkan diri kepada Musa di Horeb dalam rupa semak bernyala tetapi tidak terbakar itu (the burning bushes). Tentu saja ini adalah suatu pemandangan yang sangat ajaib bagi Musa. Maka muncullah rasa ingin tahu (curiositas) dalam diri Musa. Karena itu Musa pun mencoba mendekati semak yang bernyala tetapi tidak terbakar itu. Pada saat ia datang mendekat, lalu terjadilah dialog antara Yahweh dan Musa. Ketika Musa mulai mendekati tempat itu, ia mendengar suara dari dalam nyala api yang berkobar-kobar, yang meminta dia agar ia menanggalkan kasutnya karena tempat itu kudus adanya. Kita semua tahu tentang adegan ini karena sering juga menjadi objek lukisan keagamaan (ikon suci).

Adapun bagian yang terpenting dari dialog itu ialah permohonan Musa akan nama Tuhan. Dan Musa bersikeras meminta agar Tuhan Allah memberitahukan namaNya. Dan akhirnya dari dalam semak terbakar permohonan Musa itu dijawab Allah dengan sebuah jawaban ajaib, jawaban yang penuh misteri: “ehyeh aser ehyeh.” Para penerjemah Yunani (LXX) menerjemahkannya menjadi “ego eimi ho oon.” (NETS: I am the One Who Is; Akulah Dia yang ada; Aku ada yang Aku ada). Sedangkan penerjemah Latin menerjemahkannya menjadi “ego sum qui sum”. Dalam terjemahan resmi kita ialah: AKU ADALAH AKU. Dalam Bahasa Inggris: I am who I am. Nama ajaib dalam bahasa Ibrani itu tidak lain adalah sebentuk paronomasia Ibrani, yaitu permainan kata-kata untuk nama. Kendati misteri dan ajaib, tetapi Musa tetap mencoba menangkap makna nama ilahi itu dan mengucapkannya dalam empat huruf suci, tetragramaton, YHWH, yang kita kenal hingga dewasa ini dan menjadi sangat terkenal dan kini kontroversial. (Bersambung)

Monday, March 4, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 3:6-11

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Penulis: Dosen Teologi Biblika FF-UNPAR Bandung, Anggota LBI dan ISBI.




Dalam Kitab Suci kita, perikope ini diberi judul “Iring-iringan mempelai”. Dalam buku-buku tafsir berbahasa Inggris, bagian ini diberi judul “Perarakan Perkawinan Salomo”. Jadi, penggalan teks ini berbicara tentang pesta perkawinan. Sesungguhnya kedua judul itu kurang lebih sama saja. Walaupun judul yang kedua terasa lebih eksplisit daripada yang pertama. Kita juga harus menyadari bahwa teks yang ada di sini merupakan sebuah penggalan puisi. Teks puitis ini terasa mencolok karena sang pembicara tidak bisa dikenal dengan baik. Maksudnya, tidak begitu jelas siapakah yang berbicara di sini, apakah si mempelai perempuan, ataukah kekasih pria, ataukah justru seorang yang lain. Saya cenderung untuk mengatakan bahwa yang berbicara di sini adalah orang lain yang menunjuk kepada Salomo dan kemudian mengajak kaum perempuan yang konon mau datang untuk menyongsong sang tamu ajaib tersebut. Terasa mencolok juga bahwa di dalam teks ini juga tidak ada dialog.

Dalam ayat 6-8 dan 9-10 kita dapat menemukan dua pelukisan. Pertama, pelukisan mengenai “tempat tidur” Salomo yang dibawa dengan suatu perarakan meriah dari arah padang gurun (ay 6-8). Tempat tidur itu sangat indah dan wangi (karena ditaburi wewangian, mur, kemenyan, serbuk wangi, ay 6-9). Iring-iringan itu dikawal oleh sepasukan pengawal profesional dan terlatih (ay.7-8). Karena yang dikawal itu adalah seorang raja, maka para pengawal itu membawa pedang. Lagipula mereka berjalan di waktu malam. Pelukisan ini dibalut dalam sebuah bentuk pertanyaan retoris. Pertanyaan yang serupa itu muncul lagi dalam Kid 8:5. Tetapi di sana, pertanyaan retoris itu terutama menyangkut sang perempuan, sang kekasih itu. Di sini pertanyaan retoris itu menyinggung mengenai perarakan para pengawal raja yang terdiri atas pasukan elit dan cerdas. Kedua, pelukisan mengenai tandu pengusung sang mempelai sendiri, yaitu Salomo. Bahan untuk tandu tersebut dibuat dari kayu pilihan yang diambil dari Libanon. Tidak hanya itu saja. Tiang-tiang pada tandu tersebut terbuat dari perak. Dan sandaran sang mempelai juga terbuat dari emas. Tempat duduk di dalam tandu tersebut berwarna ungu. Dan warna ungu sendiri memang merupakan warna yang melambangkan kebesaran (keagungan) dari sang raja itu sendiri. Lalu dikatakan bahwa bagian dalam dari tandu itu terbuat dari kayu arang.

Sejujurnya saya tidak begitu tahu apa itu kayu arang. Yang jelas, bukan terbuat dari kayu-kayu yang sudah menjadi arang, melainkan dari kayu-kayu yang kuat dan mahal sehingga orang sering memakainya untuk perhiasan interior entah rumah ataupun hal-hal lain. Dalam hal ini misalnya menghiasi bagian dalam dari tandu sang raja mulia. Perhatikanlah dengan baik bahwa dalam ayat 11 kita membaca adanya sebuah ajakan kepada para puteri Yerusalem untuk keluar dari rumah-rumah mereka dan sekalian juga diajak untuk menyaksikan sang baginda raja di dalam busana keagungannya sebagai seorang raja. Hal itu terutama sekali tampak dengan mahkota yang dikenakan padanya oleh sang ibundanya. Perlu diperhatikan bahwa, jika teks Kidung Agung ini pada umumnya dipandang sebagai sebuah teks yang keluar dari sebuah perayaan perkawinan, maka hendaknya disadari bahwa inilah satu-satunya dalam seluruh teks Kidung Agung yang menyinggung secara eksplisit mengenai pesta perkawinan. Artinya di tempat lain di dalam kitab ini kita tidak akan menemukan singgungan eksplisit tentang perkawinan itu. hanya ada di sini. Namun demikian, teks tentang perarakan perkawinan itu sangat kuat sehingga saya berpendapat bahwa teks itu bisa menggambarkan seluruh isi Kitab itu sendiri.


Taman Kopo Indah II Blok D4 No.40.

Saturday, February 9, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 3:1-6

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Biblika pada FF-UNPAR Bandung; Anggota LBI dan ISBI.




Dalam bagian sebelumnya tokoh kitab ini sudah berbicara tentang rembang petang (Kid 2:17). Sebentar lagi malam tiba. Keadaan malam hari itulah yang dilukiskan dalam bagian ini. Sudah tentu, ketika malam tiba, manusia beristirahat dan tidur di peraduannya. Tidur adalah berhenti sejenak dari semua aktifitas di siang hari. Tubuh memang butuh istirahat demi pemulihan. Tetapi di sini kita membaca bahwa pencarian sang kekasih (perempuan) akan sang kekasih prianya tidak juga berhenti. Badannya boleh beristirahat. Tetapi hatinya tidak. Ia terus mencari, merindu, dan mendamba. Juga di atas ranjang istirahat di malam hari, ia terus mencari jantung hatiku (Kid 3:1).

Tetapi sayangnya, ia belum menemukan yang dicarinya. Karena itu, pencarian dilanjutkan. Apakah ayat kedua ini harus dibaca secara harfiah, ataukah secara metaforis? Saya membacanya secara metaforis. Maksudnya ialah bahwa walaupun kini ia mau bangun dari tempat tidurnya dan pergi berjalan mencari sang kekasih yang dirindukannya, namun sesungguhnya yang dimaksudkan ialah perjalanan pencarian di dalam jiwa, di dalam hati, dalam kerinduan. Sesungguhnya badannya sudah sungguh beristirahat di tempat tidur, tetapi hatinya yang merindu dan mendamba tetap bangun dan berkeliling di kota, di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kota (ayat 2ab). Jadi, dalam pembacaan saya, ia tidak sungguh bangun di malam hari lalu melakukan perjalanan malam, melainkan ia melakukan upaya pencarian itu dalam gelora rindu dan damba.

Lagi-lagi upaya pencarian itu belum sampai pada tujuannya. Ia belum berhasil menemukan kekasih yang dicari dan didambakannya dengan sepenuh hati (ay 2c; ini merupakan ulangan dari bagian akhir ay 1). Memang hati manusia bisa “melanglang buana” jauh melampaui kemampuan badaninya yang dibatasi ruang dan waktu. Sebaliknya, hati dan budi manusia tidak terikat ruang dan waktu. Ia bisa “berjalan” melintasi batas-batas itu, baik ke masa silam maupun ke masa depan. Itulah keajaiban hati dan budi manusia.

Di dalam upacara pencarian di malam hari itu, ia membayangkan bertemu dengan para penjaga malam. Kepada mereka ia lontarkan pertanyaan pencarian. Tetapi tidak ada jawab yang mereka berikan (ay 3). Itulah sebabnya ia meninggalkan mereka. Ia merasa tidak perlu berlama-lama mencari informasi pada mereka yang tidak sanggup menjawab, memberikan jalan keluar. Lalu terjadilah keajaiban, terjadilah sebuah mukjizat.

Tidak lama setelah ia meninggalkan peronda malam yang tidak mampu menjawab pencariannya, ternyata ia menemui jantung hatinya. Ungkapan “jantung hati” adalah metafora mengenai kekasih. Itu adalah pertanda betapa mereka mempunyai hubungan yang sangat erat. Sang kekasih itu diibaratkan organ tubuh yang vital di dalam tubuh manusia, jantung-hati, heart, cor. Itulah pusat pikiran dan perasaan manusia. Karena itu saat ia menemukan kekasihnya, pasti ia merasa seperti menemukan dirinya sendiri, menemukan salah satu bagian inti dari dirinya sendiri. Betapa bahagianya dan menyenangkan perjumpaan seperti itu. Perjumpaan yang menghidupkan. Karena itu, ia memegang kekasihnya dan tidak dilepaskannya lagi (ay 4b). Ia membawanya kembali ke rumah ibunya, yang melahirkannya, bahkan sampai ke kamar kelahiran. Ia mau mengatakan betapa sang kekasih dan perjumpaan dengannya sangat penting dan karena itu ia ibaratkan sebagai awal mula kehidupan di dunia ini, yaitu kelahiran (ay 4bcd). Akhirnya, penggal teks ini ditutup dengan ayat ulangan yang sudah muncul sebelumnya yaitu dalam Kidung 2:7. Karena itu saya tidak mengulanginya di sini. Yang jelas, upaya pencarian itu berakhir dalam sebuah drama perjumpaan dan drama perjalanan kembali pulang ke tempat awal kehidupan itu dimulai, yaitu di rumah kelahiran, di kamar kelahiran.


Kopo, 09 Februari 2019

Monday, November 12, 2018

MENIKMATI KIDUNG AGUNG 1:7-17

Oleh: Fransiskus Borgias M.
(Dosen Biblika FF UNPAR Bandung; anggota LBI).


Kid 1:7-8: Kekasih, yang dalam ay 4 disebut “raja,” di sini disebut gembala dan “jantung hatiku” (bdk., 3:1-4). Si Kekasih (perempuan) berusaha mengetahui cara menemukan kekasihnya (pria). Ia bertanya di mana si kekasih (kakanda, gembala) menggembalakan dombanya di petang hari agar bisa menemaninya. Pertanyaan “di mana”, menandakan adanya motif pencarian. Ungkapan “jantung hatiku” menandakan betapa dalamnya cinta si Kekasih (perempuan). Ungkapan “teman-temanmu” (ay 7) hanya ada di sini dan 8:13. Kiranya sama dengan “para puteri” atau “gadis-gadis”. Bedanya, mereka tidak berbicara. Ay 8 agak susah dipahami. Di sini puteri itu berbicara kepada dirinya: jika engkau tak tahu (ay 8a). Ia menyebut diri “jelita di antara wanita-wanita” (bdk., 5:9; 6:1). Walau ayat ini dimulai dengan ungkapan kebingungan (dalam “jika engkau tak tahu” tadi), tetapi kita tahu bahwa kekasih perempuan itu tahu di mana harus mencari sang gembala, kekasih hati. Caranya mudah: ikutilah jejak-jejak domba (ay 8b), pasti engkau menemukan kekasih di sana. Bila sudah bertemu, tidak usah pergi jauh-jauh lagi, melainkan harus menggembalakan anak-anak kambingmu dekat perkemahan para gembala (ay 8c), agar selalu dekat dengan pujaan hati.

Kid 1:9-11: Dalam bagian ini kita mendengar kedua kekasih (laki-laki dan perempuan) saling memuji. Dalam bagian awal kita mendengar pujian mempelai pria kepada mempelai perempuan. Ia mengumpamakan kemolekan tubuh sang kekasih dengan kemolekan tubuh kuda betina dari kereta-kereta Firaun (ay 9). Ia memiliki pipi molek (ay 10) yang semakin molek karena aneka perhiasan. Lehernya jenjang menawan karena dihiasi kalung. Melihat semua keindahan itu, si kekasih pun seakan berjanji kepada dirinya bahwa dia akan membuat perhiasan dari emas dan manik-manik dari perak (ay 11) bagi sang kekasih, untuk menambah kemolekannya.

Kid 1:12-14: Di sini kita mendengar pujian mempelai perempuan untuk kekasihnya. Kita membayangkan bahwa kekasih perempuan mendekati kekasih yang duduk di mejanya (ay 12a); saat mendekati itulah ia merasakan aroma semerbak minyak wangi yang dipakai sang raja (ay 12b). Lalu terlontarlah sebuah ungkapan yang terkenal dalam sejarah tafsir mistik atas kalimat itu. Si perempuan mengumpamakan kekasihnya dengan sebungkus mur (sejenis damar harum; dulu dipakai sebagai minyak wangi; ay 13a). Itu adalah barang berharga mahal, karena barang import. Karena sangat berharga, maka mur itu ditempatkan di tempat paling istimewa, di antara buah dadaku (ay 13b). Kemudian ia mengibaratkan kekasihnya itu dengan setangkai bunga pacar (yang daunnya dipakai untuk mewarnai kuku) yang tumbuh di kebun Anggur di En Gedi (ay 14).

Kid 1:15-17: Pujian kekasih perempuan tadi mendapat balasan di sini. Kini yang bicara ialah kekasih pria. Ia mulai dengan memuji kecantikan sang kekasih. Dua kali ia menyebut kata cantik ditambah sebutan manis (ay 15). Agak sulit kita memahami metafora kuno di akhir ay 15 itu; ia mengumpamakan mata kekasihnya dengan merpati. Yang digambarkan ialah gerak bola mata sang kekasih yang lincah seperti merpati. Tetapi yang dimaksudkan ialah sesuatu yang positif, bukan mata liar atau jelalatan, tetapi bola mata yang lincah dan bening, cantik, indah. Dalam ayat 16 ia memakai kosa kata lain untuk memuji sang kekasih, yaitu tampan. Ketampannnya amat menarik. Ia membayangkan bahwa nanti kalau mereka seketiduran kekasih pria itu akan mengalami petiduran sejuk. Tidak panas, tidak gerah. Kekasih pria itu membayangkan rumah mereka terbuat dari kayu aras (kayu bermutu dari Libanon). Begitu juga dinding rumahnya terbuat dari kayu bermutu yaitu kayu eru (sejenis cemara, Casuarina equisetifolia). Ini juga import dari utara (Libanon yang subur, indah, permai).

Tuesday, August 25, 2009

TAFSIR KITAB SUCI: MENGEMBANGKAN CINTA KASIH

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Beberapa hari lalu seorang mantan mahasiswa saya muncul di wall facebook dan bertukar pikiran dengan saya mengenai beberapa hal yang terkait dengan aksi teroris yang belakang ini muncul kembali dan membuat kita waspada dan bahkan saling curiga. Ia muncul dengan pernyataan: terorisme yang terkait dengan agama biasanya diilhami teks-teks yang juga keras di dalam kitab suci agama-agama terkait. Ia mau mengatakan bahwa kitab suci mengajarkan teror dan membenarkannya kalau teror itu sudah terjadi. Karena itu, ia mengusulkan agar perlu ada gerakan bersama untuk menulis kembali semua kitab suci agama-agama dan dalam proses penulisan ulang itu, unsur yang penuh kekerasan, yang mengandung teror dibuang saja. Kita cukup menyimpan hal-hal yang baik. Benih teror dan kebencian harus dibuang. Citra Allah pembenci dan pendendam harus dikikis. Tentu ia mengusulkan hal itu dengan harapan bahwa perjalanan ke masa depan manusia akan menjadi lebih baik dan lebih ramah: orang tidak lagi menempa mata pedang dan tombak, melainkan pedang dan tombak yang ada ditempa menjadi bajak untuk mengolah ladang atau sawah. Terhadap usul itu, ia meminta tanggapan.

Tulisan ini merupakan upaya pengembangan lebih lanjut dari argumen yang saya ajukan di wall facebook itu, ditambah dengan beberapa insight dari buku Karen Armstrong yang tahun lalu saya terjemahkan untuk Mizan: Bible, A Biography. Tulisan ini juga dimaksudkan untuk meramaikan Bulan Kitab Suci Nasional, yang tahun ini kita rayakan dengan merenungkan kisah Yakub. Kalau kita baca kisah Yakub dengan baik dan penuh perhatian, akan tampak bahwa kisah itu memang penuh intrik, tipu muslihat, dan kekerasan, tetapi akhirnya semuanya bermuara ke rekonsiliasi. Rekonsiliasi itu bisa terjadi setelah ada campur tangan Tuhan dalam seluruh proses itu.

Inilah beberapa tanggapan spontan saya saat itu. Pertama, usul itu tidak mungkin dilakukan karena Teks Kitab Suci adalah kisah-kisah manusiawi. Karena itu, isinya bisa sangat realistik dan vulgar tentang fakta kemanusiaan, baik menyangkut segi positifnya, maupun negatifnya. Kedua, dalam tradisi Katolik, dikenal tiga tonggak penting yang harus berimbang dan dijaga keseimbangannya: Kitab Suci, Tradisi, Magisterium. Segala tendensi untuk menekankan sudut yang satu akan diimbangi sudut lain. Maksudnya, kalau orang cenderung menjadi kaku dengan prinsip “sola scriptura,” perlu disadarkan bahwa kita punya tradisi. Magisterium memainkan peranan penting di sini. Tentu Kitab Suci di atas segala-galanya. Tetapi karena ia lahir dari tradisi maka tradisi memainkan peranan yang tidak kecil. Tafsir kitab suci selalu memerlukan otoritas baik itu intelektual, maupun rohani dan organisatoris. Itulah Magisterium. Ketiga, sama sekali tidak ada jaminan bahwa setelah kitab suci ditulis kembali dengan mempercantik isinya, manusia akan menjadi semakin ramah terhadap satu sama lain. Sebab tendensi homo homini lupus manusia adalah kecenderungan kodrati. Ia sudah ada dalam diri manusia, jauh sebelum ada agama yang mencekokinya dengan pelbagai ajaran, positif maupun negatif. Jadi, tidak terjamin dengan pasti bahwa teror akan hilang kalau kitab suci ditulis ulang.

Karena itu, kita harus mencari cara pemahaman dan penjelasan lain. Itulah yang saya angkat dari beberapa butir ilham pemikiran Karen Armstrong. Salah satu pokok yang mau didalami Armstrong dalam bukunya ialah bagaimana cara menafsirkan kitab suci. Sebab kitab suci itu harus ditafsirkan agar bisa bermakna dalam hidup manusia. Berikut beberapa prinsip yang dapat dikemukakan di sini.

Pertama, tafsir kitab suci harus praxis-oriented, terarah kepada praksis. Tafsir kitab suci harus bermuara pada perbuatan, pada tingkah laku. Tafsir Kitab Suci yang baik, harus mampu mengubah hidup orang ke arah yang lebih baik secara sosial-etis. Tafsir jangan sampai hanya sebatas olah-rasional-intelektual-spekulatif belaka. Tafsir seperti ini tidak banyak gunanya. Ia hanya aktifitas melayang-layang saja. Kedua, tafsir kitab suci harus dilandasi oleh semangat kerendahan-hati, tidak sombong. Sikap rendah hati inilah yang merupakan salah satu sisi dari praxis-oriented. Praksis yang ditekankan di sini ialah sikap rendah hati. Studi yang kuat dan mendalam akan kitab suci harus bisa mengubah orang menjadi lebih rendah hati; kalau orang semakin rendah hati, maka ia akan semakin dekat dengan Tuhan dan sesama. Sebaliknya, kalau ia sombong, ia akan semakin dekat dengan setan dan konco-konconya.

Ketiga, erat terkait dengan poin yang kedua tadi, tafsir kitab suci juga harus bisa menyuburkan cinta kasih. Poin ketiga inilah yang ingin saya tekankan di sini, terutama dalam situasi cekaman dan ancaman teror sekarang ini. Sudah lama para ahli kitab mengatakan bahwa jangan sampai tafsir menjadi ajang atau medan untuk menabur dan menebar kebencian. Melainkan harus dibaktikan kepada upaya penyuburan cinta kasih, sebab cinta kasih itulah yang dapat menjadi prinsip hidup. Hidup tidak mungkin ada tanpa cinta kasih. Hidup selalu mengandaikan cinta kasih sebagai dasar dan prasyaratnya. Cinta kasih adalah conditio sine-qua-non bagi hidup manusia.

Keempat, sejarah ilmu tafsir mempunyai sikap rendah hati, yaitu rela mengakui bahwa tidak ada tafsir tunggal. Karena itu, orang tidak dapat mengklaim kebenaran mutlak dalam ilmu tafsir (hermeneutik). Sekali lagi, perlu dikatakan bahwa orang tidak dapat memonopoli tafsir itu. Sebab di antara para penafsir ada satu keyakinan abadi bahwa setiap penafsir yang siap dan kritis akan selalu bisa menggali satu segi atau dimensi baru. Sebab sungguh diyakini bahwa “Reading is a process of reproducing meaning; reading is a process of reconstructing meaning.” Itu tidak lain karena membaca selalu berarti menafsirkan dan membangun makna.

Maka marilah kita membaca dan membaca. Sehubungan dengan bulan Kitab Suci ini ada baiknya kita dengar Agustinus yang suatu saat mendengar kata-kata: Tolle, Lege. Ambillah dan Bacalah. Agustinus membaca Kitab Suci, dan di sana ia berjumpa dengan Kristus, persis seperti yang dikatakan temannya, Hieronimus, siapa yang tidak mengenal Kitab Suci, tidak mengenal Kristus. Marilah kita isi bulan ini dengan aktifitas membaca kitab suci dalam rangka semakin mengenal dan mencintai Yesus Kristus.

Sunday, November 30, 2008

SPIRITUALITAS IMAN AYUB

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm).[1]

Dalam Perjanjian Lama, Ayub terkenal sangat saleh (dua kali Allah mengakuinya, 1:8; 2:3) tetapi amat menderita. Sebuah kombinasi paradoksal yang menyakitkan bagi si subjek pengalaman. Sebuah masalah abadi manusia terutama yang beriman akan Allah monoteis. Penderitaan Ayub amat total. Dia berada dalam situasi batas daya kemampuan, di tepi batas eksistensi. Ia mengalami kebuntuan eksistensial. Empat relasi fundamental manusia buntu total. Keempat relasi itu ialah: relasi dengan Allah (dimensi teologis-vertikal), relasi dengan sesama, relasi dengan alam, relasi dengan diri sendiri (dimensi etis-kosmis-horizontal). Seakan bagi Ayub, tidak ada jalan keluar, no exit (Sartre).

Ada enam alasan untuk mengatakan bahwa derita Ayub sangat total serta menggoncangkan sendi dasar eksistensi, keyakinan iman dan moralnya. Derita Ayub adalah derita eksistensial. Pertama, ia kehilangan anak-anaknya dalam peristiwa dahsyat alam dan kebengisan manusia yang seakan merangsek struktur dasar bangunan kesalehan iman dan moralnya (1:18-19). Kedua, ia kehilangan hewannya, juga akibat peristiwa dahsyat alam dan kebengisan manusia yang seakan merangsek keyakinan moral-etis Ayub (1:16-17). Ketiga, ia kehilangan “property” (rumah) dan ladang juga akibat kedahsyatan yang sama (1:18-19). Keempat, ia “kehilangan” isterinya (2:9; ditulis dalam tanda kutip karena yang dimaksudkan bukan kehilangan secara jasmaniah atau meninggal melainkan kehilangan secara rohaniah dan imani). Akibat peristiwa beruntun seperti arus sungai yang mengalir tiada hentinya itu, sang isteri kehilangan imannya. Ia sulit lagi percaya pada Allah. Tragisnya, peristiwa kehilangan iman personal ini diusulkannya tanpa tedeng aling-aling sebagai jalan keluar bagi Ayub dari absurditas dan kebuntuan derita. Si isteri menyeret Ayub ke dalam kehilangan paling tragis hidup manusia: kehilangan iman akan Allah; kehilangan Allah, ateisme praktis (2:9). Allah telah mati, seperti deklarasi lantang Nietschze. Tetapi, Ayub tidak atau lebih tepat belum sampai di sana. Siapa tahu…..

Kelima, Ayub kehilangan kesehatan jasmaninya; seluruh tubuhnya kena borok (2:7-8; bdk Hamba Yahwe - Yes 53). Padahal kesehatan adalah modal untuk membangun hidup yang baik dan layak. Modal itu kini hilang. Kesehatan adalah modal untuk membangun rasa percaya dan harga diri dalam relasi sosial. Akibat kejelekan tampang jasmani, Ayub bahkan kehilangan hak-hak sosialnya yang paling mendasar (19:7). Sering orang menilai kesehatan sebagai pangkal kehormatan dan martabat diri. Kesehatan membuat orang tidak minder; orang bisa percaya diri karena sehat, optimistis memandang masa depan, dan menilai diri sendiri. Karena seluruh badannya terkena borok, maka tidak ada lagi yang bisa dibanggakan. Orang bahkan takut dan jijik memandangnya (19:12-19). Kaki kena borok, sehingga tidak bisa berdiri untuk menunjukkan eksistensi dan membuktikan keluasan daya jangkau optik-nya, suatu hal yang menurut paham antropologi filsafat, membedakan manusia dari binatang. Wajah terkena borok. Dia tidak bisa lagi menghadapi orang dengan percaya diri. Bahkan kulit kepala pun kena borok. Padahal kenyamanan tidur dan berbaring antara lain ditentukan oleh kenyamanan kulit kepala. Jadi, dalam tidur pun Ayub tidak mendapat kenyamanan; suatu yang hal yang sangat penting bagi kesehatan badan dan jiwa. Ayub pun terlemparlah dalam situasi awali: ke dalam kotak abu. Ini simbolisme betapa dia sudah tiba di ambang tapal batas perjalanan kembali ke asal-usul: debu dan abu. (Ada yang menafsirkan ini sebagai simbolisme adat ratapan Yahudi). Dia terlempar dalam keterasingan. Dia sendirian di sana (2:8).

Keenam, Ayub kehilangan sahabat (6; 19:19). Fungsi persahabatan ialah memberi hiburan rohani dan pastoral bagi sahabat yang menderita. A friend in need is a friend indeed. Kedatangan ketiga sahabatnya, justru tidak membuat Ayub mendapat keringanan beban psikologis-rohaniah. Kedatangan mereka justru mendatangkan beban baru. Menurut keyakinan Ayub, dirinya sama sekali tidak bersalah. Bahwa dia menderita, itu adalah tanda bahwa Allah keliru dalam memperlakukan dirinya; bagi Ayub, penderitaannya adalah bukti ketidak-adilan Allah dalam memerintah sejarah, kosmos dan anthropos. Menurut ketiga teman, derita Ayub adalah bukti mutlak bahwa dia berdosa. Penderitaan adalah hukuman yang hanya diberikan kepada pendosa. Karena itu Ayub pasti berdosa. Bahkan pendosa berat. Jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah rumit ini ialah bertobat. Dengan tobat masalah selesai. Dengan tobat tatanan yang benar akan terlaksana dengan sendirinya; itu yang akan mendatangkan hukumnya. Ayub merasa tidak mungkin bertobat, karena merasa tidak bersalah. Menyetujui tobat, berarti mengaku bahwa dia berdosa. Bahkan ketika Elifas mengartikan derita sebagai pendidikan dalam rangka membujuk Ayub agar melunakkan sikap moral-teologisnya, Ayub tetap tidak mau menerimanya, karena tujuan pendidikan ialah mengubah orang ke arah yang lebih baik. Mengubah, perubahan: metanoia. Nah, itu lagi. Jadi, Ayub tetap tidak mau. Jalan pun buntu.

Tetapi di hadapan kebuntuan eksistensial itu timbul pertanyaan: Apakah sama sekali tidak ada jalan keluar? Apakah No Exit itu final? Tidak! Sebab bagi Ayub terbentanglah empat jalan keluar yang dapat ditempuh entah dengan petunjuk orang lain atau dengan keputusan sendiri. Pertama, Ayub bisa menempuh jalan nausea (rasa muak) seperti diajukan Sartre: memandang hidup sebagai memuakkan, membosankan. Orang memuntahkan isi perutnya karena tidak betah hidup. Bosan hidup. Ujung jalan ini ialah bunuh diri karena putus-asa, tidak melihat lagi peluang dan fajar optimisme dan harapan dalam hidup ini. Ini jalan keluar yang pernah diusulkan A.Schopenhauer. Sebuah jalan salib melankolik, yang tidak mau ditelusuri sampai akhir, melainkan menyimpang ke luar dan mencari titik akhir segera. Ayub 3 adalah keluh kesah Ayub yang menyiratkan kemuakan terhadap hidup. Hidup itu memuakkan sehingga Ayub mengutuk hari lahirnya (3:3-16). Tetapi Ayub tidak mau menempuh jalan itu. Kendati muak, kendati pesimis, kendati mengalami melankoli kelam, dia segera keluar dari sana. Dia tidak menganggap hal itu sebagai jalan keluar yang layak.

Kedua, Ayub pun bisa menempuh jalan Ateisme seperti usul isterinya: “Masih bertekunkah kau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (2:9). Atas dasar ayat ini St.Agustinus dan Yohanes Calvin menyebut wanita sebagai organum Satanae dan diaboli adjutrix. Itu karena isteri Ayub menempuh jalan yang sama seperti Setan dalam Kej 3:1; di sini Setan membalikkan ucapan Tuhan dalam 2:16-17. Sama seperti manipulasi ucapan Allah oleh Setan, demikian juga isteri Ayub memanipulasi ucapan Allah dalam 2:3 sehingga menjadi terbaca seperti dalam 2:9. Jalan keluar yang diusulkan si isteri ialah jalan ateistik. Suatu via et vita atheistica. Ayub tidak mau menempuh hal itu. Dia condong kepada via et vita theistica bahkan aesthetica. Jauh di kemudian hari, ateisme yang timbul karena derita dan ketidak-adilan ada juga dalam A.Camus. Ia menolak Allah karena derita terutama derita orang yang tak bersalah. Dalam Sampar (La Peste) Camus yang mendramatisir ateisme ini. Camus tidak dapat mendamaikan warta tentang Allah yang mahabaik, mahakasih, dan mahaadil, dengan fakta derita-tragis manusia. Elie Wissel pun – dalam Malam – berada di ambang gerbang ateisme itu juga, ketika dia menghadapi absurditas kekejaman Nazi dengan kamp konsentrasinya. Dia merasa imannya akan Allah seperti yang diwahyukan Kitab Suci (mahabaik, mahaadil, mahakasih) telah “terbakar” dan hilang dalam asap hitam pekat yang keluar dari cerobong asap tungku pembakaran orang Yahudi. Masih cukup banyak kaum ateisme-praktis seperti itu hari-hari ini di sekitar kita, walau kehadiran mereka diam-diam. Jalan ini pun dengan tegas ditolak Ayub seperti tampak dari jawabannya kepada si isteri: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk? Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.” (2:10)

Ketiga, selain naussea dan ateisme, Ayub pun bisa menempuh dogmatisme teori pembalasan di bumi (retributive-theory). Teori ini mengatakan bahwa semua perbuatan baik manusia akan diberi pahala. Sedangkan perbuatan buruk akan diberi hukuman setimpal. Jalan dogmatisme ini dianut ketiga sahabat Ayub; juga dianut si pemuda Elihu (bab 32-37). Menurut mereka, penderitaan Ayub adalah bukti kejahatan Ayub; sekarang kejahatan (dosa) Ayub itu dihukum setimpal (bab 4, 8). Satu-satunya cara pemulihan dan keselamatan ialah tobat (bab 11, 15, 18, 20, 22, 25). Tetapi seperti sudah dikatakan di atas Ayub tidak dapat bertobat karena merasa tidak berdosa (bab 13, 16, 17). Toh kalau dia berdosa, dia menganggap hukuman itu melebihi dosanya. Bahwa dogmatisme teori ini juga dianut oleh Elihu, itulah pertanda bahwa kekakuan dan otomatisme teori seperti ini tidak hanya menghinggapi kaum tua saja, melainkan juga merasuki generasi muda. Fakta ini menjelaskan bahwa teori seperti ini tidak dapat diabaikan. Sebab dia dengan mudah dapat ditularkan kepada generasi yang akan datang dan dengan itu mudah dilestarikan juga. Ayub juga menolak jalan ini.

Dalam prolog Ayub (1-2) sudah ada sikap iman Ayub terhadap derita. Kedua jawaban itu merupakan jalan keluar bagi Ayub. Ketika ditimpa kemalangan pertama, yang dilakukan Ayub bukannya mengutuk Allah melainkan memuji Allah karena Dia bebas dalam kedaulatan ilahinya; tidak terpengaruh oleh kesalehan Ayub; kesalehan Ayub tidak dimaksudkan untuk menjalin relasi iman do-ut-des dengan Allah. Ketika ditimpa kemalangan kedua, Ayub tidak ikut-ikutan mengutuk Allah seperti si isteri. Tetapi kedua jawaban itu menjadi mentah kembali karena derita. Maka yang ditinjau lebih jauh ialah jalan seperti tampak dalam seluruh dialog yang bermuara pada teofani. Kalau ketiga jalan di atas tadi ditolak Ayub, maka dia mencoba menempuh jalan sendiri. Jalan yang dia tempuh, keempat, ialah pemberontakan. Di sini saya melihat Ayub mirip The Rebel dari K.Gibran. Bahkan dalam pemberontakan dan keluh kesahnya, sesekali Ayub menjadi bidaah, seperti The Heretics-nya K.Gibran. Jalan pemberontakan ini mudah sekali disalah-pahami; bisa diartikan secara negatif, sebagai subversif. Tentu yang dimaksudkan bukan hanya itu. Untuk mengatasi kemungkinan salah paham itu, maka di bawah ini saya menjelaskan apa isi jalan keempat yang ditempuh Ayub ini.

Pemberontakan bisa dipahami dalam arti yang sebenarnya. Ayub memberontak terhadap fakta dan situasi yang dialaminya. Dalam bahasa halusnya, Ayub “mengeluh” tentang situasi di sekitarnya dalam empat tahap keluhan: mengeluh tentang nasib malangnya, mengeluh tentang ketiga sahabatnya, mengeluh tentang Allah di hadapan ketiga Teman, dan akhirnya mengeluh langsung kepada Allah dalam ratap tangis yang menyayat hati. Dalam artian negatif, itulah makna jalan pemberontakan Ayub. Dengan memberontak dia melawan ketiga temannya. Dengan memberontak dia menyatakan perlawanannya terhadap jalan dogmatisme dan otomatisme teori pembalasan ketiga teman.

Jalan pemberontakan itupun dapat dipahami secara positif, sebagai upaya yang berani dan heroik untuk mencari pengalaman religius, pengalaman Allah, pengalaman estetis-mistik original. Lewat pemberontakan dia menerobos ke dalam kekelaman misteri Allah. Allah itu tidak serba terang. Allah juga serba gelap, serba misteri, terselubung. Allah itu bak tembok hitam, dingin, beku, dan bisu. Jadi, jalan pemberontakan Ayub ini adalah upaya yang oleh pemikir religius modern disebut sebagai upaya menemukan iman induktif (lawan dari iman deduktif yang ditawarkan dalam jalan ketiga, jalan dogmatisme teori pembalasan). Seakan Ayub berkata kepada diri sendiri, “aku mau menerobos misteri ini, supaya aku punya pengalaman pribadi dan orizinal akan dia, dan dengan itu aku punya dasar kokoh untuk berbicara tentang misteri itu.” Jalan pemberontakan itulah yang ditempuh Ayub dalam seluruh Kitab. Pemberontakan Ayub itu panjang dan melelahkan. Ada banyak tantangan. Saya berani berkata Ayub sesungguhnya sudah menjadi martir dari proses lika-liku pemberontakan itu.

Jalan pemberontakan itu memuncak dalam tantangan terakhir Ayub yang sangat berani, yang nekat mempersoalkan keadilan dan kemampuan Allah mengatur kosmos dan anthropos. Jalan itu bermuara dalam teofani dahsyat (Ayb 38). Lewat pemberontakan, Ayub sampai ke teofani. Di sana dia mengalami Allah secara langsung; pengalaman yang sangat personal dan orizinal, amat mengesankan dan sekaligus serba baru; baik dibandingkan dengan pengalaman Allahnya sendiri di masa silam, maupun pengalaman Allah kolektif bangsa Israel, maupun jika dibandingkan dengan jalan ateisme sang isteri dan dogmatisme ketiga sahabat. Kesan pengalaman baru itulah yang menjelaskan mengapa Ayub dalam teofani berani membagi seluruh hidupnya dalam dua tahap: pra dan pasca teofani. tonggak teofani adalah titik puncak tahap pertama sekaligus titik awal tahap kedua. Kata Ayub: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (42:5). Ayub berpindah dari sumber pengetahuan tangan kedua (kata orang), ke sumber pengetahuan tangan pertama (langsung; mataku sendiri).

Drama tragis pengalaman hidup Ayub menawarkan beberapa butir penting bagi hidup dan iman. Pertama, bahwa dalam kesulitan hidup dan iman orang tidak boleh dengan sangat mudah terjerumus dalam upaya mencari jalan serba-gampang. Ini amat mudah dilakukan; sebab toh jaman sudah menampilkan kultur dan mentalitas serba-instan. Kedua, dalam hidup dan iman pengalaman langsung dan personal amat penting. Pengalaman itulah yang menentukan mutu iman dan komitmen. Ini juga penting sebab iman adalah tanggapan personal. Dia tidak sekadar dogmatis belaka. Ketiga, jalan pemberontakan adalah juga jalan positif dan karena itu perlu diapresiasi. Pemberontakan adalah bukti transendensi manusia. Jadi, Ayub memberontak dan akhirnya bermuara pada iman. Iman seperti ini akan menjadi iman yang matang, dewasa, dan tenang, karena dicapai lewat jalan induktif, pencarian langsung dan personal. Sekali lagi: Ayub beriman dengan memberontak.



[1] Penulis: teolog FF-UNPAR Bandung; alumnus Katholieke Universiteit Nijmegen, the Netherlands.

Dimuat dalam Wacana Biblika, No.1, Thn.V, Januari-Maret 2005, hal.2-8.

Tuesday, November 4, 2008

MUSA DAN DRAMA EXODUS

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Tidak selamanya perputaran roda hidup manusia itu berada di atas. Sebab yang namanya juga roda berputar pastilah ada gilirannya. Ada giliran berada di atas, ada giliran berada di bawah. Kalau tidak demikian, pasti roda itu mandek, gembos, kempis, persegi, tidak bernyawa. Jadi, perputaran roda itu adalah tanda dinamika kehidupan. Perputaran roda hidup itu tampak juga dalam sejarah bangsa Israel sejak jaman para Bapa Bangsa, khususnya pasca Jakub.

Setelah jaman Yusuf berlalu di Mesir, mulai datanglah masa kesusahan bagi bani Yakub di Mesir. Mereka yang tadinya disambut dengan upacara istana-kerajaan dan ditempatkan di kabupaten yang paling makmur dan subur, sekarang ini justeru dianggap sebagai musuh, sebagai ancaman nasional. Maka mereka pun ditindas sejadi-jadinya dengan kerja rodi yang mengerikan. Di tengah konteks penderitaan seperti itulah Musa lahir dan muncul. Kalau kelak ia menjadi pemimpin besar, itu karena ia pernah dilahirkan. Maka menurut saya, pemimpin itu mula-mula dilahirkan (born) dan kemudian barulah dijadikan (made), atau lebih tepat dikondisikan oleh situasi tempat dan sejarahnya, dan pelbagai dinamika peristiwa. Semuanya itu terjadi pada Musa.

Kalau mau membahas teologi kitab Keluaran ini saya secara otomatis akan selalu teringat akan Joao Severino Croato, seorang ahli kitab dari Brasil. Sudah cukup lama saya mengenal beliau karena LBI sejak tahun 70-an sudah menerjemahkan karya-karya beliau ke dalam bahasa Indonesia (mungkin karena ada Pastor Vicente Kunrath dari Brasil yang membantu menerjemahkan karya beliau). Sekarang saya banyak menikmati karya dia dalam bahasa Inggris (yang diterjemahkan dari aslinya dalam bahasa Portugis). Salah satu insight yang sangat penting yang telah saya tarik dari orang ini adalah bahwa menurut tafsir dia, peristiwa dan pengalaman keluaran (exodus) merupakan foundational experience bagi orang-orang Israel. Itulah yang menjadi root metaphor bagi mereka. Dari foundational experience ini mereka tahu bahwa manusia haruslah bebas, manusia tidak boleh dibelenggu, tidak boleh diperbudak seperti binatang.

Tetapi mengapa demikian? Dalam alur tafsir historis Croato, alasan yang ia kemukakan ialah karena manusia itu adalah citra Allah. Menurut cara berpikir Croato, para penulis kitab Kejadian itu sesungguhnya menulis di atas dasar insight historis, teologis, dan humanis yang mereka peroleh dari peristiwa pembebasan dan keluaran. Memang dalam tata urut kanon kita sekarang ini kitab Kejadian ditempatkan sebagai yang pertama secara kronologis dan topologis, tetapi sesungguhnya secara ontologis dan teologis, seharusnya kitab Keluaran yang ditempatkan pada tempat pertama. Sebab insight dari pengalaman exodus itulah yang memungkinkan orang berbicara tentang martabat manusia sebagai citra Allah. Dan sebagai citra Allah ia harus bebas.

Ada perpsektif dan horizon tertentu dalam gerakan pembebasan itu: yaitu keluar dari kurungan perbudakan untuk menjadi manusia yang bebas, manusia merdeka sebagai anak-anak Allah. Dan itulah kebenaran hidup manusia, termasuk hidup Kristiani juga. Selain teringat akan Croato saya juga teringat akan Gerhard von Rad yang juga berteologi sangat indah dan dahsyat mengenai kitab keluaran ini.

Tentu kalau membaca kitab keluaran pasti kita akan bertemu dengan tokoh sentral di sana yaitu Musa. Kalau berbicara tentang Musa, maka saya teringat akan gunung Sinai dengan sepuluh perintah Allah itu. Kalau berbicara tentang sepuluh perintah Allah saya teringat akan Pater Adolf Heuken SJ yang menjadi dosen saya di STF Driyarkara dulu, untuk mata kuliah Moral Kristiani. Salah satu pokok yang ia bahas dalam rangkaian kuliah-kuliah dia adalah tentang 10 perintah Allah ini. Ia juga membahas tema-tema lain seperti kotbah di Bukit yang terkenal itu. Selain pater Heuken saya juga teringat akan Pater Bernhard Kiesser SJ, yang juga menerbitkan buku moral dasar yang tidak lain adalah pembahasan mengenai sepuluh perintah itu, sebab sepuluh perintah itulah yang dianggap sebagai moral dasar kita.

Selanjutnya kalau saya bicara tentang Musa saya juga teringat akan drama perjumpaan Musa dengan semak bernyala yang tidak terbakar itu, di mana Musa berkenalan dengan Tuhan dan di mana Musa berani meminta nama Tuhan, dan Tuhan menjawab juga dengan sebuah teka-teki: Aku adalah aku ada, ehyeh asyer ehyeh. Selanjutnya saya juga teringat akan perjuangan Musa menjadi pemimpin Israel yang tidak mudah, karena ia harus berbenturan dengan kekuasaan dan istana Firaun yang tidak mudah. Mereka tidak mudah dikalahkan dan diyakinkan selain dengan kuasa dan campur tangan ilahi, mulai dari tulah-tulah itu, sampai dengan pemusnahan total tentara Mesir dalam drama penyeberangan atau mungkin lebih baik pengepungan tipu muslihat di medan berlumpur tepian laut Merah. Dari sinilah para teolog pembebasan menimba ilham bagi gerakan pembebasan mereka dan dari sini juga mereka mengangkat sejumlah istilah teknis untuk teologi mereka: ada istilah teologi exodus, ada istilah teologi istana, ada istilah teologi kaum tersisih, teologi kaum tertindas. Semuanya itu dapat dengan mudah kita baca dalam buku-buku karangan para teolog pembebasan seperti Gustavo Guttierez, Leonardo Boff, Jon Sobrino, dll.

Saya teringat secara khusus akan Leonardo Boff. Pada tahun 1988 saya merasa tertarik dengan satu bukunya Jalan Salib, Jalan Keadilan. Saya menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia dengan judul di atas tadi, dari terjemahan Inggrisnya, Way of Cross Way of Justice. Dan Puji Tuhan, Kanisius menerbitkan buku itu pada tahun 1991. Itulah buku terjemahan saya yang pertama yang diterbitkan secara resmi. Berkat pengalaman itu semua, saya memang selalu merasa tertarik dengan teologi kitab keluaran ini.

Akhirnya, saya teringat lagi akan satu hal: yaitu drama kematian Musa. Ia tidak dijinkan menyeberang dan masuk ke tanah terjanji. Ia mati di gunung Nebo, seperti dikatakan dalam tradisi. Ia hanya boleh memandang tanah terjanji itu dari jauh dan tidak boleh masuk ke dalamnya. Tragis sekali. Ia yang memimpin keluar dari tanah mesir tetapi tidak boleh masuk ke tanah terjanji. Tetapi bukan itu yang lebih tragis bagi saya. Kita tidak tahu di mana Musa dikuburkan setelah ia mati. Tidak ada kuburnya. Apakah ia langsung diangkat ke surga sebagaimana diyakini oleh sementara orang? Ataukah kuburannya hilang dan dihilangkan begitu saja, sebagai sebuah upaya sistematis untuk menghilangkan dan mematikan tendensi kultus individu di kalangan anak manusia. Makam Musa tidak ada, maka tidak ada tempat ziarah Musa kecuali gunung Nebo dan Paus Yohanes Paulus II pernah ke sana dan mencoba memandang kea rah tanah Kanaan kira-kira seperti arah tatapan Musa dulu.

Bandung, 30 Oktober 2008

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)


Monday, November 3, 2008

SUKACITA FILIPI

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Salah satu surat Paulus yang paling sering saya baca dan juga paling saya sukai adalah surat kepada Jemaat di Filipi ini. Mungkin karena saya merasa seakan-akan berjumpa secara langsung dengan Paulus sendiri dalam dan ketika membaca surat itu. Sebab Paulus memang benar-benar tampil secara personal dalam suratnya ini. Penuh nada-nada indah dan keakraban, yang pasti sangat berbeda dengan nada-nada berat dalam surat kepada jemaat di Roma misalnya. Di sini Paulus seakan-akan mau membicarakan hal-hal yang sederhana saja tetapi benar-benar menyangkut struktur dasar hidup manusia sebagai seorang pengikut Yesus Kristus. Oleh karena itu, saya mau mencatat beberapa hal yang menarik ketika saya membaca surat ini untuk kesekian kalinya dalam hidup saya.

Pertama, saya langsung teringat akan Pater Tom Jacobs SJ, yang menjadi profesor saya di Seminari Tinggi Kentungan dulu, yang mengajar tentang surat-surat Paulus. Sejauh yang masih saya ingat beliau kurang begitu fokus pada surat Filipi ini. Ia lebih fokus pada surat kepada Roma, 1 dan 2 Korintus, dan Galatia. Mungkin karena ia mau memfokuskan paparan teologis beliau dengan terutama berangkat dari kitab-kitab tadi. Alhasil, seakan-akan drama di Efesus disepelekan. Tetapi hal itu tidak mematikan keinginan saya untuk membaca dan mendalami sesuatu tentang kitab ini.

Kedua, saya langsung merasakan adanya sesuatu yang sangat mencolok dalam surat ini. Apa yang saya maksudkan itu adalah bahwa dalam surat ini Paulus menyebut kata sukacita dan kata-kata yang terkait (misalnya, bersukacita, bergembira, dst), yang kalau dihitung ternyata muncul sebanyak lebih dari 15 kali dalam seluruh surat ini. Mungkin itulah sebabnya dalam tradisi ilmu tafsir sejak jaman para Bapa Gereja dulu, kitab ini dikenal dengan sebuah sebutan teknis: kitab sukacita, kita yang penuh dengan ajakan bersukacita. Ya, sebagai orang yang beriman, kita memang pantas untuk bersukacita di dalam Tuhan. Dan di dalam Tuhan, memang tidak ada lagi alasan untuk berdukacita, untuk menjadi murung. Sebab bukankah kita ini adalah orang yang sudah tertebus oleh darah mahamulia Yesus Kristus? Ingat bahwa salah satu kritik pedas Nietszche atas orang-orang Kristen ialah bahwa orang-orang Kristen itu banyak yang murung (mungkin di Eropa yah), seakan-akan tidak ada sama sekali efek warta gembira kebangkitan dalam hidup mereka.

Ketiga, dan ini sangat paradoksal dengan yang kedua, yaitu bahwa Paulus menulis surat ini dari penjara. Maka disebut sangat paradoksal. Walaupun Paulus berada di penjara, tetapi ia tetap mampu dan mau bersukacita, dan juga bisa mengajak orang lain juga untuk tetap bersukacita, tetap berpengharapan di dalam Tuhan. Itulah paradoks penghayatan iman dan pengharapan Paulus. Bagi Paulus, fakta penjara dan dipenjarakan sama sekali bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban fundamental untuk mewartakan Kristus. Bahkan ajaib sekali bahwa dalam kacamata Paulus, fakta pemenjaraan dirinya bisa juga menjadi media pewartaan. Sebab ketika sang pewarta ulung itu dipenjarakan, tentu saja semua dan banyak orang ingin tahu mengapa ia dipenjarakan. Dan jawabannya hanya satu: Paulus dipenjarakan karena nama Yesus Kristus. Jadi, jawaban singkat itu saja sudah merupakan warta Injil. Itu sebabnya juga Paulus sangat bersukacita walau dipenjara.

Keempat, barangkali kata kunci untuk dapat memahami semuanya ini ialah keyakinan dan pandangan Paulus sendiri, bahwa ia merasa sudah ditangkap oleh Kristus. Ia seakan-akan menjadi seorang buronon yang sudah tertangkap di tangan Yesus sendiri. Dan dalam keadaan terbelenggu di dalam Yesus, ia merasa bahwa seluruh hidupnya adalah hidup dalam Kristus, hidup untuk Kristus, seperti yang ia katakana sendiri kemudian: bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Kalau ia diberi kesempatan untuk hidup terus maka ia akan selalu mewartakan nama Yesus. Itulah arti dari ungkapan “hidup adalah Kristus.” Dan kalau toh ia harus mati karena aktifitas pewartaan itu, maka ia mengartikan peristiwa kematian itu sebagai kembali kepada Kristus dan bersatu padu dengan Dia di surga. Sebab seperti yang ia katakana di tempat lain, Kristuslah yang telah mendamaikan segala sesuatu dengan diriNya sendiri dan akhirnya dengan Allah juga.

Masih ada lagi satu hal yang perlu saya kemukakan di sini. Rupanya di Filipi ada para tokoh jemaat perempuan yang saling bertikai satu sama lain, walau tidak dijelaskan dengan persis apa yang menjadi pokok pertikaian mereka. Kedua tokoh perempuan itu adalah Sintike dan Euiodia. Dan untuk mendamaikan kedua orang itu, Paulus meminta pertolongan dari seseorang yang bernama Sunsugos. Dan motivasi pendamaian yang diprakarsai oleh Paulus itu tidak lain ialah cinta kasih dan persatuan di dalam Tuhan semata-mata, dan tidak ada alasan lain. Paulus juga tidak mau mencari alasan lain, tidak mau menyalahkan salah satu pihak. Melainkan ia merangkul kedua belah pihak dan ia mendorong agar kedua pihak yang bertikai mau dan sudi mengembalikan persoalan mereka ke dalam tangan Tuhan sendiri. Mungkin kearifan Mazmur itu penting selalu diingat di sini dan dalam konteks ini: Ke dalam tanganmu, kuserahkan diriku ya Tuhan penyelamatku. Atau perkataan Yesus dalam injil Mateus: Datanglah kepadaKu kamu semua yang berletih-lesu dan berbeban berat, Akan memberikan kelegaan kepadaMu. Selama kita memikul sendiri beban kita, maka kita akan merasa tertekan, dan relasi dengan orang lain pun bisa menjadi rusak karena kita tidak dapat memancarkan kasih persaudaraan melalui roman muka kita. Bagaimana mungkin kita bisa memancarkan kasih itu lewat roman muka kita kalau kita tertekan oleb beban hidup. Maka serahkan saja semuanya pada Yesus, seperti kata sepenggal syair sebuah lagu pop-rohani.

Bandung, 30 Oktober 2008

Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


REFREIN KESIA-SIAAN SI PENGKOTBAH

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Kitab Pengkotbah, Qoheleth, siapa yang tidak mengenalnya? Orang-orang beriman harus membaca kitab ini, tidak hanya sekali melainkan berkali-kali dan bahkan harus terus menerus membacanya. Mengapa? Karena memang kitab ini sangat menarik. Ada suatu perspektif unik yang dibentangkannya dengan amat jujur, polos dan berani mengenai realitas kehidupan. Saya sendiri sudah membaca kitab ini berkali-kali. Sudah tidak terhitung lagi. Baik sejak masih kecil dulu, juga di seminari kecil, maupun ketika mulai mempelajari kitab suci dan ilmu tafsir khususnya tafsir sastra Hikmat Perjanjian Lama.

Saya semakin intensif lagi membacanya ketika pada awal tahun 90-an saya dipercayai dan direkomendasi oleh mantan professor saya (Prof.Martin Harun OFM dan Prof.Cletus Groenen OFM) untuk mengajarkan sastra Hikmat Kebijaksanaan itu kepada para mahasiswa di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Bahkan itulah salah satu kitab yang paling sering saya baca di antara kitab-kitab sastra Hikmat ketika mempersiapkan bahan-bahan kuliah itu, karena jalan pikirannya yang menurut saya cukup unik untuk tidak sampai dikatakan rumit.

Terus terang saja saya sangat tertarik dengan kitab ini karena beberapa factor berikut ini. Pertama, karena sebuah refreinnya yang sangat terkenal, dan mengandung nada “pesimistis” tetapi juga mungkin sangat jujur dan realistis, polos dan menembus pelbagai benteng kepalsuan dan keangkuhan dan juga nafsu-nafsu bejat manusia. Simak saja apa katanya ini: Sia-sia, segala sesuatu adalah sia-sia. Ia mengulangi refrain itu hampir dalam seluruh bagian kitabnya. Ya, kalau segala sesuatu adalah sia-sia, lalu mau apalagi dengan hidup ini? Tetapi tunggu dulu. Refrein itu diucapkan oleh si Pengkotbah sebagai puncak dari pencarian, bukan di awal pencarian, sehingga refrain itu tidak pernah boleh dipakai sebagai pemaaf untuk kemalasan, untuk keengganan mencari.

Kedua, saya juga merasa sangat tertarik dengan kitab ini karena dalam salah satu babnya ia berbicara tentang kenyataan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya dan serba pada waktunya. Ungkapan ini memunculkan sebuah percik hikmat dalam diri saya untuk bisa bersabar dalam alur perjalanan waktu. Tidak usah tergesa-gesa, biarkan segala sesuatu mengalir begitu saja, apa adanya. Tanpa ada yang memaksa, yang mendorong sehingga menjadi rusuh dan onar. Semuanya ada waktunya: ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut apa yang ditanam…..dst. Dan di puncak refleksi mengenai waktu ini ia mengatakan seakan-akan sebagai sebuah mahkota refleksi bahwa Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Ya, Tuhan yang menguasai waktu, bukan manusia. Manusia cukup pasrah saja pada si sang empunya waktu, penguasa sejarah, Alpha kai Omega.

Ketiga, saya juga tertarik dengan salah satu ucapannya yang terkenal yang sering dikutip orang di mana-mana bahwa “tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Mungkin tidak seluruhnya benar apa yang dikatakan oleh dia ini. Tetapi, bagi saya tetap ada maknanya apa yang ia katakan: ia mau mengikis habis nafsu kesombongan dalam diri manusia, nafsu mengklaim hak, nafsu mengklaim segala sesuatu yang baru, nafsu menegaskan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Ya, tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Apa yang sudah pernah dibuat akan dibuat lagi. Sungai mengalir ke laut, ke mana sungai mengalir ke situlah ia mengalir, dan laut tidak pernah menjadi penuh juga.

Keempat, saya juga tertarik dengan kitab ini karena nasihatnya bagi kaum muda. Dan nasihat ini terasa sangat paradoksal. Walaupun kitab ini seakan-akan terkesan sebuah kitab yang “tidak beriman” tetapi sesungguhnya “takut akan Tuhan” juga menjadi obsesi kitab ini sebagaimana halnya ia menjadi obsesi dari kitab-kitab Hikmat yang lain, seperti Amsal dan Mazmur misalnya. Kitab ini menasihatkan agar kaum muda, dalam gejolak dan gairah hidup masa mudanya jangan sampai melupakan Tuhan. Maka ia berseru dengan lantang: Ingatlah Tuhan pada masa mudamu, sebelum tiba saat yang kau katakan……

Ya dengan sengaja saya tidak mau meneruskan dulu kutipan itu, karena di sini saya tiba-tiba teringat akan Pater Cletus Groenen OFM. Kurang-lebih enam tahun sebelum ia meninggal (ia wafat pada April 1994, itu berarti tahun 1988) beliau menulis sebuah artikel dalam majalah Rohani edisi November. Sebagaimana diketahui, bulan November dalam tradisi liturgis gereja Katolik adalah saat di mana orang diberi kesempatan untuk merenungkan masa akhir hidupnya, masa senja usia (mungkin karena saat itu kita merenungkan arwah kaum beriman, tanggal 2 November). Pater Cletus memang berbicara tentang kaum religius dan usia senja tetapi apa yang ia katakan sangat tepat mengena untuk semua manusia, juga yang bukan religius.

Pater Cletus mengakhiri tulisannya itu dengan mengutip dari kitab pengkotbah: Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: “Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!”, sebelum matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap, dan awan-awan datang kembali sesudah hujan, pada waktu penjaga-penjaga rumah gemetar, dan orang-orang kuat membungkuk, dan perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya, dan yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur, dan pintu-pintu di tepi jalan tertutup, dan bunyi penggilingan menjadi lemah, dan suara menjadi seperti kicauan burung, dan semua penyanyi perempuan tunduk, juga orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan, pohon badam berbunga, belalang menyeret dirinya dengan susah payah dan nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi – karena manusia pergi ke rumahnya yang kekal dan peratap-peratap berkeliaran di jalan, sebelum rantai perak diputuskan dan pelita emas dipecahkan, sebelum tempayan dihancurkan dekat mata air dan roda timba dirusakkan di atas sumur, dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.”

Ya, ini sebuah kutipan yang sangat eksistensial, sangat realistik, jujur, polos dan apa adanya, walau terus terang juga menimbulkan rasa ciut di dalam hati.

Bandung, 30 Oktober 2008

Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


Thursday, October 30, 2008

KIDUNG AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Kalau membaca kitab Kidung Agung saya selalu langsung teringat akan dua orang dosen saya dulu. Pertama saya langsung teringat akan Pater Cletus Groenen OFM. Dalam pelajaran yang ia berikan pada masa novisiat dulu di Yogyakarta, ia menerangkan mengenai beberapa persoalan pengantar dalam Kitab Suci dan teologi Perjanjian Lama. Salah satu hal yang ia ungkapkan ialah mengenai problematik kitab Kidung Agung ini. Dengan suaranya yang rada sengau (suara seakan-akan keluar dari hidung) dan agak kecil dan serba tertahan-tahan itu, saya masih ingat dengan sangat baik, ia mengatakan bahwa kitab Kidung Agung itu adalah kitab porno, bahkan kitab paling porno. Dan itu memang betul. Kalau tidak percaya, coba saja anda baca sendiri. Nanti anda akan tahu bahwa di sana disebutkan dengan sangat gamblang mengenai buah dada perempuan, mengenai leher perempuan yang jenjang, mengenai betis perempuan, bahkan mengenai pusar perempuan.

Tetapi….. bagaimana bisa bahwa kitab yang porno itu, atau kalau mau memakai bahasa kita sekarang ini, kitab yang penuh dengan pornografi dan pornoaksi itu, dapat lolos masuk ke dalam kanon Kitab Suci? Itulah yang menjadi soal? Tetapi rupanya yang dilihat orang ketika membaca kitab itu bukanlah hal-hal fisik, buah dada, leher, dagu, alis mata, betis, pusar, melainkan sesuatu yang lebih mendalam, yaitu nada-nada dan gairah cinta. Ini adalah madah kasih, madah cinta yang mengagungkan cinta tulus murni antar manusia. Ya tidak ada yang salah dengan cinta yang tumbuh di antara manusia itu. Cinta itu datang dari Tuhan sendiri. Tuhanlah yang membangkitkan cinta dalam diri manusia. Gairah cinta itulah yang kemudian dipakai dan dipahami sebagai analogi dan metafor relasi cinta, hasrat, harap, dan kerinduan manusia akan Allah. Ya cinta itu kuat seperti maut kata Paulus di suatu tempat.

Cinta manusia akan Allah pun harus segairah seperti itu, tidak mati angin, tidak lembam, tidak suam-suam kuku, sebab kalau hanya suam-suam kuku maka akan dimuntahkan. Cinta itu harus penuh gairah mencari dan mencari, mendekati dan meraih, merengkuh, walau tiada pernah utuh terengkuh. Sebab selalu berjarak.

Kebanyakan ilmuwan tafsir dalam sejarah gereja memahami kitab ini secara alegoris. Itulah ilmu tafsir yang berkembang sejak Filo, Origenes, Agustinus, Hieronimus, dan terutama Bernardus dari Clairvaux, dst., dan terus bertahan juga hingga dewasa ini. Berkat alegori itulah, ketika orang membaca gejolak rindu para kekasih di sana, orang tidak terpikir hanya semata-mata akan kekasih duniawi ini melainkan juga dan barangkali terutama akan kekasih surgawi. Itulah patokan cara baca yang benar yang digariskan oleh para Bapa gereja dan para rabi Yahudi.

Orang kedua yang serentak saya ingat ialah Pastor Wim van der Weijden MSF. Beliau adalah dosen saya untuk sastra Hikmat dan nabi-nabi di seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta dulu. Orang inilah yang secara paling kuat menanamkan tafsir alegoris dan metaforis akan kitab ini ke dalam hati saya. Saya masih ingat dengan sangat baik mimik mukanya yang malu-malu dan seperti rada skrupelous ketika menyebut buah dada. Ya saya bisa mengerti, mungkin karena dia pastor. Dalam bukunya Seni Hidup (Kanisius: 1995) ia membeberkan beberapa tafsir mengenai buah dada. Salah satu tafsir ialah bahwa menurut para rabi Yahudi, dua buah dada itu ialah dua gundukan yang ditimbulkan oleh selubung kain penutup tabut perjanjian dengan kayu pemikul tabut itu. Ketika melihat dua gundukan itu, orang langsung ingat bahwa di tengah gundukan itu ada tabut perjanjian, tempat berpijak kaki YHWH. Ada juga yang menafsirkan dua buah dada itu sebagai dua wilayah kerajaan Israel pada masa Daud dan Salomo, yaitu Yudea dan Samaria. Di tengah-tengah wilayah itu ada Yerusalem dengan bukit Zion yang mempunyai kedudukan dan arti sangat penting dalam kenangan dan imajinasi religius orang Isarel.

Seakan-akan mengikuti tafsir seperti itu, para bapa gereja di kemudian hari mengatakan bahwa dua gundukan buah dada itu adalah dua perjanjian: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Inti Perjanjian Baru adalah totalitas peristiwa Kristus.

Terus terang semua tafsir itu sangat indah dan menarik. Sama sekali tidak mengandung asosiasi pornografi dan pornoaksi. Sekarang ini, kita di Indonesia sedang gencar-gencarnya membicarakan tentang RUU pornografi dan pornoaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui agar RUU itu dijadikan UU. Yang menolak hanya PDIP dan PDS. Kalau RUU itu menjadi UU maka mungkin inilah terakhir kalinya kita akan bisa membaca kitab itu, sebab kitab yang vulgar itu akan dengan sangat mudah dipakai oleh massa bringas untuk mencap pelaku pornografi dan pornoaksi, justru di ranah-ranah suci dan ilahi lagi. Bukankah itu jorok? Tetapi mereka yang berpandangan demikian, adalah orang porno itu sendiri. Seksualitas adalah sesuatu yang suci, mulia, kudus. Kita dapat memuliakan Tuhan juga dengan tubuh kita dan dengan daya seksualitas kita. Tuhan tidak menjadi jauh karena tubuh dan karena seksualitas kita. Tuhan malah sangat dekat. Mungkin kita bisa lebih memahami Tuhan lewat misteri-misteri tubuh dan seksualitas kita. (Hari ini, 31 Oktober saya baca di koran-koran bahwa RUU pornografi dan pornoaksi sudah menjadi UU. Boleh jadi, apa yang saya takutkan di atas akan menjadi kenyataan; juga untuk saya yang menulis dalam blog ini).


Bandung, 30 Oktober 2008

Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


Wednesday, October 29, 2008

RUT

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Saya sudah berkali-kali membaca kitab Rut karena menurut saya kitab itu adalah salah satu kitab yang sangat menarik dalam Perjanjian Lama. Saya tidak pernah merasa bosan membaca dan membaca kembali (re-legere, menarik bahwa kata religio dalam bahasa Latin mempunyai kaitan asal-usul akar kata dengan kata re-legere ini) kitab itu. Ada banyak sekali aspek yang bisa diberikan sebagai bukti daya tarik kitab itu. Saya mau men-sharing-kan beberapa di antaranya dalam tulisan singat dan sederhana ini.

Pertama, saya tertarik dengan penerapan etika ladang yang diterapkan dengan sangat baik oleh si Boas, yang memerintahkan kepada para pekerjanya agar dengan sengaja membiarkan bulir-bulir gandum tidak dipanen sampai bersih agar si Ruth yang memungut di belakang bersama-sama burung-burung di udara yang juga mempunyai hak mereka di ladang (sebagai mensa communis naturalis) itu, masih bisa mendapatkan sesuatu untuk dibawa pulang. Saya langsung teringat akan kakek saya dulu di kampung yang juga mengajarkan hal yang sama kepada saya ketika sebagai anak kecil saya ikut memanen padi di sawah. Dalam bahasa Manggarai, disebut woja ligot (padi pungutan). Juga disebut woja sapang, artinya padi rebutan karena memang direbut dulu-duluan antara orang miskin dan burung-burung pipit. Itu dimaksudkan untuk para janda, orang miskin dan kaum yatim piatu.

Kedua, saya tertarik akan sikap ngotot Rut yang meminta kepada Naomi (sang ibu mertua) agar sudi diijinkan mengikuti dia kembali ke Betlehem. Dan terkenallah lagu-puisi dari Rut yang diucapkannya kepada Naomi. Sedemikian indahnya, sampai puisi itu menjadi ilham bagi banyak penyair, pelukis, pengarang lagu untuk mengangkat teks itu sebagai syair dalam lagu mereka. Salah satunya yang saya ingat ialah sbb: Where ever you go I shall go, where ever you live so shall I live, your people will be my people, and your God will be my God too. Sayang saya tidak bisa menampakkan indahnya nada-nada lagu karangan para rahib Benediktin itu dalam tulisan ini. Inilah keterbatasan tulisan, tidak bisa memuat getar-getar nada, betapa pun nada-nada itu indah.

Ketiga, saya juga sangat tertarik akan ketegaran seorang Naomi, sang ibu mertua, yang dengan heroik melewati pelbagai cobaan hidup yang berat: mulai dari bencana kelaparan yang menimpa keluarga Naomi di Betlehem yang menyebabkan mereka sekeluarga mengungsi (menjadi migran dan perantau) ke tanah Edom (yang terletak di seberang Yordan), hingga ke peristiwa tragis wafatnya sang suami tercinta (Elimelekh), dan wafatnya juga kedua putra tercinta (Mahlon dan Kilyon) tanpa meninggalkan anak (keturunan), malahan justru meninggalkan beban dua orang janda muda (Ruth dan Orpa). Tetapi Naomi menghadapi semuanya itu dengan sangat tenang. Hampir tidak terasa nada-nada keluh kesah yang keluar dari perempuan perkasa ini, sosok mulier fortis yang dipuja-puja dalam Amsal 31 itu. Seakan-akan ada sebuah perpsektif atau horizon yang membentang, yang entah bagaimana bisa membuat dia tidak terhimpit oleh beban hidup yang datang bertubi-tubi. Ya, memang penting itu sebuah perspektif, sebuah horizon, sebuah cakupan jarak pandang, agar orang tidak menjadi sumpek terkurung dan mati lemas karena sempitnya cakrawala pandangan.

Tetapi setiap kali saya membaca kitab ini dalam Alkitab saya yang sudah penuh dengan coretan dan garis bawah, penuh dengan catatan pinggir, penuh catatan kaki, penuh stabilo, penuh tanda bintang, tanda seru, tanda panah, dan bahkan juga tanda tanya, saya langsung teringat akan teman saya yang kini bekerja sebagai staf ahli di Departemen Terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia. Nama teman saya itu ialah Hortensius Florimond Mandaru (Dulu ada embel-embel OFM di belakang namanya, tetapi kini dalam perjalanan waktu embel-embel itu dilepaskan, mungkin karena terlalu capek memakainya, atau mungkin karena terlalu berat untuk disandang, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu).

Dalam sebuah kesempatan pelatihan untuk proyek Hand Book di Bogor beberapa tahun silam, ia didaulat untuk membuka pertemuan kami dengan doa dan renungan kitab suci. Kebetulan teks yang diangkat sebagai bahan latihan bersama dalam proyek itu ialah kitab Rut. Ia membawakan renungan itu dengan sangat baik. Ia memadukan kemampuan exegese yang tepat dan cara penyampaian homili yang indah pula. Seakan-akan saya baru mengenal kembali teman saya itu dengan kemampuannya yang khas itu. Ia langsung fokus pada Rut 1 saja. Dalam kotbahnya itu ia menggaris-bawahi satu hal ini: Bahwa Allah berkarya dalam realitas hidup manusia yang serba sehari-hari, serba biasa, serba sederhana, sangat sepele. Allah berkarya dalam kelaparan, dalam pengungsian, dalam rasa kehampaan yang dialami Naomi karena merasa tidak mempunyai masa depan kalau tidak ada Go’el yang bangkit menolong dia. Memang sangat menarik bahwa Betlehem yang artinya rumah roti, mengalami musibah, yaitu ditimpa kelaparan. Bagaimana mungkin Rumah Roti bisa kelaparan. Tetapi itulah yang terjadi. Ketika rumah roti itu kosong maka ditinggalkan. Tetapi kemudian Naomi dan Rut kembali ke rumah roti itu ketika sudah ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kekosongan hidup Naomi akhirnya diisi oleh Allah. Allah memaknai hidupnya. Allah lalu menjadi makna terakhir dan tertinggi bagi hidup Naomi. Mungkin kira-kira seperti kata Edward Schillebeeckx OP, Allah adalah cakarawala paling jauh bagi upaya manusia dalam rangka memaknai hidupnya, sekarang dan di sini, di dunia ini. Rumah roti akhirnya memberi hidup baru bagi Naomi dalam artian yang seluas-luasnya. Mungkin itu sebabnya Yesus berdoa, berilah kami roti pada hari ini. Dan Tuhan selalu memberi roti itu, dari waktu ke waktu.


Bandung, 30 Oktober 2008

Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...