Tuesday, November 4, 2008

MUSA DAN DRAMA EXODUS

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Tidak selamanya perputaran roda hidup manusia itu berada di atas. Sebab yang namanya juga roda berputar pastilah ada gilirannya. Ada giliran berada di atas, ada giliran berada di bawah. Kalau tidak demikian, pasti roda itu mandek, gembos, kempis, persegi, tidak bernyawa. Jadi, perputaran roda itu adalah tanda dinamika kehidupan. Perputaran roda hidup itu tampak juga dalam sejarah bangsa Israel sejak jaman para Bapa Bangsa, khususnya pasca Jakub.

Setelah jaman Yusuf berlalu di Mesir, mulai datanglah masa kesusahan bagi bani Yakub di Mesir. Mereka yang tadinya disambut dengan upacara istana-kerajaan dan ditempatkan di kabupaten yang paling makmur dan subur, sekarang ini justeru dianggap sebagai musuh, sebagai ancaman nasional. Maka mereka pun ditindas sejadi-jadinya dengan kerja rodi yang mengerikan. Di tengah konteks penderitaan seperti itulah Musa lahir dan muncul. Kalau kelak ia menjadi pemimpin besar, itu karena ia pernah dilahirkan. Maka menurut saya, pemimpin itu mula-mula dilahirkan (born) dan kemudian barulah dijadikan (made), atau lebih tepat dikondisikan oleh situasi tempat dan sejarahnya, dan pelbagai dinamika peristiwa. Semuanya itu terjadi pada Musa.

Kalau mau membahas teologi kitab Keluaran ini saya secara otomatis akan selalu teringat akan Joao Severino Croato, seorang ahli kitab dari Brasil. Sudah cukup lama saya mengenal beliau karena LBI sejak tahun 70-an sudah menerjemahkan karya-karya beliau ke dalam bahasa Indonesia (mungkin karena ada Pastor Vicente Kunrath dari Brasil yang membantu menerjemahkan karya beliau). Sekarang saya banyak menikmati karya dia dalam bahasa Inggris (yang diterjemahkan dari aslinya dalam bahasa Portugis). Salah satu insight yang sangat penting yang telah saya tarik dari orang ini adalah bahwa menurut tafsir dia, peristiwa dan pengalaman keluaran (exodus) merupakan foundational experience bagi orang-orang Israel. Itulah yang menjadi root metaphor bagi mereka. Dari foundational experience ini mereka tahu bahwa manusia haruslah bebas, manusia tidak boleh dibelenggu, tidak boleh diperbudak seperti binatang.

Tetapi mengapa demikian? Dalam alur tafsir historis Croato, alasan yang ia kemukakan ialah karena manusia itu adalah citra Allah. Menurut cara berpikir Croato, para penulis kitab Kejadian itu sesungguhnya menulis di atas dasar insight historis, teologis, dan humanis yang mereka peroleh dari peristiwa pembebasan dan keluaran. Memang dalam tata urut kanon kita sekarang ini kitab Kejadian ditempatkan sebagai yang pertama secara kronologis dan topologis, tetapi sesungguhnya secara ontologis dan teologis, seharusnya kitab Keluaran yang ditempatkan pada tempat pertama. Sebab insight dari pengalaman exodus itulah yang memungkinkan orang berbicara tentang martabat manusia sebagai citra Allah. Dan sebagai citra Allah ia harus bebas.

Ada perpsektif dan horizon tertentu dalam gerakan pembebasan itu: yaitu keluar dari kurungan perbudakan untuk menjadi manusia yang bebas, manusia merdeka sebagai anak-anak Allah. Dan itulah kebenaran hidup manusia, termasuk hidup Kristiani juga. Selain teringat akan Croato saya juga teringat akan Gerhard von Rad yang juga berteologi sangat indah dan dahsyat mengenai kitab keluaran ini.

Tentu kalau membaca kitab keluaran pasti kita akan bertemu dengan tokoh sentral di sana yaitu Musa. Kalau berbicara tentang Musa, maka saya teringat akan gunung Sinai dengan sepuluh perintah Allah itu. Kalau berbicara tentang sepuluh perintah Allah saya teringat akan Pater Adolf Heuken SJ yang menjadi dosen saya di STF Driyarkara dulu, untuk mata kuliah Moral Kristiani. Salah satu pokok yang ia bahas dalam rangkaian kuliah-kuliah dia adalah tentang 10 perintah Allah ini. Ia juga membahas tema-tema lain seperti kotbah di Bukit yang terkenal itu. Selain pater Heuken saya juga teringat akan Pater Bernhard Kiesser SJ, yang juga menerbitkan buku moral dasar yang tidak lain adalah pembahasan mengenai sepuluh perintah itu, sebab sepuluh perintah itulah yang dianggap sebagai moral dasar kita.

Selanjutnya kalau saya bicara tentang Musa saya juga teringat akan drama perjumpaan Musa dengan semak bernyala yang tidak terbakar itu, di mana Musa berkenalan dengan Tuhan dan di mana Musa berani meminta nama Tuhan, dan Tuhan menjawab juga dengan sebuah teka-teki: Aku adalah aku ada, ehyeh asyer ehyeh. Selanjutnya saya juga teringat akan perjuangan Musa menjadi pemimpin Israel yang tidak mudah, karena ia harus berbenturan dengan kekuasaan dan istana Firaun yang tidak mudah. Mereka tidak mudah dikalahkan dan diyakinkan selain dengan kuasa dan campur tangan ilahi, mulai dari tulah-tulah itu, sampai dengan pemusnahan total tentara Mesir dalam drama penyeberangan atau mungkin lebih baik pengepungan tipu muslihat di medan berlumpur tepian laut Merah. Dari sinilah para teolog pembebasan menimba ilham bagi gerakan pembebasan mereka dan dari sini juga mereka mengangkat sejumlah istilah teknis untuk teologi mereka: ada istilah teologi exodus, ada istilah teologi istana, ada istilah teologi kaum tersisih, teologi kaum tertindas. Semuanya itu dapat dengan mudah kita baca dalam buku-buku karangan para teolog pembebasan seperti Gustavo Guttierez, Leonardo Boff, Jon Sobrino, dll.

Saya teringat secara khusus akan Leonardo Boff. Pada tahun 1988 saya merasa tertarik dengan satu bukunya Jalan Salib, Jalan Keadilan. Saya menerjemahkan buku itu ke dalam bahasa Indonesia dengan judul di atas tadi, dari terjemahan Inggrisnya, Way of Cross Way of Justice. Dan Puji Tuhan, Kanisius menerbitkan buku itu pada tahun 1991. Itulah buku terjemahan saya yang pertama yang diterbitkan secara resmi. Berkat pengalaman itu semua, saya memang selalu merasa tertarik dengan teologi kitab keluaran ini.

Akhirnya, saya teringat lagi akan satu hal: yaitu drama kematian Musa. Ia tidak dijinkan menyeberang dan masuk ke tanah terjanji. Ia mati di gunung Nebo, seperti dikatakan dalam tradisi. Ia hanya boleh memandang tanah terjanji itu dari jauh dan tidak boleh masuk ke dalamnya. Tragis sekali. Ia yang memimpin keluar dari tanah mesir tetapi tidak boleh masuk ke tanah terjanji. Tetapi bukan itu yang lebih tragis bagi saya. Kita tidak tahu di mana Musa dikuburkan setelah ia mati. Tidak ada kuburnya. Apakah ia langsung diangkat ke surga sebagaimana diyakini oleh sementara orang? Ataukah kuburannya hilang dan dihilangkan begitu saja, sebagai sebuah upaya sistematis untuk menghilangkan dan mematikan tendensi kultus individu di kalangan anak manusia. Makam Musa tidak ada, maka tidak ada tempat ziarah Musa kecuali gunung Nebo dan Paus Yohanes Paulus II pernah ke sana dan mencoba memandang kea rah tanah Kanaan kira-kira seperti arah tatapan Musa dulu.

Bandung, 30 Oktober 2008

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...