Seksualitas Dalam Surat-surat Paulus
Oleh: Fransiskus Borgias M[1]
Saya diminta menulis dalam Wacana Biblika tentang “Seksualitas dalam Surat-surat Paulus.” Ada beberapa teks Paulus yang “nyerempet” seksualitas. Tetapi saya membatasi diri pada tiga teks ini: 1). 1 Kor. 7:1-7. 2). 1 Kor. 6:11-20. 3). Rom.1:24-27. Kiranya inilah teks utama di mana Paulus membahas soal yang terkait dengan seksualitas. Kita mulai dengan teks pertama. Kalau membaca pengantarnya (ay 1), teks ini adalah “reksa pastoral” bergaya kasuistik (ada kasus, pastor ditantang memberi tanggapan). Jadi, yang ada di sini ialah serangkaian petunjuk pastoral praktis bagi umat dalam mengarungi soal hidup di bidang etika seksual. Maka ciri kontekstualnya sangat kental. Orang bisa bertanya, bagaimana sesuatu yang kontekstual (terikat pada konteks) mempunyai relevansi universal dan melampaui jaman dan konteks tersebut. Untuk menjawab hal ini dengan baik, kita harus melihat konteks dan latar belakangnya saat itu. Perlu diketahui bahwa 1 Kor 7 mempunyai kecenderungan yang kuat ke arah asketisme radikal. Hal itu bertolak belakang dari teks kedua, 1 Kor 6. Teks ini menggambarkan paham yang dikenal dalam moral sebagai libertinisme. Secara pastoral praktis di sini termuat nasihat mengenai percabulan dan sekaligus melawan percabulan. Berdasarkan kedua teks ini, kiranya tampak bahwa Paulus sesungguhnya terhimpit antara dua tendensi moralitas ekstrem: yang satu ke arah laxisme moral, yang lain ke arah rigorisme moral yang bernada gnosis. Teks ketiga berbicara tentang perversi perilaku dan hidup seksual.
Latar Belakang Gnosis dan Libertinisme
Kiranya 1Kor. 7 dilatar-belakangi oleh munculnya Gnosis dalam sejarah gereja. Ini adalah aliran filsafat yang kompleks; tetapi ini bukan ruang untuk menguraikan seluruh problematik aliran ini. Di sini cukup dikatakan bahwa salah satu ajaran mereka terkait moralitas seksual. Aliran ini berhaluan dualistik yang mengajarkan bahwa ada dua prinsip yang mengatur hidup. Prinsip rohani: positif dan baik. Prinsip jasmani/materi: negatif, buruk, jahat. Segala sesuatu yang material dianggap negatif; termasuk tubuh. Segala aktifitas yang terkait dengan tubuh harus dibatasi. Berkembanglah asketisme yang ketat di kalangan pengikut aliran ini. Salah satu asketisme yang mereka ajarkan ialah asketisme di bidang moral, di bidang pantang seksual, yang dianggap negatif karena merupakan aktifitas daging. Mereka tidak boleh makan daging, mereka tidak boleh kawin; mereka menjauhi wanita (pria) atau menjauhi pria (wanita). Jadi, di sini ada pandangan negatif akan tubuh, seksualitas, akan aktifitas manusia yang terkait dengan daya seksualitas ini. Inilah salah satu sudut ekstrem dari aliran pemikiran yang melatar-belakangi 1 Kor 7.
Pengaruh gnosis hanyalah salah satu segi dari problem ini. Segi lain ialah apa yang dalam sejarah gereja disebut libertinianisme. Berbeda dengan dualisme gnosis tadi (yang ketat mengatur perilaku seksual manusia), aliran ini justru menempuh jalan sebaliknya. Tubuh adalah untuk kesenangan. Tubuh adalah untuk kenikmatan. Jangan menahan kenikmatan dan kesenangan. Hidup hanya sekali dan mungkin hanya hari ini. Maka senangkan tubuh, manjakan tubuh termasuk pemanjaan dengan hiburan seksualitas liar dan bebas. Pokoknya di sini kita merasakan kebebasan di bidang seksual yang tidak dibatasi. Semuanya serba permisif. Everything is okay. You like it, then do it. Kira-kira begitu semboyannya. Tidak ada pertimbangan moral-etis mengenai tata susila, tata kesopanan.
Apa Isi Teks?
Kembali ke 1Kor.7:1-7. Ada dua hal yang diajukan Paulus. Pertama, soal pantang seksual (sexual abstinence). Umat Korintus mengajukan persoalan pastoral praktis menyangkut pantang seksual. Hal itu muncul karena mereka melihat kebiasaan di tempat lain. Misalnya, dengan alasan dan pertimbangan kultis, orang Yahudi dan Yunani, biasa mempraktikkan pantang seksual. Dalam Perjanjian Lama orang berpantang hubungan seks ketika ada di medan perang, seperti dilakukan Uria (1Sam.21:5; 2Sam.11:1-13; bdk. Kel.19:15). Tetapi asketisme tidak hanya ada di kalangan gnosis saja melainkan juga di kalangan Kristen ortodoks. Perbedaan pendapat dan pandangan antara kaum libertinisme yang begitu longgar dengan kaum asketisme (baik gnosis, maupun aliran Kristen ortodoks) memunculkan pertanyaan terutama di kalangan asketisme Kristen ortodoks mengenai sah dan halalnya hubungan seks. Sejajar dengan nada kultis di kalangan orang Yahudi dan Yunani, orang Kristen juga bertanya, dalam rangka menantikan kedatangan Kristus kembali yang segera tiba, perlukah orang berpantang seks sebagai wujud tindakan berjaga-jaga (vigilia)? Pertanyaan ini tidak langsung dijawab Paulus. Ia menempuh jalan berbelit-belit ke arah jawaban.
Kedua, dalam teks ini jelas Paulus menghargai seksualitas dan perwujudannya dalam hubungan seksual. Paulus berkali-kali menyebut daya ini dan pelbagai perwujudannya (kawin, pantang) dengan ungkapan berbeda. Apresiasi Paulus akan seksualitas manusia tampak dari fakta bahwa bagi Paulus hubungan seksual adalah suatu perbuatan biasa, normal, alamiah, suatu yang rutin (ay 3). Di tengah suatu yang rutin, normal dan natural itu, orang mempraktikkan kekecualian, yakni pantang seksual (ay 5). Jadi, pantang seksual itulah yang jadi kekecualian. Apresiasi Paulus akan seksualitas pasutri tersirat juga dalam perintahnya agar mereka melakukannya (ay 3), dan jangan menarik diri dari perbuatan itu. Berarti, bagi Paulus hubungan seksual itu baik, maka dianjurkan agar dilakukan. Anjuran ini bukan pertama-tama dengan pertimbangan karena hal itu halal, melainkan karena hal itu wajib. Melakukan hubungan seksual pasutri adalah kewajiban.
Dalam hal ini, Paulus, sebagai orang Yahudi, amat dipengaruhi Perjanjian Lama yang melukiskan hubungan seksual merupakan salah satu kewajiban suami terhadap isteri (Kel. 21:10). Tetapi, Paulus melampaui rumusan Perjanjian Lama itu, sebab menurut Paulus, kewajiban itu harus bersifat timbal balik (mutual), artinya kewajiban melakukan sanggama itu juga berlaku sama bagi isteri dan dari pihak isteri terhadap suami. Dengan rumusan seperti ini, Paulus sangat menekankan prinsip kesetaraan dan prinsip mutualitas dalam tindakan hubungan seksual suami-isteri. Kewajiban dan kesadaran akan kewajiban itu harus ada pada kedua belah pihak, suami-isteri sekaligus. Kalau tidak, akan ada kepincangan, ada pemanfaatan, dan bahkan ada penyalah-gunaan (abuse). Alasan bagi prinsip kesetaraan dan mutualitas ini tidak lain ialah karena kedua orang itu sudah saling menyerahkan diri. Ungkapan “saling menyerahkan diri” adalah bahasa lain dari fakta bahwa perkawinan adalah panggilan dan rahmat sekaligus. Dalam arti itu, ia bisa menguduskan orang yang hidup dalam perkawinan itu sendiri.
Pelanggaran Seksual
Apa yang diuraikan di atas adalah “pengaturan” dan “pemaknaan” seksualitas: Bahwa ia harus dihayati dan dimaknai dalam rangka hidup perkawinan. Dalam bagian ini secara khusus mau dibahas pelanggaran di bidang seksual sejauh dikembangkan dari paham Paulus. Untuk itu saya memusatkan perhatian pada 1 Kor.6:12-20. Teks ini mendahului teks yang sudah kita lihat. Teks ini mau melukiskan fenomena libertinisme.
Di sini Paulus menanggapi beberapa anggapan yang rupanya populer di Korintus. Itulah yang kita baca pada awal teks: 1). Segala sesuatu halal. 2) Makanan untuk perut, perut untuk makanan. Saat itu rupanya ada orang yang menganggap diri sebagai pengikut Kristus yang karena hidup dalam Kristus, merasa memiliki Roh dan karena itu hidup dalam Roh, kebebasan, dan kebenaran. Mereka merasa tidak terikat oleh aturan apa pun. Mereka merasa diri bebas, juga bebas dalam bidang seksual. Sebagai pembenaran praksis kebebasan ini, mereka memakai moto populer dalam masyarakat. Akibatnya mereka merasa bebas juga dalam bidang seksual, bebas melacurkan diri. Paham ini seakan-akan mendapat angin pembenaran dari alam pikiran dualisme-gnosis Yunani yang berpandangan negatif-pesimistik akan tubuh. Mereka memprioritaskan roh/jiwa. Itulah fokus perhatian. Di pihak lain, mereka memandang tubuh (kejasmanian) sebagai suatu yang hina. Karena lebih terarah kepada roh/jiwa, maka apa pun yang terjadi dengan tubuh, tidak lagi menjadi soal, tidak diperhatikan, dipedulikan. Sejauh orang mengupayakan hidup roh yang baik, ia sudah merasa cukup dengan itu. Apa pun yang terjadi dengan tubuh, tidak diperhatikannya. Bahkan apa yang terjadi dengan tubuh, dianggap tidak mempengaruhi roh. Kalau tubuh dilacurkan, praksis itu tidak akan merusak eksistensi Kristiani, yang tidak lain adalah eksistensi rohani tadi.
Perlu diketahui bahwa Paulus menulis suratnya ini kepada orang yang berjuang menggapai hidup kudus (1 Kor.1:2). Manusia dipanggil kepada kekudusan. Paulus mau memberi nasihat, pandangan bagi mereka. Untuk memahami teks tadi dengan baik, kita perlu melihat teks terdahulu, 1 Kor.6:9-11. Hanya orang yang berusaha hidup kudus saja yang akan masuk ke dalam kerajaan Allah (mendapat bagian). Sedangkan pendosa dengan pelbagai bentuknya, tidak mendapat bagian di dalamnya. Jadi, motivasi eskatologis kerajaan Allah itulah yang menjadi dasar perilaku moral orang Kristiani. Bahwa Paulus menegaskan tujuan ini dalam teks terdahulu, itu adalah pertanda bahwa memang teks yang sedang kita bahas ini ditujukan kepada orang Kristen yang mau hidup baik. Teks inilah yang menjadi dasar bagi perilaku moral orang Kristen termasuk di bidang seksual. Mereka sudah dibebaskan; tetapi ini bukan libertinisme. Mereka juga sudah hidup dalam Roh, tetapi ini bukan spiritualisme. Melainkan karena mereka bebas dan hidup dalam Roh, maka mereka harus hidup dengan baik agar bisa mendapat bagian dalam kerajaan Allah. Martabat kekudusan dan kebebasan itu harus menjadi motivasi sikap dan kelakuan baru orang Kristen.
Jadi, tampak bahwa Paulus membela kebebasan, tetapi bukan sembarang kebebasan, melainkan kebebasan sejati (anak-anak Allah, kebebasan tertebus). Paulus juga membela hidup dalam roh, tetapi ia tidak menghina tubuh. Bahkan menurut Paulus tubuh juga ikut ditebus, ikut menikmati rahmat dan martabat tebusan. Tubuh ikut ambil bagian dalam rahmat penebusan dan penyelamatan. Memang eksistensi baru sebagai orang Kristiani menyangkut totalitas manusia, mencakup jiwa dan raga. Jadi, pandangan ini sama sekali tidak mengecualikan tubuh dari tata shalom. Tubuh tidak dikucilkan dari ruang keselamatan Kristiani. Mungkin itu sebabnya Paulus menerima moto “Segala sesuatu halal”, tetapi segera ia mengoreksi: tidak semua yang halal bermanfaat. Yang jelas Paulus menolak total moto spiritualistis dan materialistis atau dualisme pesimistik, yang bunyinya sbb: makanan untuk perut, dan perut untuk makanan (ay 13). Sekali lagi, Paulus menolak hal ini mentah-mentah, apalagi kalau dari moto itu orang menarik kesimpulan yang sangat berbahaya secara moral-etis, yaitu pelacuran tidak apa-apa, tidak mengganggu martabat hidup dalam roh, sebab pelacuran itu hanya mempengaruhi tubuh saja: tubuh untuk pelacuran dan pelacuran untuk tubuh (bdk.ay 14).
Upaya Pembelaan Paulus
Untuk membela pandangan ini Paulus membentangkan tiga gugus argumentasi yang amat kuat: argumen antropologis, argumen kristologis, dan argumen pneumatologis.
Dalam argumentasi pertama, Paulus berpangkal pada visi antropologi utuh-menyeluruh yang mensintesiskan seluruh kedirian manusia dalam persona, pribadi, personalisme paulinian. Itu sebabnya Paulus tidak memakai istilah “perut”, melainkan memakai istilah yang lebih bersifat menyeluruh, yaitu tubuh (ay 13b). Kalau Paulus memakai istilah “perut,” maka ia bisa dituduh memecah-belah keutuhan manusia ke dalam bagian-bagian atau bahkan fungsi-fungsi parsial organ-organ tubuh itu sendiri. Maka dalam perspektif seperti ini, Paulus mengatakan bahwa aktifitas hubungan seksual (persetubuhan) tidak boleh dan tidak dapat disamakan dengan makan (bdk. 1Kor. 6:13-14).
Dalam argumentasi kedua, Paulus memberi dasar Kristologis. Setiap orang Kristen sudah dipersatukan dengan Kristus. Maka eksistensi mereka adalah eksistensi yang bersatu dengan Kristus. Definisi diri mereka ditentukan oleh relasi dan persatuan mereka dengan Kristus. Maka persatuan dan kesatuan dengan Kristus jangan dicemarkan oleh persatuan dengan pelacur (1Kor.6:13-18). Kedua “persatuan” itu juga tidak dapat disamakan begitu saja. Paulus yakin bahwa mereka sesungguhnya sudah tahu hal itu. Tetapi mungkin mereka lupa. Itu sebabnya Paulus mengingatkan kembali akan hal itu: Tidak tahukah kamu? (1Kor.6:15-16.19). Bagian lain dari argumentasi kristologis ini sebenarnya sejalan dengan argumentasi antropologis. Dalam pandangan Paulus, tindakan hubungan seksual bukanlah perbuatan sembarangan, perbuatan dangkal. Tindakan hubungan seksual adalah sebuah perbuatan mendalam, karena melibatkan seluruh totalitas misteri diri manusia itu sendiri. Tindakan itulah yang menurut Kej 2:24, membuat orang yang terlibat di dalamnya menjadi satu daging, satu tubuh, ber-setubuh, ber-satu-tubuh. Jadi, tidak main-main, tidak boleh dimain-mainkan. Tindakan ini adalah tindakan seluruh misteri manusia (antropologis). Maka dapat dipahami bahwa Paulus mengutip Kej 2:24 untuk menolak perbuatan melacur. Seakan-akan secara populer ia berkata: Masa’ tubuh yang sudah dipersatukan dengan Kristus, kini dipersatukan dengan pelacur. Jika demikian tubuh Kristus, akan tercemar. Sebuah contradictio in actionis.
Dalam argumentasi ketiga, Paulus menyinggung kehadiran Roh Kudus dalam diri setiap orang yang dibaptis (ay 19). Karena Baptis, maka tubuh mendapat martabat baru: menjadi kenisah Roh Kudus. Roh Kudus berdiam dalam diri manusia. Jadi, Tuhan sangat dekat dengan manusia, immanuel; gagasan imanuel men-tubuh. Immanuel: Allah melalui RohNya berdiam dalam tubuh kita. Sebuah misteri iman yang sangat besar. Kalau tubuh itu sudah mendapat martabat sedemikian luhur, maka manusia tidak bisa lagi bermain-main dengan tubuhnya. Tubuh itu harus menjadi sarana ibadat. Maka ia harus menjadi tempat suci. Itu sebabnya Paulus mengakhiri nasihatnya ini dengan seruan terkenal: Muliakanlah Allah dengan tubuhmu! (ay 20). Kalau melacur, berarti ia menghinakan Allah dengan, melalui, dan dalam tubuhnya.
Masalah Homoseksualitas
Selain kedua soal di atas, Paulus juga menyinggung homoseksualitas. Dalam Rom 1:24-27, kita temukan teks di mana Paulus menyinggung ke praktik atau gejala ini. Tetapi tema utama teks ini bukan homoseksualitas. Dari konteks dekatnya dalam 1:18-32, kita dapat melihat bahwa tema utamanya ialah kemurkaan Tuhan atas manusia yang hidupnya penuh kefasikan dan kemunafikan. Penyimpangan seksual yang disinggung Paulus dalam ay 24-27 tidak lain hanyalah akibat logis dari penyimpangan yang lebih eksistensial dan fundamental yaitu penyimpangan teologis. Dalam hidupnya di dunia ini, manusia penuh kefasikan; mereka mengingkari Tuhan. Maka Tuhan menghukum manusia atas dosa dan pelanggaran itu. Akibatnya, manusia tidak dapat mengendalikan diri. Tersirat di sini paham bahwa manusia menjadi liar, kalau jauh dari Tuhan, kalau tanpa Tuhan. Manusia jatuh ke dalam perbudakan nafsu liarnya kalau ia jauh dari Tuhan. Perversi seksual berupa homoseksual hanya contoh kongret sebagai akibat perversi teologis, dosa, pelanggaran, dan kefasikan. Jadi, dalam tataran hidup seksual pun manusia membutuhkan Tuhan. Manusia tidak hanya membutuhkan Tuhan pada tataran spiritual atau rohani saja.
Dalam teks ini Paulus menyebut beberapa penyimpangan seksual sebagai contoh. Salah satunya ialah kebiasaan yang populer pada jaman Paulus yaitu hubungan homoseksual, lesbi. Praktik ini banyak dilakukan orang untuk mencari kepuasan seksual di luar konteks hidup perkawinan biasa. Tetapi yang disasar Paulus bukanlah bentuk kongkret perversi seksual seperti ini. Yang ia maksud ialah penyimpangan teologis yang tampak antara lain secara nyata dalam perversi seksual dan penodaan perkawinan ini. (Mengenai martabat luhur perkawinan dapat dilihat dalam uraian Paulus dalam Ef 5:22-32). Tetapi mengapa Paulus mengambil contoh kongkret homo-lesbi ini sebagai ilustrasi pelanggaran teologis manusia. Kiranya hal itu dapat ditafsirkan sebagai protes keras Paulus melawan praktik homo-lesbi yang amat didewakan (ay 27). Padahal, praktik seperti itu jelas memperkosa martabat luhur perkawinan sebagai persekutuan pribadi-pribadi, perkawinan sebagai communion of persons, meminjam bahasa Yohanes Paulus II dalam Teologi Tubuh-nya.
Akhir Kata
Sampai sejauh ini saya sudah membahas tiga hal besar. Pertama, pemaknaan daya seksualitas manusia. Kedua, bentuk pelanggaran/penyimpangan seksual. Ketiga, masalah homoseksualitas. Bagaimana pun, seksualitas adalah salah satu daya yang sangat penting dalam manusia. Maka seyogyanya ia harus dipakai demi kepentingan kemanusiaan. Dipakai yang saya maksudkan di sini ialah pemakaian secara positif, ke arah positif. Bukan pemakaian dalam artian liar dan bebas. Sebab bagaimana pun juga tubuh adalah bait Roh Kudus (1Kor.6:19) yang tidak boleh dicemari oleh pelbagai penyimpangan seksual manusia. Kalau tubuh adalah bait Roh Kudus, maka tidak ada perbuatan lain yang layak dilakukan manusia selain “memuliakan Allah dengan tubuh.”
Kepustakaan:
Yohanes Paulus II, The Theology of the Body, Human Love in the Divine Plan, Pauline Books & Media, Boston, 1997.
Karol Wojtyla, Love and Responsibility, Ignatius Press, San Francesco, 1993.
Gareth Moore, OP., The Body in Context, Sex and Catholicism, SCM Press LTD, 1992.
Benedict M.Ashley, OP., Theologies of the Body, Humanist and Christian, The Pope John Center, Braintree, Massachusetts, 1985.
James D.G.Dunn, The Cambridge Companion to St.Paul, Cambridge University Press, 2003.
Richard N.Longenecker (editor), The Road from Damascus, The Impact of Paul’s Conversion on His Life, Though, and Ministry, William B.Eerdmans Publishing Company, Grand Rapids, 1997 (khusus halaman 188 dan 191).
Guenther Bornkamm, Paul, Harper & Row Publisher, New York, 1969, (pp.68-77).
Raymond E.Brown, An Introduction to the New Testaments, Dobleday, New York, 1997 (khususnya p.528-531: “Paul’s Critique of Fornicators and Homosexuals, 1Cor 6:9-10).
Edward Schillebeeckx, Marriage, Human Reality and Saving Mystery, Sheed and Ward, New York, 1965.
Kevin Thomas McMahon, S.T.D., Sexuality: Theological Voices, The Pope John Center, Braintree, Massachusetts, 1987.
Ronald L.Hall, The Human Embrace, The Love of Philosophy and the Philosophy of Love, Kierkegaard, Cavell, Nussbaum, The Pennsylvania State University Press, 2000.
[1] Dosen Teologi Dogmatik dan Biblika FF-UNPAR Bandung; Wakil Ketua LBI.
No comments:
Post a Comment