Showing posts with label nostalgia. Show all posts
Showing posts with label nostalgia. Show all posts

Monday, June 22, 2020

ATG: MEMBACA DAN MENAFSIRKAN KITAB SUCI

Oleh: Fransiskus Borgias M. 



Tulisan saya ini terkait pandangan mengenai hubungan umat Kristen Katolik dengan Kitab Suci. Ada semacam ketakutan, keseganan, dan keengganan di kalangan umat Kristen Katolik untuk membaca, memahami, dan menafsirkan Kitab Suci. Hal itu misalnya sedikit berbeda dengan semangat yang ada dan hidup di kalangan para saudara yang terpisah, para anggota jemaat Kristen Protestan. 

Akibat dari adanya ketakutan dan keengganan tersebut ialah fakta bahwa buku Kitab Suci orang-orang Kristen Katolik itu tetap bersih, tetap mulus; tanpa catatan apa pun di dalamnya, tanpa ada garis bawah, tanpa ada stabilo, tanpa ada tanda-tanda baca, tanpa ada catatan pinggir, semacam upaya “fill the blank space” seperti yang dilakukan oleh seorang teolog napi di Filipina yang, karena tidak mempunyai buku tulis, lalu menulis ide-idenya di pinggir halaman kitab sucinya, tetapi dari praksis itu ia kemudian menemukan sebuah metafora yang baru dan orizinal dan kreatif dan juga tepat sekali mengenai hubungan antara Kristianitas dan budaya asli setempat termasuk praksis agama asli di dalamnya. Keduanya dianggap saling mengisi satu sama lain. 

Kembali ke jalur tulisan ini, pokoknya buku Kitab Suci orang-orang Kristen Katolik itu mulus-mulus. Mungkin ada juga yang sudah berdebu tebal. Mungkin juga sudah ada yang halaman kitabnya lengket satu sama lain saking karena tidak pernah dibuka. Akibatnya, kitab itu menjadi jamuran, mungkin juga lumutan. Mungkin hal ini berlebihan, tetapi bisa saja hal seperti itu memang secara nyata terjadi. Tentu saja di sana-sini ada kekecualian juga. Ada umat Kristen Katolik yang buku Kitab Sucinya penuh dengan catatan, penuh dengan coretan, penuh dengan garis bawah, penuh dengan stabile, penuh dengan pelbagai tanda baca, terutama tanda-tanda seperti tanda seru (!), tanda tanya (?), tanda bintang (*), tanda kurung (()), dst.dst. Bagi saya kalau kita menemukan tanda-tanda seperti itu di dalam buku Kitab Suci seseorang itu adalah pertanda ada sebuah perjumpaan, ada sebuah upaya perjuangan untuk memahami, perjuangan untuk menafsirkan. 

Terkait dengan hal ini tiba-tiba saja saya teringat akan sebuah dialog antara saya dengan Pater CG dulu. Memang kami pernah berdialog tentang hal ini. Menurut dia, salah satu penyebab dari adanya keengganan dan keseganan umat Kristen Katolik terhadap buku Kitab Suci ialah karena efek dari penekanan pada peranan magisterium untuk menafsirkan Kitab Suci. Akibatnya ialah bahwa umat biasa merasa tidak perlu membaca buku Kitab Suci. Toh nanti hal itu pasti akan dibacakan oleh seorang petugas liturgy. Bahkan mungkin juga ada yang diam-diam dalam hati berkata, mengapa harus repot-repot menafsirkan dan memahami, toh nanti ada petugas yang menafsirkannya, membantu kita di dalam memahami kitab suci. Biasanya memang umat Kristen Katolik itu dibantu untuk memahami. Mereka lalu menjadi sangat manja, terbiasa disuap, tinggal menelan saja. Tidak terbiasa dengan proses-proses lain yang mendahuluinya, yang memang sangat penting untuk pemahaman pribadi dan perkembangan kepribadian juga. 

Selanjutnya pater CG juga menambahkan bahwa di kalangan umat Kristen Katolik ada anggapan yang cukup kuat bahwa ilmu tafsir (exegese) itu adalah sebuah ilmu yang bersifat eksklusif untuk sekelompok kecil para ahli (para pakar). Menarik sekali bahwa di dalam seluruh kariernya sebagai seorang ahli kitab Pater CG berusaha keras untuk membongkar mitos itu dan pelbagai anggapan yang sudah melekat kuat di dalam diri pribadi masing-masing orang. Walaupun pater CG sendiri adalah seorang ahli Kitab Suci, tetapi dia adalah seorang yang menganut aliran tafsir eksistensialis atas Kitab Suci itu. Yang dimaksudkan dengan tafsir eksistensialis ialah penafsiran kitab suci berdasarkan basis pengalaman hidup masing-masing orang. 

Memang ada banyak bahaya subjektivisme, tetapi ciri originalitas tampak sangat jelas di sana. Menurut saya bahaya subjektivisme bisa diredam di dalam perjumpaan dan konfrontasi dengan pelbagai macam tafsir dan pembacaan yang lain, sedangkan originalitas itu adalah sesuatu yang mengalir dan memancar keluar dari dalam hati sanubari masing-masing orang. Itulah arti penting dari originalitas itu. 

Terkait dengan gaya dan pola tafsir seperti ini, bahkan pater CG juga pernah menyebutkan bahwa para spesialis Kitab Suci itu sebenarnya adalah spesialis fosil-fosil belaka. Itu adalah produk dari hermeneutika yang mencoba mencari dan menggali apa yang ada di belakang teks. Padahal kitab suci selalu “mengemukakan” sesuatu. Kalau Kitab Suci itu selalu “mengemukakan” sesuatu (forward something) mengapa kita harus susah-susah mencari sesuatu di belakangnya? Kira-kira begitulah kritik terhadap tendensi tafsir kritik teks dan kawan-kawannya. 

Untuk memahami Kitab Suci dan untuk membuat Kitab Suci itu bisa mendarat dan bermakna bagi hidup umat beriman, menurut Pater CG kita tidak selalu mutlak memerlukan para ahli fosil tadi. Pater CG menekankan bahwa umat beriman biasa pun juga bisa secara langsung membaca dan memahami Kitab Suci. Syaratnya sederhana saja kok, kata dia. Asal saja mereka itu bisa membaca dan menulis dengan baik. Pokoknya, harus melek huruf dan melek angka. Sesederhana itu kata pater CG. 

Untuk menegaskan kebenaran historis yang sederhana itu pater CG lalu mengatakan kepada saya: “Ingat ya Frans, Kitab Suci itu pada mulanya ditulis untuk komunitas jemaat, yang pada umumnya orang-orang sederhana. Paling tidak, mereka itu bukan spesialis ilmu tafsir. Mereka itu bukan ahli fosil. Mereka itu umat biasa saja.” “Nah, coba kamu bayangkan bagaimana surat 1Tesalonika itu misalnya dibaca di ruang gereja rumah di Tesalonika pada tahun 50an Masehi itu. mereka itu baru saja bertobat dan menjadi Kristiani, para pengikut Kristus. Mereka pada umumnya adalah umat sederhana. Paulus menulis surat 1Tesalonika itu untuk mereka tadi. 

Nah, Frans, kalau surat itu dulu berbunyi bagi mereka, seharusnya surat itu juga bisa berbunyi bagi umat masa kini, dan umat sepanjang masa, di setiap waktu dan di setiap tempat. Sekali lagi, Paulus tidak menulis surat untuk kelompok umat spesialis. Melainkan ia menulis surat untuk umat yang sederhana, tetapi mereka mempunyai akal sehat untuk bisa membaca dan menulis, serta menafsirkan. Sudah barang tentu saat surat itu dibacakan di depan komunitas jemaat, pasti ada sang pembaca (lector) yang juga berfungsi sebagai commentator dan interpreter untuk surat tadi. Tetapi tetap saja tinggal fakta bahwa umat itu adalah orang yang sederhana dan mereka bisa memahami hal itu dengan sangat baik. Kalau umat yang sederhana itu dahulu bisa memahami dengan baik, kiranya kita dewasa ini dengan kondisi kemajuan yang lebih baik bisa memahami dengan lebih baik juga. Itulah idealismenya. 
Oleh karena itu, marilah kita membaca Kitab Suci dengan mind-set seperti itu. Janganlah membuat Kitab Suci itu menjadi sesuatu yang rumit, ruwet, dan sulit. Gunakanlah saja akal sehatmu. Selanjutnya Roh Kudus akan membantu anda untuk bisa menafsirkan dan memahami dengan lebih baik. 


Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung. 


Monday, June 15, 2020

PARA PAHLAWAN YANG MENGAJAR KAMI

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.


 

Saya sekolah di SDK Lamba-Ketang mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam SD. Saya masuk sekolah pada bulan Januari 1969. Saya tamat SD bulan Desember tahun 1974. Pas enam tahun. Sampai dengan tahun 1971, saya masih ingat para guru yang mengajar kami ialah nama-nama berikut ini. Bapak Alo Handuk yang bertugas sebagai kepala Sekolah. Ibu Sabina Imut yang mengajar di kelas dua SD. Ibu Sebina adalah isteri dari bapa Alo Handuk. Pada pertengahan tahun 1971, Bapa Alo dan Ibu Sebina meninggalkan sekolah Lamba-Ketang, dan berpindah ke Kempo, Kampung halaman Bapa Alo. Kalau tidak salah bapa Alo pindah ke SD Compang. Selain kedua guru tadi, ada juga guru-guru lain, yaitu Bapak Petrus Hanu, Bapak Frans Ebat dan Bapak Felix Mar (ayah saya sendiri). Jadi, total ada lima orang guru. Itu sudah bagus.

Setelah bapa Alo dan ibu Sebina pindah ke Kempo, keduanya diganti oleh bapa Gerardus Rengka dan juga bapak Guru Pit Darut. Tetapi tidak lama sesudah itu, bapak Pit Hanu pindah ke Denge, ke kampung asalnya beliau. Tetapi sepeninggal bapa Pit Hanu, ada juga seorang penggantinya yaitu Bapak Lambertus Jerawan BA yang pada saat itu baru saja menyelesaikan studinya di APK Ruteng. Pokoknya sejak tahun 1971 sampai tahun 1974 (saat saya tamat Sekolah Dasar) guru-guru yang ada di sana ialah Bapa Gerardus Rengka (sebagai Kepala Sekolah), Bapa Frans Ebat, Bapa Petrus Darut, Bapak Felix Mar, Bapak Lambertus Jerawan. Bapak guru Gerardus Rengka mengajar kelas 1 dan 2. Bapak Frans Ebat mengajar kelas 3. Bapak Lambertus Jerawan mengajar kelas empat. Bapak Feliks Mar mengajar kelas lima. Bapak Pit Darut mengajar kelas enam.

Kelima guru ini masing-masing mempunyai sumbangan yang sangat unik bagi perkembangan kepribadian para siswa. Saya sebut saja satu per satu di bawah ini. Bapa guru Pit Darut adalah seorang seniman music suling yang sangat handal. Dia melatih para siswa SD untuk bermian suling dan bahkan membentuk paduan suara seruling. Kami bisa memainkan beberapa lagu yang ia latihkan kepada kami. Dan saya masih ingat dengan sangat baik lagu-lagu tersebut hingga sekarang ini. Pada waktu itu, karena belum ada music rekaman seperti sekarang ini, kami paduan suara seruling itu sering diundang para pengantin yang akan menikah untuk mengiringi mereka dari kampung mereka ke gereja dan pulang lagi dari gereja ke kampung mereka. Ya, kami iringi perjalanan pengantin itu dengan bunyi seruling kami dan gendang (tambur).

Bapak Feliks Mar dan Bapak Frans Ebat sama-sama mempunyai minat dan perhatian yang besar akan misa-misa adat. Mereka juga mempunyai minat yang besar akan lagu-lagu sanda. Mereka membaktikan diri mereka berdua untuk mempelajari beberapa sanda yang sudah diadaptasi oleh beberapa komponis pada waktu itu dan melatihkannya kepada para siswa Sekolah Dasar. Beberapa sanda yang ada dalam buku Dere Serani pun mereka pelajari dengan baik dan juga mereka ajarkan kepada para siswa dengan baik. Jadi, kedua orang ini sangat sibuk memberi perhatian pada misa-misa inkulturatif gereja. Beberapa lagu mbata dan sanda dari dere serani akhirnya bisa saya kuasai karena jasa dari kedua orang ini yang bagi saya sangat luar biasa. Bahkan bapak Guru Frans juga pandai menyanyi sambil memukulkan gendang dengan irama mbata. Luar biasa.

Lain lagi ceritanya dengan bapak Guru Lambertus Jerawan BA. Bagi saya beliau adalah seorang guru katekis professional karena ia memang secara khusus belajar untuk tujuan itu di APK (Akademi Pendidikan Kateketik) Ruteng. Dia adalah seorang guru agama yang jago sekali bercerita. Saya masih ingat dengan sangat baik pada saat di kelas IV kami disuguhi cerita yang sangat hidup dan menarik tentang drama penyeberangan Laut Merat yang terkenal dahsyat itu di mana orang Israel luput dari kejaran orang-orang Mesir karena mereka lari di tengah laut yang membelah. Luar biasa. Selain itu, bapak Lambertus juga adalah seorang dirigen dan pelatih koor modern gereja. Boleh dikatakan itulah yang menjadi spesialisasi Bapa Lambert di SDK Lamba-Ketang.

Terakhir ada bapa guru Gerardus Rengka. Guru paling senior pada waktu itu. Beliau juga mempunyai sumbangan yang sangat unik. Suaranya bass dan dalam dan berat sekali. Beliaulah jagonya lagu-lagu Gregorian berbahasa Latin. Dan kami anak-anak sekolah pada waktu itu dilatih dengan keras dan penuh disiplin oleh beliau. Saya ingat itu dengan sangat baik. Kami harus belajar lagu-lagu Gregorian dalam Bahasa Latin. Saya masih ingat dulu, kalau pada tanggal 2 November setiap tahun ada misa Hitam. Disebut Hitam karena imamnya mengenakan busana liturgis berwarna Hitam. Sekarang warna hitam itu tidak pernah dipakai lagi. Nah, dalam misa Hitam itulah kami anak-anak SDK harus menyanyikan lagu-lagu misa requiem Latin itu. Dan Lagu persembahan yang panjang itu juga dinyanyikan. Dan tentu saja Bapa Gerardus dibantu oleh semua guru-guru menyanyikan lagu itu dengan baik. Benar-benar luar biasa.

Dari kelima nama bapa guru itu, yang masih hidup tinggal satu orang saja, yaitu Bapa guru Frans Ebat. Dia juga sudah pension sekarang ini. Dan sekarang dia sudah menetap lagi di Ketang setelah sempat pindah-pindah mengajar di beberapa tempat yang lain. Robert, anak sulung bapak guru Frans Ebat, memberitahukan saya tentang bapa Frans Ebat yang masih sehat walafiat. Puji Tuhan. Yang lain sudah meninggal. Bapa Pit Darut meninggal tahun 1978. Bapa Feliks meninggal tahun 2013. Bapa Lambert saya lupa persisnya, tetapi rasanya di atas tahun 87an. Bapa Gerardus juga sudah meninggal tetapi saya lupa tahunnya.

Saat saya ingat para guruku, saya ingat diri saya sendiri pada usia sekolah dasar. Tatkala ingat akan guru-guru itu, ingatan saya langsung meluncur ke masa silam itu. Masa saya masih anak-anak di sana, di SDK Lamba-Ketang. Pada saat itu saya dan teman-teman bisa bermain di kebun, bahkan bisa juga bermain di sawah, menelusuri pumpuk-pumpuk yang ada di sekitar Ketang untuk mencari pupuk kering (berupa cirit kuda ataupun cirit kerbau dan ciri sapi yang sudah mengering). Kami juga biasa pergi mencari rumput untuk pakan kuda, dan terutama juga mencari ikan kecil di sawah, wader kalau orang Jawa menyebutnya. Oh ya juga suka mencari katak.

Ada satu hal lagi yang harus saya ungkapkan bahwa kelima orang guru ini adalah guru-guru yang punya dedikasi tinggi untuk ilmu, di sekolah, juga untuk kehidupan agama di gereja dan di tengah masyarakat. Bersama-sama mereka mengembangkan sekolah ketang itu, dan juga memberikan pengabdian kepada masyarakat di sekitar. Benar-benar luar biasa mengagumkan.

 


Thursday, June 11, 2020

GOLO NOSOT 2

Oleh: Fransiskus Borgias 

Setelah kami menuruni lereng perbukitan di Golo Rondong, akhirnya kami tiba di Wae Gulang. Di situ ada jalan setapak agak mendaki ke puncak golo Lando. Hari sudah mulai condong ke barat ketika kami tiba di situ. Angin bertiup terasa dingin sekali. Itulah untuk pertama kalinya saya merasakan dinginnya angin yang bertiup di Ketang. Begitu kami tiba di puncak bukit Lando, Ayahku berkata bahwa kita sudah hampir sampai. Dari Lando saya mengarahkan pandangan mata saya ke arah sebelah kiri. Di sana tampak sebuah kampung. Dan ayah mengatakan bahwa itu adalah beo Lentang. Kami maju terus. Di depan kami ada juga sebuah bukit. Belakangan saya baru tahu namanya, golo Nderu. Di Lando sendiri hanya ada dua tiga buah rumah saja yang letaknya berjauhan satu sama lain. Yang satu rumah terletak di ujung punggung sebuah bukit. Di depan rumah itu ada sebuah kandang yang berukuran besar. Rupanya itu adalah kandang sapi. Memang kandang itu besar sekali, karena sapinya ada banyak. Saya lalu berpikir bahwa mungkin itulah sapi-sapi yang saya lihat tadi merumput dengan tenang di lereng golo Nosot. Seluruh wilayah itu adalah hamparan tanah kosong. Tidak ada kebun. Juga tidak ada rumah. 

Setelah melewati golo Nderu, akhirnya kami tiba di sebuah lapangan bola kaki yang berukuran besar sekali. Lapangan itu membentang dari timur ke barat. Di sebelah timur langsung berbatasan dengan lereng bukit yang menurun hingga ke lembah sungai Wae Lelang. Di sebelah barat juga berbatasan dengan tanah menurun yang mengarah menuju ke persawahan Ka. Di sekeliling lapangan itu tidak ada rumah. Masih berupa tanah kosong yang ditumbuhi rerumputan mberong. Istilahnya waktu itu ialah pumpuk. Di salah satu sisi memanjang dari lapangan itu, terletaklah gedung sekolah. Kami sudah hampir jam tiga sore ketika tiba di sana. 

Kami harus membuka lewang (palang pintu gerbang) sekolah itu, agar kuda-kuda kami bisa masuk ke dalam halaman (istilahnya kintal) sekolah. Saat kami tiba, kami disambut oleh bapak Kepala Sekolah yang logatnya bagi saya sangat aneh. Belum pernah masuk ke dalam kamus memori saya. Sebagai orang yang lahir di Arus (Lambaleda) saya sedikit merekam ingatan akan dialek orang-orang di sana. Begitu juga dialek orang-orang Ponggeok di Wewo sana. Saya jauh lebih akrab dengan logat Lembor (Wontong) karena kami sering berlibur di sana sejak masa kecil saya. Sedangkan logat ini, terasa asing dan aneh sekali bagi saya. Belakangan saya tahu bahwa itu adalah logat Kempo, karena sang bapak Kepala Sekolah memang berasal dari Tado (Kempo). Bapak Kepala Sekolah menyambut kami di Ujung barat gedung sekolah itu tepat di dekat pintu gerbang masuk. Bapak KepSek ditemani seorang ibu-ibu. Ternyata itu adalah isterinya, yang juga guru di sekolah Ketang itu. Ibu Guru itu berasal dari Cumbi. 

Lalu kami diantarnya ke sebuah rumah yang sangat sederhana. Rumah terletak tidak jauh dari sekolah. Hanya beberapa meter saja dari pintu Lewang tadi. Rumah itu didirikan di atas tanah. Jadi tidak ada kolongnya (ngaung). Aneh sekali rasanya, sebab itulah untuk pertama kalinya saya harus tinggal di sebuah rumah dengan berlantaikan tanah. Rumah itu berdindingkan bambu (sibeng). Beratapkan alang-alang. Sangat sederhana. Sangat kecil juga. Setelah kami masuk, di dalam terasa sangat gelap dan pengap, karena memang tidak ada jendela. Di tempat itulah kami akan tinggal. 

Sebelum masuk ke dalam rumah, saya masih sempat menengok lagi ke belakang mencoba melihat jalan yang telah kami lewati. Di kejauhan saya melihat pohon beringin yang ada di kampung Cireng. Perlahan-lahan kampung itu mulai ditutupi dengan awan yang tebal. Lalu saya mengarahkan pandanganku ke arah golo Nosot. Puncak bukit itu ternyata indah sekali. Gundul. Tidak ada pohon-pohon tinggi. Hanya ada rerumputan dan semak belukar perdu. Di lerengnya saya masih bisa melihat kelompok-kelompok kuda dan sapi yang masih berjalan kian kemari, merumput. Seakan-akan puncak bukit itu sedang menunggu saya menolak untuk melihat dan mengaguminya. Sebab tidak lama sesudah itu, puncak bukit tadi dan lerengnya juga mulai ditutupi awan yang sangat tebal. Bahkan awan itu tidak hanya tinggal di gunung. Melainkan sekarang dia seperti berjalan sangat mendekat. Mulai dari arah Tango dan Lembah wae Lelang, akhirnya awan itu menutup seluruh Ketang. Dalam sekejab saya sudah melihat apa-apa lagi. 

"Nana, hoo de ngasang ne rewung taki tana." 

Saya hanya mengangguk saja mendengar penjelasan ayah saya. Karena sudah terasa dingin, saya pun masuk ke dalam rumah. Langsung duduk di lantai tanah yang dingin sekali. Ada juga beberapa bagian yang berasalkan belahan bambu. Tetapi bagian itu biasanya dimaksudkan untuk orang-orang tua. Saya melihat mama, menjadi orang yang paling sibuk sore hari itu. Dengan segera dia mencari informasi, di mana ada mata air untuk menimba air. Sebab malam itu, kami harus makan dan harus minum. Emakoe yang ikut mengantar kami dari Dempol, dengan segera pergi menimba air untuk memasak makan malam. Malam itu, kami bisa makan malam, walaupun sangat sederhana. Itulah makan kami yang pertama di tempat yang baru. 

Bersambung.... 

Tuesday, June 9, 2020

BELAJAR DI BAWAH POHON (CERPEN KETANG)

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.

 

Gedung sekolah kami, menurut saya pada waktu itu, termasuk sudah sangat bagus. Pada saat itu sekolah kami di SDK Lamba-Ketang, sudah berdinding papan. Fundasinya sudah bersemen. Walaupun lantainya belum bersemen. Tetapi itu sudah kokoh sekali. Di dalam sekolah kami merasa aman, terutama sekali saat hari-hari hujan. Kami aman dari kebasahan dan kedinginan karena diterpa angin tenggara yang kencang dan dingin itu. Angin itu serasa menerpa kencang dari belahan sebelah timur poco Ngkerok yang bertiup dari arah Kole, Hejar, Pela, Lembah Wae Lelang, dan menerpa bukit Ketang. Pada musim jagung, biasanya jagung-jagung di kebun rebah karenanya. Sungguh sebuah bencana, bencana angin. Seakan-akan lembah wae Lelang itu menjadi pintu masuk angin yang bertiup kencang dari laut selatan ke arah bagian tengah kawasan kedaluan Lelak.

Saat itu gedung sekolah kami sudah terdiri atas enam ruangan. Tidak ada ruang khusus untuk kantor para guru. Kantor para guru di masing-masing kelas guru yang bersangkutan. Pada saat itu, yang ada ialah guru kelas.  Bukan guru mata pelajaran. Artinya, kalau bapa guru A, mengajar di Kelas III, maka ia harus mengajarkan semua mata pelajaran di kelas itu. Tidak ada persoalan mengenai apa sang guru itu kompeten atau tidak. Rasanya waktu itu semua guru bisa mengajarkan semua mata pelajaran di kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Luar biasa.

Kebetulan pintu-pintu ruang kelas sekolah kami itu menghadap ke utara. Gedung itu memanjang dari Timur ke Barat. Ruangan paling barat diperuntukkan bagi kelas satu dan kelas dua. Sesudah itu ada ruangan untuk kelas tiga. Lalu ada ruangan untuk kelas empat. Lalu ruangan untuk kelas lima. Lalu ada ruangan untuk kelas enam. Dan ruangan yang paling timur pada jaman kami dulu tidak pernah dipakai sebagai ruangan kelas. Karena ruangan di paling ujung timur itu adalah ruangan yang dikhususkan untuk kapel. Di sana ada sebuah altar. Ada juga tabernakel, dan patung bunda Maria. Di dindingnya digantung juga gambar jalan salib yang diteruskan ke ruangan kelas enam, karena ruang kapel itu tidak cukup untuk empatbelas gambar stasi jalan salib.

Berbeda dengan ruangan-ruangan kelas yang lainnya, maka ruangan yang keenam di ujung timur itu tidak dilengkapi bangku tinggi, melainkan hanya dilengkapi dengan bangku rendah (dengklek kalau Bahasa Jawanya) tempat umat ataupun anak sekolah duduk untuk mengikuti Misa ataupun Ibadat pada Hari Minggu.

Jadi, praktis, dari seluruh enam ruangan yang ada di sekolah kami itu, hanya lima yang efektif dipakai sebagai ruangan kelas bagi para siswa. Hal itu masih seperti itu semenjak saya meninggalkan sekolah tersebut saat saya masuk ke Seminari Pius XII Kisol.

Anak-anak kelas satu dan dua bisa memakai satu ruangan kelas yang sama karena biasanya anak-anak kelas dua masuk agak siang dan anak-anak kelas satu masuk pagi. Sesudah dua jam, anak-anak kelas satu akan bubar duluan. Barulah sesudah itu anak-anak kelas dua akan masuk kelas. Namun demikian, para siswa kelas dua tetap harus masuk pagi-pagi ke sekolah. Oleh karena itu, sementara menunggu giliran masuk kelas, para guru biasanya menyuruh kami anak-anak kelas dua untuk belajar sendiri.

Saya masih ingat ada beberapa hal yang harus kami pelajari bersama-sama, dan secara beramai-ramai. Di sebelah barat sekolah itu dulu ada sebuah pohon Alpukat (kami dulu menyebutnya Advokat) yang daunnya cukup rimbun. Biasanya kami anak-anak kelas dua berkumpul di bawah pohon Alpukat itu untuk belajar. Yang kami pelajari ialah doa-doa hafalan. Saat itu, anak-anak kelas dua SD sudah harus bisa menghafalkan doa-doa dalam tradisi Katolik di luar kepala. Itu adalah syarat mutlak untuk bisa diterima sambut baru. Kalau belum menghafal doa-doa tersebut maka anak tersebut tidak akan diterima untuk sambut baru. Dan hal itu tentu saja amat memalukan.

Maka kami secara bersama-sama mencoba menghafal doa-doa tersebut dalam Bahasa Manggarai tentu saja. Pagi-pagi, kami akan berkumpul di bawah pohon itu dan mulai menghafal: “Aku kali Mori, Mori Keraeng de hau. Ca, neka io pina naeng one ranga Daku. Sua, neka caro keta bon ngasang de Mori Kraeng. Telu Hiang ga leso de Mori Keraeng. Pat, hiang ga ende agu emam, kudut lewe mosem one lino hoo.” Biasanya, bagian inilah yang paling sulit untuk diingat dan dihafalkan, karena kalimatnya rada panjang-panjang. Mulai dari perintah kelima ke atas relatif cukup mudah dihafalkan karena rumusannya pendek-pendek. Dan semua siswa bisa melafalkannya di luar kepala dan berlomba cepat-cepatan dan keras-kerasan. Kencang dan ramai sekali.

Saya pikir-pikir justru hal itulah yang telah membantu mempermudah daya ingat bagi orang lain. Sebab kata-kata doa itu, karena diucapkan keras-keras, tidak lagi hanya tertera dalam bentuk tulisan huruf-huruf di kertas atau buku, melainkan kata-kata itu seakan-akan menjadi hidup dan meloncat-loncat di udara, seperti sedang berterbangan kian kemari. Sehingga dalam seluruh proses belajar (menghafal) ini yang berperan tidak lagi hanya mata yang melihat dan mempelototi bentuk-bentuk huruf, melainkan telinga juga sangat berperan, karena kata-kata itu diucapkan secara berirama oleh semua teman-teman. Dengan cara itulah kami saling bantu membantu.

“Lima, neka paki ata. Enam, neka ngoeng ata. Pitu, neka tako. Alo, neka nggopet. Ciok, neka humer naim te ngoeng ata. Cempulu, neka humer naim teo ngoeng ceca data.”

Setelah selesai menghafal Sepuluh Perintah Allah (dalam Bahasa Manggarai), lalu kami menghafal doa-doa cinta (ngaji momang), doa harapan (ngaji bengkes), doa pagi (ngaji gula), doa malam (ngaji wie), malekat Allah (malaekat de Mori Keraeng). Tidak lupa juga kami harus menghafal doa angelus dalam Bahasa Manggarai, Penggawa de Mori Keraeng mai kreba hi Maria Nggeluk, ai hia poli de’I le Nai Nggeluk…dst…dst. Kami juga harus menghafal doa Sengaji Surga (Ratu Surga, Regina Caeli) yang biasanya dipakai pada masa Paskah. Tentu saja kami juga harus menghafal doa Bapa Kami (Yo Ema Dami) dan doa Salam Maria (Tabe o Maria). Semuanya dilakukan secara bersama-sama dan beramai-ramai di bawah pohon alpukat itu.

Sesudah menghafal doa, maka tibalah giliran bagi kami untuk menghafal perkalian. Mulai dari perkalian satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, Sembilan, sepuluh. Untuk tingkat kelas dua awal cukup sampai sepuluh saja. Tetapi sesudah bulan-bulan pertama, hafalan perkalian itu juga harus sampai ke puluhan hingga ke serratus. Dan hafalan perkalian itupun diucapkan secara berirama juga. Agak sudah melukiskannya dengan kata-kata di sini. Pokoknya semua anak harus menghafalnya dengan irama lagu seperti itu. Tidak boleh dan memang juga tidak bisa dengan irama yang lain. Kalau dengan nada dan irama yang lain, maka akan terasa aneh. Dan hal itu akan langsung ditegur juga oleh guru-guru kami yang sesekali datang mengawasi kami belajar di kelas di bawah pohon alpukat yang rindang. Ah indah sekali. Penuh kenangan.

Tentu saja ada teman-teman yang nakal. Saya ingat saya punya teman, sebut saja namanya Robertus. Dia sama sekali bukan tipe orang yang bisa betah untuk duduk belajar. Dia selalu jalan-jalan. Dan suka ganggu cewek-cewek. Kebetulan di kelas kami ada satu teman puteri kami yang cantic. Sebut saja namanya Isaura. Si Robertus ini selalu mencoba duduk di dekat Isaura, walaupun si Isaura menjadi sangat malu dan marah karenanya. Tetapi Robertus sama sekali tidak peduli. Ia tetap menyosor saja. Sehingga kami pun mengolok-olok bahwa Robertus punya pacar di kelas kami yaitu Isaura. Tetapi Robertus tidak hanya suka akan teman kelas. Ia juga suka akan yang kakak kelas. Dan bahkan ada juga anak-anak kelas satu yang baru masuk sekolah. Yah begitulah cinta monyet anak-anak pada masa itu.

Kalau sudah menghafal kalian, biasanya kami juga disuruh untuk membaca teks-teks tertentu. Bahkan ada yang harus dihafalkan dari bacaan itu. Karena bacaan itu sepertinya bisa membentuk sikap dan pandangan hidup serta iman anak-anak. Dari semua bacaan hafalan yang paling saya ingat ialah hafalan bacaan teks berikut ini. ”Hatiku, milik Allah, Kepalaku milik Allah. Mataku milik Allah. Mulutku milik Allah.” Pokoknya kita disuruh dan dituntun oleh bacaan hafalan itu untuk menyebut seluruh anggota badan kita. Dan saat kita menyebut anggota badan itu, kita harus menyentuhnya juga. Misalnya, saat saya mengatakan, Hidungku milik Allah. Saya mengucapkan kata “hidungku” itu sambil memegang hidungku sendiri. Tentu yang disebut ialah bagian atau anggota tubuh yang patut disebut di muka public saja. Dan biasanya hafalan itu diakhiri dengan perkataan: Semuanya milik Allah.

Lagi-lagi Robertus. Orang ini juga paling banyak isengnya. Saat kita menghafalkan teks bacaan hafalan yang baru saja saya sebut tadi, biasanya Robertus memperagakannya secara sangat atraktif di depan teman-teman. Dan dia mulai dari atas. Kepala, telinga, hidung, mata, mulut, dagu, leher, dada, perut. Nah, lalu ia juga tunjuk ke bagian bawah perutnya. Sesudah itu ia berbalik dan menunjukkan pantatnya kepada kami semua. Tentu tidak ada yang menyangkal bahwa itu juga milik Allah karena diciptakan Allah. Tetapi rasanya tidak patut untuk disebutkan secara terang-terangan di depan public seperti dibuat oleh Robertus yang suka bikin ulah itu. Pada saat seperti itu biasanya kita semua pada tertawa. Tetapi ada teman-teman perempuan yang berusia lebih tua dari kami yang mengingatkan kami bahwa kita tidak boleh main-main dengan kata-kata itu. Karena semuanya adalah milik Allah.

Ya, memang teks-teks bacaan hafalan itu dimaksudkan untuk membentuk sikap dan keyakinan bahwa kita tidak boleh berbuat sembarangan saja dengan anggota badan kita, karena anggota badan kita adalah milik Allah.

Jauh di kemudian hari setelah saya membaca kitab suci secara langsung, saya lalu menjadi sadar bahwa teks hafalan itu kiranya berasal dari pandangan teologi santo Paulus yang pernah mengatakan bahwa Tubuh kita adalah Bait Roh Kudus. Karena tubuh kita adalah bait Roh Kudus, maka kita tidak boleh berdosa dengan tubuh kita. Kita harus memuliakan Tuhan dengan tubuh. Tubuh memang untuk Tuhan. Bukan untuk percabulan.

 

Penulis: Dosen dan Peneliti Senior FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.

 


Monday, June 8, 2020

MEREKA TELAH PERGI (CERPEN)

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.

 

 

Saat ini aku masih ingat dengan sangat baik akan kejadian itu. Ya, kejadian itu terjadi ketika saya masih duduk di kelas 2 SD. Saya tidak ingat lagi berapa jumlah teman kelas saya pada waktu itu. Yang jelas, kami penuh satu kelas. Tidak ada bangku yang kosong. Kakak kelas kami juga ada cukup banyak. Dan salah satunya seorang perempuan yang bernama Anas. Anas ini berperawakan kecil. Ia sangat lincah saat bermain dan istirahat sekolah (kami menyebutnya saat itu, “bersenang”. Terkadang sekarang saya berpikir bahwa istilah itu bisa mendatangkan konotasi negatif terhadap sekolah atau pelajaran itu sendiri. Kalau jam-jam di antara pelajaran itu disebut “bersenang”, jangan-jangan para siswa berpikir jam-jam pelajaran itu adalah jam berduka, lawan dari bersenang tadi. Apalagi jika pelajarannya tidak menarik dan tidak bisa ditangkap oleh anak-anak). Anas juga termasuk anak yang suka bergembira. Ia seorang anak yang tipe periang. Ia juga penuh canda dan gelak tawa. Seorang kakak kelas yang mudah dan luwes bergaul. Sampai pada suatu hari, tatkala semuanya itu tiba-tiba berubah secara sangat drastic dan total. Tidak bisa lagi diputar-balikkan. Tidak bisa lagi kembali ke situasi awal. Seakan-akan benar-benar terjadi sebuah kerusakan di dalam hati, di dalam pikiran, walaupun tidak boleh disebut gila. Pokoknya terjadi sebuah terror mental yang mengerikan yang mungkin terlalu berat untuk dipikul oleh seorang anak seusia dia, yang masih kecil, masih duduk di bangku sekolah dasar yang belum mengerti apa-apa tentang pahit dan getirnya kehidupan ini.

Pada suatu hari, pada kesempatan jam istirahat (bersenang) yang pertama, tiba-tiba kami semua mendengar Anas menangis meraung-raung di halaman sekolah kami yang serba sederhana, saat sedang bermain-main dengan penuh gembira dan gelak-tawa dengan semua anak-anak yang lain. Tentu saja semua orang terkejut. Kawan-kawan pada terkejut. Para guru juga tidak kurang terkejutnya. Anas tiba-tiba menangis meragung-raung setelah ia melihat “orang-orang” menggiring beramai-ramai beberapa lelaki dari kampungnya dan juga dari kampung tetangganya.

Segera tersiar kabar bahwa mereka semua akan digiring ke ibu-kota kabupaten. Rupanya di kampung-kampung di sekitar sekolah desas-desus tentang hal itu sudah terdengar beberapa minggu sebelumnya, tetapi belum begitu gencar karena orang belum melihat siapa-siapa yang datang ke kampung. Baru sekarang inilah “orang-orang” itu datang dan hadir di sekitar kami, sangat dekat dengan kami. Tidak hanya datang dan hadir saja, melainkan mereka datang “mengambil” orang dan membawanya ke ibukota kabupaten.

Nah di antara mereka itu, salah satunya adalah ayah Anas. Mereka digiring di sebuah jalan singkat/potong yang melintas persis di halaman belakang sekolah kami, sehingga semua anak-anak sekolah bisa melihatnya. Memang orang-orang itu tidak diikat. Tetapi sangat jelas bahwa mereka berjalan di bawah pengawasan yang ketat dengan polisi dan tentara bersenjata lengkap. Entahlah. Apakah ada isinya ataukah tidak. Anas tiba-tiba menangis karena melihat ayahnya pergi dan pagi itu mereka belum sempat berpamit. Dan sekarang pun tidak bisa pamit, karena kelompok orang-orang itu berjalan di bawah pengawasan dan mereka bergerak seperti orang-orang yang ketakutan. Yang tampak dari pergerakan mereka bukan gerak-gerik dari orang-orang yang bebas.

Kepergian mereka juga diiringi isak tangis para isteri, keluarga, tetangga dan para warga kampung lainnya yang terus memandang mereka pergi menjauh sampai rombongan itu akhirnya hilang di balik punggung bukit karena mereka akan segera berjalan menuruni lereng bukit menuju ke lembah di pinggir sungai wae Lelang, di mana ada jalan raya menuju ke ibukota. Pada saat itu, yang ada hanya satu penjelasan saja. Katanya mereka semua akan dibawa ke ibukota untuk di-“screening”, sebuah kata yang tidak dipahami oleh orang-orang di kampung saat itu, termasuk juga oleh Anas.

Yang jelas ialah bahwa sejak saat itu, ayah Anas dan teman-teman lain di dalam rombongan itu tidak pernah pulang lagi ke kampung mereka, tidak pernah berbalik lagi ke tengah-tengah keluarga mereka. Jelas, itu adalah sebuah pukulan yang amat mengerikan dan menyedihkan bagi keluarga mereka. Orang-orang sungguh menjadi sangat terpukul dan tidak sungguh mengerti akan apa yang terjadi.

Ada satu hal yang aku ingat dengan sangat baik yaitu bahwa sejak saat itu (kelas 3 SD) sampai tamat, Anas berubah drastis. Kalau tadinya dia adalah seorang anak yang sangat periang dan lincah, lalu tiba-tiba menjadi seorang pemurung, dan ia suka menyendiri, dan tidak mau lagi diganggu oleh teman-temannya. Sedih sekali melihatnya saat itu.

Juga sangat sedih kalau membayangkannya lagi sekarang ini. Terlalu cepat ia ditimpa peristiwa tragis itu. Seperti sebuah benih yang baru tumbuh. Belum sempat berakar kuat dan mendalam di dalam tanah, tiba-tiba sudah ditimpa sinar panas mentari yang terlalu terik. Maka dia pun lalu menjadi layu dan mati, ya mati sebelum berkembang mekar.

Saya sendiri, sesudah tamat sekolah dasar, lalu masuk ke seminari menengah. Dan setelah selesai dengan pendidikan di seminari menengah, saya melanjutkan ke seminari tinggi. Nah ketika masih di seminari tinggi itulah aku pernah mendapat berita dari kampung bahwa Anas sudah meninggal dunia karena TBC. Sedih sekali aku mendengar dan membayangkan kabar duka itu. Tetapi, aku yakin, bukan TBC yang menjadi penyebab utama kematiannya, tetapi perjuangan hidup yang penuh penderitaan, hidup tanpa ayah, hidup tanpa tahu ke mana ayah hilang tidak tentu arah. Sebuah misteri kepergian tanpa pernah kembali. Seperti sebuah kematian saja. Misteri tragedi penghilangan orang secara paksa dalam satu operasi penumpasan yang tidak berperikemanusiaan.

Tanpa terasa air mataku mengalir dari mata. Aku terkenang akan Anas, gadis kecil periang yang bernasib malang itu. Yang tiba-tiba berubah dari periang menjadi pemurung karena tragedy hilangnya sang ayah. Ayah yang dibawa pergi dan tidak kembali. Tanpa penjelasan. Ia pergi begitu saja. Aku merasakan sesak di dada karena himpitan kenangan yang teramat sedih dan menyedihkan itu.

Ya, setelah banyak mempelajari lembar-lembar sejarah yang dilewati negeri ini, aku pun akhirnya sadar bahwa Anas adalah salah satu contoh paling kongkret dalam pengalaman hidup sekelompok anak manusia (termasuk saya sendiri tentu saja), betapa percaturan politik nasional, dapat secara nyata mempunyai dampak yang sangat negatif dan sangat personal dan sekaligus eksistensial dalam hidup seseorang. Begitulah kataku dalam hati seakan-akan sedang mengajukan sebuah postulat politis, bahkan mungkin sebuah teori politik.

Dalam sebuah kesempatan kunjungan kepada seorang teman saya pernah menceritakan hal ini secara panjang lebar. Dalam percakapan di penghujung senja di rumah temannya itu saya pernah memberi sebuah penilaian moral-etis terhadap hal itu.

Kebetulan ini adalah sebuah kisah yang sangat tragis.”

Setiap kali aku mengisahkannya, dan juga pada kesempatan kali ini, aku hampir meneteskan air mata lagi. Sebab aku serasa begitu dekat. Aku seperti serasa begitu dekat. Seperti baru saja lewat. Beberapa saat. Seperti masih hangat dalam ingat.

“Kapan hal itu terjadi Frans?” Tanya temanku itu.

“Ya, sekitar tahun 70-an.” Jawabku.

“Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Ya, kira-kira sekitar saat itulah saya ingat hal itu terjadi.” Begitulah penjelasanku lebih lanjut.

Saat itu, tangis orang-orang memecah kesunyian beberapa desa di sekitar kompleks sekolah dasar kami. Tangis yang teramat mengerikan, karena memilukan, menyayat-nyayat kalbu orang yang mendengarnya. Ratap tangis sedih. Mungkin sama seperti yang dikatakan nabi Yeremia itu: Dengar! Di Rama terdengar ratapan, tangisan yang pahit pedih; Rahel menangisi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi (Yer 31:15).” Lalu, sejenak aku hening lagi. Menarik nafas panjang.

“Dan hal yang paling menyedihkan lagi ialah bahwa hampir tidak ada orang yang berdaya mengatasi persoalan seperti itu, termasuk juga pastor paroki kami sekalipun. Rasanya ia hanya seperti seorang penonton saja dari semua tragedi nasional ini. Juga tidak ada orang yang bisa memberi sebuah penjelasan rasional tentang aksi ini. Saat itu ada banyak Rachel-Rachel yang menangis dan meratapi suami-suami mereka yang dipaksa pergi dan tidak pernah kembali.”

“Ya Frans, itulah masa-masa operasi pembersihan dan penumpasan sisa-sisa PKI secara sistematis di seluruh wilayah republik Indonesia ini. Lalu ada hening sejenak lagi yang meliputi kami berdua.

Pokoknya para anggota organisasi terlarang itu harus lenyap dari muka bumi Indonesia.” Sejenak ada keheningan lagi.

Dan mungkin saja ayah si Anas itu juga adalah salah satu dari korban penumpasan dan penghilangan orang secara paksa.”

Kemudian kami berdua pun terdiam, hening. Saya merasa terhanyut dalam sebuah doa spontan yang tiba-tiba menyembul begitu saja dari dalam hatiku. Sepertinya temanku Markus ini juga sedang berdoa bagi orang-orang yang menjadi korban sejarah, korban drama perpolitikan yang serba carut-marut di Republik ini, berdoa bagi si ayah Anas dan para ayah yang lain, yang mati secara antah berantah, dan kuburnya pun antah berantah juga.

Terbersit niat baik dalam diri kami berdua untuk melakukan semacam ikhtiar amnesti dan rekonsiliasi. Misalnya dengan cara mencari para korban itu, terutama yang termasuk kategori rakyat kecil. Mereka sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Tetapi menjadi korban karena proses mobilisasi anggota oleh organisasi yang kemudian dinyatakan terlarang. Mungkin juga karena dibujuk-bujuk oleh pihak yang lain.

Ini dosa siapa? Ini salah siapa?

Sampai sekarang kami semua masih sangat sulit untuk menjawab pertanyaan itu secara pasti.

Entah sampai kapan hal itu akan berlangsung terus seperti itu. Mungkin itu adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya harus dicari pada rumput yang bergoyang.

 

 

Penulis: Dosen dan Peneliti Senior pada FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.

 


Friday, June 5, 2020

CERPEN: JAGUNG MUDA MAMAKU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA. Setiap bulan Januari datang, entah mengapa, saya selalu teringat akan mamaku tercinta, mama Katharina yang sekarang sudah pergi meninggalkan kami beberapa tahun silam. Ya mungkin karena bulan Januari adalah bulan yang selalu penuh dengan hujan. Dan hujan selalu memunculkan rasa melankoli dalam hati sanubariku. Ada banyak kenangan yang datang dan mengalir masuk ke dalam kalbu. Tetapi khususnya hari-hari ini saya tiba-tiba teringat akan masa kecilku di SDK Lamba-Ketang. Pada tahun 1974 saya duduk di kelas VI SDK Lamba-Ketang itu. Pada awal tahun ajaran itu, guru kelas kami di kelas VI, bapak Pit Darut (almarhum), sudah memberi pengumuman kepada kami yang berasal dari Pastor Paroki, Pater Thomas Krumpt, tentang siapa di antara para siswa laki-laki kelas VI yang berminat untuk ikut testing masuk Seminari Pius XII Kisol. Begitu mendengar nama Seminari Kisol itu, hati saya pun mulai berkobar-kobar dan berbunga-bunga. Sudah cukup lama saya ingin sekali masuk Seminari itu. Ada suatu rasa tertarik yang begitu kuat yang muncul di dalam hatiku. Rasa tertarik itu lebih disebabkan oleh sebuah daya pesona, entah apa, dari beberapa siswa seminaris yang berasal dari sekolah dasar kami itu. Setiap kali mereka pulang libur, mereka selalu main ke Pastoran dan mereka diterima dengan sangat gembira oleh Pastor Paroki kami. Selain itu mereka juga tampak lain dari yang lain. Entahlah apa. Saya juga tidak tahu secara pasti. Saya sebut saja nama-nama seperti, almarhum Pius Wans Mahdi. Ada juga Yohanes Bong. Ada juga almarhum Markus Hambut. Kemudian ada juga Norbertus Nempung, dan Dr.Philipus Ngorang. Itulah beberapa kakak kelas saya yang sudah lulus testing masuk ke Seminari Kisol, yang katanya tidak sembarang orang bisa lulus dalam test tersebut. Entah mengapa, saya selalu merasa sangat tertarik dengan penampilan dan kepribadian mereka. Ada suatu aura lain yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Oleh karena itu, saat ada pengumuman testing tersebut, saya langsung menyatakan di depan teman-teman bahwa saya ingin ikut dalam testing seminari itu. Dari kelas kami ada empat orang yang berminat untuk mendaftar: Saya sendiri, Barnabas Selasa, Romanus Pas, dan Stanislaus Peluru (almarhum). Semuanya laki-laki. Maklum sekolah itu hanya untuk laki-laki. Dalam hati kecil saat itu saya sudah bertanya: mengapa tidak ada seminari untuk perempuan? Sudahlah. Itu persoalan lain yang tidak usah dibahas lebih lanjut di sini. Dari empat nama tadi, kemudian ada dua orang yang akhirnya tidak jadi ikut test yaitu Barnabas Selasa dan Stanislaus Peluru. Sedih juga karena mereka mengurungkan niat mereka. Entahlah apa sebabnya. Testing itu sendiri dijalankan di kota Ruteng dengan mengambil tempat di Sekolah Dasar Ruteng V. Singkat cerita, pada bulan November sudah ada kepastian bahwa saya lulus testing dan diterima masuk ke Seminari Kisol. Temanku Romanus Pas tidak lulus. Saya menjadi sedih karenanya, sebab dengan itu berarti saya sendirian dari SDK Lamba-Ketang. Tidak apa-apa. Ayah dan ibu saya sangat mendukung rencana saya untuk masuk ke seminari. Kakak sulung saya juga, kakak Sin Saina, yang saat itu sudah duduk di kelas 1 SKKP Ruteng juga ikut mendukung. Begitu juga dengan adik Maksimus yang langsung di bawah saya. Ia juga ikut mendukung dan ikut senang. Adik-adik yang lain masih kecil. Saya sangat senang dan bangga karena hal itu. Lalu liburan bulan Desember sudah tiba. Jagung-jagung di kebun kami sudah lumayan tua. Tetapi ayah kami mempunyai kebiasaan yang ketat yaitu kami semua tidak boleh memetik jagung sebelum masa panen tiba. Masa panen itu artinya, semua jagung dalam kebun sudah tua semuanya dan sudah cukup untuk dipetik dan disimpan dalam jangka panjang sebagai persiapan menghadapi musim kering pada tahun berikutnya. Dan tidak ada seorang anak pun yang berani melanggar ketetapan dan peraturan itu. Sebab juga tidak mungkin untuk melanggar. Sebab kalau jagung itu dipetik, lalu akan dibakar di mana? Tetapi beberapa kali selama masa liburan Natal mama biasanya mengambil beberapa jagung yang sudah cukup matang usianya untuk dimakan bersama-sama. Kalau mama yang mengambil maka papa biasanya tidak marah. Biasanya jagung itu baru bisa ditanam di akhir bulan Oktober. Jarang sekali terjadi jagung itu bisa ditanam pada bulan September. Umumnya pada akhir bulan Oktober. Tergantung tibanya musim hujan. Dan usia jagung itu kira-kira tiga bulan lebih. Artinya, panen raya baru bisa dilakukan pada akhir bulan Januari. Itulah masa giok latung. Seluruh jagung di kebun ditebang dan buah jagungnya diambil dan dikumpulkan di rumah. Pada malam hari, para sanak saudara dan kenalan akan datang untuk putu latung dan dibuat dalam satuan deleng. Masing-masing deleng terdiri atas 12 tongkol jagung. Enam sebelah, enam sebelah. Setelah di-deleng, lalu jagung itu ditumpuk dalam satuan limbu. Satu tumpukan limbu terdiri atas duapuluh empat deleng ataupun gampo. Begitulah cara kami menyimpan jagung-jagung tersebut sebagai persedian bekal pada musim kering di tahun berikutnya. Itu adalah masa-masa yang paling indah di masa kecil kami. Kami bisa makan jagung muda bersama-sama, beramai-ramai. Baik yang dibakar, maupun yang direbus, dan di-tunu (dibakar dengan kulitnya sekalian). Semuanya terasa manis dan nikmat. Pada bulan Desember akhir tahun 1974 itu saya sudah menghitung bahwa saya tidak akan mendapat kesempatan untuk menikmati jagung muda itu. Sebab pada bulan Januari tanggal 5 kami sudah harus berada di Kisol untuk masuk asrama seminari. Itu artinya, saya tidak akan mendapat kesempatan menikmati jagung muda itu. Sebab panen raya baru bisa dilakukan di atas tanggal 20 atau 25 Januari. Pada waktu itu saya merasa sedih sekali membayangkan hal itu. Sebab kalau hal itu terjadi, maka itulah untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tidak mendapat kesempatan yang sangat langka untuk menikmati jagung muda itu bersama-sama keluarga dengan penuh sukacita. Sedih sekali rasanya. Rasanya seperti mau menangis. Tetapi tidak boleh menangis, sebab itu sudah menjadi pilihan sendiri. Harus berani melangkah terus. Ternyata ibu saya sudah mempunyai perhitungan sendiri. Di sebuah sudut kebun kami di Ketang ibu sudah menanam satu petak jagung khusus yang usianya tidak sampai tiga bulan lebih. Pokoknya, dua setengah bulan lebih sudah bisa dipanen. Benih jagung itu tidak mudah didapat. Tetapi mama berusaha mendapatkannya pada musim tanam tahun 1974 itu. Bapa tidak tahu akan hal itu. Kami-kami yang lain juga tidak mengetahui hal itu. Pokoknya hanya mama yang tahu. Kira-kira seminggu sebelum tiba giliran saya berangkat ke seminari, kami bisa makan jagung dengan puas. Mama sudah memanen jagung yang sudah dipersiapkannya agar saya bisa memakan jagung itu walau panen raya belum tiba. Saya sangat terkejut. Tetapi sekaligus juga merasa senang karenanya. Malam menjelang besoknya saya berangkat ke Ruteng untuk menuju Kisol, mama menceritakan kepada saya rahasia yang ia lakukan. “Nana, pertengahan Oktober saya sudah meminta benih jagung dari ende tua di Lando.” Begitu ia membuka rahasianya. “Itu adalah jenis jagung khusus, jagung yang usianya tidak lama.” Saya dengarkan dengan setia. “Nana, saya selalu perlakukan benih jagung itu secara khusus dalam semacam ritual wuat wini.” “Bagaimana maksudnya mama?” tanya saya. “Ketika musim tanam tiba, saya selalu berbicara kepada benih-benih itu dan mengatakan kepada benih-benih itu agar mereka bisa bertumbuh cepat dan juga cepat berbuah dan menjadi matang karena anakku yang laki-laki akan segera pergi ke tempat yang jauh dan mungkin tidak akan sempat menikmati ritual makan jagung bersama-sama pada saat panen raya.” Saya menjadi bingung karenanya. “Nak, dengan doa ritual wuat wini seperti itu, mama pun menanam jagungnya.” “Nana Frans, itu sebabnya, sebelum akhir Januari (saat masa panen raya tiba), kita sudah bisa memakan jagung yang sudah matang duluan karena sudah diantisipasi oleh saya dengan cara yang khusus seperti itu.” Setelah tiba di Kisol saya coba kilas balik dan ingat kembali apa yang terjadi setahun sebelumnya, Dan dalam kilas balik, saya juga ingat bahwa setahun sebelumnya, yaitu pada awal tahun 1974 kami juga sudah makan jagung pada pertengahan Januari. Itu karena ternyata mama juga sudah melakukan ritual itu pada akhir Oktober 1973 karena pada awal Januari 1974 anak putrinya yang sulung, untuk pertama kalinya pergi jauh meninggalkan kami semua. Saya masih ingat, betapa mama kuat dan tegar mengantar kakak Sin sampai wa mbarud dise Pius yang terletak di dekat Wae Teku Ketang. Setelah itu kakak Sin berangkat terus ke Ruteng bersama bapa. Mama sama sekali tidak menangis. Saya kagum. Tetapi pada sore hari itu, saya lihat dia menangis karena kepergian putri sulungnya yang selama ini selalu setia dan rajin membantu dia. Jauh di kemudian hari saat saya sudah membaca banyak pelbagai buku psikologi, akhirnya saya tahu bahwa itulah yang disebut kekosongan. Para psikolog menyebutnya fenomena sindrom sarang kosong, empty nest syndrome. Sebuah sindrom yang menyedihkan dan menyakitkan. Tadinya di rumah (sarang) selalu ada dia (puterinya), selalu terdengar suara bicara dan tawanya, tiba-tiba sekarang ia sudah pergi jauh untuk sekolah. Kekosongan itulah yang membawa kepedihan dan rasa sakit yang melanda hampir setiap orang tua. Ya Januari, seperti sekarang ini, saya selalu aku teringat akan itu semua. Tidak akan terlupakan. Juga setelah mama pergi dari sini. Tetapi justru dengan itu, ia secara ajaib selalu jauh lebih dekat di hati kami masing-masing. Ia tetap hidup di sini. Itu sudah pasti. Bandung, pertengahan Januari 2019.

Thursday, June 4, 2020

CERPEN: STANISLAW TUKEKEBE

Oleh: Fransiskus Borgias Sekolah. Sebuah kata relatif baru bagi orang Manggarai tahun 70-an. Walaupun sekolah sudah diperkenalkan sejak tahun 20-an, tetapi tetap saja belum tertanam kesadaran yang kuat untuk sekolah. Sekolah terkesan dipaksakan guru. Sedangkan anak murid dan orang tua mereka terkesan sekolah karena terpaksa. Mereka malas sekolah. Kalau harus ke sekolah mereka ogah-ogahan. Tidak ada perspektif bahwa sekolah dapat mendatangkan perbaikan mutu kehidupan. Sekolah bisa mendatangkan efek perubahan hidup. Yang dilihat hanya bahwa sekolah membuang-buang waktu. Mengurangi jumlah tenaga kerja anak, sebab tenaga mereka murah. Tidak perlu dibayar. Cukup dikasih makan, sudah beres. Salah satu orang yang mempunyai anggapan seperti itu adalah orang tua Stanislaw Tukekebe. Biasa dipanggil Stanis. Ia teman kelas saya. Kami sama-sama masuk kelas satu. Tetapi di sekolah Stanis hanya mengantuk. Tidur di bangku. Kalau sudah mengantuk ingusnya mengalir tanpa terkontrol dan menumpuk di meja-bangku. Kalau dibangunkan guru ia sangat terkejut, dan cenderung seperti mau marah. Matanya merah karena baru bangun tidur. Tetapi yang paling menjijikkan ialah tumpukan ingusnya di meja itu. Jika sudah demikian ia menggosok ingus itu dengan sarungnya. Suatu saat ia lupa bahwa di dalam sarung itu ia tidak pakai celana. Ketika ia mengangkat tinggi-tinggi sarungnya agar bisa menghapus ingus itu, burungnya kelihatan. Satu-satunya hal yang dipuji dari dia adalah di bidang lari jarak jauh. Ia pelari cepat di kelas kami bahkan di sekolah kami. Ia selalu menang lomba lari, baik antar kelas, maupun antar sekolah dalam lingkup paroki. Maka ia sering dimaafkan kalau bolos sekolah karena ia aset di bidang olah raga lari. Bidang olah raga lain ia tidak bisa diandalkan. Apalagi dalam ilmu-ilmu lain dalam kelas. Ia tidak tahu apa-apa. Suatu saat, ketika kami duduk di kelas IV SD. Guru kami saat itu ialah Bapa Lorens. Ia guru agama, tamat APK Ruteng. Bergelar BA. Gelar yang amat tinggi waktu itu di kampung kami. Keren. Jarang orang menulis dua huruf itu di belakang namanya. Ia mengajar agama. Juga kesenian. Ia mempunyai bakat yang tinggi di bidang kesenian. Melukis, menggambar, menyanyi, dan menari. Beliau sangat berbakat. Saya banyak belajar dari dia. Tetapi dia juga amat berdisiplin dan dengan keras dan kaku ia menegakkan disiplin itu tanpa pandang bulu. Sudah beberapa kali dalam catatan dia, Stanis bolos. Bahkan sekarang ia tidak masuk sekolah selama satu bulan. Maka ia mengutus orang ke kampungnya untuk memberitahukan hal itu kepada ayahnya. Setelah dilakukan pendekatan seperti itu, akhirnya Stanis datang ke sekolah. Tetapi ia sangat dimarahi sang guru. Ia dipanggil ke depan kelas. Sang guru mempunyai rotan. Dengan rotan itu ia menanyai Stanis. Setiap jawaban, entah benar atau salah, dihadiahi satu-dua kali lecutan rotan di pantatnya atau punggungnya. Lecutan itu sangat keras. Maklum lengan sang guru sangat besar, sedangkan pantat sang murid sangat kecil, sebab badannya kurus. Kami ketakutan mendengar bunyi lecutan itu. Kami tidak sempat menghitung berapa lecutan yang mendarat di punggung dan pantatnya. Tetapi ia termasuk orang yang tahan pukul. Ia hanya meringis, tetapi tidak menangis, walau ia tampak marah. Kami sempat menduga bahwa ia punya ilmu dukun kebal terhadap rasa sakit akibat lecutan rotan. Tetapi setelah lecutan yang ke sekian, akhirnya ia menangis, meraung-raung dalam kelas. Baru saat itulah sang guru menyetop interogasi dan lecutannya. Lalu ia disuruh duduk kembali ke bangkunya. Ia tidak dapat lagi mengikuti pelajaran. Ia hanya menangis tersedu-sedan menahan rasa sakit di punggungnya. Kebetulan hari itu, ia memakai baju yang rada sobek di punggungnya. Terbelah dari atas ke bawah. Maka dari sobekan itu, saya bisa melihat kulit punggungnya membengkak bekas lecutan rotan itu. Ada yang memar (bokol Bahasa Manggarai-nya), ada yang memerah seperti bakal mengeluarkan darah. Aku kasihan melihatnya. Aku mencoba merabanya. Tetapi dibentak sang guru. Aku akhirnya diam. Sophia, yang biasa bertengkar dengan Stanis mengenai apa saja, ketika istirahat, datang kepada Stanis. Ia melihat memar di kulitnya. Ia mencoba menghibur. Sophia takut hal itu bakal mendatangkan bencana. Entah apa. Keesokan harinya, ketika saya pagi-pagi ke sekolah, saya melihat beberapa orang dari Perang datang ke sekolah membawa tombak dan pedang. Wajah mereka penuh amarah dan dengki. Menakutkan sekali melihat wajah mereka. Cepat-cepat aku berlari ke rumah memberitahukan hal itu kepada ayah. Rupanya saya terlambat. Ternyata di rumah kami sudah ada guru yang kemarin menyiksa Stanis. Ia ketakutan. Ia mau bersembunyi dan mencari perlindungan di rumah kami. Ia meminta perlindungan papa saya. Lalu saya keluar lagi melihat ke mana orang-orang itu pergi. Ternyata mereka pergi ke rumah sang guru. Mereka tidak masuk ke rumah itu. Di sana hanya ada nyonya, anak-anak dan Sophia, yang tinggal bersama mereka untuk membantu segala macam urusan di rumah tangga sang guru. Entah mendapat informasi dari siapa, mereka tahu bahwa sang guru bersembunyi di rumah papa. Mereka pun ke rumah kami. Mereka berbaris di depan rumah. Berjarak kira-kira lima-enam meter dari rumah. Tombak di tangan kiri, diberdirikan di atas tanah dengan ujung ke tanah. Tangan kanan kosong, tidak memegang apa-apa. Tetapi di pinggang sebelah kiri bertengger pedang panjang yang siap dicabut dari sarungnya dan dihunus. Kami ketakutan melihat kehadiran mereka. Papa saya dengan sangat tenang menghadapi itu semua. Sang guru amat ketakutan. Ia memohon agar disembunyikan dalam rumah kami. Tetapi papa menenangkan dia. Papa meyakinkan dia bahwa mereka tidak akan berani masuk ke rumah. Betul. Mereka hanya berdiri di sana. Memanggil nama sang guru. Memaki-makinya. Mengecamnya, mencercanya. Salah satu dari mereka ialah ayah Stanis. Satu lagi pamannya. Saya kenal yang satu lagi, tetapi tidak tahu apa hubungannya dengan Stanis. Mereka siap menerkam. Setelah papa membiarkan mereka omong seenaknya dan sepuasnya, dan tampak bahwa mereka sudah kehabisan nafas dan amarahnya sudah surut karena terlontarkan dalam teriakan-terikan dan caci-maki, akhirnya ayah saya dengan berani keluar dan berdiri di pintu. “Ole, cala tombo bone ata di’an ta kraeng.” (Rasanya lebih enak kalau kita omong-omong di dalam rumah). Papa saya mengucapkan tanya itu dengan senyum dan tertawa terkekeh-kekeh yang menjadi khasnya ayah saya. Melihat papa saya keluar, mereka menjadi malu. Buru-buru mereka meletakkan tombak mereka ke tanah. Tetapi mereka tidak segera menjawab. Lalu papa saya masuk lagi, sambil menghembuskan asap rokoknya di ambang pintu rumah sebanyak tiga kali. Papa menghembuskan guna-guna untuk melunakkan amarah orang. Karena belum ditanggapi, sekali lagi papa berdiri di pintu. “Oe kesa, cala bone mbaru bone ata dian te tombo ta?” (Ipar, kiranya bicara di dalam rumah terasa jauh lebih baik). Dengan tergesa-gesa mereka tertunduk malu melihat ayah saya muncul untuk kedua kalinya di muka rumah. Sementara di dapur mama saya sibuk menjerang air untuk bikin kopi hangat dan merebus ubi tatas yang nikmat untuk sarapan pagi. Akhirnya, mereka meletakkan korung mereka di tanah, melepas pedang mereka lalu masuk ke dalam rumah kami. Pak Guru sudah terlebih dahulu bersembunyi di kamar belakang. Papa menawarkan mereka rokok dan kopi. Dalam rokok dan kopi itu sudah ditiup guna-guna untuk membuat amarah orang mereda. Entah bagaimana caranya. Setelah mereka mereda, akhirnya papa mulai berbicara tentang arti penting pendidikan, sekolah dan arti penting disiplin. Ternyata Stanis bolos sekolah karena sering disuruh dan diajak orang tuanya ke Lembor untuk kerja sawah. Kadang Stanis sendiri yang mau membolos karena malas sekolah. Itulah yang diakui oleh orang-orang tadi. Setelah itu, bapa melanjutkan dengan penegasan bahwa penegakan disiplin di sekolah itu penting, walau tidak harus dengan kekerasan. Tetapi tindakan seperti yang dilakukan mereka sekarang, juga dikecam keras oleh papa. Nanti hal itu bisa dilaporkan sebagai kejahatan kepada pihak kepolisian. Mendengar itu, akhirnya mereka menyerah kalah. Setelah itu, saya disuruh papa untuk berpura-pura pergi ke suatu tempat memanggil Pak Guru. Setelah beliau datang, maka terjadilah pendamaian. Melalui uap-uap yang membumbung dari gelas-gelas kopi pagi dan piring ubi tatas yang hangat. Bercampur asap rokok daun tal (saung koli). Pagi itu lalu terasa lega lagi. Mereka berangkulan. Awan kabut di jidat mereka sudah reda.

Wednesday, June 3, 2020

CERPEN: NELIA MEIJA

Oleh: Fransiskus Borgias M. Kampung Pelus terletak di lereng bukit. Di sana hidup sebuah keluarga. Ayah, ibu, dan empat anak. Yang paling besar sudah tamat SD. Yang kedua kelas enam SD. Yang ketiga kelas IV SD. Yang ketiga ini biasa dipanggil dengan nama Nelia Meija. Yang paling kecil, masih belum sekolah. Sebenarnya ia sudah harus masuk sekolah, tetapi ia merasa masih kecil. Perjalanan ke sekolah jauh, harus menyeberangi sebuah sungai kecil di sawah. Pada musim kering, sungai itu tidak berbahaya. Tetapi pada musim hujan, sungai itu berbahaya, sebab ia bisa menghanyutkan anak kecil. Kerbau saja pernah terseret arus banjir yang deras di tengah sawah. Masa paceklik belum akan segera berakhir. Kelaparan masih mendera para penduduk di Pelus dan juga kampong-kampung yang lain di sekitarnya. Tidak terkecuali keluarga Nelia sendiri. Mereka juga dilanda kelaparan. Sebagaimana kebiasaan di kampung itu, kalau kelaparan terjadi, kalau usaha kerja lading dan sawah sudah tidak bisa lagi menolong hidup mereka, maka mereka harus pergi mencari makanan itu di hutan. Hutan adalah sebuah meja umum, meja bersama, ke mana orang bisa datang untuk belas kasihan atas hidup ini. Orang di kampung itu pun juga mencoba mengatasi ancaman bahaya maut kelaparan itu dengan cara mencari beberapa umbi-umbian di hutan. Salah satu umbi hutan yang paling dicari orang ialah raut. Dalam bahasa Indonesia disebut gadung. Pada musim kering, entah mengapa, umbi hutan ini justru sangat subur dan terdapat cukup banyak di hutan. Tetapi umbi ini harus diolah. Dan proses pengolahan itu memakan waktu yang cukup panjang, dari tiga hari sampai satu minggu. Ayah Nelia, termasuk orang yang cukup rajin di kampong itu untuk pergi ke hutan mencari raut atau apa saja yang masih bisa dimakan. Ia bahkan berhasil mengambil raut di hutan sebanyak setengah karung goni. Lalu ia membawanya ke kali di kaki bukit. Kali itu masih tetap berair walaupun musim kemarau cukup panjang. Mungkin karena mata airnya berasal dari golo Nosot dan Poco di Nampe. Sepanjang dari siang sampai sore ia sibuk mengupas umbi hutan itu, memotong dan membelahnya menjadi kecil-kecil. Sebentar-sebentar ia beristirahat dari kerjanya lalu mencoba mengisi perutnya yang lapar dengan ubi tatas bakar yang dibawanya dari rumah yang dititipkan sebagai bekal oleh isterinya. Hanya ubi bakar. Tidak ada minuman. Sebagai air minum ia mencari air yang keluar dari cadas di pinggir kali kecil itu dan ia minum dari pancuran alam itu. Nikmat sekali. Lalu ia melanjutkan pekerjaannya. Hari sudah mulai senja, ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya. Lalu ia mencari tempat di sungai itu yang airnya mengalir cukup deras dan terbuka tempat ia bakal merendam umbi itu selama beberapa hari. Ia temukan tempat itu. Airnya mengalir lancar dan cukup aman dari gangguan binatang lain. Dan juga ia berharap cukup aman dari para pencuri yang mau mencari gampang saja: tinggal datang ke sungai mencuri umbi yang direndam orang lain. Lalu ia pulang. Di kampung ia disambut anak-anaknya, termasuk Nelia. Sang ayah memberikan kepada mereka sebungkus ikan, udang, dan kodok yang berhasil ia tangkap di kali untuk diserahkan kepada ibu untuk diolah jadi santapan malam itu. Betapa senang dan gembiranya anak-anak itu menerima bungkusan daun pisang itu. Berarti malam itu, mereka bisa makan enak karena ada ikan, udang, kodok. Cukup untuk menambah nikmat kebahagiaan makan malam keluarga malam itu. Setelah makan malam, sang ayah memberitahukan kepada sang ibu, tempat ia merendam raut itu di kali dengan sangat detail. Sebab kalau salah memberi petunjuk hal itu akan mendatangkan celaka besar bagi keluarga. Proses rendam itu sendiri dimaksudkan untuk mengeluarkan zat beracun dari umbi itu. Tidak ada cara lain yang dikenal selain cara perendaman itu. Dan hal itu harus berlangsung selama 3 sampai 4 hari. Pada hari keempat atau kelima umbi itu baru bisa diambil untuk dijemur dan diolah menjadi makanan. Sang ayah memberitahukan hal itu karena dalam dua tiga hari kedepan ia berencana pergi jauh ke keluarga dekat untuk meminta bantuan. Istilahnya “ngo ngende.” Sesungguhnya bukan ngende, melainkan pergi menagih utang pinjaman. Sebab ada keluarga jauh yang pernah meminjam uang. Ia berharap mereka bisa mengembalikannya sekarang. Biarpun tidak berupa uang tetapi berupa barang. Ia sangat berharap hal itu bisa terjadi, sebab di kampong itu tidak terjadi bencana kelaparan yang keterlaluan, sebab mereka bisa makan jagung yang mereka tanam di sawah di pinggir kali. Sang ayah pun pergi. Perjalanan ke sana memakan waktu 1 hari penuh. Satu atau dua hari ia akan tinggal di sana. Dan satu hari dipakai untuk perjalanan pulang. Jadi total bisa tiga sampai empat hari. Menurut perhitungan sang isteri, hari keberangkatan sang suami itu adalah hari perendaman yang ketiga bagi raut di sungai. Jadi, sudah bisa diambil. Tetapi ia menunda sampai hari perendaman keempat. Maka ia berangkat besoknya ke kali, dan mencari umbi rendaman itu. Dan dengan mudah ia menemukan apa yang telah dikerjakan suaminya. Ia mengenal cirri-ciri penanda yang diceritakan suaminya. Ia mengenal cirri-ciri khas karung goni yang dipakai suaminya. Maka tanpa ragu ia mengangkatnya, membersihkannya. Pada saat itulah ia rada curiga, karena sama sekali tidak terjadi perubahan warna pada umbi itu setelah direndam empat hari. Semuanya masih tampak sangat segar. Tetapi menilik ciri-ciri tempat perendaman dan karung goni perendam, ia tidak ragu sama sekali. Maka ia membawa pulang umbi itu. Ia mengolahnya untuk makan malamnya dan anak-anaknya. Malang benar nasib mereka. Ternyata umbi yang diolah ayah mereka empat hari yang lalu dicuri orang. Umbi yang dibawa ibunya adalah umbi yang baru direndam. Maka mereka keracunan semua. Orang-orang di kampung itu menjadi panik. Mereka mencoba mencari minyak kelapa untuk diminumkan kepada mereka. Beruntung keluarga Adam Sempongapi menyimpan satu botol minyak kelapa yang segera dipanaskan di dekat tungku agar cepat mencair. Setiap kali mencair, dituang ke gelas untuk diminumkan pada korban keracunan itu. Sang ibu segera tertolong. Demikian juga yang paling besar dan paling kecil. Anak kedua juga tertolong. Anak ketiga tidak tertolong. Itulah Nelia. Dialah yang paling cantik dari antara kedua kakak perempuannya. Paling pintar. Paling baik sikap dan perilakunya. Semua orang di kampung menyayangi dia. Dukun penolong tidak bisa menolong nyawanya. Ia mati. Sang ibu pingsan lagi menyaksikan hal itu. Besok pagi-pagi buta, orang mengirim beberapa orang utusan untuk panggil pulang ayanya. Ayahnya langsung pingsan mendengar kabar itu. Ia tidak bisa menerimanya. Bagi sang ayah, Nelia adalah hiburan paling menyenangkan dalam hidup. Ia merasa sukses menjadi ayah karena ada Nelia. Ia merasakan makna menjadi ayah karena menjadi ayah Nelia, dan karena kehadiran Nelia dalam hidupnya. Ia merasa kehilangan. Ia hanya bisa menangis. Tetapi karena ia orang Katolik, ia akhirnya hanya bisa berkata seperti Ayub: Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan. Sementara di kampong tetangga, di Lentang, ada seseorang yang bernama Belasius Cabut. Ia dikenal sebagai pemalas. Tukang curi, tukang pembual. Pada malam nahas itu, semua orang di rumahnya melihat bahwa mereka makan raut yang enak. Tetapi semua orang juga tahu bahwa si Cabut ini tidak pernah pergi ke hutan mencari umbi. Kerja dia hanya mengintai orang-orang yang ke hutan. Siapa saja yang ke hutan ia perhatikan. Lalu ia akan mengintai ke mana mereka mengolah umbi-umbian itu. Ia hanya memindahkan umbi dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak peduli apakah umbi yang ia curi dari satu tempat itu sudah layak dimakan atau belum. Yang penting bagi dia ialah bahwa umbi yang bakal ia curi itu memang sudah siap untuk dimakan. Malang bagi Nelia. Raut yang diolah ayahnya, yang memang sudah siap dimakan menurut perhitungan normal, diduga diganti oleh Cabut dengan umbi yang ia curi dari bagian lain dari kali yang satu dan sama. Tetapi tidak ada bukti sama sekali, selain kenyataan bahwa Cabut tidak bekerja, walau ia selalu bisa makan. Ia makan dari hasil curian. NB: Semua nama orang dan nama tempat dalam cerpen ini, hanya fiktif belaka.

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...