canticum solis adalah blogspot saya untuk pendalaman dan diskusi soal-soal filosofis, teologis, spiritualitas dan yang terkait. Kalau berkenan mohon menulis kesan atau komentar anda di bagian akhir dari artikel yang anda baca. Terima kasih... canticum solis is my blog in which I write the topics on philosophy, theology, spiritual life. If you don't mind, please give your comment or opinion at the end of any article you read. thanks a lot.....
Monday, June 22, 2020
ATG: MEMBACA DAN MENAFSIRKAN KITAB SUCI
Monday, June 15, 2020
PARA PAHLAWAN YANG MENGAJAR KAMI
Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Saya sekolah
di SDK Lamba-Ketang mulai dari kelas satu sampai dengan kelas enam SD. Saya
masuk sekolah pada bulan Januari 1969. Saya tamat SD bulan Desember tahun 1974.
Pas enam tahun. Sampai dengan tahun 1971, saya masih ingat para guru yang
mengajar kami ialah nama-nama berikut ini. Bapak Alo Handuk yang bertugas
sebagai kepala Sekolah. Ibu Sabina Imut yang mengajar di kelas dua SD. Ibu
Sebina adalah isteri dari bapa Alo Handuk. Pada pertengahan tahun 1971, Bapa
Alo dan Ibu Sebina meninggalkan sekolah Lamba-Ketang, dan berpindah ke Kempo,
Kampung halaman Bapa Alo. Kalau tidak salah bapa Alo pindah ke SD Compang.
Selain kedua guru tadi, ada juga guru-guru lain, yaitu Bapak Petrus Hanu, Bapak
Frans Ebat dan Bapak Felix Mar (ayah saya sendiri). Jadi, total ada lima orang
guru. Itu sudah bagus.
Setelah bapa
Alo dan ibu Sebina pindah ke Kempo, keduanya diganti oleh bapa Gerardus Rengka
dan juga bapak Guru Pit Darut. Tetapi tidak lama sesudah itu, bapak Pit Hanu pindah
ke Denge, ke kampung asalnya beliau. Tetapi sepeninggal bapa Pit Hanu, ada juga
seorang penggantinya yaitu Bapak Lambertus Jerawan BA yang pada saat itu baru
saja menyelesaikan studinya di APK Ruteng. Pokoknya sejak tahun 1971 sampai
tahun 1974 (saat saya tamat Sekolah Dasar) guru-guru yang ada di sana ialah Bapa
Gerardus Rengka (sebagai Kepala Sekolah), Bapa Frans Ebat, Bapa Petrus Darut,
Bapak Felix Mar, Bapak Lambertus Jerawan. Bapak guru Gerardus Rengka mengajar
kelas 1 dan 2. Bapak Frans Ebat mengajar kelas 3. Bapak Lambertus Jerawan
mengajar kelas empat. Bapak Feliks Mar mengajar kelas lima. Bapak Pit Darut
mengajar kelas enam.
Kelima guru
ini masing-masing mempunyai sumbangan yang sangat unik bagi perkembangan
kepribadian para siswa. Saya sebut saja satu per satu di bawah ini. Bapa guru
Pit Darut adalah seorang seniman music suling yang sangat handal. Dia melatih
para siswa SD untuk bermian suling dan bahkan membentuk paduan suara seruling. Kami
bisa memainkan beberapa lagu yang ia latihkan kepada kami. Dan saya masih ingat
dengan sangat baik lagu-lagu tersebut hingga sekarang ini. Pada waktu itu,
karena belum ada music rekaman seperti sekarang ini, kami paduan suara seruling
itu sering diundang para pengantin yang akan menikah untuk mengiringi mereka
dari kampung mereka ke gereja dan pulang lagi dari gereja ke kampung mereka. Ya,
kami iringi perjalanan pengantin itu dengan bunyi seruling kami dan gendang
(tambur).
Bapak Feliks
Mar dan Bapak Frans Ebat sama-sama mempunyai minat dan perhatian yang besar
akan misa-misa adat. Mereka juga mempunyai minat yang besar akan lagu-lagu
sanda. Mereka membaktikan diri mereka berdua untuk mempelajari beberapa sanda
yang sudah diadaptasi oleh beberapa komponis pada waktu itu dan melatihkannya
kepada para siswa Sekolah Dasar. Beberapa sanda yang ada dalam buku Dere Serani
pun mereka pelajari dengan baik dan juga mereka ajarkan kepada para siswa
dengan baik. Jadi, kedua orang ini sangat sibuk memberi perhatian pada
misa-misa inkulturatif gereja. Beberapa lagu mbata dan sanda dari dere serani
akhirnya bisa saya kuasai karena jasa dari kedua orang ini yang bagi saya sangat
luar biasa. Bahkan bapak Guru Frans juga pandai menyanyi sambil memukulkan
gendang dengan irama mbata. Luar biasa.
Lain lagi
ceritanya dengan bapak Guru Lambertus Jerawan BA. Bagi saya beliau adalah
seorang guru katekis professional karena ia memang secara khusus belajar untuk
tujuan itu di APK (Akademi Pendidikan Kateketik) Ruteng. Dia adalah seorang
guru agama yang jago sekali bercerita. Saya masih ingat dengan sangat baik pada
saat di kelas IV kami disuguhi cerita yang sangat hidup dan menarik tentang
drama penyeberangan Laut Merat yang terkenal dahsyat itu di mana orang Israel
luput dari kejaran orang-orang Mesir karena mereka lari di tengah laut yang
membelah. Luar biasa. Selain itu, bapak Lambertus juga adalah seorang dirigen
dan pelatih koor modern gereja. Boleh dikatakan itulah yang menjadi
spesialisasi Bapa Lambert di SDK Lamba-Ketang.
Terakhir ada
bapa guru Gerardus Rengka. Guru paling senior pada waktu itu. Beliau juga
mempunyai sumbangan yang sangat unik. Suaranya bass dan dalam dan berat sekali.
Beliaulah jagonya lagu-lagu Gregorian berbahasa Latin. Dan kami anak-anak
sekolah pada waktu itu dilatih dengan keras dan penuh disiplin oleh beliau. Saya
ingat itu dengan sangat baik. Kami harus belajar lagu-lagu Gregorian dalam Bahasa
Latin. Saya masih ingat dulu, kalau pada tanggal 2 November setiap tahun ada
misa Hitam. Disebut Hitam karena imamnya mengenakan busana liturgis berwarna
Hitam. Sekarang warna hitam itu tidak pernah dipakai lagi. Nah, dalam misa
Hitam itulah kami anak-anak SDK harus menyanyikan lagu-lagu misa requiem Latin
itu. Dan Lagu persembahan yang panjang itu juga dinyanyikan. Dan tentu saja
Bapa Gerardus dibantu oleh semua guru-guru menyanyikan lagu itu dengan baik. Benar-benar
luar biasa.
Dari kelima
nama bapa guru itu, yang masih hidup tinggal satu orang saja, yaitu Bapa guru Frans
Ebat. Dia juga sudah pension sekarang ini. Dan sekarang dia sudah menetap lagi
di Ketang setelah sempat pindah-pindah mengajar di beberapa tempat yang lain. Robert,
anak sulung bapak guru Frans Ebat, memberitahukan saya tentang bapa Frans Ebat
yang masih sehat walafiat. Puji Tuhan. Yang lain sudah meninggal. Bapa Pit
Darut meninggal tahun 1978. Bapa Feliks meninggal tahun 2013. Bapa Lambert saya
lupa persisnya, tetapi rasanya di atas tahun 87an. Bapa Gerardus juga sudah
meninggal tetapi saya lupa tahunnya.
Saat saya ingat
para guruku, saya ingat diri saya sendiri pada usia sekolah dasar. Tatkala ingat
akan guru-guru itu, ingatan saya langsung meluncur ke masa silam itu. Masa saya
masih anak-anak di sana, di SDK Lamba-Ketang. Pada saat itu saya dan
teman-teman bisa bermain di kebun, bahkan bisa juga bermain di sawah, menelusuri
pumpuk-pumpuk yang ada di sekitar Ketang untuk mencari pupuk kering (berupa
cirit kuda ataupun cirit kerbau dan ciri sapi yang sudah mengering). Kami juga
biasa pergi mencari rumput untuk pakan kuda, dan terutama juga mencari ikan
kecil di sawah, wader kalau orang Jawa menyebutnya. Oh ya juga suka mencari
katak.
Ada satu hal
lagi yang harus saya ungkapkan bahwa kelima orang guru ini adalah guru-guru
yang punya dedikasi tinggi untuk ilmu, di sekolah, juga untuk kehidupan agama
di gereja dan di tengah masyarakat. Bersama-sama mereka mengembangkan sekolah
ketang itu, dan juga memberikan pengabdian kepada masyarakat di sekitar. Benar-benar
luar biasa mengagumkan.
Thursday, June 11, 2020
GOLO NOSOT 2
Tuesday, June 9, 2020
BELAJAR DI BAWAH POHON (CERPEN KETANG)
Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Gedung
sekolah kami, menurut saya pada waktu itu, termasuk sudah sangat bagus. Pada
saat itu sekolah kami di SDK Lamba-Ketang, sudah berdinding papan. Fundasinya
sudah bersemen. Walaupun lantainya belum bersemen. Tetapi itu sudah kokoh
sekali. Di dalam sekolah kami merasa aman, terutama sekali saat hari-hari
hujan. Kami aman dari kebasahan dan kedinginan karena diterpa angin tenggara
yang kencang dan dingin itu. Angin itu serasa menerpa kencang dari belahan sebelah
timur poco Ngkerok yang bertiup dari arah Kole, Hejar, Pela, Lembah Wae Lelang,
dan menerpa bukit Ketang. Pada musim jagung, biasanya jagung-jagung di kebun
rebah karenanya. Sungguh sebuah bencana, bencana angin. Seakan-akan lembah wae
Lelang itu menjadi pintu masuk angin yang bertiup kencang dari laut selatan ke
arah bagian tengah kawasan kedaluan Lelak.
Saat
itu gedung sekolah kami sudah terdiri atas enam ruangan. Tidak ada ruang khusus
untuk kantor para guru. Kantor para guru di masing-masing kelas guru yang
bersangkutan. Pada saat itu, yang ada ialah guru kelas. Bukan guru mata pelajaran. Artinya, kalau
bapa guru A, mengajar di Kelas III, maka ia harus mengajarkan semua mata
pelajaran di kelas itu. Tidak ada persoalan mengenai apa sang guru itu kompeten
atau tidak. Rasanya waktu itu semua guru bisa mengajarkan semua mata pelajaran
di kelas yang menjadi tanggung jawabnya. Luar biasa.
Kebetulan
pintu-pintu ruang kelas sekolah kami itu menghadap ke utara. Gedung
itu memanjang dari Timur ke Barat. Ruangan paling barat diperuntukkan bagi
kelas satu dan kelas dua. Sesudah itu ada ruangan untuk kelas tiga. Lalu ada
ruangan untuk kelas empat. Lalu ruangan untuk kelas lima. Lalu ada ruangan
untuk kelas enam. Dan ruangan yang paling timur pada jaman kami dulu tidak
pernah dipakai sebagai ruangan kelas. Karena ruangan di paling ujung timur itu
adalah ruangan yang dikhususkan untuk kapel. Di sana ada sebuah altar. Ada juga
tabernakel, dan patung bunda Maria. Di dindingnya digantung juga gambar jalan
salib yang diteruskan ke ruangan kelas enam, karena ruang kapel itu tidak cukup
untuk empatbelas gambar stasi jalan salib.
Berbeda
dengan ruangan-ruangan kelas yang lainnya, maka ruangan yang keenam di ujung
timur itu tidak dilengkapi bangku tinggi, melainkan hanya dilengkapi dengan
bangku rendah (dengklek kalau Bahasa Jawanya) tempat umat ataupun anak sekolah
duduk untuk mengikuti Misa ataupun Ibadat pada Hari Minggu.
Jadi,
praktis, dari seluruh enam ruangan yang ada di sekolah kami itu, hanya lima
yang efektif dipakai sebagai ruangan kelas bagi para siswa. Hal itu masih
seperti itu semenjak saya meninggalkan sekolah tersebut saat saya masuk ke
Seminari Pius XII Kisol.
Anak-anak
kelas satu dan dua bisa memakai satu ruangan kelas yang sama karena biasanya anak-anak
kelas dua masuk agak siang dan anak-anak kelas satu masuk pagi. Sesudah dua
jam, anak-anak kelas satu akan bubar duluan. Barulah sesudah itu anak-anak kelas
dua akan masuk kelas. Namun demikian, para siswa kelas dua tetap harus masuk
pagi-pagi ke sekolah. Oleh karena itu, sementara menunggu giliran masuk kelas,
para guru biasanya menyuruh kami anak-anak kelas dua untuk belajar sendiri.
Saya
masih ingat ada beberapa hal yang harus kami pelajari bersama-sama, dan secara
beramai-ramai. Di sebelah barat sekolah itu dulu ada sebuah pohon Alpukat (kami
dulu menyebutnya Advokat) yang daunnya cukup rimbun. Biasanya kami anak-anak
kelas dua berkumpul di bawah pohon Alpukat itu untuk belajar. Yang kami
pelajari ialah doa-doa hafalan. Saat itu, anak-anak kelas dua SD sudah harus
bisa menghafalkan doa-doa dalam tradisi Katolik di luar kepala. Itu adalah
syarat mutlak untuk bisa diterima sambut baru. Kalau belum menghafal doa-doa
tersebut maka anak tersebut tidak akan diterima untuk sambut baru. Dan hal itu
tentu saja amat memalukan.
Maka
kami secara bersama-sama mencoba menghafal doa-doa tersebut dalam Bahasa
Manggarai tentu saja. Pagi-pagi, kami akan berkumpul di bawah pohon itu dan
mulai menghafal: “Aku kali Mori, Mori Keraeng de hau. Ca, neka io pina naeng
one ranga Daku. Sua, neka caro keta bon ngasang de Mori Kraeng. Telu Hiang ga
leso de Mori Keraeng. Pat, hiang ga ende agu emam, kudut lewe mosem one lino
hoo.” Biasanya, bagian inilah yang paling sulit untuk diingat dan dihafalkan,
karena kalimatnya rada panjang-panjang. Mulai dari perintah kelima ke atas
relatif cukup mudah dihafalkan karena rumusannya pendek-pendek. Dan semua siswa
bisa melafalkannya di luar kepala dan berlomba cepat-cepatan dan keras-kerasan.
Kencang dan ramai sekali.
Saya
pikir-pikir justru hal itulah yang telah membantu mempermudah daya ingat bagi
orang lain. Sebab kata-kata doa itu, karena diucapkan keras-keras, tidak lagi hanya
tertera dalam bentuk tulisan huruf-huruf di kertas atau buku, melainkan
kata-kata itu seakan-akan menjadi hidup dan meloncat-loncat di udara, seperti
sedang berterbangan kian kemari. Sehingga dalam seluruh proses belajar
(menghafal) ini yang berperan tidak lagi hanya mata yang melihat dan
mempelototi bentuk-bentuk huruf, melainkan telinga juga sangat berperan, karena
kata-kata itu diucapkan secara berirama oleh semua teman-teman. Dengan cara
itulah kami saling bantu membantu.
“Lima,
neka paki ata. Enam, neka ngoeng ata. Pitu, neka tako. Alo, neka nggopet. Ciok,
neka humer naim te ngoeng ata. Cempulu, neka humer naim teo ngoeng ceca data.”
Setelah
selesai menghafal Sepuluh Perintah Allah (dalam Bahasa Manggarai), lalu kami
menghafal doa-doa cinta (ngaji momang), doa harapan (ngaji bengkes), doa pagi
(ngaji gula), doa malam (ngaji wie), malekat Allah (malaekat de Mori Keraeng).
Tidak lupa juga kami harus menghafal doa angelus dalam Bahasa Manggarai,
Penggawa de Mori Keraeng mai kreba hi Maria Nggeluk, ai hia poli de’I le Nai
Nggeluk…dst…dst. Kami juga harus menghafal doa Sengaji Surga (Ratu Surga,
Regina Caeli) yang biasanya dipakai pada masa Paskah. Tentu saja kami juga
harus menghafal doa Bapa Kami (Yo Ema Dami) dan doa Salam Maria (Tabe o Maria).
Semuanya dilakukan secara bersama-sama dan beramai-ramai di bawah pohon alpukat
itu.
Sesudah
menghafal doa, maka tibalah giliran bagi kami untuk menghafal perkalian. Mulai
dari perkalian satu, dua, tiga, empat, lima, enam, tujuh, delapan, Sembilan,
sepuluh. Untuk tingkat kelas dua awal cukup sampai sepuluh saja. Tetapi sesudah
bulan-bulan pertama, hafalan perkalian itu juga harus sampai ke puluhan hingga
ke serratus. Dan hafalan perkalian itupun diucapkan secara berirama juga. Agak
sudah melukiskannya dengan kata-kata di sini. Pokoknya semua anak harus
menghafalnya dengan irama lagu seperti itu. Tidak boleh dan memang juga tidak
bisa dengan irama yang lain. Kalau dengan nada dan irama yang lain, maka akan
terasa aneh. Dan hal itu akan langsung ditegur juga oleh guru-guru kami yang
sesekali datang mengawasi kami belajar di kelas di bawah pohon alpukat yang
rindang. Ah indah sekali. Penuh kenangan.
Tentu
saja ada teman-teman yang nakal. Saya ingat saya punya teman, sebut saja
namanya Robertus. Dia sama sekali bukan tipe orang yang bisa betah untuk duduk
belajar. Dia selalu jalan-jalan. Dan suka ganggu cewek-cewek. Kebetulan di
kelas kami ada satu teman puteri kami yang cantic. Sebut saja namanya Isaura.
Si Robertus ini selalu mencoba duduk di dekat Isaura, walaupun si Isaura
menjadi sangat malu dan marah karenanya. Tetapi Robertus sama sekali tidak
peduli. Ia tetap menyosor saja. Sehingga kami pun mengolok-olok bahwa Robertus
punya pacar di kelas kami yaitu Isaura. Tetapi Robertus tidak hanya suka akan
teman kelas. Ia juga suka akan yang kakak kelas. Dan bahkan ada juga anak-anak
kelas satu yang baru masuk sekolah. Yah begitulah cinta monyet anak-anak pada
masa itu.
Kalau
sudah menghafal kalian, biasanya kami juga disuruh untuk membaca teks-teks
tertentu. Bahkan ada yang harus dihafalkan dari bacaan itu. Karena bacaan itu
sepertinya bisa membentuk sikap dan pandangan hidup serta iman anak-anak. Dari
semua bacaan hafalan yang paling saya ingat ialah hafalan bacaan teks berikut
ini. ”Hatiku, milik Allah, Kepalaku milik Allah. Mataku milik Allah. Mulutku
milik Allah.” Pokoknya kita disuruh dan dituntun oleh bacaan hafalan itu untuk
menyebut seluruh anggota badan kita. Dan saat kita menyebut anggota badan itu,
kita harus menyentuhnya juga. Misalnya, saat saya mengatakan, Hidungku milik
Allah. Saya mengucapkan kata “hidungku” itu sambil memegang hidungku sendiri.
Tentu yang disebut ialah bagian atau anggota tubuh yang patut disebut di muka
public saja. Dan biasanya hafalan itu diakhiri dengan perkataan: Semuanya milik
Allah.
Lagi-lagi
Robertus. Orang ini juga paling banyak isengnya. Saat kita menghafalkan teks
bacaan hafalan yang baru saja saya sebut tadi, biasanya Robertus
memperagakannya secara sangat atraktif di depan teman-teman. Dan dia mulai dari
atas. Kepala, telinga, hidung, mata, mulut, dagu, leher, dada, perut. Nah, lalu
ia juga tunjuk ke bagian bawah perutnya. Sesudah itu ia berbalik dan
menunjukkan pantatnya kepada kami semua. Tentu tidak ada yang menyangkal bahwa
itu juga milik Allah karena diciptakan Allah. Tetapi rasanya tidak patut untuk
disebutkan secara terang-terangan di depan public seperti dibuat oleh Robertus yang
suka bikin ulah itu. Pada saat seperti itu biasanya kita semua pada tertawa.
Tetapi ada teman-teman perempuan yang berusia lebih tua dari kami yang
mengingatkan kami bahwa kita tidak boleh main-main dengan kata-kata itu. Karena
semuanya adalah milik Allah.
Ya,
memang teks-teks bacaan hafalan itu dimaksudkan untuk membentuk sikap dan
keyakinan bahwa kita tidak boleh berbuat sembarangan saja dengan anggota badan
kita, karena anggota badan kita adalah milik Allah.
Jauh
di kemudian hari setelah saya membaca kitab suci secara langsung, saya lalu
menjadi sadar bahwa teks hafalan itu kiranya berasal dari pandangan teologi
santo Paulus yang pernah mengatakan bahwa Tubuh kita adalah Bait Roh Kudus. Karena
tubuh kita adalah bait Roh Kudus, maka kita tidak boleh berdosa dengan tubuh
kita. Kita harus memuliakan Tuhan dengan tubuh. Tubuh memang untuk Tuhan. Bukan
untuk percabulan.
Penulis:
Dosen dan Peneliti Senior FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.
Monday, June 8, 2020
MEREKA TELAH PERGI (CERPEN)
Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Saat ini aku masih ingat dengan
sangat baik akan kejadian itu. Ya, kejadian itu terjadi ketika saya masih duduk di kelas 2 SD. Saya tidak
ingat lagi berapa jumlah teman kelas saya pada waktu itu. Yang jelas, kami
penuh satu kelas. Tidak ada bangku yang kosong. Kakak kelas kami juga ada cukup
banyak. Dan salah satunya seorang perempuan yang bernama Anas. Anas ini
berperawakan kecil. Ia sangat lincah saat bermain dan istirahat sekolah (kami
menyebutnya saat itu, “bersenang”. Terkadang sekarang saya berpikir bahwa
istilah itu bisa mendatangkan konotasi negatif terhadap sekolah atau pelajaran
itu sendiri. Kalau jam-jam di antara pelajaran itu disebut “bersenang”,
jangan-jangan para siswa berpikir jam-jam pelajaran itu adalah jam berduka,
lawan dari bersenang tadi. Apalagi jika pelajarannya tidak menarik dan tidak
bisa ditangkap oleh anak-anak). Anas juga termasuk anak yang suka bergembira.
Ia seorang anak yang tipe periang. Ia juga penuh canda dan gelak tawa. Seorang
kakak kelas yang mudah dan luwes bergaul. Sampai pada suatu hari, tatkala
semuanya itu tiba-tiba berubah secara sangat drastic dan total. Tidak bisa lagi
diputar-balikkan. Tidak bisa lagi kembali ke situasi awal. Seakan-akan
benar-benar terjadi sebuah kerusakan di dalam hati, di dalam pikiran, walaupun
tidak boleh disebut gila. Pokoknya terjadi sebuah terror mental yang mengerikan
yang mungkin terlalu berat untuk dipikul oleh seorang anak seusia dia, yang
masih kecil, masih duduk di bangku sekolah dasar yang belum mengerti apa-apa
tentang pahit dan getirnya kehidupan ini.
Pada suatu
hari, pada kesempatan jam istirahat
(bersenang) yang pertama, tiba-tiba kami semua mendengar Anas
menangis meraung-raung di halaman sekolah kami yang serba sederhana, saat sedang
bermain-main dengan penuh gembira dan gelak-tawa dengan semua anak-anak yang
lain. Tentu saja semua orang terkejut.
Kawan-kawan pada terkejut. Para guru juga tidak kurang terkejutnya. Anas
tiba-tiba menangis meragung-raung setelah ia melihat
“orang-orang” menggiring beramai-ramai beberapa lelaki dari kampungnya dan juga dari kampung
tetangganya.
Segera
tersiar kabar bahwa mereka semua akan digiring ke ibu-kota kabupaten.
Rupanya di kampung-kampung di sekitar sekolah
desas-desus tentang hal itu sudah terdengar beberapa minggu sebelumnya, tetapi
belum begitu gencar karena orang belum melihat siapa-siapa yang datang ke
kampung. Baru sekarang inilah “orang-orang” itu datang dan hadir di sekitar
kami, sangat dekat dengan kami. Tidak hanya datang dan hadir saja, melainkan
mereka datang “mengambil” orang dan membawanya ke ibukota kabupaten.
Nah di antara mereka
itu, salah satunya adalah ayah Anas. Mereka
digiring di sebuah jalan singkat/potong yang melintas persis di halaman
belakang sekolah kami, sehingga semua anak-anak sekolah bisa melihatnya. Memang
orang-orang itu tidak diikat. Tetapi sangat jelas bahwa mereka berjalan di
bawah pengawasan yang ketat dengan polisi dan tentara bersenjata lengkap.
Entahlah. Apakah ada isinya ataukah tidak. Anas tiba-tiba menangis karena
melihat ayahnya pergi dan pagi itu mereka belum sempat berpamit. Dan sekarang
pun tidak bisa pamit, karena kelompok orang-orang itu berjalan di bawah
pengawasan dan mereka bergerak seperti orang-orang yang ketakutan. Yang tampak
dari pergerakan mereka bukan gerak-gerik dari orang-orang yang bebas.
Kepergian
mereka juga diiringi isak tangis para isteri,
keluarga, tetangga dan para warga kampung lainnya yang
terus memandang mereka pergi menjauh sampai rombongan itu akhirnya hilang di
balik punggung bukit karena mereka akan segera berjalan menuruni lereng bukit
menuju ke lembah di pinggir sungai wae Lelang, di mana ada jalan raya menuju ke
ibukota. Pada saat itu, yang ada hanya satu penjelasan saja. Katanya mereka semua
akan dibawa ke ibukota untuk di-“screening”, sebuah kata yang tidak
dipahami oleh orang-orang di kampung saat itu, termasuk
juga oleh Anas.
Yang jelas
ialah bahwa sejak saat itu, ayah Anas dan
teman-teman lain di dalam rombongan itu tidak pernah pulang lagi ke
kampung mereka, tidak pernah berbalik lagi ke tengah-tengah keluarga mereka. Jelas, itu
adalah sebuah pukulan yang amat mengerikan dan menyedihkan bagi keluarga
mereka. Orang-orang sungguh menjadi sangat terpukul dan tidak sungguh mengerti
akan apa yang terjadi.
Ada satu hal
yang aku ingat dengan sangat baik yaitu bahwa sejak saat itu (kelas 3 SD) sampai
tamat, Anas berubah drastis. Kalau
tadinya dia adalah seorang anak yang sangat periang dan lincah,
lalu tiba-tiba menjadi seorang pemurung, dan ia suka menyendiri, dan tidak
mau lagi diganggu oleh teman-temannya. Sedih sekali melihatnya
saat itu.
Juga sangat
sedih kalau membayangkannya lagi sekarang ini. Terlalu
cepat ia ditimpa peristiwa tragis itu. Seperti sebuah benih yang baru tumbuh.
Belum sempat berakar kuat dan mendalam di dalam tanah, tiba-tiba sudah ditimpa
sinar panas mentari yang terlalu terik. Maka dia pun lalu menjadi layu dan
mati, ya mati sebelum berkembang mekar.
Saya
sendiri, sesudah tamat sekolah dasar, lalu masuk ke seminari menengah. Dan
setelah selesai dengan pendidikan di seminari menengah, saya melanjutkan ke
seminari tinggi. Nah ketika masih di seminari tinggi itulah aku pernah mendapat berita
dari kampung bahwa Anas sudah meninggal dunia
karena TBC. Sedih sekali aku mendengar dan membayangkan kabar duka
itu. Tetapi, aku yakin, bukan TBC yang menjadi
penyebab utama kematiannya, tetapi perjuangan hidup yang
penuh penderitaan, hidup tanpa ayah, hidup tanpa tahu ke mana ayah hilang tidak
tentu arah. Sebuah misteri kepergian tanpa pernah kembali. Seperti
sebuah kematian saja. Misteri tragedi penghilangan orang secara paksa dalam
satu operasi penumpasan yang tidak berperikemanusiaan.
Tanpa terasa
air mataku mengalir dari
mata. Aku terkenang akan Anas, gadis kecil
periang yang bernasib malang itu. Yang
tiba-tiba berubah dari periang menjadi pemurung karena tragedy hilangnya sang
ayah. Ayah yang dibawa pergi dan tidak kembali. Tanpa penjelasan. Ia pergi
begitu saja. Aku merasakan sesak di dada
karena himpitan kenangan yang teramat sedih dan menyedihkan itu.
Ya, setelah banyak
mempelajari lembar-lembar sejarah yang dilewati
negeri ini, aku pun akhirnya sadar
bahwa Anas adalah salah satu contoh paling kongkret dalam pengalaman hidup sekelompok
anak manusia (termasuk saya sendiri tentu saja), betapa
percaturan politik nasional, dapat secara nyata mempunyai dampak yang sangat
negatif dan sangat personal dan sekaligus eksistensial
dalam hidup seseorang. Begitulah kataku dalam hati seakan-akan
sedang mengajukan sebuah postulat politis, bahkan mungkin sebuah teori politik.
Dalam sebuah
kesempatan kunjungan kepada seorang teman saya pernah menceritakan hal ini
secara panjang lebar. Dalam percakapan di penghujung senja di rumah temannya
itu saya pernah memberi sebuah penilaian moral-etis terhadap hal itu.
“Kebetulan ini adalah
sebuah kisah yang sangat tragis.”
Setiap kali
aku mengisahkannya, dan juga pada kesempatan kali ini, aku hampir meneteskan
air mata lagi. Sebab aku serasa begitu dekat. Aku seperti serasa
begitu dekat. Seperti baru saja lewat. Beberapa saat. Seperti masih hangat
dalam ingat.
“Kapan hal itu
terjadi Frans?” Tanya temanku
itu.
“Ya, sekitar
tahun 70-an.” Jawabku.
“Saat itu, saya
masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Ya,
kira-kira sekitar saat itulah saya ingat hal itu terjadi.” Begitulah penjelasanku
lebih lanjut.
“Saat itu, tangis orang-orang memecah
kesunyian beberapa desa di sekitar
kompleks sekolah dasar kami. Tangis yang teramat mengerikan, karena memilukan,
menyayat-nyayat kalbu orang yang mendengarnya. Ratap tangis
sedih. Mungkin sama seperti yang dikatakan nabi Yeremia itu: Dengar! Di Rama
terdengar ratapan, tangisan yang pahit pedih; Rahel menangisi anak-anaknya, ia
tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi (Yer 31:15).”
Lalu, sejenak aku hening lagi. Menarik nafas panjang.
“Dan hal yang paling menyedihkan
lagi ialah bahwa hampir tidak ada orang yang berdaya
mengatasi persoalan seperti itu, termasuk juga pastor paroki kami sekalipun.
Rasanya ia hanya seperti seorang penonton saja dari semua tragedi nasional ini. Juga tidak
ada orang yang bisa memberi sebuah penjelasan rasional tentang aksi ini. Saat itu ada
banyak Rachel-Rachel yang menangis dan meratapi suami-suami mereka yang dipaksa
pergi dan tidak pernah kembali.”
“Ya Frans,
itulah masa-masa operasi pembersihan dan penumpasan sisa-sisa PKI secara
sistematis di seluruh wilayah republik Indonesia ini.” Lalu ada
hening sejenak lagi yang meliputi kami berdua.
“Pokoknya para
anggota organisasi terlarang itu harus lenyap dari muka bumi Indonesia.” Sejenak ada
keheningan lagi.
“Dan mungkin saja ayah si Anas itu juga adalah
salah satu dari korban penumpasan dan penghilangan orang secara
paksa.”
Kemudian kami berdua pun terdiam,
hening. Saya merasa terhanyut dalam sebuah doa spontan yang
tiba-tiba menyembul begitu saja dari dalam hatiku. Sepertinya temanku
Markus ini juga sedang berdoa bagi orang-orang yang menjadi korban
sejarah, korban drama perpolitikan yang serba carut-marut di Republik ini,
berdoa bagi si ayah Anas dan para ayah yang lain, yang mati
secara antah berantah, dan kuburnya pun antah berantah juga.
Terbersit niat
baik dalam diri kami berdua untuk melakukan
semacam ikhtiar amnesti dan rekonsiliasi. Misalnya
dengan cara mencari para korban itu, terutama yang termasuk
kategori rakyat kecil. Mereka sesungguhnya tidak tahu
apa-apa. Tetapi menjadi
korban karena proses mobilisasi anggota oleh organisasi yang kemudian
dinyatakan terlarang. Mungkin juga karena dibujuk-bujuk
oleh pihak yang lain.
Ini dosa siapa?
Ini salah siapa?
Sampai sekarang
kami semua masih sangat sulit untuk
menjawab pertanyaan itu secara pasti.
Entah sampai
kapan hal itu akan berlangsung terus seperti itu. Mungkin itu
adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya harus dicari pada rumput yang
bergoyang.
Penulis: Dosen dan Peneliti Senior
pada FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.
Friday, June 5, 2020
CERPEN: JAGUNG MUDA MAMAKU
Thursday, June 4, 2020
CERPEN: STANISLAW TUKEKEBE
Wednesday, June 3, 2020
CERPEN: NELIA MEIJA
PEDENG JEREK WAE SUSU
Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari Puncak perayaan penti adala...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm) Mazmur ini termasuk cukup panjang, yaitu terdiri atas 22 ayat, mengikuti 22 abjad Ib...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Judul Mazmur ini dalam Alkitab ialah Doa mohon Israel dipulihkan. Judul itu mengandaikan bahwa keadaan Israe...
-
Oleh: Fransiskus Borgias M. Sebagai manusia yang beriman (percaya), kiranya kita semua sungguh-sungguh yakin dan percaya bahwa Tuhan itu...