Friday, June 5, 2020

CERPEN: JAGUNG MUDA MAMAKU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA. Setiap bulan Januari datang, entah mengapa, saya selalu teringat akan mamaku tercinta, mama Katharina yang sekarang sudah pergi meninggalkan kami beberapa tahun silam. Ya mungkin karena bulan Januari adalah bulan yang selalu penuh dengan hujan. Dan hujan selalu memunculkan rasa melankoli dalam hati sanubariku. Ada banyak kenangan yang datang dan mengalir masuk ke dalam kalbu. Tetapi khususnya hari-hari ini saya tiba-tiba teringat akan masa kecilku di SDK Lamba-Ketang. Pada tahun 1974 saya duduk di kelas VI SDK Lamba-Ketang itu. Pada awal tahun ajaran itu, guru kelas kami di kelas VI, bapak Pit Darut (almarhum), sudah memberi pengumuman kepada kami yang berasal dari Pastor Paroki, Pater Thomas Krumpt, tentang siapa di antara para siswa laki-laki kelas VI yang berminat untuk ikut testing masuk Seminari Pius XII Kisol. Begitu mendengar nama Seminari Kisol itu, hati saya pun mulai berkobar-kobar dan berbunga-bunga. Sudah cukup lama saya ingin sekali masuk Seminari itu. Ada suatu rasa tertarik yang begitu kuat yang muncul di dalam hatiku. Rasa tertarik itu lebih disebabkan oleh sebuah daya pesona, entah apa, dari beberapa siswa seminaris yang berasal dari sekolah dasar kami itu. Setiap kali mereka pulang libur, mereka selalu main ke Pastoran dan mereka diterima dengan sangat gembira oleh Pastor Paroki kami. Selain itu mereka juga tampak lain dari yang lain. Entahlah apa. Saya juga tidak tahu secara pasti. Saya sebut saja nama-nama seperti, almarhum Pius Wans Mahdi. Ada juga Yohanes Bong. Ada juga almarhum Markus Hambut. Kemudian ada juga Norbertus Nempung, dan Dr.Philipus Ngorang. Itulah beberapa kakak kelas saya yang sudah lulus testing masuk ke Seminari Kisol, yang katanya tidak sembarang orang bisa lulus dalam test tersebut. Entah mengapa, saya selalu merasa sangat tertarik dengan penampilan dan kepribadian mereka. Ada suatu aura lain yang sulit dijelaskan dengan kata-kata. Oleh karena itu, saat ada pengumuman testing tersebut, saya langsung menyatakan di depan teman-teman bahwa saya ingin ikut dalam testing seminari itu. Dari kelas kami ada empat orang yang berminat untuk mendaftar: Saya sendiri, Barnabas Selasa, Romanus Pas, dan Stanislaus Peluru (almarhum). Semuanya laki-laki. Maklum sekolah itu hanya untuk laki-laki. Dalam hati kecil saat itu saya sudah bertanya: mengapa tidak ada seminari untuk perempuan? Sudahlah. Itu persoalan lain yang tidak usah dibahas lebih lanjut di sini. Dari empat nama tadi, kemudian ada dua orang yang akhirnya tidak jadi ikut test yaitu Barnabas Selasa dan Stanislaus Peluru. Sedih juga karena mereka mengurungkan niat mereka. Entahlah apa sebabnya. Testing itu sendiri dijalankan di kota Ruteng dengan mengambil tempat di Sekolah Dasar Ruteng V. Singkat cerita, pada bulan November sudah ada kepastian bahwa saya lulus testing dan diterima masuk ke Seminari Kisol. Temanku Romanus Pas tidak lulus. Saya menjadi sedih karenanya, sebab dengan itu berarti saya sendirian dari SDK Lamba-Ketang. Tidak apa-apa. Ayah dan ibu saya sangat mendukung rencana saya untuk masuk ke seminari. Kakak sulung saya juga, kakak Sin Saina, yang saat itu sudah duduk di kelas 1 SKKP Ruteng juga ikut mendukung. Begitu juga dengan adik Maksimus yang langsung di bawah saya. Ia juga ikut mendukung dan ikut senang. Adik-adik yang lain masih kecil. Saya sangat senang dan bangga karena hal itu. Lalu liburan bulan Desember sudah tiba. Jagung-jagung di kebun kami sudah lumayan tua. Tetapi ayah kami mempunyai kebiasaan yang ketat yaitu kami semua tidak boleh memetik jagung sebelum masa panen tiba. Masa panen itu artinya, semua jagung dalam kebun sudah tua semuanya dan sudah cukup untuk dipetik dan disimpan dalam jangka panjang sebagai persiapan menghadapi musim kering pada tahun berikutnya. Dan tidak ada seorang anak pun yang berani melanggar ketetapan dan peraturan itu. Sebab juga tidak mungkin untuk melanggar. Sebab kalau jagung itu dipetik, lalu akan dibakar di mana? Tetapi beberapa kali selama masa liburan Natal mama biasanya mengambil beberapa jagung yang sudah cukup matang usianya untuk dimakan bersama-sama. Kalau mama yang mengambil maka papa biasanya tidak marah. Biasanya jagung itu baru bisa ditanam di akhir bulan Oktober. Jarang sekali terjadi jagung itu bisa ditanam pada bulan September. Umumnya pada akhir bulan Oktober. Tergantung tibanya musim hujan. Dan usia jagung itu kira-kira tiga bulan lebih. Artinya, panen raya baru bisa dilakukan pada akhir bulan Januari. Itulah masa giok latung. Seluruh jagung di kebun ditebang dan buah jagungnya diambil dan dikumpulkan di rumah. Pada malam hari, para sanak saudara dan kenalan akan datang untuk putu latung dan dibuat dalam satuan deleng. Masing-masing deleng terdiri atas 12 tongkol jagung. Enam sebelah, enam sebelah. Setelah di-deleng, lalu jagung itu ditumpuk dalam satuan limbu. Satu tumpukan limbu terdiri atas duapuluh empat deleng ataupun gampo. Begitulah cara kami menyimpan jagung-jagung tersebut sebagai persedian bekal pada musim kering di tahun berikutnya. Itu adalah masa-masa yang paling indah di masa kecil kami. Kami bisa makan jagung muda bersama-sama, beramai-ramai. Baik yang dibakar, maupun yang direbus, dan di-tunu (dibakar dengan kulitnya sekalian). Semuanya terasa manis dan nikmat. Pada bulan Desember akhir tahun 1974 itu saya sudah menghitung bahwa saya tidak akan mendapat kesempatan untuk menikmati jagung muda itu. Sebab pada bulan Januari tanggal 5 kami sudah harus berada di Kisol untuk masuk asrama seminari. Itu artinya, saya tidak akan mendapat kesempatan menikmati jagung muda itu. Sebab panen raya baru bisa dilakukan di atas tanggal 20 atau 25 Januari. Pada waktu itu saya merasa sedih sekali membayangkan hal itu. Sebab kalau hal itu terjadi, maka itulah untuk pertama kalinya dalam hidup, saya tidak mendapat kesempatan yang sangat langka untuk menikmati jagung muda itu bersama-sama keluarga dengan penuh sukacita. Sedih sekali rasanya. Rasanya seperti mau menangis. Tetapi tidak boleh menangis, sebab itu sudah menjadi pilihan sendiri. Harus berani melangkah terus. Ternyata ibu saya sudah mempunyai perhitungan sendiri. Di sebuah sudut kebun kami di Ketang ibu sudah menanam satu petak jagung khusus yang usianya tidak sampai tiga bulan lebih. Pokoknya, dua setengah bulan lebih sudah bisa dipanen. Benih jagung itu tidak mudah didapat. Tetapi mama berusaha mendapatkannya pada musim tanam tahun 1974 itu. Bapa tidak tahu akan hal itu. Kami-kami yang lain juga tidak mengetahui hal itu. Pokoknya hanya mama yang tahu. Kira-kira seminggu sebelum tiba giliran saya berangkat ke seminari, kami bisa makan jagung dengan puas. Mama sudah memanen jagung yang sudah dipersiapkannya agar saya bisa memakan jagung itu walau panen raya belum tiba. Saya sangat terkejut. Tetapi sekaligus juga merasa senang karenanya. Malam menjelang besoknya saya berangkat ke Ruteng untuk menuju Kisol, mama menceritakan kepada saya rahasia yang ia lakukan. “Nana, pertengahan Oktober saya sudah meminta benih jagung dari ende tua di Lando.” Begitu ia membuka rahasianya. “Itu adalah jenis jagung khusus, jagung yang usianya tidak lama.” Saya dengarkan dengan setia. “Nana, saya selalu perlakukan benih jagung itu secara khusus dalam semacam ritual wuat wini.” “Bagaimana maksudnya mama?” tanya saya. “Ketika musim tanam tiba, saya selalu berbicara kepada benih-benih itu dan mengatakan kepada benih-benih itu agar mereka bisa bertumbuh cepat dan juga cepat berbuah dan menjadi matang karena anakku yang laki-laki akan segera pergi ke tempat yang jauh dan mungkin tidak akan sempat menikmati ritual makan jagung bersama-sama pada saat panen raya.” Saya menjadi bingung karenanya. “Nak, dengan doa ritual wuat wini seperti itu, mama pun menanam jagungnya.” “Nana Frans, itu sebabnya, sebelum akhir Januari (saat masa panen raya tiba), kita sudah bisa memakan jagung yang sudah matang duluan karena sudah diantisipasi oleh saya dengan cara yang khusus seperti itu.” Setelah tiba di Kisol saya coba kilas balik dan ingat kembali apa yang terjadi setahun sebelumnya, Dan dalam kilas balik, saya juga ingat bahwa setahun sebelumnya, yaitu pada awal tahun 1974 kami juga sudah makan jagung pada pertengahan Januari. Itu karena ternyata mama juga sudah melakukan ritual itu pada akhir Oktober 1973 karena pada awal Januari 1974 anak putrinya yang sulung, untuk pertama kalinya pergi jauh meninggalkan kami semua. Saya masih ingat, betapa mama kuat dan tegar mengantar kakak Sin sampai wa mbarud dise Pius yang terletak di dekat Wae Teku Ketang. Setelah itu kakak Sin berangkat terus ke Ruteng bersama bapa. Mama sama sekali tidak menangis. Saya kagum. Tetapi pada sore hari itu, saya lihat dia menangis karena kepergian putri sulungnya yang selama ini selalu setia dan rajin membantu dia. Jauh di kemudian hari saat saya sudah membaca banyak pelbagai buku psikologi, akhirnya saya tahu bahwa itulah yang disebut kekosongan. Para psikolog menyebutnya fenomena sindrom sarang kosong, empty nest syndrome. Sebuah sindrom yang menyedihkan dan menyakitkan. Tadinya di rumah (sarang) selalu ada dia (puterinya), selalu terdengar suara bicara dan tawanya, tiba-tiba sekarang ia sudah pergi jauh untuk sekolah. Kekosongan itulah yang membawa kepedihan dan rasa sakit yang melanda hampir setiap orang tua. Ya Januari, seperti sekarang ini, saya selalu aku teringat akan itu semua. Tidak akan terlupakan. Juga setelah mama pergi dari sini. Tetapi justru dengan itu, ia secara ajaib selalu jauh lebih dekat di hati kami masing-masing. Ia tetap hidup di sini. Itu sudah pasti. Bandung, pertengahan Januari 2019.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...