Showing posts with label kumpulan artikel. Show all posts
Showing posts with label kumpulan artikel. Show all posts

Monday, June 29, 2020

MENGENDUS KEHADIRAN TUHAN DALAM KITAB ESTER

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Tanpa tambahan kitab Ester, maka kitab Ester adalah sebuah kitab yang mengandung cerita duniawi yang biasa-biasa saja. Mengapa demikian? Itu karena Kitab Ester adalah satu-satunya kitab dalam Kitab Suci yang tidak pernah menyebut nama Allah. Memang terasa sangat aneh dan juga luar biasa bahwa Kitab Suci mempunyai satu kitab yang tidak pernah menyebut nama Allah. Mungkin itu sebabnya ada orang yang berinisiatif untuk menyisipkan beberapa tambahan di sana-sini ke dalam kitab tersebut. Mungkin para inisiator ini merasa terganggu dengan fakta tadi. Mungkin ada pihak yang tidak mau memasukkan kitab itu ke daftar kanon, dengan alasan bahwa kitab itu tidak pernah menyebut nama Allah. Untuk menyelamatkan kitab ini, agar lolos masuk kanon, ditambahkanlah beberapa tambahan ataupun sisipan ke dalam kitab itu. Itulah yang kemudian dikenal dengan istilah tambahan kitab Ester. Di dalam sisipan itulah ada nama Allah disebut. Dengan cara itu maka kitab ini pun lalu berciri rohani, berbau keagamaan.

Dengan sisipan ini maka tidak tepat lagi untuk mengatakan bahwa dalam kitab Ester tidak ada nama Allah. Sebab nama itu dengan sangat mudah ditemukan di dalam sisipan tersebut. Sisipan itu, bersama beberapa kumpulan lain, dikenal dengan sebutan, Deuterokanonika. Bagi orang Katolik hal ini sah dan utuh.

Pertanyaannya sekarang ialah apakah dalam sifat profan seperti yang disinggung di atas tadi, di dalam kitab Ester memang sama sekali tidak ada singgungan tentang Allah ataupun kehadiran Allah? Menurut saya tidak demikian. Kalau kita membaca dengan teliti kitab Ester tanpa tambahan tadi, paling tidak ada satu tempat dalam kitab Ester di mana kita dapat merasakan bahwa Allah disinggung di situ walaupun secara sangat implisit dan serba sangat tersirat. Kiranya di dalam teks Est 4:14, ada singgungan yang bersifat implisit seperti itu akan Allah. Dalam teks itu rasanya saat membacanya kita mau tidak mau terpikir tentang Allah, walaupun kehadiran itu serba tersamar. Teks itu berbunyi sebagai berikut di dalam terjemahan yang kita miliki: “Sebab sekalipun engkau pada saat ini berdiam diri saja, bagi orang Yahudi akan timbul juga pertolongan dan kelepasan dari pihak lain.”

Menurut pembacaan saya di sini penulis teks Ester menyiratkan bahwa di balik apa yang terjadi sebenarnya Allah yang giat bekerja. Bagaimana pun juga kisah yang ada dalam kitab Ester adalah sebuah kisah pembebasan agung umat Allah dari ancaman genosida yang mengerikan. Jadi, umat pilihan Allah terancam eksistensinya dari muka bumi. Tetapi, anehnya, kok Allah sepertinya tidak hadir di sana, seperti tidak mau turut campur tangan di dalam masalah tersebut. Jangankan hadir; disebut saja pun tidak ada. Hal ini pada gilirannya menimbulkan sebuah tanda tanya besar. Mengapa Allah seperti itu? Salah satu cara penjelasan ialah bahwa kisah Ester ini adalah kisah Eksodus baru. Dalam kisah exodus lama, yaitu peristiwa keluaran dari perbudakan Mesir, Musa adalah tokohnya. Sedangkan dalam kisah Eksodus baru, yaitu kisah pembebasan dan penyelamatan dari upaya genosida sistematis yang dirancangkan oleh para lawan Israel, Ester adalah tokohnya. Dalam kisah Eksodus lama (kisah keluaran asali) Allah tampak sangat kentara. Allah dirasakan sungguh-sungguh hadir. Ia hadir di dalam penampakan dan manifestasinya, dalam kekuatan-kekuatan dahsyat yang luar biasa.

Mungkin hal itu disebabkan karena kiranya para penulis kitab Ester berpikir bahwa tampaknya Allah tidak akan melakukan lagi hal-hal seperti itu dulu dalam konteks dunia sekarang dan di sini. Kiranya apa yang dialamisi penulis kitab Ester seperti yang kita saat ini alami saat membaca kisah Keluaran yang dahsyat itu, di mana ada tiang-tiang awan dan api, awan-awan, dan Laut Merah yang terbelah. Hemmm…. Luar biasa. Ajaib. Walau dalam alam secular ini rasanya Allah seperti tidak hadir, tetapi apakah memang benar bahwa Allah tidak bekerja. Rasanya tidak. Allah bekerja dalam senyap. Ester melakukan hal yang berani dan benar. Ester berani mengambil risiko. Ternyata berhasil. Sukses. Itu terjadi karena semua seperti berjalan lancar dan semesta mendukung. Dalam Ester, Allah bekerja secara awanama, dalam diam, dalam satu dunia di mana Dia tidak kentara ikut campur tangan. Perbuatan Ester yang berani dan penuh percaya itu, berkenan pada Allah dan Allah menerimanya. Bahkan Allah membuat kesukarannya melebihi apa yang diduga dan diharapkan Ester. Mungkin kalau Ester sendiri yang bekerja maka ia hanya dapat 30 sampai dengan 50 poin saja. Tetapi karena Allah ikut campur tangan diam-diam maka hasilnya 100. Itulah peran pentingnya iman (percaya). Iman adalah bentuk perlindungan lain dari hubris dan utopianisme. Di sini apa yang bisa kita buat itu penting sekali. Tetapi akhirnya kira harus membiarkan Allah bertindak menurut kehendakNya sendiri yang tidak selalu dapat dipahami tetapi hasilnya pasti sangat maksimal.

Tetapi Ester dalam perspektif sebagai orang Katolik, saya harus memberi catatan tambahan yaitu bahwa yang disebut kitab Ester dalam tradisi Katolik tidak hanya kitab Ester saja. Ada tambahan kitab Ester. Dalam kitab tambahan Ester itulah kita bisa menemukan nama Tuhan. Dengan tambahan kitab Ester, maka kitab Ester menjadi berciri religius, walaupun religiositas itu tidak harus dikaitkan dengan penyebutan nama Tuhan secara eksplisit. Tetapi nama adalah kehadiran. Kehadiran tanpa nama lalu menjadi sulit untuk memahami dan merasakan kehadiran itu.

Kiranya itulah yang menyebabkan editor kitab Ester menambahkan tambahan kitab Ester. Dalam tambahan itu kita menemukan nama Tuhan, sebab mereka yakin dan berpandangan bahwa nama adalah kehadiran. Nama itu bukan hanya sekadar sebuah label, sekadar sebuah kata kosong, melainkan sebuah kehadiran. Untuk menandakan kehadiran dan aktifitas itulah maka nama untuk sang mahatinggi biasanya mengambil kata kerja atau selalu berupa sebuah konstruksi kalimat. Begitulah misalnya YHWH antara lain diartikan sebagai Akulah yang Aku ada. Saya selalu memahami konstruksi ini sebagai sesuatu yang menandakan kehadiran dan kehadiran bagi saya selalu berarti kehadiran yang aktif dalam tindakan, dalam perbuatan, dalam karya.

Fenomena seperti itu ada juga dalam pelbagai Bahasa dan tradisi keagamaan lain. Saya mengambil contoh tambahan sebagai bukti petunjuk misalnya dalam tradisi keagamaan asli Manggarai, sang realitas mahatinggi itu disebut dengan beberapa kata kerja yang menunjukkan aktifitas: Jari-agu-Dedek, Jiri-agu-Wowo. Masing-masingnya berarti Yang Menjadikan Yang Menciptakan (Membuat), Yang Mengadakan dan Yang Menuang. Jadi, nama itu adalah aktifitas, dan aktifitas itu itu mencirikan kehadiran.

Akhirnya, kembali lagi ke kitab Ester. Memang seperti telah dikatakan bahwa tanpa penyebutan nama Tuhan secara eksplisit pun kehadiran Tuhan pasti diandaikan ada dalam kitab itu. Tetapi kehadiran itu menjadi semakin jelas dan nyata dengan adanya tambahan kitab Ester sebab dalam bagian tambahan itulah nama Tuhan itu disebut dengan jelas. Mungkin perlu juga saya tambahkan bahwa biasanya tambahan-tambahan itu disisipkan di tempat di mana orang merasa bahwa ada sebuah misteri kekuatan ajaib yang aktif bekerja di sana. Nah tambahan kitab Ester membuat intuisi itu menjadi lebih jelas dan nyata dengan memberinya sebuah nama yang menandai kehadiran dan aktifitas.

 

Penulis: Dosen teologi Biblika pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung.

 

Sunday, June 28, 2020

SHUSAKU ENDO (BGN 1).

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Dalam kesempatan kali ini saya mau menulis sesuatu tentang seseorang yang bernama Shusaku Endo. Sejujurnya saya belum mengenal dan membaca tentang beliau secara langsung. Hal itu disebabkan karena hingga saat ini saya belum mendapatkan buku-bukunya. Tetapi apa yang saya persembahan di sini adalah semacam hasil referat (turunan) dan hasil olahan ulang dari hasil studi orang-orang lain tentang dia. Tetapi hasil studi orang tersebut telah cukup banyak membantu saya untuk bisa mengenal orang ini dan bisa juga mengatakan sesuatu tentang orang tersebut. Ada beberapa hal yang bisa saya kemukakan tentang orang ini berdasarkan hasil studi tadi.

Pertama, orang ini adalah seorang Novelis Katolik yang berasal dari Jepang. Ia menjadi terkenal di dunia karena ia pernah menulis sebuah novel menarik yang berjudul A Life of Jesus (Kehidupan Yesus). Judul ini tentu saja judul versi terjemahan dari novel itu ke dalam Bahasa Inggris yang diterbitkan pada tahun 1978 (oleh Paulist Press; terus terang saya belum menemukan judul aslinya di dalam Bahasa Jepang). Kiranya karena factor terjemahan ke dalam Bahasa Inggris inilah yang telah membuat namanya melambung ke tingkat dunia yang lebih luas. Mungkin kalau tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, maka karya dia juga tidak mendapat pengakuan internasional.

Kedua, yang jelas ialah bahwa dalam dan melalui buku itu Endo mencoba mengembangkan sebuah bentuk penghayatan iman Kristen yang ia yakin terasa lebih “mengena” (cocok) bagi orang-orang Jepang. Walaupun ia menjadi orang Kristen ia tetap saja merasa bahwa beberapa aspek dari iman itu dirasakan tidak begitu nyaman olehnya. Ia tidak begitu mudah bisa menjelaskan pengalaman itu. Tetapi pengalaman itu sungguh ada dan terjadi. Ya mungkin karena iman Kristiani itu sudah mengalami semacam bias dengan kebudayaan Barat. Entahlah. Tetapi tidak begitu jelas sebenarnya, aspek manakah yang dari iman Kristiani itu yang dianggapnya tidak begitu mengena. Yang jelas bahwa ia merasa bahwa hal itu terasa seperti mengenakan sebuah baju yang jahitannya tidak “pas” di badan. Ada rasa aneh, ada rasa tidak nyaman, ada rasa tidak enak, walaupun baju itu sudah bisa menutup badan, tetapi tetap terasa ada sesuatu yang tidak cocok, entahlah bagaimana. Sebuah pengalaman yang tidak selalu mudah untuk dijelaskan secara verbal. Kiranya versi Barat dari iman Kristiani itu terasa tidak begitu cocok dengan konteks Jepang. Padahal agama Kristiani itu berasal dari Asia. Semestinya ia terasa bisa cocok dengan mudah dengan orang Asia, tetapi mungkin karena agama Kristiani yang berkembang di Asia adalah iman Kristiani yang sudah berkembang sangat lama di dunia Barat.

Itulah hasil dari studi dan telaah yang dilakukan oleh Emi Mase-Hasegawa atas karya-karya Endo tadi (Christ in Japanese Culture: Theological Themes in Shusako Endo’s Literary Works, 2008:78). Salah satu tokoh penting di dalam novel tersebut adalah orang yang bernama Otsu. Orang inilah yang mengungkapkan rasa tidak nyaman tadi. Dikatakan bahwa Otsu pernah belajar teologi di Eropa. Tetapi teologi yang dipelajarinya di Eropa terasa asing (terasing) dari cara berpikir dia sebagai orang Jepang. Pengalaman terasing seperti ini cukup banyak diungkapkan oleh para teolog Asia yang pernah belajar di Barat. Pengalaman itu pernah diungkapkan oleh beberapa teolog dari Korea, India, dan juga dari Filipina. Walaupun ada rasa dan pengalaman keterasingan seperti itu, namun demikian ia (tokoh kita di dalam novel tadi) tidak mau begitu saja meninggalkan iman Kristiani ataupun meninggalkan Kristus. Melainkan ia tetap berusaha untuk setia sebagai seorang pengikut yang sejati.

Ketiga, untuk mengungkapkan kesetiaannya itu, tokoh kita menyampaikan ungkapan berikut ini. Beginilah katanya: “I haven’t be able to adapt myself to the thinking and the theology of Europe, but when I suffer all alone, I can feel the smiling presence of [Jesus], who knows all my trials.” (Shusako Endo, Deep River, 1995: p.119). Kiranya pengalaman rohani dan batin seperti inilah yang bisa menjelaskan mengapa Endo bisa sampai pada satu keyakinan yang sangat kokoh bahwa Yesus adalah tokoh “the eternal companion” of those who suffer (Shusaku Endo, A Life of Jesus, p.85-86). Jadi, bagi orang yang menderita Yesus adalah dan juga dialami sebagai seorang sahabat abadi.

Hal ini kurang lebih sama dengan sebuah gelar yang dikaitkan dengan Bunda Maria, yaitu sang penolong abadi the perpetual help, perpetua adjutrix. Dalam artian itu kedua tokoh ini (Yesus dan Maria) bisa menjadi sumber penghiburan dan kekuatan di dalam hidup terutama di kala dukalara datang menimpa. Salah satu gelar Bunda Maria dalam Litania Santa Perawan Maria adalah pohon atau pokok sukacita kami, alias sumber segala sukacita dan penghiburan. Hal ini sangat berkembang di dalam hidup dan teologi devosi orang-orang Katolik.

Terkait dengan pengalaman ini saya teringat akan perkataan seorang teolog Jepang, tetapi sayang sekali bahwa saya tidak begitu mengingat lagi namanya. Semoga di lain kesempatan saya bisa menemukan lagi nama beliau. Yang terpenting saya ingat akan apa yang ia katakan. Menurut dia orang Jepang yang beriman Kristiani, di dalam hidup mereka selalu membutuhkan dua huruf J. J yang pertama ialah Jepang, Japanese, fakta bahwa mereka adalah orang Jepang. Kejepangan adalah fakta terberi yang sudah ada secara alami di dalam hidup mereka. J yang kedua ialah Jesus. Setelah mereka mengenal dan menerima Jesus, maka Jesus itu sudah mendarah daging di dalam hidup mereka sebagai orang Jepang. Karena itu, J yang kedua ini sudah sulit dilepaskan dari J yang pertama, yaitu dari kehidupan mereka sebagai orang Jepang itu sendiri.

Ketika hal seperti ini diterapkan ke dalam konteks Indonesia, maka mungkin orang-orang Jawalah yang paling gampang menerapkan hal itu, karena factor huruf J tadi. Orang-orang Jawa yang Kristiani misalnya bisa mengatakan bahwa mereka selalu membutuhkan dua huruf J di dalam hidup mereka. J pertama ialah Kejawaan dan J yang kedua ialah Jesus. Tetapi kiranya soal penerimaan iman akan Yesus ini bukan perkara huruf belaka. Kalau sudah diterima dan mendarat di dalam hati, maka Ia sudah mendarat di dalam hati. Mungkin kira-kira seperti dikatakan oleh orang-orang Manggarai di Flores: Serani nai kontas bokak, sebuah ungkapan yang menandakan bahwa kekatolikan mereka sudah mendarah daging, sudah mengakar kuat di dalam seluruh tatanan hidup mereka. Hal itu dilambangkan dengan sebutan serani dan lambang Rosario. Serani itu sudah mengakar di dalam hati dan jiwa (nai) dan Rosario itu sudah selalu menggantung di leher sebagai kalung kehidupan. Jadi, walaupun tanpa ada kemiripan dalam huruf, toh orang-orang Manggarai yang Katolik bisa dengan bangga menegaskan relasi dan kepercayaan diri seperti itu.

 

Penulis: Dosen teologi dan peneliti teologi dan kebudayaan pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung. 



Saturday, June 27, 2020

BIARA MENYELAMATKAN GEREJA

Oleh: Fransiskus Borgias


 

W.L. Helwig, seorang penulis yang berasal dari negeri Belanda, sudah menulis sebuah buku Sejarah Gereja yang kiranya cukup terkenal dalam lingkup gereja Katolik di Indonesia. Pada akhir tahun 70an, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Romo Dick Hartoko SJ, dan sudah mengalami cetak ulang sebanyak delapan kali (mungkin sekarang sudah lebih dari delapan kali, karena versi yang ada di tangan saya berasal dari awal tahun 90an). Ini adalah sebuah prestasi penerbitan yang sungguh luar biasa mengagumkan. Jarang sekali terbitan teologi seperti itu mencapai sukses yang sedemikian besar. Buku itu menjadi laris manis di pasaran buku Indonesia. Judul buku itu dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia adalah Sejarah Gereja Kristus. Buku itu sendiri dalam versi Bahasa Indonesia terdiri atas tiga jilid, dari jilid satu sampai dengan jilid tiga. Judul asli dalam Bahasa Belanda ialah De Katholieke Kerk in de loop der eeuwen (kira-kira demikian, Gereja Katolik dalam rentang perjalanan jaman). Bahasa terjemahan dari pater Dick Hartoko, sangat menarik, indah dan renyah dibaca. Sama sekali tidak terasa kaku. Melainkan sangat serba lancar, membuat kita para pembaca seperti terbuai oleh keindahan tersebut.

Bagi saya ini adalah sebuah buku yang menarik. Menarik karena ia berhasil dengan sederhana menggambarkan secara singkat dan padat seluruh garis dan dinamika perkembangan historis Gereja Katolik sejak dari awal mula hingga ke abad duapuluh yang silam. Menurut pengamatan dan penilaian saya, pater Dick Hartoko juga sangat berhasil menampilkan gaya Bahasa yang indah dan sederhana itu di dalam versi terjemahannya sendiri. Saya tidak akan membuat catatan menyeluruh atas seluruh buku itu yang terdiri atas tiga jilid tadi. Di sini saya hanya mau memusatkan perhatian pada jilid satu saja.

Sebagai puncak dari jilid yang pertama kita menemukan Bab ketujuh yang berjudul Biara Menyelamatkan Gereja. Dalam tulisan saya kali ini saya mau memberi sebuah catatan khusus tentang hal ini. Dengan judul tersebut pengarang mau menunjukkan bagaimana hidup membiara akhirnya mampu menyelamatkan gereja dari sebuah krisis sejarah yang sangat besar yaitu krisis yang dikenal dengan sebutan krisis investitura. Pertikaian investitura itu sendiri singkatnya adalah campur tangan kaum awam ke dalam proses pemilihan para pejabat gereja, yang pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh banyak kepentingan politik duniawi. Proses penyelamatan itu bisa terjadi berkat gerakan pembaruan yang mula-mula terjadi dalam lingkup biara itu sendiri, tetapi kemudian nafas dan ilham pembaharuan itu merambat keluar dari banteng-benteng biara sehingga bisa mempengaruhi seluruh gereja dan masyarakat Kristiani pada waktu itu. dan pusat gerakan pembaharuan biara itu dimulai di sebuah biara yang bernama Cluny (sebuah biara yang didirikan oleh seorang bangsawan yang bernama William dari Acquitane) dan kemudian berlanjut ke biara-biara yang lain seperti di Citeaux dan Clairvaux (semuanya dalam lingkup wilayah Perancis modern sekarang ini). Tentu saja hal itu sangat patut disyukuri. Salah satu tokoh terkenal dari Clairvaux ialah Santo Bernardus dari Clairvaux itu.

Dan hal yang paling menentukan ialah bahwa kemudian di dalam perkembangan sejarahnya gerakan pembaharuan Cluny ini mendapat momentum yang dahsyat dalam diri Paus Gregorius VII. Dia sendiri adalah seorang biarawan yang berasal dari lingkaran gerakan pembaharuan Cluny itu. setelah dia menjadi paus maka ia mengambil gerakan pembaharuan tersebut menjadi program seluruh gereja. Hal itulah yang bisa menjelaskan mengapa kemudian gerakan pembaharuan itu, yang semula hanya terbatas dalam biara-biara saja, akhirnya juga menjadi sebuah gerakan seluruh gereja. Efeknya ialah bahwa yang mengalami pembaharuan itu tidak hanya biara-biara (karena itulah yang menjadi tujuannya yang semula dan asali) melainkan berdampak juga bari seluruh gereja. Karena gerakan ini bermula dari Cluny (Burgundy) maka itulah sebabnya gerakan pembaharuan ini dikenal dengan sebutan Cluniac reform, atau reformasi Cluny tadi. Semuanya adalah gerakan pembaharuan dalam lingkup ordo Benediktin (karena itu juga dikenal dengan sebutan gerakan pembaharuan Benediktin), sebab itulah ordo-ordo besar yang ada dalam gereja pada jaman itu, selain Augustinian (Fransiskan dan Dominikan baru muncul pada abad ketigabelas, sebagai gerak lanjutan dari dinamika pembaharuan ini).

Tetapi ternyata saat gereja itu kemudian berkembang ke Timur seperti ke Asia (Jepang, Korea, China, India, dan Indonesia) tercatat sebuah fakta yang menarik dan mungkin juga amat mengejutkan bahwa yang bisa menyelamatkan hidup gereja di sana adalah justru kaum awam. Henry Daniel Rops misalnya pernah mencatat bahwa di Korea dan jepang pernah ada masa yang sangat panjang (mungkin hampir dua abad) di mana hidup gereja Katolik itu diselamatkan oleh kaum awam yang tetap bertekun di dalam iman dengan menjalani hidup devosional kerakyatan, tanpa nuansa-nuansa agama institusional hirarkis karena memang pada saat itu tidak ada para imam sama sekali. Lalu apa yang bisa menjelaskan hal itu? satu-satunya penjelasan ialah bahwa umat dengan setia menjaga dan memelihara hidup devosional mereka. Dengan cara itu, mereka tetap setia mempertahankan iman. Begitu para imam datang, maka mereka datang dan menabur firman di atas lahan subur yang telah disediakan oleh hidup devosional para umat yang dengan setia telah menghayati hidup devosional tersebut. Benar-benar luar biasa dan mengagumkan.

Begitu juga halnya dengan iman Katolik di Larantuka, yang bertahan karena peranan kaum awam. Sejauh yang saya ketahui gereja Katolik masuk ke daerah Larantuka, dan juga Timor Leste, karena jasa orang-orang Portugis yang menjajah wilayah tersebut sejak dari abad ke-enambelas (1500an ke atas). Hal itu berlangsung, sejauh pengetahuan saya, sampai tahun 1859 (jadi, abad kesembilan belas), di mana terjadi sebuah perjanjian singkat antara Belanda dan Portugis mengenai semacam pembagian wilayah kekuasaan dagang di kawasan Sunda Kecil. Sejak saat itu imam-imam Portugis meninggalkan wilayah Larantuka dan sekitarnya, dan hanya menyisakan Timor Leste saja (hingga tahun 1970an, saat perang kemerdekaan Timor Leste terjadi). Tatkala para imam Portugis meninggalkan wilayah tersebut, ternyata tidak segera mendapat para pengganti dari kalangan imam-imam Belanda. Para imam Belanda baru datang, sejauh pengetahuan saya, pada akhir abad ke-sembilan belas. Sesungguhnya sudah terjadi kekosongan di wilayah Larantuka mendahului tahun 1859 di atas tadi. Lalu, apa yang bisa menjelaskan bahwa iman Katolik itu hidup terus? Menurut saya, hanya satu saja jawabannya: yaitu iman umat awam, yang tetap setia memelihara iman itu dalam praksis hidup devosional mereka. Dan salah satu praksis devosional yang mereka hayati dan mereka tetap pelihara ialah praksis di sekitar perayaan pekan suci atau Semana Sancta yang terkenal itu. Hanya di atas praksis itulah, maka iman Katolik (Gereja Katolik) tetap bisa bertahan.

Tetapi peranan nyata kaum awam itu tidak menjadi judul khusus dalam buku-buku sejarah Gereja. Bagi saya itu adalah sebentuk pengabaian, suatu ketidak-relaan untuk mengakui peranan kaum awam yang sungguh nyata dan sama sekali tidak mengada-ada. Terlepas dari hal itu haruslah diakui bahwa hidup devosional umat awamlah yang menyelamatkan gereja.

 

Penulis: Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung.

 


Thursday, June 25, 2020

YUDA BEN HUR

Oleh: Fransiskus Borgias

 

Kemarin saya sudah menulis tentang Paul Meier. Saya menulis tentang Paul Meier sebagai salah satu orang yang mempraktekkan suatu pandangan dan keyakinan tertentu tentang kemampuan dan kekuatan daya khayal atau mungkin lebih tepat daya imajinasi manusia. Jauh sebelumnya saya menulis tentang Murray Bodo OFM, yang dalam pengantar bukunya tentang santa Klara mengatakan bahwa daya khayal manusia bisa menyimpan dan mengingat kenangan historis dengan suatu cara yang lain dan berbeda dari cara sejarah mencatat dan mengingat kenangan tersebut. Ternyata pandangan dan keyakinan itu dipraktekkan oleh banyak orang. Kemarin saya sudah mengemukakan bagaimana Paul Meier, melalui bukunya Pontius Pilatus itu, dengan sangat mahir memperlihatkan dan membuktikan kemampuan itu. Pada hari ini saya mau menulis tentang seorang yang lain yaitu Lewis Wallace.

Menurut pengamatan saya, Lewis Wallace juga mempunyai pengalaman yang kurang lebih sama. Ia menulis buku yang sangat terkenal yang berjudul Ben Hur; saya mengangkat buku ini karena memang ada banyak sekali rajutan imajinasi yang kuat dan mengagumkan di dalam buku itu. Tetapi di sini saya hanya mau focus pada bagian terakhir dari buku itu.

Di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru khususnya Kisah Para Rasul kita membaca bahwa Paulus memulai kariernya sebagai seorang pewarta iman Kristiani dari kota Antiokhia. Ada sebuah kesan yang kuat bahwa di kota itu sudah ada sebuah komunitas Kristiani yang mapan di sana, jauh mendahului Paulus. Termasuk di dalamnya adalah orang-orang seperti Barnabas. Orang ini diduga adalah orang berada. Kis 11:26, memberi kita sebuah informasi penting, yaitu bahwa di Antiokhialah mereka untuk pertama kalinya disebut Kristianoi.

Saat ada krisis kelaparan dan kekeringan di tanah Yudea, jemaat di Antiokhia ini yang sedikit makmur dan mapan, membantu mereka dengan bantuan pangan. Paulus-lah orang yang membawa bantuan tersebut. Nah, dari mana atau dari siapakah sumbangan itu berasal? Tentu sumbangan dan bantuan itu kiranya berasal dari hasil kolekte para anggota jemaat Kristianoi yang ada di kota Antiokhia tersebut.

Tetapi di dalam daya imajinasi historis Lewis Wallace, ada satu nama yang menjadi sponsor utama untuk tersedianya bantuan tersebut. Orang itu adalah Yuda Ben Hur. Orang ini adalah seorang yang sangat kaya. Ia menjadi kaya karena sebuah nasib baik, yaitu mendapat warisan dari seorang Hakim Roma, yang telah mengambil dan mengangkatnya sebagai seorang anak angkat. Ben Hur ini juga menjadi kaya karena ia mendapat harta warisan keluarga Hur, yang selama ini dikelola dengan sangat baik oleh bekas budak keluarga mereka, Simonides, yang menjalankan roda bisnis dan ekonominya dari kota pelabuhan, Antiokhia, yang memang terletak di pinggir sungai besar, Orontes itu.

Nah menurut Lewis Wallace bantuan yang dikirim ke Yerusalem itu terutama sekali disponsori oleh Yuda Ben Hur ini, yang memang menjadi sangat kaya, sebagaimana sudah dilukiskan di atas tadi. Solidaritas antara kaum beriman akhirnya memang mampu mengatasi dan melewati krisis kemanusiaan akibat kelaparan dan kekeringan yang melanda negeri Yudea itu.

Masih dari Lewis Wallace ini. Imajinasi dia terus berlanjut tentang si orang kaya dari Antiokhia, Yuda Ben Hur tadi. Akhirnya, ia menjadi Kristiani. Orang ini ternyata sudah menjadi Kristiani. Ia menjadi Kristiani, dan ini sangat menarik, bukan karena peristiwa kebangkitan, sebagaimana orang-orang pada umumnya, melainkan justru karena balada penyaliban. Bagi dia balada penyaliban adalah sebuah momen penyingkapan, sebuah momen pewahyuan, sebuah momen theofani yang sangat penting dan mendasar. Pengalaman dia ini kurang lebih sama dengan pengalaman seorang prajurit yang menikam lambung Yesus dan setelah terpancar air dan dari lambung tersebut, ia pun menjadi percaya: sungguh orang ini adalah anak Allah (bdk. Mrk 15:38-38; Mat 27:54; Luk 23:47; Yoh 19:31-37).

Setelah ia menjadi Kristiani konon ia mula-mula menetap di Antiokhia dan melanjutkan bisnis keluarganya. Saat itu pada tahun 60an-70an terjadi pengejaran besar-besaran dan sistematis terhadap orang-orang Kristiani di Roma. Si Yuda Ben Hur ini, setelah didorong oleh manajernya, Simonines, Yuda dan keluarganya berangkat dan tinggal di kota Roma. Tujuan mereka hanya satu. Menyelamatkan orang-orang Kristiani yang ada di sana dari kejaran dan kekejaman tentara Nero, Kaisar yang maniak dan gila itu. Orang Kristiani di kota itu sangat sulit berdoa, karena mereka terus menerus direcoki oleh orang-orangnya Nero ini.

Karena itu, dengan kekayaan yang dimilikinya, Yuda Ben Hur pun, setelah tiba di Roma, bisa membangun ruang-ruang bawah tanah yang menjadi tempat persembunyian bagi orang-orang Kristiani. Tempat-tempat seperti itu sekaligus juga menjadi tempat orang Kristiani berkumpul dan berdoa. Tempat atau ruangan tersembunyi dan rahasia di bawah tanah tersebut disebut Katakomba.

Dalam daya imajinasi Lewis Wallace, katakomba itu hanya bisa dibangun oleh orang yang amat kaya raya, sebab ia bisa menyewa para pekerja dan juga bisa menutup mulut mereka agar katakomba itu tetap tersembunyi dan rahasia bagi masyarakat umum. Dikatakan juga bahwa lorong-lorong atau ruang-ruang di bawah tanah itu dilengkapi dengan symbol-simbol rahasia bagi orang Kristiani yang datang ke sana. Dan konon symbol yang paling popular ialah ikan, yang dalam Bahasa Yunani ialah ichtous. Lorong yang ditandai dengan gambar ichtous itu adalah lorong keselamatan. Dan masih ada banyak lagi kode-kode rahasia lain yang diambil dari ilham kitab suci.

Tetapi mengapa mereka memakai symbol rahasia ikan tersebut? Mereka memakai symbol tersebut karena bagi mereka symbol ikan, ichtous, tersebut mendapat makna baru. Selain ikan muncul di dalam mukjizat makan kenyang yang dikisahkan di dalam keempat injil, bagi orang-orang Kristiani purba kata ichtous itu mendapat pemaknaan baru. Bagi mereka ichtous itu adalah sebuah singkatan. I adalah huruf awal dari nama Yesus dalam Bahasa Yunani dan Latin, Iesus. Ch adalah (chi) huruf awal dari nama Kristus. Th adalah huruf awal dari kata theos dalam Bahasa Yunani yang artinya ialah Allah atau Tuhan. Ou adalah huruf awal dari kata Ouios dalam Bahasa Yunani yang artinya ialah anak atau putera. S adalah huruf pertama dari kata dalam Bahasa Yunani yaitu Soter yang artinya ialah sang penyelamat.

Karena itu, kalau dibaca secara lengkap maka kata ichtous itu menjadi sebuah kalimat yang mengungkapkan iman Kristiani akan Yesus Kristus. Yaitu bahwa Yesus Kristus adalah Putera Allah sang Penyelamat. Itulah sebabnya tadi di atas sudah dikatakan bahwa saat orang-orang Kristiani purba melarikan diri ke dalam lubang-lubang rahasia itu di dalam tanah, mereka bisa selamat karena membaca pelbagai petunjuk atau kode sandi tersebut, yang tidak bisa dipahami oleh orang-orang lain. Rahasia itu dipegang teguh oleh mereka sehingga hal itu menjadi semacam pengetahun esoteric bagi mereka yang tersembunyi bagi orang-orang lain di luar kelompok mereka.

 

Penulis: Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci Keuskupan Bandung.

 


Wednesday, June 24, 2020

PAUL MEIER: PONTIUS PILATUS

Oleh: Fransiskus Borgias



Beberapa waktu yang lalu saya menulis tentang daya kekuatan imajinasi anak manusia yang dalam ungkapan Murray Bodo, seorang sastrawan kefransiskanan Amerika Serikat, dikatakan mempunyai daya kekuatan yang luar biasa untuk merekam dan menyimpan ingatan manusia akan sejarah, sehingga ia bisa menjadi sebuah alternative bagi sejarah itu sendiri. Bagi orang seperti Murray Bodo, daya ingat imajinasi manusia bisa menjadi sebuah alat bantu untuk mengingat dan menyimpan. Dengan konsep seperti itulah Murray Bodo pun menulis dua buah karya fiksi yang indah. Yang satu tentang Fransiskus dari Asisi, untuk mencoba mengingat dan merekam pelbagai hal tentang tokoh agung itu. Yang lain ialah tentang Clara dari Asisi, juga untuk mencoba mengingat dan merekam pelbagai hal tentang tokoh agung itu.

Rupanya di dalam sejarah ada banyak juga orang yang mempunyai pandangan dan keyakinan seperti itu. Ya, tidak hanya Murray Bodo saja yang mempunyai pengalaman dan kesaksian tentang daya kekuatan imajinasi manusia untuk menyimpan dan mengingat sejarah masa silam. Orang seperti Paul Meier, yang menulis sebuah buku yang menjadi best-seller internasional, yang berjudul Pontius Pilatus, juga mempunyai pengalaman yang kurang lebih sama. Pada saat menulis buku Pontius Pilatus tadi, ia mencoba menggali pelbagai macam catatan sejarah Roma, juga catatan-catatan dan informasi yang ada di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dan juga pelbagai macam catatan-catatan yang lainnya.

Lalu Meier dengan kepiawaian seorang sejarawan mencoba merangkai semua informasi dari semua sumber itu tentang Pontius Pilatus. Ia mula-mula mencoba mengikuti informasi yang ada di dalam catatan-catatan sejarah Roma. Kalau ada catatan dan rekaman yang putus di dalam untaian sejarah itu, ia coba rujuk ke informasi dari Kitab Suci dan juga dari catatan-catatan sejarah yang lain. Jadi, pokoknya, semua catatan ia pakai secara silang untuk saling melengkapi dan memperkaya. Kalau di dalam upaya persilangan itu, masih ada titik-titik yang putus ataupun kabur, maka di situlah ia mencoba mengisinya dengan daya imajinasinya. Seperti halnya Murray Bodo, Paul Meier pun sangat yakin bahwa daya khayal, daya imajinasi manusia bisa dengan satu dan lain cara menurut alur logikanya sendiri mengisi kekosongan dan keterputusan itu.

Nah dengan cara itu maka terangkailah kisah yang utuh dan indah mengenai Pontius Pilatus dalam dua jilid buku yang tebal. Sebagai contoh mengenai keterputusan dan kekaburan historis itu, misalnya ialah demikian: injil-injil dan sejarah Roma tidak memberi informasi sama sekali kepada kita bagaimana akhir dari karya Pontius Pilatus yang terlibat di dalam peristiwa dramatis sejarah, yaitu penyaliban Yesus Kristus itu. Jelas, di sana ada sebuah kekosongan informasi yang sangat besar. Paul Meier tidak membiarkan kekosongan itu menganga lebar, melainkan ia mencoba mengisinya dengan sebuah upaya kreatif yang menarik. Di dalam imajinasi Paul Meier diceritakan bahwa Pontius Pilatus akhirnya kembali ke Roma, dan saya kira itu sesuatu yang wajar saja, karena dia memang orang Roma. Itu sebuah logika yang wajar-wajar saja, mudik, kembali ke kampung asal setelah selesai melaksanakan tugas bakti bagi bangsa dan negara.

Tetapi tidak berhenti di sana. Setelah ia pension dari dinas pemerintahan dan kemiliteran Kekaisaran Roma, akhirnya ia menjadi seorang pengikut Yesus Kristus, menjadi seorang Kristianoi (Christianoi, Kis 11:26). Tetapi bagaimana hal itu mungkin terjadi? Menurut daya imajinasi Paul Meier, putusan itu bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba begitu saja. Melainkan hal itu terjadi melalui beberapa proses persiapan dan perjuangan serta pengalaman batin yang panjang. Mana saja tahap-tahap persiapan itu?

Kiranya di sini bisa disebutkan empat macam atau tahap persiapan personal historis yang dialami dan dilewati oleh Pontius Pilatus. Pertama, hal itu tampak dengan sangat kuat, sebagaimana dipersaksikan di dalam Kisah Sengsara di dalam Perjanjian Baru, dalam sikap dan keengganan Pontius Pilatus untuk menghukum Yesus. Keempat injil mencatat dengan jeli bahwa sesungguhnya Pilatus dengan caranya sendiri berusaha membebaskan Yesus dari ancaman hukuman. Bahkan ia juga beberapa kali menegaskan di hadapan orang banyak yang mabuk agama, bahwa orang ini sama sekali tidak bersalah. Kalaupun toh dia bersalah, ya salahnya tidak pantas untuk dijatuhi hukuman mati. Kedua, ada campur tangan sang isteri untuk tidak usah terlibat di dalam urusan orang itu. Konon campur tangan sang isteri itu didapat oleh sang isteri dari sebuah mimpi yang sangat mengganggu tidurnya. Mungkin karena itulah maka Pilatus secara harfiah meminta air dan mencuci tangannya dan kemudian juga secara public menyatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas darah orang ini. Terhadap pernyataan itu, orang-orang yang mabuk agama pun berteriak-teriak bahwa biarlah darah orang ini ditimpakan ke atas diri kami.

Ketiga, Pontius Pilatus pension setelah lewat beberapa tahun dari proses penyaliban ngeri itu di Yerusalem. Dan dalam rentang waktu beberapa tahun itu, berkembanglah sebuah keyakinan religious baru yang tersebar ke mana-mana, mulai dari Yerusalem hingga ke Yudea, dan Samaria dan akhirnya ke seluruh dunia, sebuah gerak sentrifugal yang sangat kuat dan dahsyat sekali. Pontius Pilatus pulang ke Roma dengan menempuh perjalanan darat mengikuti fasilitas jalan raya Roma. Nah di dalam perjalanan pulang itulah, betapa ia sangat terkejut bahwa cerita tentang tokoh Yesus itu sudah tersebar ke mana-mana ke seluruh “dunia” pada saat itu. nah cerita-cerita yang ia dengar tentang Yesus dalam perjalanan pulang ke Roma lewat jalan darat, juga ikut menentukan di dalam proses dia di Roma kelak untuk mengambil keputusan. Keempat, di dalam perjalanan itu ke Roma itu, konon Pontius Pilatus juga mengalami sebuah perjumpaan personal di suatu kota. Mungkin saja ia bertemu dengan Paulus di Antiokhia, yang memang telah dijadikan oleh Paulus sebagai base-camp bagi aktifitas misioner dan pewartaannya ke seluruh Asia Kecil dan juga akhirnya ke Eropa.

Saya harus menambahkan factor kelima (yang tidak ada di dalam buku Paul Meier). Factor kelima ialah, factor perjumpaan Pontius Pilatus sendiri dengan Yesus Kristus. Terkait dengan ini, kiranya injil Yohanes mempunyai bantuan yang sangat kuat. Di sana Yohanes mencatat sebuah proses pengadilan yang sangat intensif yang dilakukan oleh Pontius Pilatus atas Yesus. Dan Yohanes tidak lupa mencatat bahwa di dalam salah satu untaian proses pengadilan itu, Pontius Pilatus mengakhiri salah satu sesi tanya jawabnya dengan sebuah pertanyaan retoris yang sangat terkenal: apa itu kebenaran? Di dalam peristiwa pengadilan itu sendiri, tampak bahwa untuk sementara Pilatus tidak atau belum membutuhkan jawaban. Itu sebabnya Yohanes langsung pindah ke adegan selanjutnya. Tetapi saya dapat membayangkan bahwa betapa pertanyaan retoris yang menggantung itu, akan selalu mengganggu suara hati Pontius Pilatus: apa itu kebenaran? Siapa itu kebenaran? Di mana kebenaran itu dapat dijumpai?

Menurut Paul Meier, semua keempat poin itu ikut membantu dalam proses pertobatan Pontius Pilatus saat ia sudah tiba di Roma. Menarik sekali cara Paul Meier mengakhiri ceritanya di dalam buku itu. Pontius Pilatus sukses sebagai gubernur di Galilea, dank arena itu ia dengan kepala tegak bisa kembali ke Roma, dan di Roma ia menikmati masa pension yang enak dan nyaman sebagai seorang Kristiani, seorang pengikut Kristus di Roma. Luar biasa bukan?

 

Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci, Santo Hieronimus Keuskupan Bandung.


Sunday, June 21, 2020

HENTIKAN RASISME

Oleh: Fransiskus Borgias M. 
(Sebuah catatan agak spontan setelah menonton video Kotbah dari Romo Amandus Rahadat). 
Dosen dan peneliti serior pada FF-UNPAR, Bandung. 


Setahun yang lalu, pada bulan Agustus, terjadi sebuah keributan di Surabaya, karena ada sebuah asrama mahasiswa Papua yang diteriaki dengan nada rasis terhadap para penghuni yang ada di sana. Buntut dari peristiwa itu ialah terjadi beberapa pecikan "api" di beberapa tempat, baik di pulau Jawa ini, maupun terutama sekali di Papua itu sendiri. Bahkan terjadi sebuah pergolakan sosial yang besar di tanah Papua itu sendiri. Cenderung ke arah kerusuhan massal. Syukur hal itu masih bisa diredam dan dikendalikan. 

Setelah peristiwa itu berlalu hampir setahun, rasanya seperti sudah dingin. Setidaknya itulah kesan yang kita dapatkan di tanah Jawa ini. Orang cenderung sudah melupakannya. Karena sudah melupakannya, maka cenderung juga tidak lagi begitu diperhatikan. Orang lalu menjadi lalai. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan di tanah Papua sendiri. Memang yang menjadi korban biasanya, tidak akan pernah dengan mudah melupakan cap dan stereotipe yang dikenakan oleh orang lain kepadanya. Orang pasti akan terus mengingat hal itu. Barangkali orang yang menyerukan seruan rasis itu sudah lupa, tetapi kelompok yang kepadanya seruan rasis itu ditujukan, tidak akan dengan mudah untuk melupakannya. Kiranya hal itu bisa dipahami dan dijelaskan dengan cukup mudah. Cap, apalagi cap negatif yang dikenakan oleh orang lain kepada kita, seperti langsung melekat ke dalam lubuk ingatan kita, laksana sebuah besi-panas yang ditempelkan pada badan hewan untuk menandai dan mencirikan hewan tersebut. 

Di tengah "keheningan" itu, ingatan orang akan aksi rasismu muncul lagi ke permukaan dengan sangat kuatnya, ketika di Amerika Serikat muncul kasus matinya seorang warga Kulit Hitam, George Floyd, akibat lehernya ditekan dengan lutut, kebetulan oleh seorang petugas kepolisian yang berkulit putih, dan kebetulan juga orang itu termasuk salah satu pendukung dari President Donald Trump itu sendiri (yang dicap rasis di dalam kebijakan pemerintahannya). Saya nonton video itu. Saya ingat kalimat terakhir yang diucapkannya: Saya tidak bisa bernafas. Sesudah itu ia lemas dan tidak bergerak lagi, dan ia pun mati. Jujur saja, saya menjadi sangat sedih menyaksikan video itu. Sebagai akibatnya, maka muncullah kerusuhan yang sangat mengerikan di seluruh Amerika Serikat, sebuah kerusuhan yang juga disertai dengan aksi penjarahan, karena orang-orang berada pada krisis hidup akibat krisis pandemi Covid-19 ini. 

Kira-kira seminggu yang lalu, saya juga menonton sebuah video dan mendapat sebuah naskah yang berisi pernyataan sikap dari para imam pribumi (asli Papua) terkait dengan rasisme dan pelbagai hal yang terjadi sesudahnya sebagai buntut dari perbuatan rasisme tersebut. Saya melihat di dalam video itu, juru bicara yang tampil ialah romo John Bunay Pr, seorang imam yang berasal dari Keuskupan Jayapura. Pernyataan sikap itu mewakili para imam yang "asli" papua, bukan hanya sekadar kelahiran Papua saja. 

Hari ini saya mendapat sebuah video yang berisi kotbah seorang Pastor di Katedral Timika. Pastor itu bernama pastor Amandus Rahadat. Kotbah itu disampaikan dalam kotbah Misa Hari Minggu Kemarin. Kotbah itu divideokan dan kemudian disebarkan di media sosial. Saya mendapatnya. Dengan bertitik tolak dari seruan Yesus dalam Injil Matius, bahwa JANGAN TAKUT kepada orang yang membunuh badanmu tetapi tidak mampu membunuh jiwamu. Atas dasar itu, sang pastor menyerukan agar semua orang, yang berkehendak baik, dan yang berpikiran rasional, waras, berani bersuara menyuarakan keadilan dan kebenaran. Lalu ia mulai mendarat: Keadilan dan kebenaran seperti apa yang ia maksudkan? 

Lalu sang Pastor Amandus teringat akan seruan pastor "asli" papua yang berjumlah 57 orang, yang minggu yang lalu, 8 Juni 2020, telah menyatakan sikap dan pendapat mereka terkait beberapa issue yang terjadi akhir-akhir ini. Seruan yang diserukan Minggu lalu, tangal 8 Juni 2020 itu, diserukan oleh juru bicara mereka, Pastor John Bunay. Seruan itu menyerukan tiga poin utama: Pertama, ajakan untuk menolak rasisme, kedua, untuk menolak segala bentuk ketidak-adilan, dan ketiga untuk menolak segala bentuk kekerasan (apalagi yang terjadi sesusah rasisme itu) terhadap umat Tuhan yang ada dan hidup di tanah Papua ini. 

Pastor Amandus memusatkan seluruh perhatiannya di dalam kotbah itu pada poin yang pertama yaitu persoalan rasisme. Persoalan itu ia langsung kaitkan dengan peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya tahun yang lalu, 16 Agustus 2019, di mana para penghuni wisma papua, diteriaki monyet. Pastor Amandus mengatakan bahwa tindakan dan kata-kata rasisme itu mempunyai konsekwensi yang sangat besar secara kemanusiaan, juga secara ipoleksosbud. Oleh karena itu ia menyerukan agar semua orang yang berkehendak baik dan berpikiran waras, harus bersuara menyerukan perbuatan rasis tersebut. Orang tidak bisa dan tidak boleh diam lagi. 

Di sini sama sekali tidak ada pilihan lain, selain harus bersuara menyalurkan kebenaran. Menurut Pastor Amandus, mengapa para imam asli Papua itu sampai harus bersuara, itu tidak lain karena gereja Hirarki diam, membisu, bungkam. Padahal gereja hierarki itu mempunyai daya kekuatan di seluruh dunia yang sangat besar. Tetapi sayangnya tidak bersuara. Padahal ia harus bersuara. Ia dengan lantang menyerukan tantangan kemanusiaan itu kepada, pemerintah, keamanan (polisi dan tentara), umat beragama, khususnya gereja Katolik, dan lebih khusus lagi Hierarki Gereja Katolik. 

Lalu secara pribadi saya merasa sangat tersentuh karena di beberapa bagian dari kotbahnya itu, pastor Amandus dengan lantang dan berani berkata bahwa semua orang yang pernah bertugas di Papua, kebetulan saya pernah dua kali mendapat tugas mengajar di Abepura Papua, agar demi akal sehat, demi hati nurani, berbuatlah sesuatu, berserulah untuk membela persoalan kemanusiaan ini. Dan untuk itu kita jangan takut, karena Tuhan Yesus sendiri yang menyuarakan hal itu. Saat saya mendengar seruan itu, saya menjadi sangat terharu. Diam-diam dalam hati saya menjawab pertanyaan retoris beliau dengan mengiyakan semua yang telah ia kerjakan dengan dia. 

Saya harus dengan berani dan jujur mengatakan bahwa ketika saya dipanggil dan ditugaskan untuk mengajar di Papua, persisnya mengajar para frater di Abepura, STFT Fajar Timur, Abepura, Papua, tentu saja saya mengajar manusia, mengajar sesama imago Dei, the image of God, my brothers who, like me, have been created in the very image of God. Karena itu, saya pun datang dengan penuh hormat, cinta dan bakti yang sama yang telah saya tunjukkan di tempat tugas saya yang utama, yaitu di Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. 


Saturday, June 20, 2020

DRAMA NATAL JEAN PAUL SARTRE

Oleh: Fransiskus Borgias M.

 

 

Jean Paul Sartre, sastrawan, dan filsuf eksistensialis Prancis yang terkenal itu, pernah juga menulis sebuah naskah drama Natal. Hal itu ia lakukan pada masa Perang Dunia Kedua sedang berlangsung dengan sengitnya di Eropa. Pada saat itu, Jerman (Nazi) sedang menyerbu dengan penuh nafsu negara-negara lain tetangganya. Hal itu terjadi di bawah masa pemerintahan Adolf Hitler, Der Fuehrer itu yang terkenal dengan Mein Kampft-nya itu. Memang judul karyanya adalah sebuah drama Natal. Tetapi sesungguhnya yang menarik perhatian Sartre di dalam naskah drama Natal itu bukanlah peristiwa Natal itu sendiri. Focus perhatian dia jauh sekali dari peristiwa Natal itu. Ia hanya memakai peristiwa Natal sebagai konteks historis bagi drama yang ia tulis. Yang pasti Natal itu sendiri tidak sangat menarik bagi Sartre yang pada saat itu sudah mengakui diri sebagai seorang ateis, walaupun oleh neneknya di masa kecilnya ia dibesarkan secara Katolik dan dalam tradisi Katolik Prancis yang kental dan kuat.

Di dalam naskah drama itu Sartre justru tertarik pada satu fakta yang lain sama sekali. Yaitu Negeri Kanaan (negara Israel modern dewasa ini) diserbu dan dikuasai oleh bala tentara Kekaisaran Roma. Di dalam naskah itu Sartre mengecam peristiwa penyerbuan dan pendudukan itu oleh bala tentara Roma. Jadi, Sartre menempatkan konteks historis dramanya jauh di masa silam, pada masa-masa awal jaman Perjanjian Baru, Common Era, Christ Event, Anno Domini, Tahun Masehi.

Tentu saja para pembaca dan penonton sama sekali tidak akan keliru di dalam menafsirkan dan memahami maksud dari drama Natal ini. Sesungguhnya Sartre mau mengecam penyerbuan dan pendudukan yang dilakukan oleh Jerman kepada negara-negara lain yang ada di sekitarnya. Dalam kasus Sartre tentu saja ialah pendudukan dan penyerbuan oleh Jerman terhadap Prancis. Jadi, boleh dikatakan bahwa matanya sebagai penulis drama memang sedang memandang ke masa silam, tetapi hatinya justru sedang ada di sini, sedang memandang ke masa kini, sekarang dan di sini (hic et nunc).

Dengan cara penulisan seperti ini, Sartre sebenarnya mau menghindari sebuah konfrontasi dan konflik. Ia tidak mau secara frontal mengecam Jerman. Sebab hal itu pasti akan sangat berbahaya bagi hidup Sartre sendiri. Tetapi harus ada kritik dan kecaman yang keras. Maka apa yang dibuat Sartre ialah menengok ke masa silam dan di sana ia menemukan kisah yang kurang lebih sama dengan apa yang sedang terjadi secara nyata sekarang dan di sini. Melalui pengolahan ulang atas cerita itu ia menyampaikan pesan dan kritik politiknya untuk dan pada masa kini. Informasi singkat tentang hal ini dapat dibaca di dalam buku dari Prof.Kees Bertens, Filsafat Barat Abad XX, Jilid 2, Prancis (Jakarta, Gramedia: 1996). Informasi khusus tentang drama Natal ini ada dalam halaman 85.

Ketika menulis tentang hal ini saya tiba-tiba teringat akan beberapa gejala lain yang kurang lebih seperti itu yang saya temukan di dalam Kitab Suci Yudeo-Kristiani. Di sana, di dalam Kitab Suci itu ada dua pengarang juga yang memakai metode yang sama. Yang pertama ialah Daniel dan yang kedua ialah Pengarang kitab Ruth. Sejauh yang saya ketahui, kitab Daniel itu ditulis atau muncul kurang lebih dua abad sebelum Masehi. Kita semua tahu bahwa pada kurun dua abad sebelum Masehi itu, negeri Kanaan (Israel) sedang berada di bawah himpitan dan tekanan pergerakan budaya dan agama Helenis. Terutama di bawah pemerintahan raja Antiokhus Epifanes dari Syria, maka orang-orang Israel di tanah Kanaan dipaksa untuk meninggalkan tradisi agama leluhurnya dan menjadi penganut agama Helenisme, sebab itulah yang menjadi cita-cita dasar dari pergerakan Helenisme yang mulai dicanangkan oleh Alexander Agung itu dan diteruskan lebih lanjut oleh para panglima perangnya.

Orang-orang Israel menjadi sangat menderita di bawah tekanan dan himpitan kekejaman militer dan terutama religious yang dilakukan oleh Antiokhus Epifanes. Terhadap tekanan itu muncullah pemberontakan kaum Makabe, yang memang untuk sementara waktu bisa mempertahankan kedaulatan Israel, tetapi akhirnya juga kalah. Berbeda dengan kaum Makabe, yang mengangkat senjata di bawah pimpinan Yudas Makabe itu, nabi Daniel menempuh sebuah jalan pendekatan yang lain. Ia mengecam dan mengeritik kebijakan sang raja itu, tetapi ia lakukan hal itu tidak secara langsung dan frontal. Melainkan ia menempatkan setting atau latar belakang ceritanya jauh ke masa silam, yaitu kea bad keenam ataupun kelima sebelum Masehi, di bawah masa pemerintahan Nebukadnezar.

Kekejaman Raja inilah yang ia lukiskan dan juga menubuatkan bahwa akan segera tiba saatnya untuk menjadi hancur dan runtuh. Sedangkan Israel akan menjadi selamat dan hal itu dilambangkan dengan tidak terbakarnya tiga pemuda Israel itu yang dihukum di dalam tanur api. Mereka tidak terbakar sama sekali karena mereka dilindungi oleh Malaekat, sehingga saat raja mengintip ke dalam tanur api itu, ia melihat ada empat orang, padahal ia hanya menjebloskan tiga orang saja. Dengan cara menempatkan setting cerita jauh ke masa silam, maka penguasa politik saat ini yang lalim dan kejam tidak bisa menjadi tersinggung sama sekali. Kalaupun toh ia tersinggung, Nabi Daniel bisa membela diri dengan mengatakan bahwa cerita yang ia susun bukanlah tentang dia melainkan tentang seseorang yang lain di masa silam. Titik. Beres. Habis perkara.

Pengarang yang lain ialah pengarang kitab Rut. Sesungguhnya orang ini adalah orang yang hidup pada masa Ezra dan Nehemia yang ditugaskan oleh Cyrus untuk membangun kembali Bait Allah di Yerusalem. Ketika Ezra melaksanakan tugas itu, ia juga melakukan semacam aksi pemurnian etnis. Caranya? Dengan menyuruh semua orang Israel yang kawin campur dengan orang bukan Israel agar segera menceraikan isteri-isteri mereka. Tentu saja hal itu amat menyedihkan. Maka muncullah penulis kitab Rut. Pesan pokok Rut hanya satu: Orang asing juga ada yang baik. Beristerikan orang asing tidak selalu merupakan hal yang tercela sama sekali. Buktinya? Ya si Rut itu. Rut adalah seorang perempuan Moab, jadi seorang Kafir. Tetapi ia berjanji setia kepada Naomi, sang ibu Mertua dan akhirnya kembali ke Betlehem dan menikah dengan Boaz di sana, dan itulah cikal-bakal leluhur Raja Daud yang terkenal itu. (Tentang Rut ini saya sudah membuat catatan yang lebih panjang di tempat yang lain).

Selain dengan cara seperti di atas tadi, ada juga pengarang lain yang memakai cara atau pendekatan yang lain. Misalnya dengan memakai fable. Memakai dunia binatang sebagai sindiran pedas kepada manusia. Mochtar Lubis memakai cara seperti ini. Hal itu tampak sangat jelas di dalam novelnya yang sangat menarik, Harimau-harimau. Lubis sebenarnya mengecam lawan politiknya yaitu Soeharto, sang arsitek dan penguasa Orde Baru. Harimau itu menjadi musuh bersama-sama para pencari kulit kayu manis di hutan. Ada seorang tokoh yang disebut Pak Dhe. Nah Pak Dhe ini mengembangkan sebuah narasi tentang harimau dan tentang takut akan harimau. Ia juga mengatakan bahwa hanya dia saja yang bisa mengatasi harimau karena dia saja yang jago menembak di kampung mereka. Hal itu orang percayai, karena hanya dia saja yang mempunyai senapan dan terbiasa memegang senapan itu. hal itu berlangsung sampai terbukti bahwa hal itu tidak benar. Maka sejak saat itu, otoritas Pak Dhe pun runtuh.

 


Wednesday, June 17, 2020

PENYAIR DAN TENTARA: ADIK DAN KAKAK

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Hari ini saya teringat akan sebuah cerita yang sangat klasik. Cerita itu saya pernah baca dalam salah satu buku Paulo Coelho, penulis terkenal dari Brazil itu. Hanya saya lupa judul buku Coelho tersebut. Yang terpenting saya ingat alur ceritanya. Dalam buku itu, Coelho hanya mengisahkannya secara singkat. Mungkin dia meringkas dari sumber lain yang belum saya ketahui. Tulisan saya kali ini adalah upaya mengisahkan kembali cerita itu dengan lebih detail dan lebih panjang, menurut rumusan verbal saya sendiri.
Dikisahkan bahwa dulu di Roma pada jaman Yesus, ada sebuah keluarga bangsawan Roma. Keluarga ini mempunyai dua anak laki-laki. Mereka memberi pendidikan yang sepatutnya bagi kedua anak itu menurut tuntutan tingkatan dan golongan sosial mereka. Setelah kedua anak itu bertumbuh dewasa, mulai tampaklah apa yang menjadi bakat, kemampuan dan kecenderungan kepribadian mereka.
Si adik, mempunyai minat dan bakat yang sangat tinggi di bidang kesenian khususnya sastra. Ia pandai berbicara di muka umum dan juga menulis. Setiap hari ia membaca banyak karya klasik sebagaimana yang menjadi trend para anak bangsawan masa itu. Bahkan sejak sangat dini ia sudah bisa menulis puisi yang dibacakan di beberapa forum kesenian yang tersedia di Roma.
Lambat laun, dia menjadi sangat populer di Roma karena karya-karyanya di bidang sastra, terutama puisi. Banyak dari karya puisinya itu dibacakan di arena-arena pertunjukan, baik dibacakan oleh dia sendiri, maupun oleh orang lain. Pokoknya, karena kata-katanya, karena produsir kata-katanya, si bungsi ini menjadi sangat terkenal. Ia mempunyai banyak penggemar. Ia menjadi penulis yang produktif, populer, dan sangat terkenal di dunia Roma.
Semua orang Roma memuji dia. Begitu juga di tengah keluarga. Ia menjadi anak yang dipuja-puja, yang dianggap telah membesarkan dan mengharumkan nama keluarga. Itu terjadi karena si bungsu berhasil mengeluarkan banyak karya sastra bermutu yang diakui banyak orang dalam masyarakat.
Si bungsu tidak hanya dipuja-puja, melainkan juga ia dipuja dalam perbandingan dengan si kakak yang dianggap tidak menghasilkan apa-apa untuk mengharumkan nama keluarga.
Sebaliknya si kakak itu orangnya pendiam. Ia tidak pandai berbicara. Sesungguhnya ia pandai berbicara, tetapi tidak banyak mengumbar kata-kata. Ia lebih banyak berdiam diri. Berbeda dengan si adik yang menaruh minat besar pada sastra dan poetika, si abang mempunyai kecenderungan yang lain sama sekali. Ia berminat di bidang militer, dinas ketentaraan. Suatu yang sangat luhur juga pada waktu di wilayah Kekaisaran Roma. Sebab untuk menjaga dan memelihara wilayah kekaisaran yang mahaluas itu, dibutuhkan tentara yang kuat yang didukung logistik dan sistem inteligen pertahanan yang kuat.
Untuk mewujudkan cita-citanya ia masuk ke akademi militer yang terkenal di kota Roma, dari mana sudah dihasilkan banyak jenderal dan ahli strategi perang kekaisaran Roma. Sebagai orang yang terlibat dalam dunia militer, ia tidak pernah menyia-nyiakan waktu untuk mengasah kemampuannya di bidang disiplin ketentaraan, termasuk dalam hal pengendalian diri, pengendalian kata-kata, pengendalian moral, sebab di situlah letak dasar terutama dari idealisme keksatriaan Roma. Termasuk latihan fisik di dalamnya.
Apa yang disebut courage dalam empat kardinal virtue dari Aristoteles itu, sungguh dipelajari di dalam disiplin kemiliteran Yunani dan Roma (Greeco-Roman Military academy). Sebagai militer, ia mencapai sukses yang tidak kalah spektakuler dibandingkan dengan adiknya. Hanya dia tidak menjadi buah bibir masyarakat umum, sebab dunia militer memang bukan dunia artis yang heboh, melainkan dunia yang hening, beroperasi di dalam diam dan hening. Senyap.
Karena karakternya yang banyak diam dan hening, lagipula didukung disiplin militer yang tidak banyak berbicara, sesungguhnya dalam hatinya si abang ini mempunyai suatu pengembaraan intelektual dan rohani yang tidak kalah dahsyatnya. Ada semacam kehausan rohani yang melanda jiwanya yang tidak pernah bisa dipuaskan dengan sistem keyakinan religious Romawi yang ada. Diam-diam ia mencari dan mencari. Berharap bisa menemukan suatu jawaban di suatu saat, dan di suatu tempat kelak. Entah kapan? Entah di mana? Entah bagaimana?
Sementara itu, lambat laun karier militernya menanjak dengan pesat dan maju. Jabatan militer di Roma sudah tidak bisa lagi menampung dia. Memang dia harus naik ke jenjang yang lebih tinggi. Tetapi untuk itu ia harus lulus sebuah ujian. Ujian terberat pada masa itu ialah mengepalai dinas kemiliteran di daerah yang paling rawan secara politik dan militer. Dan daerah yang paling rawan pada waktu itu ialah negeri Kanaan yang antara lain meliputi Galilea dan Yudea. Di sanalah seorang prokurator Roma juga menjalani dinas kepemerintahannya. Dia adalah Pontius Pilatus.
Si abang ini pun akhirnya diputuskan untuk terlebih dahulu menjalani dinas kemiliteran di Kanaan itu, sebelum nantinya mendapat promosi ke jenjang jabatan yang lebih tinggi di kota Roma, ibukota kekaisaran pada masa itu.
Dan terjadilah demikian. Dengan pesta perpisahan yang ramai, ia dan keluarganya dilepaspergikan dari Roma menuju ke Kanaan itu di Timur Tengah, negeri yang tidak pernah sepi dari pergolakan militer maupun keagamaan.
Jujur saja, sebenarnya secara manusiawi, si abang ini merasa ciut juga, apakah nanti di sana ia bisa mengembangkan karir militernya dengan baik agar bisa mencapai puncak tertinggi. Walaupun ada sejumput keraguan seperti itu, namun si abang tetap pergi dengan penuh percaya diri ke Kanaan, sebagaimana yang telah diajarkan oleh disiplin kemiliteran yang dipelajarinya selama ini. Ia maju tak gentar. Biarpun medan hingar-bingar. Ia tetap berjalan tegar, kalau bisa orang hingar-bingar bubar.
Ia tidak ditempatkan di Yerusalem, melainkan di Kapernaum, di Galilea. Saat ia bertugas di sana, ia sudah sering mendengar kabar tentang seorang guru Agung yang namanya menjadi terkenal di seluruh Galilea dan Yudea dan bahkan juga di luar wilayah itu namanya terkenal. Guru Agung itu suka berjalan dan berkotbah keliling dari kota ke kota. Ia sudah mendengar tentang apa yang dikerjakannya, mukjizat-mukjizat yang dikerjakannya.
Tidak lupa ia juga sudah mendengar kabar tentang ajaran-ajaranNya. Entah bagaimana ia merasa tertarik sekali untuk bertemu dengan Guru Agung itu. Untuk melihat mukjizat-mukjizatNya yang terkenal itu. Terlebih lagi ia ingin sekali mendengarkan secara langsung kotbah-kotbahNya. Tetapi dari apa yang ia dengar dari kata-kata orang-orang ia sudah merasa sangat tertarik. Ia merasakan sebuah magnet menarik hatinya dari dalam. Dan daya tarik itu sangat kuat.
Tetapi entahlah bagaimana, ada-ada saja hal yang menghalangi dia untuk bisa datang dan bertemu secara langsung dengan sang Guru Agung itu. Ada-ada saja alasan baginya untuk tidak bisa datang. Ada alasan yang bersifat pribadi. Tetapi lebih banyak alasan yang berasal dari tugasnya sebagai seorang perwira tinggi militer.
Sampai pada suatu saat ia tidak bisa menghindar lagi. Ia mempunyai seorang pegawai yang sangat baik. Karena itu, ia juga sangat menghargai pegawai itu. Entah kenapa, tiba-tiba si pegawai yang baik dan sangat dihargainya itu, jatuh sakit keras. Dan tampaknya ia akan segera mati karena sakit tersebut.
Dalam keadaan panik, ia pun mengirim utusan untuk menghadapi sang Guru Agung. Ia meminta agar si Guru Agung itu datang untuk menyembuhkan pegawainya tersebut. Ternyata si Guru Agung berkenan untuk datang. Maka datanglah si Guru Agung ke arah rumah si perwira Roma tadi setelah diyakinkan oleh utusan orang-orang Yahudi bahwa si Perwira itu adalah orang yang sangat baik. Walaupun dia seorang Roma, tetapi ia menaruh perhatian pada bangsa Yahudi. Bahkan ia juga sudah membuktikan perhatiannya itu, dengan cara membangun rumah ibadat bagi orang Yahudi di Kapernaum.
Tetapi begitu si Guru Agung itu, sudah mendekati rumahnya, si Perwira itu menyuruh utusannya untuk datang kepada Yesus. Ia menyuruh utusannya untuk menyampaikan kata-katanya kepada sang Guru Agung. Begini katanya: "Tuan, aku tidak layak menerima Tuan di dalam rumahku, katakan saja sepatah kata, maka hambaku itu akan sembuh." (Mat 8:8; Luk 7:1-10). Dan terjadilah mukjizat itu. Mukjizat itu terjadi karena bertemu dengan iman yang besar yang dipuji selangit oleh sang Guru Agung itu sendiri: "Aku berkata kepadamu, sesungguhnya iman sebesar ini tidak pernah Aku jumpai pada seorangpun di antara orang Israel." (Mat 8:10).
Itulah satu-satunya kesempatan si abang itu omong dalam seluruh hidupnya. Dan omongan itu terekam di dalam injil. Tetapi si Perwira yang pendiam itu, mengucapkan sebuah kalimat efektif yang tepat waktu, tepat tempat, dan juga tepat pada seorang pendengar yang Agung dan mulia.
Sejak kalimat itu terucapkan, kalimat itu tidak pernah hilang lagi, bahkan menjadi abadi. Hingga saat ini setiap kali hari orang-orang Katolik di seluruh dunia, saat mereka merayakan ekaristi pasti akan mengucapkan kalimat itu menjelang komuni: "Ya Tuhan, saya tidak pantas Tuhan datang kepada saya, tetapi bersabdalah saja, maka saya akan sembuh." Sudah mengalami modifikasi sedikit.
Dalam bahasa Latin bunyinya demikian: Domine, non sum dignus, ut intres sub tectum meum, sed tantum dic verbo et sanabitur anima mea.
Berbeda dengan ketenaran sang adik yang memprodusir mungkin ribuan mungkin juga jutaan kata-kata dalam pelbagai karya puisinya, dan juga sudah menikmati ketenaran karena kata-kata itu selama masa hidupnya, sang kakak hanya mengucapkan satu kali kalimat, tetapi kalimat itu sangat efektif, dan menjadi sangat abadi, melampaui usia si penuturnya sendiri. Luar biasa.


Monday, June 15, 2020

CHOLID SALIM: ADIK HAJI AGUS SALIM MENJADI KRISTEN KATOLIK

Oleh: Fransiskus Borgias M.

 

 

Beberapa minggu yang lalu, kita di negeri ini dihebohkan oleh tuntutan gubernur Sumatera Barat kepada Menkominfo, agar sang Menteri menurunkan atau menghapus aplikasi Injil dalam Bahasa Minang yang disediakan di dalam Playstore. Adapun alasan yang dipakai ialah bahwa Budaya Minang itu sudah identic dengan Islam, sedangkan Injil adalah sesuatu yang berbau Kristen, dan karena itu bertentangan dengan atau tidak cocok dengan budaya Minang yang Islam.

Banyak pihak bereaksi dengan mengatakan bahwa permohonan itu tidak sepatutnya karena aplikasi itu sama sekali tidak melanggar undang-undang. Terdengar suara lantang dari Setara Institut. Juga ada suara dari sebuah lembaga khusus dari Presiden yang juga bersuara kurang lebih sama dengan suara Setara tersebut. Terkait dengan permintaan itu, ada beberapa peristiwa rentetan yang terjadi. Pertama, ada video kritik dari Ade Armando, dosen ilmu komunikasi dari UI. Inti dari kritik Ade Armando ialah bahwa permohonan seperti itu menunjukkan kemunduran Minang, yang dulu menghasilkan banyak intelektual besar untuk negeri ini, sekarang malah tidak ada lagi. Juga menurut Ade Armando, bahwa permohonan itu menunjukkan betapa rentannya iman Islam orang Minang itu. Apakah dengan masuknya aplikasi Injil ke dalam Playstore langsung akan menyebabkan murtadnya banyak orang Minang yang Islam? Kiranya hal itu sudah keterlaluan.

Akibat dari hal itu ialah Ade Armando pun dipecat dari status sebagai orang Minang, oleh orang yang mengkalim diri sebagai ketua adat ranah Minang. Ade Armando menanggapi hal itu dengan tenang saja. Pertama, ia nyatakan menerima hal itu. Kedua, ia juga mempertanyakan keminangan si orang yang menganggap diri sebagai ketua adat ranah Minang tersebut. Dari rekam jejaknya, jelas bahwa si ketua itu kemarin pernah maju sebagai calon DPD untuk dapil Sumatera Barat. Dan ternyata tidak berhasil lolos. Itu artinya apa? Menurut Ade Armando, itu artinya, bahwa dia sendiri juga sama sekali tidak mendapat dukungan di hati orang ranah Minang untuk dijadikan dan dipercaya sebagai wakil mereka. Masih ada lagi beberapa peristiwa rentetan sebagai akibat dari hal itu. Salah satunya ialah muncul aksi serupa di daerah Riau. Mereka lupa bahwa Klinkert itu sudah menerjemahkan Injil itu ke dalam Bahasa Melayu dari Riau itu (kalau tidak salah ingat).

Ketika saya membaca dan mendengar semuanya itu, saya teringat akan sebuah video. Video itu dikirim oleh seorang teman di sebuah WAG. Video itu berisi tentang kisah adik dari tokoh pahlawan Nasional, Haji Agus Salim (HAS). Bapak HAS, itu berasal dari daerah Minang, Sumetera Barat. Mungkin hal ini amat mengejutkan karena tidak banyak orang yang mengetahuinya. Adik kandung dari bapa HAS ini ada yang murtad menjadi Kristen Katolik. Nama tokoh itu Cholid Salim. Entah sejak kapan, sang adik ini menganut paham komunis. Dan ia terlibat sangat aktif di dalam aliran komunis itu di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui komunisme internasional itu sudah masuk dan berkembang di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan mereka juga sudah membentuk semacam partai atau lebih tepat pergerakan politik.

Pada tahun 1926 pergerakan politik komunisme internasional ini yang dibentuk di Belanda kemudian masuk juga ke Indonesia, melakukan semacam pemberontakan. Dan adik dari bapak HAS pun ikut ditangkap karena ia juga adalah salah satu tokoh di dalam pemberontakan tersebut. Sebagai hukumannya, banyak dari para tokoh tersebut yang dibuang ke Boven Digul, Irian Barat, Papua. Tidak main-main. Ia mendekam di sana selama limabelas tahun. Pengalaman pembuangan Digul itu kemudian dibukukan dalam buku yang berjudul LIMABELAS TAHUN DI DIGUL. Digul itu dijulukinya sebagai semacam Kamp Konsentrasi, sebuah nama yang mengingatkan kita akan aksi keji dari Nazi Jerman dalam perang Dunia Kedua, tidak sampai dua decade sesudah pemberontakan komunis 1926 itu. sang adik dari bapak HAS ini bekerja sebagai wartawan.

Nah di Digul itulah si adik memutuskan untuk menjadi penganut agama Kristen Katolik. Tentu saja sebelum menganut ateisme ia dibesarkan dalam tradisi agama Islam. Dan dapat dipastikan juga bahwa ia adalah seorang muslim. Tetapi kemudian ia “meninggalkan” Islam dan menjadi seorang penganut ateisme dan terlibat di dalam pergerakan komunisme. Di Digul ia berkenalan dengan bapak Sukaryo Prawirojudo. Orang ini tidak lain adalah pelaku pemberontakan yang dalam sejarah disebut Zeven Provincien (Pemberontakan Pelaut Indonesia). Konon dari tokoh inilah ia mulai berkenalan dengan ajaran agama Kristen Katolik. Tentu saja pengenalan awal itu dilanjutkan dan diperdalam dengan pemelajaran sendiri yaitu dengan menekuni Katekismus Gereja Katolik.

Ia tidak main-main dengan pilihan itu sebab pada sehari sesudah Natal tahun 1942, ia dibaptis ke dalam gereja Katolik. Dan yang membaptisnya ialah seorang pastor yang bernama Mauwese (kiranya seorang pastor dari kongregasi MSC yang memang banyak melayani beberapa wilayah di Papua Selatan itu, di mana Digul itu terletak. Bapak Cholid, di dalam peristiwa pembaptisan itu memilih nama baptis Ignatius Fransiskus Michael Cholid Salim. Luar biasa sekali pilihan nama baptisnya.

Kemudian Cholid Salim lebih lanjut dibuang ke Australia. Tetapi entah bagaimana, sang kakak kemudian berjumpa dengan sang Adik di negeri Belanda. Dan di situlah sang kakak mengetahui bahwa sang adik sudah murtad dan menjadi seorang penganut agama Kristen Katolik. Konon Bapak HAS tenang-tenang saja. Bahkan ia merasa senang juga karena ia beranggapan bahwa setidak-tidaknya dengan itu sang adik sudah terlepas bebas dari komunisme-ateis.

Bapak HAS merasa yakin bahwa menjadi Katolik itu jauh lebih baik daripada menjadi ateis. Bahkan bapak HAS merasa bersyukur bahwa sang adik kembali percaya kepada Tuhan walaupun sudah di dalam bahtera yang lain. Bapak HAS beranggapan bahwa pilihan sang adik untuk menjadi penganut Kristen Katolik adalah sebuah takdir Illahi yang tidak usah dipersoalkan, melainkan harus diterima dan disyukuri. Ia tidak berteriak-teriak mengucapkan sumpah serapah mengutuk MURTAD, sesuatu yang sangat sering kita dengar dari mulut beberapa orang tertentu.

Tentu saja sikap bapak HAS adalah sebuah sikap yang luar biasa agung dari sang tokoh islam itu. Benar-benar mengagumkan. Memang bapak HAS adalah seorang tokoh Islam modern. Bapak HAS saat mengetahui bahwa sang adik sudah menjadi penganut agama Katolik, ia merasa bersyukur dan berseru alhamdulilah, sebuah seruan ucapan syukur di dalam tradisi Arab (Yahudi, Kristen, dan juga Islam).

Pertanyaannya ialah, mengapa ia berseru alhamdullilah seperti itu? itu tidak lain karena dalam pandangan bapak HAS, sebagai seorang penganut agama Katolik sang adik berada lebih dekat dengan sang abang dibandingkan ketika sang adik itu menjadi penganut ateisme. Sang kakak merasa sangat jauh sekali. Ia merasa terasing dari sang adik. Tetapi tatkala sang adik itu sudah menjadi penganut agama Katolik, maka sang kakak merasa sudah dekat kembali, walaupun berbeda kapal. Bapak HAS sama sekali tidak mempersoalkan kapal tumpangan itu, yang terpenting ialah bahwa sang adik sudah menjadi orang yang percaya kepada Tuhan. Dan untuk itulah bapak HAS telah melambungkan seruan alhamdullilahnya itu. Puji Tuhan.

Kiranya, orang yang menjadi Kristen dari ranah Minang tidak hanya bapak Cholid Salim. Pasti ada banyak juga yang lain. Mungkin ada baiknya juga perlu dibuat semacam data statistic. Data seperti itu penting untuk mengetahui seberapa orang yang memang mungkin memerlukan Injil di dalam Bahasa Minang itu. atau mungkin juga tidak diperlukan sebab orang-orang itu mungkin sudah berpendidikan tinggi sehingga bisa membaca Injil di dalam Bahasa-bahasa dunia modern yang lainnya. Tetapi paling tidak dengan cara itu, seruan yang berkonotasi sempit dan intoleran sang gubernur tadi yang menyerukan penghapusan aplikasi Injil dari Playstore tidak perlu ada.

 

Penulis: Dosen dan Peneliti pada FAKULTAS FILSAFAT UNPAR Bandung.

 


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...