Oleh: Fransiskus Borgias
W.L. Helwig, seorang penulis yang
berasal dari negeri Belanda, sudah menulis sebuah buku Sejarah Gereja yang
kiranya cukup terkenal dalam lingkup gereja Katolik di Indonesia. Pada akhir
tahun 70an, buku ini sudah diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Romo
Dick Hartoko SJ, dan sudah mengalami cetak ulang sebanyak delapan kali (mungkin
sekarang sudah lebih dari delapan kali, karena versi yang ada di tangan saya
berasal dari awal tahun 90an). Ini adalah sebuah prestasi penerbitan yang sungguh
luar biasa mengagumkan. Jarang sekali terbitan teologi seperti itu mencapai
sukses yang sedemikian besar. Buku itu menjadi laris manis di pasaran buku Indonesia.
Judul buku itu dalam versi terjemahan Bahasa Indonesia adalah Sejarah Gereja Kristus. Buku itu sendiri
dalam versi Bahasa Indonesia terdiri atas tiga jilid, dari jilid satu sampai
dengan jilid tiga. Judul asli dalam Bahasa Belanda ialah De Katholieke Kerk in de loop der eeuwen (kira-kira demikian,
Gereja Katolik dalam rentang perjalanan jaman). Bahasa terjemahan dari pater
Dick Hartoko, sangat menarik, indah dan renyah dibaca. Sama sekali tidak terasa
kaku. Melainkan sangat serba lancar, membuat kita para pembaca seperti terbuai
oleh keindahan tersebut.
Bagi saya ini adalah sebuah buku
yang menarik. Menarik karena ia berhasil dengan sederhana menggambarkan secara
singkat dan padat seluruh garis dan dinamika perkembangan historis Gereja
Katolik sejak dari awal mula hingga ke abad duapuluh yang silam. Menurut pengamatan
dan penilaian saya, pater Dick Hartoko juga sangat berhasil menampilkan gaya Bahasa
yang indah dan sederhana itu di dalam versi terjemahannya sendiri. Saya tidak
akan membuat catatan menyeluruh atas seluruh buku itu yang terdiri atas tiga
jilid tadi. Di sini saya hanya mau memusatkan perhatian pada jilid satu saja.
Sebagai puncak dari jilid yang
pertama kita menemukan Bab ketujuh yang berjudul Biara Menyelamatkan Gereja. Dalam
tulisan saya kali ini saya mau memberi sebuah catatan khusus tentang hal ini. Dengan
judul tersebut pengarang mau menunjukkan bagaimana hidup membiara akhirnya
mampu menyelamatkan gereja dari sebuah krisis sejarah yang sangat besar yaitu
krisis yang dikenal dengan sebutan krisis investitura. Pertikaian investitura
itu sendiri singkatnya adalah campur tangan kaum awam ke dalam proses pemilihan
para pejabat gereja, yang pada akhirnya sangat dipengaruhi oleh banyak
kepentingan politik duniawi. Proses penyelamatan itu bisa terjadi berkat
gerakan pembaruan yang mula-mula terjadi dalam lingkup biara itu sendiri,
tetapi kemudian nafas dan ilham pembaharuan itu merambat keluar dari banteng-benteng
biara sehingga bisa mempengaruhi seluruh gereja dan masyarakat Kristiani pada
waktu itu. dan pusat gerakan pembaharuan biara itu dimulai di sebuah biara yang
bernama Cluny (sebuah biara yang didirikan oleh seorang bangsawan yang bernama
William dari Acquitane) dan kemudian berlanjut ke biara-biara yang lain seperti
di Citeaux dan Clairvaux (semuanya dalam lingkup wilayah Perancis modern
sekarang ini). Tentu saja hal itu sangat patut disyukuri. Salah satu tokoh
terkenal dari Clairvaux ialah Santo Bernardus dari Clairvaux itu.
Dan hal yang paling menentukan
ialah bahwa kemudian di dalam perkembangan sejarahnya gerakan pembaharuan Cluny
ini mendapat momentum yang dahsyat dalam diri Paus Gregorius VII. Dia sendiri
adalah seorang biarawan yang berasal dari lingkaran gerakan pembaharuan Cluny
itu. setelah dia menjadi paus maka ia mengambil gerakan pembaharuan tersebut
menjadi program seluruh gereja. Hal itulah yang bisa menjelaskan mengapa
kemudian gerakan pembaharuan itu, yang semula hanya terbatas dalam biara-biara
saja, akhirnya juga menjadi sebuah gerakan seluruh gereja. Efeknya ialah bahwa
yang mengalami pembaharuan itu tidak hanya biara-biara (karena itulah yang
menjadi tujuannya yang semula dan asali) melainkan berdampak juga bari seluruh
gereja. Karena gerakan ini bermula dari Cluny (Burgundy) maka itulah sebabnya
gerakan pembaharuan ini dikenal dengan sebutan Cluniac reform, atau reformasi
Cluny tadi. Semuanya adalah gerakan pembaharuan dalam lingkup ordo Benediktin
(karena itu juga dikenal dengan sebutan gerakan pembaharuan Benediktin), sebab
itulah ordo-ordo besar yang ada dalam gereja pada jaman itu, selain Augustinian
(Fransiskan dan Dominikan baru muncul pada abad ketigabelas, sebagai gerak
lanjutan dari dinamika pembaharuan ini).
Tetapi ternyata saat gereja itu
kemudian berkembang ke Timur seperti ke Asia (Jepang, Korea, China, India, dan
Indonesia) tercatat sebuah fakta yang menarik dan mungkin juga amat mengejutkan
bahwa yang bisa menyelamatkan hidup gereja di sana adalah justru kaum awam.
Henry Daniel Rops misalnya pernah mencatat bahwa di Korea dan jepang pernah ada
masa yang sangat panjang (mungkin hampir dua abad) di mana hidup gereja Katolik
itu diselamatkan oleh kaum awam yang tetap bertekun di dalam iman dengan
menjalani hidup devosional kerakyatan, tanpa nuansa-nuansa agama institusional
hirarkis karena memang pada saat itu tidak ada para imam sama sekali. Lalu apa
yang bisa menjelaskan hal itu? satu-satunya penjelasan ialah bahwa umat dengan
setia menjaga dan memelihara hidup devosional mereka. Dengan cara itu, mereka
tetap setia mempertahankan iman. Begitu para imam datang, maka mereka datang
dan menabur firman di atas lahan subur yang telah disediakan oleh hidup
devosional para umat yang dengan setia telah menghayati hidup devosional
tersebut. Benar-benar luar biasa dan mengagumkan.
Begitu juga halnya dengan iman
Katolik di Larantuka, yang bertahan karena peranan kaum awam. Sejauh yang saya
ketahui gereja Katolik masuk ke daerah Larantuka, dan juga Timor Leste, karena
jasa orang-orang Portugis yang menjajah wilayah tersebut sejak dari abad
ke-enambelas (1500an ke atas). Hal itu berlangsung, sejauh pengetahuan saya,
sampai tahun 1859 (jadi, abad kesembilan belas), di mana terjadi sebuah
perjanjian singkat antara Belanda dan Portugis mengenai semacam pembagian
wilayah kekuasaan dagang di kawasan Sunda Kecil. Sejak saat itu imam-imam
Portugis meninggalkan wilayah Larantuka dan sekitarnya, dan hanya menyisakan
Timor Leste saja (hingga tahun 1970an, saat perang kemerdekaan Timor Leste
terjadi). Tatkala para imam Portugis meninggalkan wilayah tersebut, ternyata
tidak segera mendapat para pengganti dari kalangan imam-imam Belanda. Para imam
Belanda baru datang, sejauh pengetahuan saya, pada akhir abad ke-sembilan belas.
Sesungguhnya sudah terjadi kekosongan di wilayah Larantuka mendahului tahun
1859 di atas tadi. Lalu, apa yang bisa menjelaskan bahwa iman Katolik itu hidup
terus? Menurut saya, hanya satu saja jawabannya: yaitu iman umat awam, yang
tetap setia memelihara iman itu dalam praksis hidup devosional mereka. Dan salah
satu praksis devosional yang mereka hayati dan mereka tetap pelihara ialah
praksis di sekitar perayaan pekan suci atau Semana Sancta yang terkenal itu. Hanya
di atas praksis itulah, maka iman Katolik (Gereja Katolik) tetap bisa bertahan.
Tetapi peranan nyata kaum awam
itu tidak menjadi judul khusus dalam buku-buku sejarah Gereja. Bagi saya itu
adalah sebentuk pengabaian, suatu ketidak-relaan untuk mengakui peranan kaum
awam yang sungguh nyata dan sama sekali tidak mengada-ada. Terlepas dari hal
itu haruslah diakui bahwa hidup devosional umat awamlah yang menyelamatkan
gereja.
Penulis: Dosen Teologi Biblika
pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung. Ketua Sekolah
Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung.
No comments:
Post a Comment