Sunday, June 28, 2020

SHUSAKU ENDO (BGN 1).

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Dalam kesempatan kali ini saya mau menulis sesuatu tentang seseorang yang bernama Shusaku Endo. Sejujurnya saya belum mengenal dan membaca tentang beliau secara langsung. Hal itu disebabkan karena hingga saat ini saya belum mendapatkan buku-bukunya. Tetapi apa yang saya persembahan di sini adalah semacam hasil referat (turunan) dan hasil olahan ulang dari hasil studi orang-orang lain tentang dia. Tetapi hasil studi orang tersebut telah cukup banyak membantu saya untuk bisa mengenal orang ini dan bisa juga mengatakan sesuatu tentang orang tersebut. Ada beberapa hal yang bisa saya kemukakan tentang orang ini berdasarkan hasil studi tadi.

Pertama, orang ini adalah seorang Novelis Katolik yang berasal dari Jepang. Ia menjadi terkenal di dunia karena ia pernah menulis sebuah novel menarik yang berjudul A Life of Jesus (Kehidupan Yesus). Judul ini tentu saja judul versi terjemahan dari novel itu ke dalam Bahasa Inggris yang diterbitkan pada tahun 1978 (oleh Paulist Press; terus terang saya belum menemukan judul aslinya di dalam Bahasa Jepang). Kiranya karena factor terjemahan ke dalam Bahasa Inggris inilah yang telah membuat namanya melambung ke tingkat dunia yang lebih luas. Mungkin kalau tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, maka karya dia juga tidak mendapat pengakuan internasional.

Kedua, yang jelas ialah bahwa dalam dan melalui buku itu Endo mencoba mengembangkan sebuah bentuk penghayatan iman Kristen yang ia yakin terasa lebih “mengena” (cocok) bagi orang-orang Jepang. Walaupun ia menjadi orang Kristen ia tetap saja merasa bahwa beberapa aspek dari iman itu dirasakan tidak begitu nyaman olehnya. Ia tidak begitu mudah bisa menjelaskan pengalaman itu. Tetapi pengalaman itu sungguh ada dan terjadi. Ya mungkin karena iman Kristiani itu sudah mengalami semacam bias dengan kebudayaan Barat. Entahlah. Tetapi tidak begitu jelas sebenarnya, aspek manakah yang dari iman Kristiani itu yang dianggapnya tidak begitu mengena. Yang jelas bahwa ia merasa bahwa hal itu terasa seperti mengenakan sebuah baju yang jahitannya tidak “pas” di badan. Ada rasa aneh, ada rasa tidak nyaman, ada rasa tidak enak, walaupun baju itu sudah bisa menutup badan, tetapi tetap terasa ada sesuatu yang tidak cocok, entahlah bagaimana. Sebuah pengalaman yang tidak selalu mudah untuk dijelaskan secara verbal. Kiranya versi Barat dari iman Kristiani itu terasa tidak begitu cocok dengan konteks Jepang. Padahal agama Kristiani itu berasal dari Asia. Semestinya ia terasa bisa cocok dengan mudah dengan orang Asia, tetapi mungkin karena agama Kristiani yang berkembang di Asia adalah iman Kristiani yang sudah berkembang sangat lama di dunia Barat.

Itulah hasil dari studi dan telaah yang dilakukan oleh Emi Mase-Hasegawa atas karya-karya Endo tadi (Christ in Japanese Culture: Theological Themes in Shusako Endo’s Literary Works, 2008:78). Salah satu tokoh penting di dalam novel tersebut adalah orang yang bernama Otsu. Orang inilah yang mengungkapkan rasa tidak nyaman tadi. Dikatakan bahwa Otsu pernah belajar teologi di Eropa. Tetapi teologi yang dipelajarinya di Eropa terasa asing (terasing) dari cara berpikir dia sebagai orang Jepang. Pengalaman terasing seperti ini cukup banyak diungkapkan oleh para teolog Asia yang pernah belajar di Barat. Pengalaman itu pernah diungkapkan oleh beberapa teolog dari Korea, India, dan juga dari Filipina. Walaupun ada rasa dan pengalaman keterasingan seperti itu, namun demikian ia (tokoh kita di dalam novel tadi) tidak mau begitu saja meninggalkan iman Kristiani ataupun meninggalkan Kristus. Melainkan ia tetap berusaha untuk setia sebagai seorang pengikut yang sejati.

Ketiga, untuk mengungkapkan kesetiaannya itu, tokoh kita menyampaikan ungkapan berikut ini. Beginilah katanya: “I haven’t be able to adapt myself to the thinking and the theology of Europe, but when I suffer all alone, I can feel the smiling presence of [Jesus], who knows all my trials.” (Shusako Endo, Deep River, 1995: p.119). Kiranya pengalaman rohani dan batin seperti inilah yang bisa menjelaskan mengapa Endo bisa sampai pada satu keyakinan yang sangat kokoh bahwa Yesus adalah tokoh “the eternal companion” of those who suffer (Shusaku Endo, A Life of Jesus, p.85-86). Jadi, bagi orang yang menderita Yesus adalah dan juga dialami sebagai seorang sahabat abadi.

Hal ini kurang lebih sama dengan sebuah gelar yang dikaitkan dengan Bunda Maria, yaitu sang penolong abadi the perpetual help, perpetua adjutrix. Dalam artian itu kedua tokoh ini (Yesus dan Maria) bisa menjadi sumber penghiburan dan kekuatan di dalam hidup terutama di kala dukalara datang menimpa. Salah satu gelar Bunda Maria dalam Litania Santa Perawan Maria adalah pohon atau pokok sukacita kami, alias sumber segala sukacita dan penghiburan. Hal ini sangat berkembang di dalam hidup dan teologi devosi orang-orang Katolik.

Terkait dengan pengalaman ini saya teringat akan perkataan seorang teolog Jepang, tetapi sayang sekali bahwa saya tidak begitu mengingat lagi namanya. Semoga di lain kesempatan saya bisa menemukan lagi nama beliau. Yang terpenting saya ingat akan apa yang ia katakan. Menurut dia orang Jepang yang beriman Kristiani, di dalam hidup mereka selalu membutuhkan dua huruf J. J yang pertama ialah Jepang, Japanese, fakta bahwa mereka adalah orang Jepang. Kejepangan adalah fakta terberi yang sudah ada secara alami di dalam hidup mereka. J yang kedua ialah Jesus. Setelah mereka mengenal dan menerima Jesus, maka Jesus itu sudah mendarah daging di dalam hidup mereka sebagai orang Jepang. Karena itu, J yang kedua ini sudah sulit dilepaskan dari J yang pertama, yaitu dari kehidupan mereka sebagai orang Jepang itu sendiri.

Ketika hal seperti ini diterapkan ke dalam konteks Indonesia, maka mungkin orang-orang Jawalah yang paling gampang menerapkan hal itu, karena factor huruf J tadi. Orang-orang Jawa yang Kristiani misalnya bisa mengatakan bahwa mereka selalu membutuhkan dua huruf J di dalam hidup mereka. J pertama ialah Kejawaan dan J yang kedua ialah Jesus. Tetapi kiranya soal penerimaan iman akan Yesus ini bukan perkara huruf belaka. Kalau sudah diterima dan mendarat di dalam hati, maka Ia sudah mendarat di dalam hati. Mungkin kira-kira seperti dikatakan oleh orang-orang Manggarai di Flores: Serani nai kontas bokak, sebuah ungkapan yang menandakan bahwa kekatolikan mereka sudah mendarah daging, sudah mengakar kuat di dalam seluruh tatanan hidup mereka. Hal itu dilambangkan dengan sebutan serani dan lambang Rosario. Serani itu sudah mengakar di dalam hati dan jiwa (nai) dan Rosario itu sudah selalu menggantung di leher sebagai kalung kehidupan. Jadi, walaupun tanpa ada kemiripan dalam huruf, toh orang-orang Manggarai yang Katolik bisa dengan bangga menegaskan relasi dan kepercayaan diri seperti itu.

 

Penulis: Dosen teologi dan peneliti teologi dan kebudayaan pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung. 



No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...