Oleh: Fransiskus Borgias
Dalam kesempatan kali ini saya
mau menulis sesuatu tentang seseorang yang bernama Shusaku Endo. Sejujurnya
saya belum mengenal dan membaca tentang beliau secara langsung. Hal itu
disebabkan karena hingga saat ini saya belum mendapatkan buku-bukunya. Tetapi
apa yang saya persembahan di sini adalah semacam hasil referat (turunan) dan
hasil olahan ulang dari hasil studi orang-orang lain tentang dia. Tetapi hasil
studi orang tersebut telah cukup banyak membantu saya untuk bisa mengenal orang
ini dan bisa juga mengatakan sesuatu tentang orang tersebut. Ada beberapa hal
yang bisa saya kemukakan tentang orang ini berdasarkan hasil studi tadi.
Pertama, orang ini adalah seorang
Novelis Katolik yang berasal dari Jepang. Ia menjadi terkenal di dunia karena
ia pernah menulis sebuah novel menarik yang berjudul A Life of Jesus (Kehidupan Yesus). Judul ini tentu saja judul versi
terjemahan dari novel itu ke dalam Bahasa Inggris yang diterbitkan pada tahun
1978 (oleh Paulist Press; terus terang saya belum menemukan judul aslinya di
dalam Bahasa Jepang). Kiranya karena factor terjemahan ke dalam Bahasa Inggris
inilah yang telah membuat namanya melambung ke tingkat dunia yang lebih luas. Mungkin
kalau tidak diterjemahkan ke dalam Bahasa Inggris, maka karya dia juga tidak mendapat
pengakuan internasional.
Kedua, yang jelas ialah bahwa dalam
dan melalui buku itu Endo mencoba mengembangkan sebuah bentuk penghayatan iman
Kristen yang ia yakin terasa lebih “mengena” (cocok) bagi orang-orang Jepang.
Walaupun ia menjadi orang Kristen ia tetap saja merasa bahwa beberapa aspek
dari iman itu dirasakan tidak begitu nyaman olehnya. Ia tidak begitu mudah bisa
menjelaskan pengalaman itu. Tetapi pengalaman itu sungguh ada dan terjadi. Ya
mungkin karena iman Kristiani itu sudah mengalami semacam bias dengan
kebudayaan Barat. Entahlah. Tetapi tidak begitu jelas sebenarnya, aspek manakah
yang dari iman Kristiani itu yang dianggapnya tidak begitu mengena. Yang jelas
bahwa ia merasa bahwa hal itu terasa seperti mengenakan sebuah baju yang
jahitannya tidak “pas” di badan. Ada rasa aneh, ada rasa tidak nyaman, ada rasa
tidak enak, walaupun baju itu sudah bisa menutup badan, tetapi tetap terasa ada
sesuatu yang tidak cocok, entahlah bagaimana. Sebuah pengalaman yang tidak
selalu mudah untuk dijelaskan secara verbal. Kiranya versi Barat dari iman
Kristiani itu terasa tidak begitu cocok dengan konteks Jepang. Padahal agama
Kristiani itu berasal dari Asia. Semestinya ia terasa bisa cocok dengan mudah
dengan orang Asia, tetapi mungkin karena agama Kristiani yang berkembang di
Asia adalah iman Kristiani yang sudah berkembang sangat lama di dunia Barat.
Itulah hasil dari studi dan
telaah yang dilakukan oleh Emi Mase-Hasegawa atas karya-karya Endo tadi (Christ in Japanese Culture: Theological
Themes in Shusako Endo’s Literary Works, 2008:78). Salah satu tokoh penting
di dalam novel tersebut adalah orang yang bernama Otsu. Orang inilah yang
mengungkapkan rasa tidak nyaman tadi. Dikatakan bahwa Otsu pernah belajar
teologi di Eropa. Tetapi teologi yang dipelajarinya di Eropa terasa asing
(terasing) dari cara berpikir dia sebagai orang Jepang. Pengalaman terasing
seperti ini cukup banyak diungkapkan oleh para teolog Asia yang pernah belajar
di Barat. Pengalaman itu pernah diungkapkan oleh beberapa teolog dari Korea,
India, dan juga dari Filipina. Walaupun ada rasa dan pengalaman keterasingan
seperti itu, namun demikian ia (tokoh kita di dalam novel tadi) tidak mau
begitu saja meninggalkan iman Kristiani ataupun meninggalkan Kristus. Melainkan
ia tetap berusaha untuk setia sebagai seorang pengikut yang sejati.
Ketiga, untuk mengungkapkan
kesetiaannya itu, tokoh kita menyampaikan ungkapan berikut ini. Beginilah
katanya: “I haven’t be able to adapt myself to the thinking and the theology of
Europe, but when I suffer all alone, I can feel the smiling presence of
[Jesus], who knows all my trials.” (Shusako Endo, Deep River, 1995: p.119). Kiranya pengalaman rohani dan batin
seperti inilah yang bisa menjelaskan mengapa Endo bisa sampai pada satu
keyakinan yang sangat kokoh bahwa Yesus adalah tokoh “the eternal companion” of
those who suffer (Shusaku Endo, A Life of
Jesus, p.85-86). Jadi, bagi orang yang menderita Yesus adalah dan juga
dialami sebagai seorang sahabat abadi.
Hal ini kurang lebih sama dengan sebuah
gelar yang dikaitkan dengan Bunda Maria, yaitu sang penolong abadi the
perpetual help, perpetua adjutrix. Dalam artian itu kedua tokoh ini (Yesus dan
Maria) bisa menjadi sumber penghiburan dan kekuatan di dalam hidup terutama di
kala dukalara datang menimpa. Salah satu gelar Bunda Maria dalam Litania Santa
Perawan Maria adalah pohon atau pokok sukacita kami, alias sumber segala
sukacita dan penghiburan. Hal ini sangat berkembang di dalam hidup dan teologi
devosi orang-orang Katolik.
Terkait dengan pengalaman ini
saya teringat akan perkataan seorang teolog Jepang, tetapi sayang sekali bahwa
saya tidak begitu mengingat lagi namanya. Semoga di lain kesempatan saya bisa
menemukan lagi nama beliau. Yang terpenting saya ingat akan apa yang ia katakan.
Menurut dia orang Jepang yang beriman Kristiani, di dalam hidup mereka selalu
membutuhkan dua huruf J. J yang pertama ialah Jepang, Japanese, fakta bahwa
mereka adalah orang Jepang. Kejepangan adalah fakta terberi yang sudah ada
secara alami di dalam hidup mereka. J yang kedua ialah Jesus. Setelah mereka
mengenal dan menerima Jesus, maka Jesus itu sudah mendarah daging di dalam
hidup mereka sebagai orang Jepang. Karena itu, J yang kedua ini sudah sulit
dilepaskan dari J yang pertama, yaitu dari kehidupan mereka sebagai orang
Jepang itu sendiri.
Ketika hal seperti ini diterapkan
ke dalam konteks Indonesia, maka mungkin orang-orang Jawalah yang paling
gampang menerapkan hal itu, karena factor huruf J tadi. Orang-orang Jawa yang
Kristiani misalnya bisa mengatakan bahwa mereka selalu membutuhkan dua huruf J
di dalam hidup mereka. J pertama ialah Kejawaan dan J yang kedua ialah Jesus.
Tetapi kiranya soal penerimaan iman akan Yesus ini bukan perkara huruf belaka.
Kalau sudah diterima dan mendarat di dalam hati, maka Ia sudah mendarat di
dalam hati. Mungkin kira-kira seperti dikatakan oleh orang-orang Manggarai di
Flores: Serani nai kontas bokak, sebuah ungkapan yang menandakan bahwa kekatolikan
mereka sudah mendarah daging, sudah mengakar kuat di dalam seluruh tatanan
hidup mereka. Hal itu dilambangkan dengan sebutan serani dan lambang Rosario.
Serani itu sudah mengakar di dalam hati dan jiwa (nai) dan Rosario itu sudah
selalu menggantung di leher sebagai kalung kehidupan. Jadi, walaupun tanpa ada
kemiripan dalam huruf, toh orang-orang Manggarai yang Katolik bisa dengan
bangga menegaskan relasi dan kepercayaan diri seperti itu.
Penulis: Dosen teologi dan
peneliti teologi dan kebudayaan pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik
Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St.Hieronimus, Keuskupan Bandung.
No comments:
Post a Comment