Showing posts with label percikan filsafat manggarai. Show all posts
Showing posts with label percikan filsafat manggarai. Show all posts

Friday, April 7, 2023

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias

Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung.


Menyongsong Mentari Dengan Tari 

Puncak perayaan penti adalah Songka Lesong. Secara harafiah istilah itu berarti Tarian (Songka/Congka) Mentari (Leso-ng; proses verbalisasi kata benda atau noun Leso, Mataleso). Itu adalah ritual puncak perayaan penti, paling tidak dalam penghayatan orang Perang, desa Pontoara, Lembor, Manggarai Barat), di mana orang menari (songka) persis pada jam 12 malam, saat diyakini mulai terbit matahari pada hari baru, bur leso (dalam istilah Manggarainya). Oleh karena itu, Songka Lesong tidak lain berarti tarian atau menari untuk menyongsong matahari baru yang sebentar lagi akan terbit. Dan itulah tahun baru. 

Walaupun saya tahu ada juga beberapa peneliti kebudayaan Manggarai yang memakai sebutan atau istilah lain (misalnya Congka Kolong), tetapi saya tetap lebih suka akan istilah Songka Lesong itu. Di dalam disertasi saya di UGM, saya sudah menjelaskan bahwa istilah itu saya dapatkan di Perang, Lembor, dari nara sumber saya yang utama, bapa Stanis Jomar (sudah almarhum). Di dalam disertasi itu juga saya sudah menjelaskan apa yang dimaksud dengan Songka Lesong itu. 

Sebagaimana sudah dikatakan di atas tadi, songka lesong itu adalah momen puncak perayaan Penti di mana orang menari di sekeliling siri bongkok (dalam rumah gendang) pada jam duabelas malam sambil menyanyikan lagu-lagu permohonan kepada Sang Tuhan Pencipta dan Sang Pembentuk kehidupan, atau dalam bahasa Manggarai dikenal dengan nama atau lebih baik gelar, Mori Jari agu Dedek, Mori Jiri agu Wowo (dan pelbagai nama atau sebutan lainnya). 

(NB: Berkaitan dengan nama atau sebutan “Songka Lesong” itu perlu diberi catatan sedikit. Ada yang mengucapkannya menjadi Congka Lesong, jadi S menjadi C. Tetapi saya beranggapan bahwa lafal S jauh lebih tua (proto) daripada C, sebab pengucapan C adalah perkembangan yang jauh lebih kemudian daripada pengucapan dengan S. Misalnya, Sa o nai; atau O siri so o sa ga e, atau Inang dalu Cibal e, amang dalu Lamba, siri soo e, toe pening one peti manuk kiok kok. Terkait dengan sebutan Congka Kolong yang disebut beberapa peneliti Manggarai yang lain. Tetapi saya tidak menerima sebutan ini sebab sebutan ini tidak ada artinya sama sekali).

Dua Baris Lagu Permohonan 

Ada dua baris lagu yang saya ingat dari masa kecil, dari sebuah lagu sanda dalam Pesta Penti di kampung Lentang. Begini isi atau bunyi syairnya sejauh saya masih ingat: (Bagian Cual) Ere lele oooo e ba’eng koe, (Bagian Wale) aaaaa…. eoooo…. Ao dendeng ine a dendeng sala ine, Yo Mori dendeng sala ine, pedeng jerek wae susu yo Mori. Itulah poin permohonan yang pertama. Lalu poin permohonan yang kedua ialah sbb: Ere lele ooooo e ba’eng koe, aaaa…. Eooo…aooo… dendeng ine a dendeng sala ine, yo Mori dendeng sala ine, porong uwa haweng wulang yo Mori (pada bagian atau baris ketiga bagian terakhir ini diganti dengan "porong langkas haeng ntala yo Mori").

Apa arti dari teks lagu itu? Pada masa kecilku saya selalu berpikir bahwa yang dimaksudkan dengan ungkapan “wae-susu” (air susu) dalam lagu itu yang diminta dalam lagu tadi adalah air susu ibu (asi), yang biasanya diisap bayi agar mereka bisa hidup dan kebal terhadap pelbagai macam penyakit. Sebab memang air susu ibu adalah sumber kekebalan atau imunitas alami bagi hidup sang bayi itu. Jika air susu ibu sang bayi itu tidak banyak, hal itu akan menimbulkan "masalah" bagi perkembangan si anak, terutama bagi sistem kekebalan (imunitas) alaminya. 

Saat saya menulis kalimat yang baru saja lewat itu tiba-tiba saja saya teringat akan mulut bayi yang baru lahir yang otomatis bergerak seperti mau mengisap, sebuah gerak naluriah alami, yang biasanya oleh para bidan yang membantu proses kelahiran akan dilakukan ritual yang disebut inisiasi itu, menempatkan bayi yang mulutnya bergerak-gerak mengisap tadi ke dada ibunya. Dan secara naluriah alamiah pun mulut anak itu akan mencari puting susu ibunya dan begitu menemukannya ia akan mulai mengisap dan dengan itu dimulailah sebuah perjalanan kehidupan baru. 

Apa itu "Wae susu"? 

Kembali lagi ke alur tulisan saya. Jadi, saat saya mendengar ungkapan “pedeng jerek wae susu” saya membayangkan bahwa para penari dan penyanyi dalam ritual Songka Lesong itu sedang meminta sumber daya hidup, saripati makanan kepada Tuhan yang empunya kehidupan. Saripati itu dilambangkan secara padat dengan wae-susu itu.

Ketika saya banyak berdiskusi dengan Pater Flori Laot OFM tentang adat dan budaya Manggarai, saya juga sempat menanyakan hal itu, yaitu pemahaman dia tentang ungkapan “wae-susu” itu. Dari dialog dan wawancara itu, saya mendapat kesan dan merasa bahwa beliau pun berada pada jalur pemahaman yang kurang lebih sama dengan pemahaman saya tadi: secara harfiah orang meminta air susu ibu (pedeng jerek wae susu) yang memang pada faktanya bisa menghidupkan dan secara alamiah memberi kekebalan tubuh. 

Wae Susu: Metafora Untuk Sperma

Tetapi pemahaman itu akhirnya berubah secara total saat saya bertemu dengan Bapa Stanis Jomar di Perang, Lembor, saat saya melakukan penelitian lapangan (field research) di sana untuk mendapatkan bahan disertasi saya. Pada saat itu, di antara banyak hal yang saya tanyakan, saya bertanya tentang “wae-susu” ini juga. Ketika saya tanyakan tentang apa arti dari ungkapan tersebut kepada dia, saya pun sangat kaget. Kaget karena ternyata apa yang saya pahami selama ini, yang juga didukung oleh P. Flori tadi, tidak benar sama sekali. 

Menurut Bapa Stanis Jomar, “wae-susu” yang dimaksudkan dalam syair lagu itu adalah air mani pria. Jadi di dalam syair lagu Songka Lesong itu, orang meminta sedikit pancaran setetes (jerek) dari air mani tersebut, yang dalam ungkapan Bahasa Manggarai, secara metaforis juga disebut “wae-bur”, tajen (Jawa). Jadi, orang meminta benih-benih awal hidup kepada Tuhan yang mahatinggi, sang pencipta dan pembentuk kehidupan. Hidup tidak akan muncul tanpa adanya pancaran benih-benih awal tersebut.

Keterangan Bapa Stanis ini telah mendorong dan menggerakkan saya untuk berpikir dan bertanya lebih lanjut, yakni mengapa orang meminta air mani itu dan bukannya meminta “air-susu” yang memang eksplisit disebutkan dalam doa permohonan tersebut? Kiranya karena air mani itulah yang mendatangkan hidup. Air mani (dilambangkan dengan wae susu, karena prinsip sama warna) menjadi pangkal hidup. Sedangkan air susu ibu yang keluar dari tetek ibu, adalah penjamin hidup selanjutnya. Nah, yang dimintakan dalam ritual Songka Lesong ini ialah benih awal hidup itu yang berasal dari pancaran sperma pria. 

Perempuan "Selalu" Subur 

Di sini diandaikan bahwa indung telur selalu ada dan selalu tersedia dalam Rahim ibu (walau tidak selalu demikian adanya, sebab bisa saja perempuan itu mandul atau indung telurnya tidak matang untuk dibuahi). Teteapi yang jelas ialah bahwa dalam lagu pengiring ritual songka lesong itu, orang jelas dan eksplisit meminta agar ada kesuburan pria, agar hidup dapat terus berlanjut. 

Orang tidak meminta kesuburan wanita di dalam ritual penti, walaupun ada ritual khusus untuk meminta kesuburan di dalam hidup perkawinan, dalam event kehamilan. Sepertinya kesuburan wanita dan ketersediaan indung telur di dalam Rahim wanita, selalu diandaikan ada dan tersedia begitu saja. Saya mendapat kesan seperti itu dari untaian penjelasan yang diberikan oleh bapa Stanis.

Karena itu, dalam ritual penti, khususnya dalam bagian Songka Lesong, orang meminta kesuburan pria, kesuburan suami. Kesuburan pria (suami) itu diharapkan terpancar selalu, tidak mati, tidak mongering. Hal itu kurang lebih sama dengan doa untuk mata air, porong mboas wae woang, porong kembus wae teku

Tafsir Maskulin dan Tafsir Feminin 

Walau ada pemaknaan seperti itu dari Bapa Stanis Jomar, saya akhirnya sampai pada satu rumusan pemahaman sintesis yang mencoba mendamaikan dua makna tadi: Saya sebut saja tafsir feminine dan tafsir maskulin, tafsir ibu, dan tafsir ayah, tafsir laki-laki, tafsir perempuan. Saya sampai pada keyakinan bahwa penjelasan P. Flori dulu, yang juga saya anut tidak salah seluruhnya. 

Oleh karena itu, saya mencoba mensintesiskan kedua perspektif tafsir dan pemaknaan itu. Bahwa yang diminta dalam Songka Lesong adalah kedua hal itu sekaligus. Sebelum ada bayi baru (meka weru, meka le mai puar, kata puar di sini berarti menunjukkan dimensi misteri dari asal-usul manusia), orang meminta air mani. Bila sudah ada bayi baru yang terlahir dari perkawinan, maka orang pun lalu meminta air susu

Dengan cara penafsiran sintesis seperti ini maka kedua macam tafsir dan pemaknaan itu pun menjadi satu. Tidak usah lagi harus bertentangan satu sama lain, tidak usah lagi harus saling menyingkirkan satu sama lain. Bahkan kedua macam penafsiran itu saling mengandaikan dan memperkaya satu sama lain juga. Itu adalah sebuah sintesis hermeneutik yang amat menarik dan memperdalam makna. 


(NB: Ini adalah tafsir saya. Mungkin ada cara penafsiran dan pemaknaan serta pemahaman yang lain. Saya terbuka saja terhadap tafsir dan pemaknaan yang lain). 


Monday, December 17, 2018

IMAJINASI PERSEPSI WAKTU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.



Dulu, saat masih di Manggarai, Flores, saya melewatkan masa kecilku di SDK Lamba-Ketang, pusat Paroki Ketang. Sebelumnya Paroki ada di Rejeng. Tetapi kemudian pusat paroki dipindahkan ke Ketang. Sebagaimana biasa, selama masa hari raya gereja (Natal, Paskah, dan Pentakosta), pusat Paroki ini menjadi sangat ramai. Semua umat dari stasi datang berkumpul di pusat Paroki untuk bersama-sama merayakan Paskah, Natal, dan Pentakosta. Pusat Paroki Ketang yang biasanya tidak ramai, menjadi sangat ramai pada hari-hari Raya. Ada pertandingan bola kaki, dan bola kasti untuk tingkat SD. Ada juga pertandingan bola kaki dan bola voley untuk orang dewasa. Begitulah gambaran masyarakat yang sangat kental diwarnai oleh perayaan gereja Katolik.

Terkait dengan hari raya keagamaan dan kegerejaan ini, ada satu fenomena yang bagi saya sangat menarik. Sebagaimana dikatakan seorang antropolog (lupa namanya, apakah Paul Webb, ataukah James Fox) yang meneliti Flores termasuk Manggarai, bahwa di Flores, semut pun Katolik. Entah apa yang ia maksudkan dengan ungkapan itu. Ketika pertama kali saya membaca hal itu, tiba-tiba imajinasiku terlontar ke masa kecilku di Ketang. Saat istirahat sekolah, anak-anak biasanya keluar dari kelas dan berkumpul di halaman sekolah atau bermain di sekitar sekolah. Kami benar-benar bermain di tengah alam, apa adanya.

Saat itulah tidak jarang kami mengamati semut-semut berjalan beriring. Apabila saat itu berbarengan dengan masa menjelang minggu palma (Minggu daun-daun), maka kami mengatakan bahwa semut-semut itu pergi ke pusat paroki (entah di mana) untuk merayakan Minggu Palma. Atau saat menjelang Paskah maka kami mengatakan, semut-semut itu pergi Paskah. Atau saat menjelang Pentakosta, maka kami mengatakan bahwa semut-semut itu pergi Pentakosta. Atau menjelang Natal, maka kami mengatakan bahwa semut-semut itu pergi Natal. Jadi, begitulah saya memahami ucapan si antropolog tadi. Bahkan kalau ada semut yang kebetulan membawa ranting kecil, maka kami mengatakan bahwa semut itu memikul daun palma untuk dibagikan kepada seluruh umat yang hadir. Kalau pas tidak lagi ada hari raya gerejani (yaitu masa biasa), maka kami membayangkan bahwa semut-semut itu beriringan untuk pergi ke sekolah (sesuatu yang begitu dekat dengan pengalaman nyata kami sebab kami memang ke sekolah setiap hari). Jadi, apa yang terjadi, dialami, dan disaksikan anak-anak dalam kehidupan nyata sosial mereka, diproyeksikan kepada kehidupan dan perilaku hidup semut-semut. Kiranya itu yang dimaksudkan si antropolog tadi ketika ia berkata bahwa di Flores semut-semutpun Katolik.

Ketika saya menulis untaian pengamatan masa kecil itu, saya bertanya secara kritis historis sebagai berikut: Bagaimanakah imajinasi persepsi waktu anak-anak dulu sebelum generasi kami, generasi para orang tua kami yang kiranya termasuk generasi pertama dalam proses menjadi Katolik. Saya membayangkan bahwa kategori pembagian waktu yang mereka pakai kiranya tidak berasal dari kategori pembagian waktu yang ditawarkan Gereja sebagaimana yang terjadi pada masa kami. Kiranya mereka memakai kategori pembagian waktu lama atau tradisional. Karena itu, titik acuan yang mereka pakai pun bukan pesta atau perayaan Gerejani, melainkan pesta atau perayaan asli Manggarai.

Saya membayangkan (karena belum pernah mengalaminya), betapa anak-anak dulu, saat mengamati semut-semut berjalan, mengatakan bahwa semut-semut ini pergi menghadiri pesta penti di salah satu kampung. Mungkin juga mereka berkata bahwa semut-semut itu pergi pesta wagal, salah satu titik puncak pesta perkawinan dalam tradisi Manggarai. Atau bisa juga mengatakan bahwa semut-semut itu pergi bermain caci di salah satu kampung. Saya juga membayangkan bahwa kalau ada seekor semut yang tampak lebih besar dari yang lain, maka semut itu dianggap sebagai ketua rombongan dalam ritual ba leso (harafiah: membawa matahari) untuk pesta caci di kampung lain.

Dengan demikian masing-masing angkatan memiliki imajinasi persepsi ruang dan waktunya sendiri. Imajinasi itu sangat tergantung pada kerangka hidup sosial keagamaan yang paling dominan mereka alami. Dulu saat gereja belum begitu berpengaruh, pasti imajinasi waktu itu dipengaruhi oleh pelbagai pesta adat yang dulu memang sangat banyak dalam kehidupan orang Manggarai. Dewasa ini, saat orang menjadi Katolik, maka imajinasi persepsi waktu itu dipengaruhi oleh pelbagai pesta atau perayaan liturgi gereja. Jadi, ada sebuah pergeseran besar dari imajinasi persepsi waktu yang lama ke imajinasi persepsi waktu yang baru.

Bisa dipahami bahwa imajinasi persepsi waktu yang lama, semuanya sudah tergeser karena dewasa ini orang Manggarai tidak lagi memakai sistem Kalender tradisional mereka sendiri. Melainkan mereka sudah memakai sistem kalender masehi atau internasional. Dalam penelitian saya, saya menemukan bahwa para peneliti Manggarai dulu sudah menemukan setidaknya empat atau lima sistem kalender tradisional itu yang berpusat pada pesta penti. Memang dewasa ini pesta penti itu masih ada, tetapi rasanya sudah sedikit pudar oleh pesta dan perayaan-perayaan besar dari kehidupan liturgi Gereja. Maka tidak mengherankan bahwa imajinasi persepsi ruang orang Manggarai dewasa ini, sangat dipengaruhi oleh sistem kalender modern yang mereka pakai.

Kembali ke semut-semut di atas tadi. Tentu saja semut-semut itu akan selalu berperilaku seperti itu dari dulu sampai kapanpun. Hanya saja, cara anak-anak mencoba memahami dan melukiskan perilaku hidup semut itu, yang berubah atau mengalami pergeseran. Dan tentu saja hal itu tidak terhindarkan sama sekali.

Sunday, December 9, 2018

"TRANSFORMASI LIDAH" ORANG MANGGARAI

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.


Namaku Fransiskus. Ibu memanggilku Ransis atau Sis. Bapa memanggilku Frans. Itulah yang dikenal orang banyak. Teman-teman memanggilku Frans. Tetapi setiap kali berlibur di kampung kakek-nenekku di Dempol dan Wol ada yang aneh. Nenekku dari pihak bapa (Samong) tidak bisa melafalkan huruf F, sebab huruf itu tidak ada dalam bahasa Manggarai. Bahasa Manggarai hanya mengenal huruf W. Karena itu, ia memanggilku Wras. Hal yang sama terjadi juga dengan nenek dari pihak ibu. Ia memanggilku Wras atau Weras. Itu karena mereka tidak bisa mengucapkan huruf F. Juga tidak bisa mengucapkan dua konsonan berturutan. Nama FRANS tadi, diubah F-nya menjadi W dan dua konsonan berturutan di akhir dikorbankan, dengan memilih salah satu. Nenekku di Wol, kadang mengganti huruf F dengan P sehingga akupun dipanggilnya Pran atau Pras. Tidak pernah Frans atau Prans. Kakekku (dari pihak ibu) jarang memanggil namaku. Sesekali saya mendengar dia memanggilku. Ternyata kakek, yang pernah menjabat kepala Desa (terkenal sebagai Kraeng Kepala Dempol di tahun 60an dan 70an) juga tidak bisa mengucapkan huruf F dengan baik. Ia memanggilku Wras.

Untuk apa saya catat ini semua? Begini. Setelah saya berusia setengah abad lebih, saya telusuri kembali apa yang saya sebut “transformasi lidah” orang Manggarai. Pertama, sejauh saya amati, orang Manggarai dulu tidak bisa mengucapkan huruf F, karena huruf itu tidak ada dalam kosa kata Manggarai. Kamus Manggarai J.Verheijen SVD (1967), tidak memiliki lema F. Dari lema Huruf E di halaman 127 langsung ke lema huruf G pada halaman yang sama. Hal itu juga ada dalam kamus yang terbit sekarang. Kamus Manggarai, Robertus Sutardi Ebat (2018), juga mencatat hal yang sama. Dari lema huruf E pada halaman 103 langsung ke lema huruf G pada halaman yang sama. Saya menunggu kamus yang baru diberitakan penerbitannya di beberapa Grup WA yang disusun STKIP Ruteng. Kiranya hasilnya juga sama seperti itu: tidak ada lema huruf F. Tidaklah mengherankan bahwa orang Manggarai dulu sulit melafalkan F itu.

Kedua, saya juga mengamati bahwa ada beberapa kombinasi konsonan dalam bahasa Indonesia yang awalnya susah diucapkan orang Manggarai. Beberapa contoh: kombinasi KS (terkadang ditulis dengan huruf X saja), NS, NY. Sampai tahun 70an banyak orang Manggarai belum bisa mengucapkan kombinasi KS dengan baik. Memang saat itu belum ada banyak kata yang berakhir KS atau X. Tetapi nama baptis sudah dikenal, Felix. Nama ini pun dilafalkan Pelis. Saya mengetahui hal ini sejak kecil karena ayah saya bernama Felix dan kebanyakan orang pada masa kecilku susah mengucapkan nama beliau. Mereka menyebutnya tuang guru Pelis. Itu saya dengar di Arus (Lambaleda), di Wewo (Pongkor), dan di Ketang (Lelak), dan di Dempol, Rangga, Wol, Daleng (Lembor, Wontong). Kesulitan menyebut NS sudah saya uraikan di awal tadi terkait dengan nama panggilan saya. Yang mungkin terasa aneh ialah kombinasi NY yang hingga tahun 70an di beberapa tempat di Manggarai susah diucapkan. NY diucapkan dengan NG, sehingga Menyanyi diucapkan Mengangi. Nyonya, diucapkan dengan versi Porto yang lebih sederhana pengaruh Flotim, Nora (Senhora). Mungkin generasi Manggarai sekarang menganggap saya mengada-ada dengan pengamatan itu. Tetapi teman kelasku di SD ada yang susah mengucapkan kombinasi NY tersebut. Juga “ata kampong” susah mengucapkan kombinasi itu.

Yang menarik ialah bahwa walaupun beberapa kombinasi “asing” itu pada awalnya susah diucapkan orang Manggarai, tetapi dalam bahasa Manggarai sendiri ada beberapa kombinasi huruf mati. Berbeda dengan ketiga kombinasi di atas tadi yang terletak di akhir kata, kombinasi konsonan Manggarai yang saya amati ini terletak di awal kata. Misalnya kombinasi Mb, Nd, Ng, Mp, Nt. Mb: mbare, mbang, mbata, mber, mbeng, mberong, mbe, mbesol, dst. Nd: ndilep, ndilek, ndodol, ndondok, ndael, ndekar, ndatar, dll. Nt: Nte’er, Ntileng, Nterlango, Nta’ur, ntewar. (Lihat Verheijen, hlm.452-454; bahkan Verheijen mendaftarkan kombinasi tiga huruf mati NTJ; tetapi saya tidak daftarkan di sini karena kombinasi itu sekarang tidak dipakai lagi). Ng: Ngkerok, Ngkeros, Ngkor, Ngkaer, ngkeleng, ngkero, ngkek, ngkebing, dll (Verheijen, hlm.449-452; bahkan dia membedakan antara kombinasi NGK dan NGG; ia melakukan hal ini mungkin karena ia menilai bahwa fenomena itu cukup khas dalam bahasa Manggarai yaitu sebuah kata dimulai dengan ng atau ngg, sesuatu yang jarang dijumpai dalam kosa kata bahasa lain). Mp: mpeong, mpirang, mpuing, mpedal, dll. (Verheijen, hlm.359-361; ada banyak contoh, tetapi sebagian besar tidak dipakai lagi).

Kembali ke persoalan awal tadi (orang Manggarai dulu sulit mengucapkan beberapa kombinasi konsonan dalam bahasa Indonesia). Kesulitan itu terkait dengan tingkat pendidikan. Kalau orang belum sekolah, maka dia sulit mengucapkan beberapa huruf dan kombinasi konsonan itu. Tetapi begitu orang bersekolah biarpun hanya SD, pasti dia akan mengalami “transformasi lidah”. Tadinya ia sulit mengucapkan huruf tertentu (F) karena tidak ada dalam bahasa ibunya, dan sulit mengucapkan beberapa variasi kombinasi konsonan (KS, NS, NY), tetapi karena sekolah orang bisa mengucapkannya. Saya ingat bahwa salah satu tugas guru sekolah dasar tahun 60an dan 70an ialah melatih siswanya mengucapkan hal-hal yang sulit itu. Tetapi begitu anak bisa mengucapkannya maka ia pun terlatih dan tidak melupakannya lagi. Ia sudah beralih dari orang yang tidak berpendidikan menjadi orang berpendidikan.

Betapa saya heran dan terkejut ketika tahun 1982 untuk pertama kali saya ke Yogya. Saya mendengar semua teman saya yang Jawa tidak bisa mengucapkan nama saya Frans, dan diganti Fran. Di tengah masyarakat juga saya mendengar hal seperti itu. Maka saya pun berkesan bahwa orang-orang ini tidak mengalami transformasi lidah. Bahkan diam-diam dalam hati saya tergoda untuk berpikir bahwa jangan-jangan orang-orang ini tidak berpendidikan. Tetapi penilaian saya itu tentu saja bertolak dari cara pandang saya sendiri.


Monday, November 12, 2018

SURUP ATAU CURUP

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias M.



Menarik untuk mengamati kosa kata dalam pelbagai bahasa-bahasa dunia yang dipakai oleh pelbagai kelompok suku bangsa. Dalam bahasa Indonesia misalnya, ada dua kata yang berbeda untuk mengungkapkan apa yang disebut bahasa dan apa yang disebut aksi atau tindakan untuk berbicara. Kedua kata itu adalah bahasa (itu yang pertama) dan bicara (itu yang kedua). Begitu juga halnya dalam bahasa Inggris. Ada language (bahasa) dan ada juga talk (bicara). Hal yang sama juga dapat kita temukan dalam bahasa Latin: ada lingua (untuk bahasa) dan ada dicere (untuk berbicara, omong). Menarik bahwa bahasa Jerman juga kurang lebih seperti itu: ada Sprache (untuk bahasa) dan ada sprechen (untuk berbicara).


Saya belum sempat mencaritahu juga data dari beberapa bahasa-bahasa besar di Eropa seperti Prancis, Spanyol, Italia, Russia, dst. Tetapi setidak-tidaknya tiga bahasa pertama yang baru saja saya sebut kiranya mempunyai kosa kata yang sama juga dengan bahasa Latin sebagai akarnya yang paling pertama dan utama. Dalam rangka memperluas cakrawala perbandingan, maka kiranya perlu juga dibuat sebuah studi perbandingan dengan pelbagai bahasa daerah di Indonesia. Pasti hal itu akan sangat indah dan menarik. Mungkin juga akan sangat memperkaya pengalaman dan perspektif kita berbahasa dan bertutur.


Nah, bagaimanakah halnya dengan bahasa Manggarai? Sebelum melangkah lebih lanjut, yang saya maksudkan dengan bahasa Manggarai ialah bahasa Manggarai tengah yang dominan di Manggarai dan bisa dipahami oleh sebagian besar orang-orang di pelbagai belahan Manggarai Raya. Itu adalah bahasa Manggarai yang dituturkan oleh orang-orang di wilayah kedaluan Ruteng, Rahong, Lelak, Cibal, Pongkor, Todo, Ndoso, Welak, Wontong, Cibal, Lambaleda, Sita, Torok Golo, dll. Kurang lebih bahasa Manggarai mereka sama walau mungkin ada sedikit perbedaan dialek dan idiolek dan juga beberapa kosa kata. Tetapi pada umumnya kurang lebih sama. Akan berbeda misalnya saat kita memasuki beberapa kedaluan di Manggarai Timur yang mempunyai bahasa yang berbeda, seperti Manus, Riwu, Ronggakoe, Kepo, Rajong, dll. Bahasa mereka berbeda sama sekali. Mereka bisa memahami bahasa Manggarai Tengah dan juga memakainya dengan baik, tetapi pada umumnya orang dari Manggarai Tengah rada sulit untuk memahami bahasa Mereka. Nah, bahasa Manggarai yang saya maksudkan di sini adalah bahasa Manggarai Tengah yang dominan itu. Penegasan ini perlu agar orang Manggarai dari bagian Timur tidak melakukan protes kepada saya.


Dalam bahasa Manggarai dikenal beberapa varian kata untuk mengungkapkan gagasan “bicara” itu. Misalnya kita mengenal kata jaong, tombo, surup atau cukup, jangka, tae. Beberapa contoh pemakaian dapat diberikan sebagai berikut: “Co’o bao tombo data hitu e?” (Bagaimana tadi bicaranya orang itu?) “Apa jaong dise bao?” (Apa yang mereka katakan tadi?) “Co’o jangka dise ga?” (Bagaimana pendapat mereka?). Atau “Co’o surup/curup dise ga?” (Bagaimanakah perkataan mereka?). Saya tidak akan membahas semua kata-kata dan contoh-contoh kalimat itu. Di sini saya hanya fokus pada kata surup atau curup saja.


Dalam Tatabahasa Manggarai, kata surup atau curup itu dipakai sebagai terjemahan dari kata benda, yaitu bahasa. Surup adalah bahasa. Hal itu misalnya tampak dalam salah satu pemakaian berikut ini: Surup Melaju atau Bahasa Melayu (Bahasa Indonesia). Tetapi menurut saya kata surup atau curup itu tidak sepenuhnya bisa dipakai untuk menjadi kata benda saja, karena struktur kalimat dalam tata bahasa Manggarai yang tidak memungkinkan hal seperti itu bisa terjadi. Sebab dalam tata bahasa Manggarai, ada sebuah kaitan yang sangat erat antara surup sebagai bahasa tutur dan surup sebagai proses atau peristiwa tutur itu sendiri.


Bagi saya hal itu tidak sangat mengherankan karena bahasa (bahasa mana pun di dunia ini) pada dasarnya adalah sebuah peristiwa, sebuah kata kerja. Kira-kira sama seperti definisi kebudayaan dari beberapa antropolog yang mengatakan bahwa kebudayaan itu adalah kata kerja dan bukan terutama kata benda. Definsi kebudayaan sebagai kata kerja itu dimaksudkan untuk mengungkapkan sebuah anggapan dan keyakinan dasar bahwa kebudayaan itu selalu hidup dan dinamis dalam perkembangan historisnya. Mungkin pernyataan seperti ini sangat mengejutkan bagi sementara orang. Mungkin juga ada orang yang tidak bisa atau tidak mau menerimanya.


Tetapi bagi saya hal itu ada benarnya juga. Bahasa adalah sebuah peristiwa, bahasa adalah sebuah kata kerja. Sebagai sebuah peristiwa, atau sebagai kata kerja, maka bahasa itu dinamis, dan hidup. Mungkin tongue dalam bahasa Inggris bisa membantu untuk sedikit menjelaskan hal ini. Tongue itu bisa menunjuk pada lidah, tetapi bisa juga menunjuk pada aksi lidah untuk menghasilkan bunyi, fonem, yang merupakan elemen paling dasar dari konstruksi kalimat dan bahasa itu sendiri. Terkait dengan hal ini adalah sangat menarik bahwa dalam bahasa Manggarai kata lema (lidah atau tongue tadi), bisa mempunyai beberapa arti. Pertama, ia bisa berarti lidah (tongue). Kedua, ia juga bisa berarti bohong, tipu, adong. Dalam ungkapan seperti gega-lema, ia bisa berarti bercanda. Sedangkan dalam ungkapan seperti gangga-lema, ia bisa berarti berdebat, bertengkar, ataupun bersilat lidah.


Sekarang kembali ke kata surup atau curup lagi. Kalau diterima bahwa dalam tata bahasa Manggarai surup itu adalah bahasa, maka dalam bahasa Manggarai, bahasa dan aksi berbicara itu erat terkait satu sama lain. Mengapa demikian? Itu tidak lain karena keduanya memiliki satu sumber dan satu alat utamanya yaitu mulut tentu saja termasuk lidah juga di dalamnya.


Nah misteri satu alat dan satu sumber inilah yang menyebabkan saya berpikir bahwa surup dalam bahasa Manggarai itu multi-makna. bahasa itu hidup dan dinamis, dan justru karena ia satu dan menyatu dalam sumber utamanya. Dalam bahasa Manggarai, bahasa (surup) dan aksi berbicara (surup) adalah satu dan sama saja. Mungkin akan ada yang berkata bahwa ini adalah sebuah fenomena kurang kota kata, atau gejala dalam dinamika berkembangnya satu bahasa tertentu. Oke. Bisa saja ada pandangan dan anggapan seperti itu. tetapi bagi saya itu adalah sebuah misteri: bahwa kata dan aksi yang melahirkan kata itu adalah satu dan sama. Luar biasa, bukan?


Sunday, November 9, 2008

SYAIR LAGU-LAGU MANGGARAI

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm)

Sejauh yang dapat saya amati selama ini, lagu-lagu lama dalam bahasa Manggarai banyak memakai permainan variatif vokal sebagai syair utamanya. Maksud saya ialah tidak jarang syair lagu-lagu lama itu hanya berupa perpaduan dan permainan variatif vokal ou-ae-ea-io atau sekadar perpanjangan dari masing-masing vocal tadi, misalnya, iiiiooooooooooo….. Dan yang sangat menarik ialah bahwa hal itu sudah cukup atau paling tidak sudah dianggap cukup menjadi sebagai syair lagu. Mungkin akan ada orang yang secara spontan bertanya, kok syair lagu hanya seperti itu? Tetapi itulah yang menjadi kenyataan dalam tradisi lagu-lagu Manggarai lama.

Sebuah lagu dalam Dere Serani, misalnya, dimulai dengan syair sbb: ouoea, bong Morinou etane…..etc. (Dere Serani itu sendiri adalah buku kumpulan lagu-lagu liturgi Katolik dalam Bahasa Manggarai yang sudah diterbitkan sejak awal tahun 60an). Nah, muncul pertanyaan reflektif-filosofis: Gejala apakah ini? Lalu bagaimana gejala ini dapat dijelaskan dan dipertanggungjawabkan? Itulah yang coba saya upayakan dalam tulisan yang serba singkat dan sederhana ini.

Sesungguhnya ada beberapa penjelasan tentang hal ini. Pertama, mungkin hal itu disebabkan karena kekurangan kata-kata sehingga orang cenderung memakai variasi vokal dasar yang itu-itu saja (ouoea, iiiiiooo aoaeeeaaaaa). Jadi, seakan-akan terdapat sebuah ajakan di sini untuk kembali saja ke level vokal, atau ke level fonem. Seakan-akan tersirat sebuah pesan, daripada menyusahkan atau merepotkan diri dengan mencari-cari beban makna dan pemaknaan bagi kata-kata yang menjadi syair sebuah lagu, maka lebih baik membiarkan bunyi dasar dan alami dari vokal itu menampilkan dirinya sendiri secara apa adanya, telanjang, tanpa tedeng aling-aling, dan ia memang bisa indah juga di dalam ketelanjangannya itu. Tetapi tentu saja penjelasan ini sangat sederhana walau tidak dapat diabaikan begitu saja.

Kedua, mungkin juga karena lagunya adalah lagu sedih; jadi terdengar seperti meratap (memang kebanyakan lagu-lagu tradisional Manggarai bercorak dasar sedih, atau paling tidak melankolik; mungkin karena lagu-lagu itu memantulkan geografis manggarai yang bergunung-gunung dan lembah yang dalam, yang menyebabkan orang terengah-engah kalau menempuh perjalanan melewati alam seperti itu). Dalam konteks melankoli seperti itu, sering sekali kata-kata tidak terucap dengan serba jelas. Mungkin karena sedih, dan pilu maka orang memakai vokal dan tidak memakai konsonan yang cenderung bisa meletup dalam bunyi mulut. Letupan konsonan menimbulkan efek protes, pemberontakan, kehiruk-pikukan, dan bahkan mungkin keonaran, chaos. Ya, letupan konsonan itu tentu saja tidak bisa mendatangkan efek keheningan dan haru di dalam syair lagu, juga dalam upacara peratapan sedih. Lain sekali kalau yang dipakai adalah vokal, yang mencitrakan ketenangan, keheningan. Berlambat-lambat serba mengalir tenang. Itulah efek natural dari vokal, sesuatu yang tidak mungkin terjadi lewat efek natural konsonan.

Ketiga, menurut hemat saya, hal itu juga mungkin disebabkan karena orang suka meniru bunyi-bunyi alam. Ada satu paham filsafati mengenai musik, bahwa musik tidak lain adalah tiruan dari alam (sebagaimana seni lukis dianggap sebagai pantulan dari alam, paling tidak seni lukis yang bercorak naturalis, fotografis). Dan bunyi-bunyi alam itu kebanyakan mencitrakan keheningan walau selalu dalam verbalisasi onomatopianya selalu merupakan perpaduan antara vokal dan konsonan. Bunyi burung hantu diverbalisasi dengan poh-poh-poh, jadi perpaduan antara konsonan p, vokal o, dan konsonan lembut h. Atau bunyi anak ayam yang kesepian karena merasa tertinggal sendirian: kiok-kiok-kiok (jadi perpaduan antara konsonan k di awal dan di akhir, dan di tengahnya ada dominasi vokal i dan o). Contoh-contoh seperti ini masih bisa diperpanjang lagi. Dan pola-pola ini rasanya mengendap dalam syair lagu-lagu Manggarai.

Keempat, mungkin hal itu disebabkan karena orang mau kembali ke level fonem dari bahasa dan tidak mau merepotkan diri dengan level semantik dan sintaksis. Oleh karena itu, gejala tadi bisa saja dipandang sebagai semacam dekonstruksi syair: mencari makna tidak lagi pada level konstruksi semantik, atau pada level sintaksis fonem-fonem, melainkan kembali saja pada level satu fonem. Level fonetik itu sendiri sudah mengandung makna dan nilai tersendiri.

Tetapi sayang sekali bahwa dewasa ini, semua hal itu sudah hilang, sudah tidak ada lagi. Para pencipta atau pengarang lagu-lagu modern Manggarai dewasa ini cenderung mencipta syair lagu lengkap dengan kata-kata lengkap, tidak eliptik, tidak berhenti atau kembsli lagi ke level fonem tadi. Orang meninggalkan fonem dan mencoba mencari konstruksi makna pada tataran konstruksi semantik dan sintaksis dan tidak lagi membiarkan fonem, fonetik, itu menampilkan diri dalam ketelanjangannya dan di situlah letak keindahannya.

Apakah ini suatu perkembangan ataukah justru sebuah kemunduran? Bisa ya, dan bisa juga tidak. Hal ini bisa dinilai sebagai sebuah perkembangan, karena banyak pengaruh dari bentuk-bentuk sastra syair lagu-lagu modern. Ada invasi pengaruh syair modern. Tetapi bisa juga dinilai sebagai sebuah kemunduran, karena ini berarti hilangnya satu mata rantai warisan kultural berupa syair-syair lagu. Belum lagi saya berbicara tentang not-not atau nada-nada dalam lagu-lagu lama Manggarai. Terpaan nada-nada dan gaya modern sangat kuat sehingga nada-nada lama menghilang begitu saja. Agak sulit mendekskripsi secara verbal not-not asli lagu-lagu Manggarai. Tetapi kalau didengar dan dinyanyikan barulah akan terasa kekhasan dan keunikannya. Ini juga patut disayangkan. Untung sudah ada buku Dere Serani itu dalam bahasa Manggarai. Tetapi masih berapa banyakkah orang yang bisa menyanyikan lagu-lagu dalam Dere Serani itu? Ini suatu fakta yang menyedihkan dan memprihatinkan. (Di sini saya teringat akan beberapa syair dari Sutarji Calzoum Bachri, yang mencoba merobek kata-kata, agar bisa kembali ke level bunyi-bunyi dasar (fonem) di balik kata-kata itu. Dan sekaligus teringat juga akan ulasan Ignas Kleden dan Leo Kleden tentang hal itu. Ada baiknya dirujuk untuk pengembangan tulisan ini).

Bandung, 23 Mei 2008

Diketik ulang sambil diperluas dan dikoreksi, 6 November 2008


PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...