Monday, December 17, 2018

IMAJINASI PERSEPSI WAKTU

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.



Dulu, saat masih di Manggarai, Flores, saya melewatkan masa kecilku di SDK Lamba-Ketang, pusat Paroki Ketang. Sebelumnya Paroki ada di Rejeng. Tetapi kemudian pusat paroki dipindahkan ke Ketang. Sebagaimana biasa, selama masa hari raya gereja (Natal, Paskah, dan Pentakosta), pusat Paroki ini menjadi sangat ramai. Semua umat dari stasi datang berkumpul di pusat Paroki untuk bersama-sama merayakan Paskah, Natal, dan Pentakosta. Pusat Paroki Ketang yang biasanya tidak ramai, menjadi sangat ramai pada hari-hari Raya. Ada pertandingan bola kaki, dan bola kasti untuk tingkat SD. Ada juga pertandingan bola kaki dan bola voley untuk orang dewasa. Begitulah gambaran masyarakat yang sangat kental diwarnai oleh perayaan gereja Katolik.

Terkait dengan hari raya keagamaan dan kegerejaan ini, ada satu fenomena yang bagi saya sangat menarik. Sebagaimana dikatakan seorang antropolog (lupa namanya, apakah Paul Webb, ataukah James Fox) yang meneliti Flores termasuk Manggarai, bahwa di Flores, semut pun Katolik. Entah apa yang ia maksudkan dengan ungkapan itu. Ketika pertama kali saya membaca hal itu, tiba-tiba imajinasiku terlontar ke masa kecilku di Ketang. Saat istirahat sekolah, anak-anak biasanya keluar dari kelas dan berkumpul di halaman sekolah atau bermain di sekitar sekolah. Kami benar-benar bermain di tengah alam, apa adanya.

Saat itulah tidak jarang kami mengamati semut-semut berjalan beriring. Apabila saat itu berbarengan dengan masa menjelang minggu palma (Minggu daun-daun), maka kami mengatakan bahwa semut-semut itu pergi ke pusat paroki (entah di mana) untuk merayakan Minggu Palma. Atau saat menjelang Paskah maka kami mengatakan, semut-semut itu pergi Paskah. Atau saat menjelang Pentakosta, maka kami mengatakan bahwa semut-semut itu pergi Pentakosta. Atau menjelang Natal, maka kami mengatakan bahwa semut-semut itu pergi Natal. Jadi, begitulah saya memahami ucapan si antropolog tadi. Bahkan kalau ada semut yang kebetulan membawa ranting kecil, maka kami mengatakan bahwa semut itu memikul daun palma untuk dibagikan kepada seluruh umat yang hadir. Kalau pas tidak lagi ada hari raya gerejani (yaitu masa biasa), maka kami membayangkan bahwa semut-semut itu beriringan untuk pergi ke sekolah (sesuatu yang begitu dekat dengan pengalaman nyata kami sebab kami memang ke sekolah setiap hari). Jadi, apa yang terjadi, dialami, dan disaksikan anak-anak dalam kehidupan nyata sosial mereka, diproyeksikan kepada kehidupan dan perilaku hidup semut-semut. Kiranya itu yang dimaksudkan si antropolog tadi ketika ia berkata bahwa di Flores semut-semutpun Katolik.

Ketika saya menulis untaian pengamatan masa kecil itu, saya bertanya secara kritis historis sebagai berikut: Bagaimanakah imajinasi persepsi waktu anak-anak dulu sebelum generasi kami, generasi para orang tua kami yang kiranya termasuk generasi pertama dalam proses menjadi Katolik. Saya membayangkan bahwa kategori pembagian waktu yang mereka pakai kiranya tidak berasal dari kategori pembagian waktu yang ditawarkan Gereja sebagaimana yang terjadi pada masa kami. Kiranya mereka memakai kategori pembagian waktu lama atau tradisional. Karena itu, titik acuan yang mereka pakai pun bukan pesta atau perayaan Gerejani, melainkan pesta atau perayaan asli Manggarai.

Saya membayangkan (karena belum pernah mengalaminya), betapa anak-anak dulu, saat mengamati semut-semut berjalan, mengatakan bahwa semut-semut ini pergi menghadiri pesta penti di salah satu kampung. Mungkin juga mereka berkata bahwa semut-semut itu pergi pesta wagal, salah satu titik puncak pesta perkawinan dalam tradisi Manggarai. Atau bisa juga mengatakan bahwa semut-semut itu pergi bermain caci di salah satu kampung. Saya juga membayangkan bahwa kalau ada seekor semut yang tampak lebih besar dari yang lain, maka semut itu dianggap sebagai ketua rombongan dalam ritual ba leso (harafiah: membawa matahari) untuk pesta caci di kampung lain.

Dengan demikian masing-masing angkatan memiliki imajinasi persepsi ruang dan waktunya sendiri. Imajinasi itu sangat tergantung pada kerangka hidup sosial keagamaan yang paling dominan mereka alami. Dulu saat gereja belum begitu berpengaruh, pasti imajinasi waktu itu dipengaruhi oleh pelbagai pesta adat yang dulu memang sangat banyak dalam kehidupan orang Manggarai. Dewasa ini, saat orang menjadi Katolik, maka imajinasi persepsi waktu itu dipengaruhi oleh pelbagai pesta atau perayaan liturgi gereja. Jadi, ada sebuah pergeseran besar dari imajinasi persepsi waktu yang lama ke imajinasi persepsi waktu yang baru.

Bisa dipahami bahwa imajinasi persepsi waktu yang lama, semuanya sudah tergeser karena dewasa ini orang Manggarai tidak lagi memakai sistem Kalender tradisional mereka sendiri. Melainkan mereka sudah memakai sistem kalender masehi atau internasional. Dalam penelitian saya, saya menemukan bahwa para peneliti Manggarai dulu sudah menemukan setidaknya empat atau lima sistem kalender tradisional itu yang berpusat pada pesta penti. Memang dewasa ini pesta penti itu masih ada, tetapi rasanya sudah sedikit pudar oleh pesta dan perayaan-perayaan besar dari kehidupan liturgi Gereja. Maka tidak mengherankan bahwa imajinasi persepsi ruang orang Manggarai dewasa ini, sangat dipengaruhi oleh sistem kalender modern yang mereka pakai.

Kembali ke semut-semut di atas tadi. Tentu saja semut-semut itu akan selalu berperilaku seperti itu dari dulu sampai kapanpun. Hanya saja, cara anak-anak mencoba memahami dan melukiskan perilaku hidup semut itu, yang berubah atau mengalami pergeseran. Dan tentu saja hal itu tidak terhindarkan sama sekali.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...