Saturday, December 22, 2018

HIDUP BERSAKU-TANGAN

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen Filsafat dan Teologi FF-UNPAR, Bandung. Anggota LBI.



Beberapa waktu lalu saya mendapat kiriman video pendek lewat beberapa WA Group. Film itu sangat menarik. Bahkan mendapat penghargaan tertinggi dalam kompetisi perfilman di Amerika dengan kategori film animasi terpendek. Saya lupa judulnya. Tetapi di sini saya memakai judul lain: Hidup Bersaku Tangan. Film ini berkisah tentang pria yang apatis (cuek) terhadap dunia sekitarnya. Apatisme (cuekisme) itu ditampakkan dengan cara ia berjalan: kedua tangannya dimasukkan ke saku celananya. Tampaknya ia bahagia dan menikmati gayanya itu. Ia tidak menaruh peduli pada apa yang terjadi dengan orang lain di sekitarnya. Ia merasa bahwa ia tidak perlu menaruh peduli atau bertanggung-jawab terhadap apa pun yang terjadi di sekitarnya.

Beberapa adegan dalam film itu mengilustrasikan hal itu. Pertama, saat pria itu masuk lift. Saat pintu lift itu menutup, dan saat yang sama ada gadis yang juga ingin masuk. Tetapi rada terlambat. Seharusnya pria itu bisa menolong gadis kecil itu masuk lift asal pria itu mau menekan tombol penahan pintu. Tetapi hal itu tidak ia lakukan karena kedua tangannya tertancap aman-nyaman dalam sakunya. Ia hanya menonton gadis itu yang dengan tatap matanya membahasakan permohonan bantuan dan rada kecewa bahwa pertolongan itu tidak ia dapatkan.

Kasus kedua. Ada orang sedang memasukkan belanjaan ke mobil. Tetapi troley-nya menggelinding kencang di trotoar menjauh darinya. Ia tidak sanggup mengejarnya. Troley itu melaju persis di samping pria tadi. Tetapi ia tidak mengeluarkan tangannya untuk menahan troley itu. Ia sama sekali tidak mau membantu padahal si empunya troley melambaikan tangan meminta bantuan. Kasus ketiga ada seorang anak kecil bermain balon. Saat ia bersin balon itu terlepas. Pria itu tidak menolong dengan menangkap balon itu. Kasus keempat, saat si pria tadi tidak menaruh perhatian terhadap tawaran manis dan ramah seorang sukarelawati yang menawarkan sebuah program kemanusiaan. Pria itu tidak menerima poster kecil yang ditawarkan sukarelawati tersebut, karena kedua tangannya tertancap di saku celananya. Ia berjalan lewat begitu saja. Tidak ada satu peristiwa pun yang mendorong dia untuk mengeluarkan tangannya dari sakunya dan diulurkan kepada orang di sekitar.

Akhirnya saat itu tiba. Tanpa diduga-duga. Saat ia menunggu lampu hijau untuk menyeberang di traffic light, tiba-tiba tangannya yang tertancap di saku celana itu dipegang oleh nenek tua. Saat lampu hijau menyala bagi para pejalan kaki, ia pun menyeberang dengan sangat pelan mengikuti gerak si nenek tua tersebut. Karena tua, maka nenek itu berjalan lambat. Dan pria itu, walau kedua tangannya masih tertancap di sakunya, mencoba berjalan dengan sabar mengikuti langkah si nenek tua itu. Sementara lalu lintas padat. Ada yang sabar menunggu si nenek berjalan lewat. Tetapi ada juga yang tidak sabar. Ia ngebut bahkan di lampu hijau untuk pejalan kaki. Persis saat itulah, si pengemudi yang ngebut itu hampir menabrak si lelaki cuek tadi dan nenek. Tepat saat itulah si pria tadi mengeluarkan tangan kanannya dan meminta kepada si pengemudi ngebut itu agar berhenti. Dan tepat pada waktunya, mobil tadi berhenti persis di samping mereka berdua.

Saat itulah, pria tadi menyadari arti penting tangannya. Nenek tua itu berterima-kasih dengan mengecup pipinya. Terjadilah perubahan, transformasi, metanoia, perubahan hati, perubahan (meta) cara berpikir (nous) itu. Saat tiba di rumah, pria tadi duduk di sofa lalu memandang mula-mula tangan kanannya yang berhasil menolong mereka dari tabrakan. Lalu memandang kedua tangannya, juga tangan kiri yang dipakai si nenek tadi berpegangan saat menyeberang. Entah apa yang dipikirkan si pria itu. Tetapi kita bisa menduga: Ternyata tanganku yang selama ini tertancap di sakuku, bisa juga berbuat sesuatu untuk menolong orang lain, betapa pun hal itu sangat kecil dan sederhana. Sejak itu terjadi perubahan besar dalam hidup orang tersebut: ia tidak lagi cuek, tidak lagi apatis. Melainkan menaruh perhatian, kepedulian. Semua kejadian di atas tadi, terulang kembali tetapi sekarang ia menaruh peduli. Ia berubah dari saku-tangan ke tangan yang rela membantu, tangan yang terulur kepada sesama.

Dalam bahasa Melayu klasik ada ungkapan serupa itu: pangku tangan. Istilah berpangku tangan dalam kultur Melayu dipakai untuk mengungkapkan sikap malas. Itu adalah orang yang tidak mau berbuat apa-apa. Ia hanya duduk dan kedua tangannya diletakkan di atas pangkuannya. Tetapi kemalasan juga adalah sebentuk apatisme atau cuekisme terhadap hidup. Kemalasan adalah sebuah sikap yang tidak menaruh kepedulian terhadap hidup itu sendiri.

Dalam kitab Amsal ada empat nasihat Guru Hikmat untuk menasihati kaum muda yang belum berpengalaman (berpendidikan). Salah satunya ialah nasihat untuk menjauhi kemalasan dan orang malas. Sebab kemalasan dan orang malas dianggap sebagai racun berbahaya dan membahayakan. Tiga yang lain ialah nasihat untuk berhati-hati terhadap teman yang jahat, terhadap wanita jalang (ada yang mengatakan “isteri orang”). Untuk menghindari semuanya itu, Guru Hikmat menganjurkan para muridnya agar mau mendengarkan suara Hikmat yang digambarkan sebagai nabiah yang mewartakan suaranya dari atas tempat terbuka dan di pinggir jalan. Kemalasan itu dalam beberapa kebudayaan dikaitkan dengan sikap tangan yaitu berpangku tangan atau bersaku tangan tadi. Orang cuek, orang apatis. Kemalasan dan cuekisme (apatisme) sangat berbahaya.

Dalam kebudayaan Manggarai, ungkapannya sedikit lain, tetapi maknanya sama. Yaitu temba-tesang. Posisinya sbb: orang duduk di lantai. Lalu kedua siku tangannya diletakkan di atas pahanya (berpangku tangan), kemudian kedua telapak tangannya menopang dagu dan jari kedua tangannya menempel di pipi. Itu tanda malas. Dalam kebudayaan Manggarai duduk seperti itu, lonto temba-tesang adalah tanda malas. Biasanya orang tua melarang atau menasihati anak-anaknya, terutama perempuan, agar tidak lonto-temba-tesang, sebab posisi duduk seperti itu adalah tanda kemalasan, tanda ketidak-sigapan.

2 comments:

Unknown said...

Makasih Pak Frans yg telah menyadarkan orang lain untuk saling memperhatikan sesama yg membutuhkan bantuan kita dan harus rajin tidak hanya lonto-temba-tesang

canticumsolis said...

Sama kraeng.... trims atas apresiasinya.. syukur jika tulisan ini berguna...

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...