Friday, June 26, 2020

BEN HUR

Oleh: Fransiskus Borgias


 

Hari Senin tanggal 21 Januari 2019 yang silam, saya pergi ke toko Buku Gramedia di jalan Merdeka Bandung. Di sana saya membeli beberapa buku. Salah satunya ialah buku yang berjudul Ben Hur, hasil karya dari Lewis Wallace, seorang pengarang yang berasal dari Amerika Serikat. Itu sebuah buku lama. Tetapi baru sekarang inilah saya melihat versi terjemahannya ke dalam Bahasa Indonesia. Saat saya melihat buku itu, serta-merta saya ingat bahwa dulu pada masa SMP di Seminari Pius XII Kisol saya pernah membaca versi komik dari cerita tersebut. Juga saya membaca versi Bahasa Inggrisnya. Sekarang ini saya membaca hasil terjemahan ke dalam Bahasa Indonesia terbitan Gramedia.

Saat saya sekarang ini membacanya kembali, saya terkesan karena beberapa hal ini. Salah satunya ialah hal yang akan kuceritakan sekarang ini. Ben Hur ini sesungguhnya berkisah tentang Yesus Kristus (sebagaimana tampak dalam judul kecilnya). Kelahirannya ditandai dengan peristiwa angkasa (kosmis) yang luar biasa, yaitu ada sebuah bintang cerah berjalan (komet?), yang serentak dilihat oleh tiga orang pintar (majusi) berbeda di tempat yang berlainan dan berjauhan. Satu di Mesir, satu di Yunani, dan satu lagi di India. Menariknya lagi ialah ketiga orang pintar ini awalnya bisa melihat dan menyadari terbitnya bintang itu justru dengan melihat ke bawah, yaitu melihat ke air (masing-masing melihat air danau, air laut, air kolam). Setelah mereka melihat ke bawah barulah mereka melihat ke atas dan di sana mereka melihat bintang itu yang sedang bersinar terang benderang. Paradoksal sekali.

Hal ini mengingatkan saya akan sebuah film pendek yang beredar dalam beberapa WAG menjelang perayaan Natal 2018 yang lalu. Film pendek itu melukiskan ada tiga orang yang berdiri di tepi sebuah sumur dan ketiganya sedang memandang ke dasar sumur yang berair itu. Di dalam sana mereka melihat pantulan sebuah bintang yang bercahaya terang benderang di angkasa. Langit malam yang sangat cerah juga terpantul di sana. Indah sekali. Tetapi langit biru malam itu kalah oleh cahaya bintang yang terang benderang itu. Sesudah mereka menemukan pantulan itu di dalam air sumur itu barulah mereka bersama-sama melihat ke atas, yaitu ke angkasa (ke langit). Dan di sana mereka melihat sebuah bintang yang bercahaya terang benderang.

Nah, hal seperti itu jugalah yang terjadi dan dilukiskan di dalam buku Ben Hur ini. Hanya bedanya ialah bahwa mereka (tiga tokoh di dalam buku Ben Hur) ini melihat di tempat yang berbeda, yaitu dari tempat mereka masing-masing (Mesir, Yunani, dan India). Namun demikian yang menarik ialah bahwa simpulan mereka setelah melihat penampakan sinar bintang itu sama. Apa simpulan itu? Bintang itu menandakan kelahiran seorang Raja Israel yang baru.

Oleh karena itu, ketiga orang itu secara terpisah juga merasakan sebuah dorongan yang sangat kuat untuk pergi mencari raja yang baru lahir itu, untuk kemudian mereka bisa menyembah-Nya. Maka mereka pun mulai bergerak dari tempat mereka masing-masing dan mencoba mengikuti petunjuk yang ada di langit sebagaimana yang diperlihatkan oleh bintang terang tersebut. Perjalanan mereka tentu saja sangat jauh dan melelahkan. Tetapi mereka tidak berputus-asa sama sekali. Sebab mereka ingin sekali melihat apa yang terjadi yang ditandakan oleh bintang terang tersebut. Setelah mereka menempuh perjalanan beberapa lamanya, akhirnya mereka pun, karena dituntun oleh cahaya bintang tersebut, yang mereka bisa baca berdasarkan ilmu perbintangan (astronomi) yang mereka kuasa, bertemu di sebuah titik yang mengarah ke Betlehem. Lalu ketiganya pun menjadi semakin penuh gairah setelah mengetahui bahwa masing-masingnya sama sekali tidak sendirian di dalam petualangan ini. Melainkan mereka telah menemukannya sendiri-sendiri, tetapi akhirnya tertuju kepada satu tujuan yang sama. Bahkan buku dari Wallace ini memberi kesan bahwa ketiga orang itu sudah saling mengenal satu sama lain. Mungkin mereka adalah bagian dari sebuah komunitas intelektual, komunitas ilmuwan yang sering saling bertukar informasi pengetahuan dan terutama penelitian yang sedang mereka geluti. Oleh karena itu, saat mereka bertemu satu sama lain, maka dialog pun menjadi semakin seru dan akrab dan hangat, apalagi yang dibicarakan itu adalah sebuah topik yang satu dan sama.

Dari manakah datang dan berkembangnya imajinasi tentang adanya tiga raja itu yang datang dari Timur itu yang datang menyembah Yesus? Imajinasi itu sesungguhnya “dibentuk” atau lebih tepat “dikondisikan” oleh informasi yang tertulis di dalam Injil Matius. Di dalam kisah Natal versi injil Matius, dikisahkan bahwa tatkala Yesus dilahirkan di Betlehem, sang bayi itu mendapat kunjungan dari tamu agung yang berasal dari dunia Timur. Sama sekali tidak disebutkan bahwa ada tiga orang. Juga tidak disebutkan bahwa mereka itu raja. Juga injil tidak menyebut nama ketiga tokoh itu. nah, dari nama simpulan bahwa ada tiga orang yang datang menyembah? Simpulan itu berasal dari kisah injil yang menyebutkan bahwa pengunjung itu membawa tiga hadiah yang mahal-mahal, barang mewah. Jadi, karena ada tiga hadiah barang mahal, maka pasti harus ada tiga raja yang telah menghadiahkan barang-barang mewah tersebut. Simpulan dalam daya imajinasi itu tidak hanya berhenti di situ saja. Setelah ada tiga raja, tradisi gereja dalam sebuah daya imajinasi sama sekali tidak membiarkan bahwa tiga tokoh agung itu tidak bernama sama sekali (anonym). Oleh karena itu maka tradisi pun memberi nama kepada masing-masing dari ketiga raja tersebut. Nama mereka ialah Melkior, Gaspar, dan Balthasar.

Lewis Wallace mengembangkan ceritanya berdasarkan informasi yang ada di dalam injil, tetapi terlebih lagi berdasarkan informasi yang telah tersedia dan hidup di dalam tradisi gereja, bahkan secara khusus di dalam tradisi liturgis gereja. Salah satu pesta yang dipestakan dalam tradisi liturgis gereja Katolik ialah pesta tiga raja dari Timur. Pada saat pesta itulah, patung tiga raja tadi dipajangkan di dalam gua atau kandang natal yang biasanya dibangun di dalam gereja sebagai bagian utuh dari perayaan Natal itu sendiri. Tidak lupa juga ada sebuah bintang yang bercahaya digantung di salah satu bagian dari gua atau kandang tersebut. Sungguh sebuah narasi imajinatif yang indah dan mengagumkan. Dan hal itu tetap hidup hingga sekarang ini, juga hidup di dalam kenangan, di dalam memori imajinatif seluruh umat beriman.

Cerita ini sangatlah mengesankan bagi saya. Hal itu disebabkan karena cerita tentang datang berkunjungnya tiga tamu agung dari para bangsa menyiratkan kepada saya bahwa ada kemungkinan bagi semua orang, bagi siapa saja untuk bisa datang dan sampai kepada Yesus dan menyembah-Nya melalui dorongan hati kodrati dari dalam tanpa harus mengenal sejarah perwahyuan Israel sebagai landasan ataupun persiapannya (praeparatio evangelica). Alam bisa juga menjadi sebuah preambulum fidei (sebuah pengantar kepada iman). Dalam kisah ini saya melihat percikan wahyu umum, wahyu alam, yang bisa dibaca oleh semua orang, dikenal oleh semua orang. Tidak hanya dibatasi dalam teks-teks Roma seperti dalam kuliah teologi dasar itu, inilah jalan intuisi hati nurani sebagaimana dicanangkan John Henry Newman. Kiranya teks tentang tiga raja ini perlu digali lebih lanjut sebagai basis untuk wahyu umum bagi kaum beriman pada umumnya.

 

Penulis: Dosen teologi pada Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci St. Hieronimus, Keuskupan Bandung.

 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...