Oleh: Fransiskus Borgias M.
Beberapa minggu yang lalu, kita di negeri ini dihebohkan
oleh tuntutan gubernur Sumatera Barat kepada Menkominfo, agar sang Menteri
menurunkan atau menghapus aplikasi Injil dalam Bahasa Minang yang disediakan di
dalam Playstore. Adapun alasan yang dipakai ialah bahwa Budaya Minang itu sudah
identic dengan Islam, sedangkan Injil adalah sesuatu yang berbau Kristen, dan karena
itu bertentangan dengan atau tidak cocok dengan budaya Minang yang Islam.
Banyak pihak bereaksi dengan
mengatakan bahwa permohonan itu tidak sepatutnya karena aplikasi itu sama
sekali tidak melanggar undang-undang. Terdengar suara lantang dari Setara
Institut. Juga ada suara dari sebuah lembaga khusus dari Presiden yang juga
bersuara kurang lebih sama dengan suara Setara tersebut. Terkait dengan
permintaan itu, ada beberapa peristiwa rentetan yang terjadi. Pertama, ada
video kritik dari Ade Armando, dosen ilmu komunikasi dari UI. Inti dari kritik
Ade Armando ialah bahwa permohonan seperti itu menunjukkan kemunduran Minang,
yang dulu menghasilkan banyak intelektual besar untuk negeri ini, sekarang
malah tidak ada lagi. Juga menurut Ade Armando, bahwa permohonan itu
menunjukkan betapa rentannya iman Islam orang Minang itu. Apakah dengan
masuknya aplikasi Injil ke dalam Playstore langsung akan menyebabkan murtadnya
banyak orang Minang yang Islam? Kiranya hal itu sudah keterlaluan.
Akibat dari hal itu ialah Ade
Armando pun dipecat dari status sebagai orang Minang, oleh orang yang mengkalim
diri sebagai ketua adat ranah Minang. Ade Armando menanggapi hal itu dengan
tenang saja. Pertama, ia nyatakan menerima hal itu. Kedua, ia juga
mempertanyakan keminangan si orang yang menganggap diri sebagai ketua adat ranah
Minang tersebut. Dari rekam jejaknya, jelas bahwa si ketua itu kemarin pernah
maju sebagai calon DPD untuk dapil Sumatera Barat. Dan ternyata tidak berhasil
lolos. Itu artinya apa? Menurut Ade Armando, itu artinya, bahwa dia sendiri
juga sama sekali tidak mendapat dukungan di hati orang ranah Minang untuk
dijadikan dan dipercaya sebagai wakil mereka. Masih ada lagi beberapa peristiwa
rentetan sebagai akibat dari hal itu. Salah satunya ialah muncul aksi serupa di
daerah Riau. Mereka lupa bahwa Klinkert itu sudah menerjemahkan Injil itu ke
dalam Bahasa Melayu dari Riau itu (kalau tidak salah ingat).
Ketika saya membaca dan mendengar
semuanya itu, saya teringat akan sebuah video. Video itu dikirim oleh seorang
teman di sebuah WAG. Video itu berisi tentang kisah adik dari tokoh pahlawan
Nasional, Haji Agus Salim (HAS). Bapak HAS, itu berasal dari daerah Minang,
Sumetera Barat. Mungkin hal ini amat mengejutkan karena tidak banyak orang yang
mengetahuinya. Adik kandung dari bapa HAS ini ada yang murtad menjadi Kristen
Katolik. Nama tokoh itu Cholid Salim. Entah sejak kapan, sang adik ini menganut
paham komunis. Dan ia terlibat sangat aktif di dalam aliran komunis itu di
Indonesia. Sebagaimana kita ketahui komunisme internasional itu sudah masuk dan
berkembang di Indonesia jauh sebelum Indonesia merdeka. Bahkan mereka juga
sudah membentuk semacam partai atau lebih tepat pergerakan politik.
Pada tahun 1926 pergerakan
politik komunisme internasional ini yang dibentuk di Belanda kemudian masuk
juga ke Indonesia, melakukan semacam pemberontakan. Dan adik dari bapak HAS pun
ikut ditangkap karena ia juga adalah salah satu tokoh di dalam pemberontakan
tersebut. Sebagai hukumannya, banyak dari para tokoh tersebut yang dibuang ke
Boven Digul, Irian Barat, Papua. Tidak main-main. Ia mendekam di sana selama
limabelas tahun. Pengalaman pembuangan Digul itu kemudian dibukukan dalam buku
yang berjudul LIMABELAS TAHUN DI DIGUL. Digul itu dijulukinya sebagai semacam
Kamp Konsentrasi, sebuah nama yang mengingatkan kita akan aksi keji dari Nazi
Jerman dalam perang Dunia Kedua, tidak sampai dua decade sesudah pemberontakan
komunis 1926 itu. sang adik dari bapak HAS ini bekerja sebagai wartawan.
Nah di Digul itulah si adik
memutuskan untuk menjadi penganut agama Kristen Katolik. Tentu saja sebelum
menganut ateisme ia dibesarkan dalam tradisi agama Islam. Dan dapat dipastikan
juga bahwa ia adalah seorang muslim. Tetapi kemudian ia “meninggalkan” Islam
dan menjadi seorang penganut ateisme dan terlibat di dalam pergerakan
komunisme. Di Digul ia berkenalan dengan bapak Sukaryo Prawirojudo. Orang ini
tidak lain adalah pelaku pemberontakan yang dalam sejarah disebut Zeven Provincien
(Pemberontakan Pelaut Indonesia). Konon dari tokoh inilah ia mulai berkenalan
dengan ajaran agama Kristen Katolik. Tentu saja pengenalan awal itu dilanjutkan
dan diperdalam dengan pemelajaran sendiri yaitu dengan menekuni Katekismus
Gereja Katolik.
Ia tidak main-main dengan pilihan
itu sebab pada sehari sesudah Natal tahun 1942, ia dibaptis ke dalam gereja
Katolik. Dan yang membaptisnya ialah seorang pastor yang bernama Mauwese
(kiranya seorang pastor dari kongregasi MSC yang memang banyak melayani beberapa
wilayah di Papua Selatan itu, di mana Digul itu terletak. Bapak Cholid, di
dalam peristiwa pembaptisan itu memilih nama baptis Ignatius Fransiskus Michael
Cholid Salim. Luar biasa sekali pilihan nama baptisnya.
Kemudian Cholid Salim lebih
lanjut dibuang ke Australia. Tetapi entah bagaimana, sang kakak kemudian
berjumpa dengan sang Adik di negeri Belanda. Dan di situlah sang kakak
mengetahui bahwa sang adik sudah murtad dan menjadi seorang penganut agama
Kristen Katolik. Konon Bapak HAS tenang-tenang saja. Bahkan ia merasa senang
juga karena ia beranggapan bahwa setidak-tidaknya dengan itu sang adik sudah
terlepas bebas dari komunisme-ateis.
Bapak HAS merasa yakin bahwa
menjadi Katolik itu jauh lebih baik daripada menjadi ateis. Bahkan bapak HAS
merasa bersyukur bahwa sang adik kembali percaya kepada Tuhan walaupun sudah di
dalam bahtera yang lain. Bapak HAS beranggapan bahwa pilihan sang adik untuk
menjadi penganut Kristen Katolik adalah sebuah takdir Illahi yang tidak usah
dipersoalkan, melainkan harus diterima dan disyukuri. Ia tidak berteriak-teriak
mengucapkan sumpah serapah mengutuk MURTAD, sesuatu yang sangat sering kita
dengar dari mulut beberapa orang tertentu.
Tentu saja sikap bapak HAS adalah
sebuah sikap yang luar biasa agung dari sang tokoh islam itu. Benar-benar
mengagumkan. Memang bapak HAS adalah seorang tokoh Islam modern. Bapak HAS saat
mengetahui bahwa sang adik sudah menjadi penganut agama Katolik, ia merasa
bersyukur dan berseru alhamdulilah, sebuah seruan ucapan syukur di dalam
tradisi Arab (Yahudi, Kristen, dan juga Islam).
Pertanyaannya ialah, mengapa ia
berseru alhamdullilah seperti itu? itu tidak lain karena dalam pandangan bapak
HAS, sebagai seorang penganut agama Katolik sang adik berada lebih dekat dengan
sang abang dibandingkan ketika sang adik itu menjadi penganut ateisme. Sang kakak
merasa sangat jauh sekali. Ia merasa terasing dari sang adik. Tetapi tatkala
sang adik itu sudah menjadi penganut agama Katolik, maka sang kakak merasa
sudah dekat kembali, walaupun berbeda kapal. Bapak HAS sama sekali tidak
mempersoalkan kapal tumpangan itu, yang terpenting ialah bahwa sang adik sudah
menjadi orang yang percaya kepada Tuhan. Dan untuk itulah bapak HAS telah
melambungkan seruan alhamdullilahnya itu. Puji Tuhan.
Kiranya, orang yang menjadi
Kristen dari ranah Minang tidak hanya bapak Cholid Salim. Pasti ada banyak juga
yang lain. Mungkin ada baiknya juga perlu dibuat semacam data statistic. Data seperti
itu penting untuk mengetahui seberapa orang yang memang mungkin memerlukan
Injil di dalam Bahasa Minang itu. atau mungkin juga tidak diperlukan sebab
orang-orang itu mungkin sudah berpendidikan tinggi sehingga bisa membaca Injil
di dalam Bahasa-bahasa dunia modern yang lainnya. Tetapi paling tidak dengan
cara itu, seruan yang berkonotasi sempit dan intoleran sang gubernur tadi yang
menyerukan penghapusan aplikasi Injil dari Playstore tidak perlu ada.
Penulis: Dosen dan Peneliti pada FAKULTAS FILSAFAT UNPAR
Bandung.
No comments:
Post a Comment