Sunday, June 14, 2020

JEAN PAUL SARTRE, F.X. KIM CHI HA, PRAMUDYA ANANTA TOER: SOLIDARITAS INTERNASIONAL

Oleh: Fransiskus Borgias M. 



Beberapa hari yang lalu, seorang teman dosen (Samson Ganda Silitonga) di Lembaga Pengembangan Humaniora Universitas Katolik Parahyangan, Bandung, mengunggah sebuah tulisan yang menurut saya bagus di whatsapp group kami di MKU unpar. Tulisan itu mencoba mengenang 70 tahun hubungan diplomatik Indonesia dengan Russia. Itu berarti hubungan itu sudah mulai diintensifkan pada tahun 1950. Jadi, hubungan itu terjadi sesudah Indonesia menjadi negara merdeka selama lima tahun. 

Penulis itu bertanya, apakah tahun-tahun sebelumnya tidak ada artinya sama sekali dalam rangka membangun hubungan diplomatik itu? Jawaban beliau rasanya bagi saya tidak begitu jelas. Tetapi yang saya tangkap ialah bahwa sebenarnya tahun-tahun itu juga mempunyai peranan penting di dalam proses membangun dan membentuk hubungan diplomatik itu sehingga terbentuklah apa yang disebut poros Moskwa-Jakarta. Tetapi kemudian, di dalam perkembangannya, poros hubungan itu sedikit banyak terganggu karena adanya sebuah poros diplomatik baru, Jakarta-Peking. Dengan adanya poros-baru ini, orang seakan-akan seperti ingin meninjau ulang tentang hubungan poros lama Jakarta-Moskwa. Kemudian beliau menyinggung beberapa detail lagi yang kiranya tidak perlu saya singgung di sini. 

Hal yang mau saya singgung lebih lanjut di sini ialah bahwa dalam tulisan itu dia juga menyinggung nama besar filsuf eksistensialisme Perancis, Jean Paul Sartre. Menurut Prof.Kees Bertens, dalam bukunya Filsafat Barat Abad XX, Prancis, Jilid 2, Sartre di dalam percaturan dan pergerakan politik di Prancis selalu sangat kekiri-kirian dan dia menaruh simpati yang tinggi kepada Marxisme dan komunisme, sebagai antitesis dari rasa alergi dia terhadap kapitalisme (hlm.86-87). "Pendiriannya selalu berhaluan kiri dan penuh simpati dengan partai-partai kiri." (hlm.87). Tetapi Sartre tidak pernah mau menjadi anggota partai Komunis (hlm.87). Berkat haluan pergerakannya yang kekiri-kirian itu, maka Sartre bisa mengunjungi beberapa negara Blok Timur yang hingga saat itu sangat tertutup bagi orang dari Eropa Barat (hlm.88). Misalnya, Sartre bisa mengunjungi Moskwa, Cina, dan Cuba. 

Di atas tadi sudah dikatakan bahwa sejak tahun 50an, sudah terbentuk hubungan diplomatik poros Jakarta-Moskwa. Namun demikian, begitu dikatakan oleh teman dosen saya itu, Sartre tidak pernah mau datang mengunjungi Jakarta sebagai semacam dukungan untuk Jakarta. Nah, terkait dengan hal itu saya pun bertanya, apakah Sartre pernah menaruh peduli pada nasib para tahanan politik komunis di pulau Buru. Pertanyaan historis-kritis ini muncul dalam diri saya karena sejauh yang saya ketahui Sartre juga menaruh kepedulian pada orang-orang yang dituduh komunis di beberapa tempat yang lain. Tidak hanya orang-orang Komunis yang ia perhatikan. Gerakan nasionalis yang memperjuangkan kemerdekaan Aljazair juga ia dukung dengan sepenuh hati bahkan sampai hampir merenggut nyawanya karena ancaman bom yang dipasang oleh para lawan politiknya. 

Terkait dengan rasa solidaritasnya terhadap pelbagai tokoh dan perjuangan di mana pun di seluruh dunia, saya mau membagi sharing apa yang saya ketahui sekilas dari Korea Selatan. Pada tahun 1990an saya pernah menerjemahkan sebuah buku yang berisi tentang seorang penyair-sastrawan-pejuang Korea Selatan yang ditangkap dan ditawan oleh rezim otoriter Korea Selatan pada tahun 1970an itu. Kalau dipikir-pikir, nasib sang sastrawan Korea Selatan itu, kurang lebih sama dengan nasib sastrawan di Indonesia yang juga menderita di bawah rezim Otoriter, misalnya Rendra dan Mochtar Lubis. Rasa-rasanya nasib mereka kurang lebih sama, juga pada kurun waktu yang sama. 

Nama sang sastrawan itu ialah Fransiskus Xaverius Kim Chi Ha. Dia adalah seorang penganut iman Katolik yang saleh dan taat. Hal itu tidak sangat mengherankan, mengingat fakta historis bahwa iman Kristiani memang sudah sangat berurat-berakar juga di Korea Selatan sejak sangat lama. Sejarah Gereja khususnya Gereja Katolik sudah sangat berurat-berakar lama di Korea Selatan. Bahkan dari Korea Selatan sudah ada martir yang menjadi santo dan santa, seperti Andreas Kim Tae Gon dan Paulus Chong Hangsang itu. 

Walaupun dia adalah seorang penganut iman Katolik yang saleh dan taat, tetapi oleh rezim penguasa otoriter Korsel saat itu ia ditangkap karena ia dituduh sebagai agen komunis. Bahkan ia dicap sebagai seorang penganut komunis juga. Tidak hanya sampai di situ saja. Rezim penguasa juga mengatakan bahwa Kim Chi Ha adalah seorang Komunis yang berbaju Katolik. Ia hanya bersembunyi di balik otoritas hirarki gereja Katolik Korea Selatan maupun Gereja Universal. Menurut agen-agen pemerintah, Kim Chi Ha itu tidak lain adalah orang komunitas karena ia sangat radikal di dalam gerakan perlawanannya. Itulah yang dituduhkan oleh pemerintah. 

Tetapi Kim Chi Ha membela diri dengan mengatakan bahwa dia itu menjadi radikal bukan karena diilhami oleh paham komunis (sebagaimana dituduhkan oleh pemerintah) melainkan karena konsekwensi dan tuntutan dari iman Katoliknya sendiri. Menurut Kim Chi Ha, orang yang beriman Katolik itu harus radikal, dalam artian dasar dari kata itu, yaitu akar (radix). Lebih lanjut Kim mengatakan, radikalitas iman Katolik akan semakin menjadi-jadi apalagi kalau orang itu sudah mendalami dan menghayati dokumen-dokumen yang dihasilkan dalam Konsili Vatikan Kedua itu. Secara khusus ia sangat terpengaruh oleh dokumen-dokumen seperti Gaudium et Spes dan Dokumen tentang peranan kaum awam di dalam Gereja dan di tengah dunia. 

Terkait dengan hal itu Kim Chi Ha kurang lebih pernah mengatakan demikian: "Anda tidak bisa dan juga tidak boleh bersikap tenang-tenang saja dalam keheningan perayaan liturgis di gereja, kalau anda mau menjadi seorang Katolik pada masa pasca Konsili Vatikan Kedua, dan menghayati serta mengamalkan ajaran-ajaran Konsili itu." Itulah yang menjadi keyakinan dasar Kim Chi Ha. Dan ia tidak pernah goyah dengan keyakinan dasar itu. 

Tetapi rezim otoriter rupanya tidak mau tahu dengan semuanya itu. Ia tetap ditangkap dan dipenjarakan. Ada banyak suara protes disuarakan dari mana-mana untuk membela Kim Chi Ha. Suara otoritas Hirarkis gereja Katolik Korea Selatan tidak digubris atau didengarkan. Begitu juga suara gereja Katolik Amerika Serikat yang mencoba membantu, juga tidak didengarkan. 

Akhirnya memang dia mendekam di dalam penjara yang sangat memprihatinkan, yang menyebabkan sakit TBC-nya semakin parah. Nah saat dia di penjara itulah konon J. P. Sartre, untuk kembali ke topik awal tulisan ini, pernah menggalang bantuan dan membangun semacam jejaring internasional untuk mengirim kertas dan alat tulis untuk Kim Chi Ha di penjara. Karena salah satu hukuman bagi Kim ialah ia tidak boleh menulis dan membaca. Ia dikurung di dalam ruang bawah tanah yang sangat gelap, di mana ia tidak tahu jam, waktu, dan perputaran hari. Apakah hari sudah siang atau malam ia tidak bisa membedakannya karena semuanya sama saja di bawah sana. Ia sepertinya secara sangat harafiah sudah menjadi seorang penghuni neraka saja karena ia dikurung dalam ruang di bawah tanah, di mana ada kegelapan, tangis dan kertak gigi. 

Tetapi lewat lobi-lobi dan jejaring relasi dan solidaritas pertemanan, akhirnya Kim diijinkan untuk membawa Kitab Suci. Ia juga diperkenankan untuk membawa pena dan kertas. Itulah sebabnya ia bisa menulis sesuatu di dalam penjara. Bahkan ia menulis cukup banyak juga selama berada di dalam penjara. Mungkin karena berada di bawah tekanan dan himpitan rezim politik, maka pemikiran kreatif dia muncul dan mengalir dengan sangat derasnya. 

Tetapi setelah ia berhasil menuliskan sesuatu, masalah berikutnya ialah bagaimana tulisan-tulisan dia itu bisa dibawa keluar dari penjara dan bisa diterbitkan? Itu menjadi suatu masalah yang sangat besar. Tetapi akhirnya masalah itu bisa diatasi dengan bantuan seorang Yesuit (kalau tidak salah) yang datang mengunjungi dia dan berhasil melewati pemeriksaan super ketat penjara itu dan membawa lolos tulisan-tulisan dia keluar penjara. Entah bagaimana hal itu bisa terjadi. Mungkin karena sang imam Yesuit itu mempunyai semacam kekebalan yuridis untuk bisa menghindari pelbagai macam pemeriksaan standar terhadap para pengunjung napi di penjara. Tulisan-tulisan itu kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris. Ada yang berbentuk puisi. Ada yang berbentuk semacam dialog batin (soliloquia), ada yang berbentuk sandiwara, ada yang sekadar berbentuk catatan harian saja. 

Akhirnya, semua tulisan itu berhasil diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris dan diterbitkan di Amerika Serikat, di sebuah penerbit Orbis Books, Maryknoll, New York, sebuah penerbit Katolik yang sangat terkenal dan liberal dan progresif juga. Judul kumpulan tulisan itu mengambil judul salah satu tulisan di dalam buku itu. Dan itu adalah judul dramanya, THE GOLD-CROWNED JESUS. Dalam terjemahan saya, judul itu saya terjemahkan menjadi JESUS YANG BERMAHKOTA EMAS. 

Sedikit isi singkat drama itu, sejauh yang saya ingat lagi saat ini (sebab saya tidak bisa merujuk lagi bukunya dalam bahasa Inggris karena buku itu ada di kampus dan aturan ke kampus masih cukup ketat). Jadi ringkasan ini berdasarkan ingatan saya sendiri saja tanpa rujukan lagi ke sumbernya yang asli. 

Di sebuah taman kota di Seoul ada sebuah Patung besar berukuran manusia normal. Itulah Patung Tuhan Yesus yang memakai sebuah mahkota yang terbuat dari emas. Indah sekali emas itu tampak dari kejauhan. Berkilauan ditimpa sinar mentari pagi. Semua orang memandangnya dengan penuh kagum dan pesona. Tetapi justru mahkota dari emas itulah yang telah membelenggu Yesus di dalam kekakuan abadi. Ia sangat berharap bahwa ada seseorang yang datang untuk mengangkat mahkota emas itu dari kepala-Nya sehingga Dia bisa bergerak lagi untuk menunjukkan solidaritas-Nya dengan orang-orang yang tertindas di Korea Selatan, sebagaimana dulu telah Ia lakukan di Yerusalem. 

Dan terjadilah, bahwa ada seorang gelandangan miskin yang karena terdesak oleh kelaparan dan kemiskinan, memanjat patung itu dan mencuri mahkota emasnya. Dan tepat pada saat itu Tuhan Yesus pun bebas dan mulai bergerak. Tetapi sial bahwa pada saat itu juga polisi dan petugas taman kota cepat datang dan menangkap dan memenjarakan si gelandangan pencuri itu dan memasang lagi mahkota itu "pada tempatnya" yaitu di atas kepala Tuhan Yesus. Dan akibatnya Tuhan Yesus pun menjadi kaku lagi di dalam sangkar emasnya, tidak bisa berbuat apa-apa untuk membela dan menolong orang miskin dan tertindas. Sebuah drama yang sangat menarik. 

Akhirnya, terkait dengan rasa solidaritas yang diperlihatkan Sartre terhadap Kim Chi Ha, saya pun bertanya secara kritis-historis apakah Sartre pernah bersolider juga dengan Pramudya Ananta Toer yang mendekam di pengasingan Pulau Buru di bawah Rezim Soeharto itu? Di sini saya tiba-tiba teringat, kalau tidak salah dalam untaian kuliah Filsafat Barat Modern di STF Driyarkara dulu, Prof.Kees Bertens, ketika menjelaskan tentang filsafat eksistensialisme Sartre, pernah menyampaikan bahwa Sartre memang mengirim mesin tik untuk Pramudiya di pulau Buru. Jadi, memang ada sebuah rasa simpati dan solidaritas internasional di kalangan orang-orang besar dunia, terhadap orang-orang yang menjadi korban di mana pun termasuk para tahanan di pulau Buru, di Indonesia. 

Bandung 15 Juni 2020. 

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...