Sunday, June 21, 2020

HENTIKAN RASISME

Oleh: Fransiskus Borgias M. 
(Sebuah catatan agak spontan setelah menonton video Kotbah dari Romo Amandus Rahadat). 
Dosen dan peneliti serior pada FF-UNPAR, Bandung. 


Setahun yang lalu, pada bulan Agustus, terjadi sebuah keributan di Surabaya, karena ada sebuah asrama mahasiswa Papua yang diteriaki dengan nada rasis terhadap para penghuni yang ada di sana. Buntut dari peristiwa itu ialah terjadi beberapa pecikan "api" di beberapa tempat, baik di pulau Jawa ini, maupun terutama sekali di Papua itu sendiri. Bahkan terjadi sebuah pergolakan sosial yang besar di tanah Papua itu sendiri. Cenderung ke arah kerusuhan massal. Syukur hal itu masih bisa diredam dan dikendalikan. 

Setelah peristiwa itu berlalu hampir setahun, rasanya seperti sudah dingin. Setidaknya itulah kesan yang kita dapatkan di tanah Jawa ini. Orang cenderung sudah melupakannya. Karena sudah melupakannya, maka cenderung juga tidak lagi begitu diperhatikan. Orang lalu menjadi lalai. Tetapi ternyata tidak demikian halnya dengan di tanah Papua sendiri. Memang yang menjadi korban biasanya, tidak akan pernah dengan mudah melupakan cap dan stereotipe yang dikenakan oleh orang lain kepadanya. Orang pasti akan terus mengingat hal itu. Barangkali orang yang menyerukan seruan rasis itu sudah lupa, tetapi kelompok yang kepadanya seruan rasis itu ditujukan, tidak akan dengan mudah untuk melupakannya. Kiranya hal itu bisa dipahami dan dijelaskan dengan cukup mudah. Cap, apalagi cap negatif yang dikenakan oleh orang lain kepada kita, seperti langsung melekat ke dalam lubuk ingatan kita, laksana sebuah besi-panas yang ditempelkan pada badan hewan untuk menandai dan mencirikan hewan tersebut. 

Di tengah "keheningan" itu, ingatan orang akan aksi rasismu muncul lagi ke permukaan dengan sangat kuatnya, ketika di Amerika Serikat muncul kasus matinya seorang warga Kulit Hitam, George Floyd, akibat lehernya ditekan dengan lutut, kebetulan oleh seorang petugas kepolisian yang berkulit putih, dan kebetulan juga orang itu termasuk salah satu pendukung dari President Donald Trump itu sendiri (yang dicap rasis di dalam kebijakan pemerintahannya). Saya nonton video itu. Saya ingat kalimat terakhir yang diucapkannya: Saya tidak bisa bernafas. Sesudah itu ia lemas dan tidak bergerak lagi, dan ia pun mati. Jujur saja, saya menjadi sangat sedih menyaksikan video itu. Sebagai akibatnya, maka muncullah kerusuhan yang sangat mengerikan di seluruh Amerika Serikat, sebuah kerusuhan yang juga disertai dengan aksi penjarahan, karena orang-orang berada pada krisis hidup akibat krisis pandemi Covid-19 ini. 

Kira-kira seminggu yang lalu, saya juga menonton sebuah video dan mendapat sebuah naskah yang berisi pernyataan sikap dari para imam pribumi (asli Papua) terkait dengan rasisme dan pelbagai hal yang terjadi sesudahnya sebagai buntut dari perbuatan rasisme tersebut. Saya melihat di dalam video itu, juru bicara yang tampil ialah romo John Bunay Pr, seorang imam yang berasal dari Keuskupan Jayapura. Pernyataan sikap itu mewakili para imam yang "asli" papua, bukan hanya sekadar kelahiran Papua saja. 

Hari ini saya mendapat sebuah video yang berisi kotbah seorang Pastor di Katedral Timika. Pastor itu bernama pastor Amandus Rahadat. Kotbah itu disampaikan dalam kotbah Misa Hari Minggu Kemarin. Kotbah itu divideokan dan kemudian disebarkan di media sosial. Saya mendapatnya. Dengan bertitik tolak dari seruan Yesus dalam Injil Matius, bahwa JANGAN TAKUT kepada orang yang membunuh badanmu tetapi tidak mampu membunuh jiwamu. Atas dasar itu, sang pastor menyerukan agar semua orang, yang berkehendak baik, dan yang berpikiran rasional, waras, berani bersuara menyuarakan keadilan dan kebenaran. Lalu ia mulai mendarat: Keadilan dan kebenaran seperti apa yang ia maksudkan? 

Lalu sang Pastor Amandus teringat akan seruan pastor "asli" papua yang berjumlah 57 orang, yang minggu yang lalu, 8 Juni 2020, telah menyatakan sikap dan pendapat mereka terkait beberapa issue yang terjadi akhir-akhir ini. Seruan yang diserukan Minggu lalu, tangal 8 Juni 2020 itu, diserukan oleh juru bicara mereka, Pastor John Bunay. Seruan itu menyerukan tiga poin utama: Pertama, ajakan untuk menolak rasisme, kedua, untuk menolak segala bentuk ketidak-adilan, dan ketiga untuk menolak segala bentuk kekerasan (apalagi yang terjadi sesusah rasisme itu) terhadap umat Tuhan yang ada dan hidup di tanah Papua ini. 

Pastor Amandus memusatkan seluruh perhatiannya di dalam kotbah itu pada poin yang pertama yaitu persoalan rasisme. Persoalan itu ia langsung kaitkan dengan peristiwa rasisme yang terjadi di Surabaya tahun yang lalu, 16 Agustus 2019, di mana para penghuni wisma papua, diteriaki monyet. Pastor Amandus mengatakan bahwa tindakan dan kata-kata rasisme itu mempunyai konsekwensi yang sangat besar secara kemanusiaan, juga secara ipoleksosbud. Oleh karena itu ia menyerukan agar semua orang yang berkehendak baik dan berpikiran waras, harus bersuara menyerukan perbuatan rasis tersebut. Orang tidak bisa dan tidak boleh diam lagi. 

Di sini sama sekali tidak ada pilihan lain, selain harus bersuara menyalurkan kebenaran. Menurut Pastor Amandus, mengapa para imam asli Papua itu sampai harus bersuara, itu tidak lain karena gereja Hirarki diam, membisu, bungkam. Padahal gereja hierarki itu mempunyai daya kekuatan di seluruh dunia yang sangat besar. Tetapi sayangnya tidak bersuara. Padahal ia harus bersuara. Ia dengan lantang menyerukan tantangan kemanusiaan itu kepada, pemerintah, keamanan (polisi dan tentara), umat beragama, khususnya gereja Katolik, dan lebih khusus lagi Hierarki Gereja Katolik. 

Lalu secara pribadi saya merasa sangat tersentuh karena di beberapa bagian dari kotbahnya itu, pastor Amandus dengan lantang dan berani berkata bahwa semua orang yang pernah bertugas di Papua, kebetulan saya pernah dua kali mendapat tugas mengajar di Abepura Papua, agar demi akal sehat, demi hati nurani, berbuatlah sesuatu, berserulah untuk membela persoalan kemanusiaan ini. Dan untuk itu kita jangan takut, karena Tuhan Yesus sendiri yang menyuarakan hal itu. Saat saya mendengar seruan itu, saya menjadi sangat terharu. Diam-diam dalam hati saya menjawab pertanyaan retoris beliau dengan mengiyakan semua yang telah ia kerjakan dengan dia. 

Saya harus dengan berani dan jujur mengatakan bahwa ketika saya dipanggil dan ditugaskan untuk mengajar di Papua, persisnya mengajar para frater di Abepura, STFT Fajar Timur, Abepura, Papua, tentu saja saya mengajar manusia, mengajar sesama imago Dei, the image of God, my brothers who, like me, have been created in the very image of God. Karena itu, saya pun datang dengan penuh hormat, cinta dan bakti yang sama yang telah saya tunjukkan di tempat tugas saya yang utama, yaitu di Fakultas Filsafat UNPAR, Bandung. 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...