Oleh: Fransiskus Borgias
Dosen Teologi Biblika pada FF-UNPAR, Bandung.
Pater
Cletus Groenen. Sebuah nama besar dalam dunia teologi, khususnya teologi
biblika di Indonesia. Ia adalah seorang dosen ilmu Kitab Suci pada Seminari
Tinggi, Kentungan, Yogyakarta. Ia adalah seorang imam Fransiskan. Ia berasal
dari negeri Belanda. Tetapi ia menamatkan sekolah Kitab Sucinya di Roma. Tetapi
bukan di Biblikum, juga bukan di Gregoriana, melainkan di Antonianum,
universitas milik para pater Fransiskan di Kota Abadi itu. sudah sejak tahun
50-an ia datang untuk berkarya di Indonesia. Mula-mula di Seminari Tinggi
Fransiskan di Cicurug, Sukabumi, tetapi kemudian di Seminari Tinggi Kentungan
Yogyakarta.
Sebenarnya
saya sendiri sudah pernah mendengar dan membaca sesuatu tentang nama Cletus
Groenen (selanjutnya akan disingkat CG saja) sejak saya masih duduk di bangku Seminari
Kecil dan Menengah Pius XII, Kisol, Manggarai Timur, Flores. Pada saat itu saya
membaca tentang dia dalam beberapa berita yang ada di dalam majalah mingguan
Hidup, ataupun juga dalam pelbagai tulisan dia yang muncul di dalam majalah
bulanan Rohani, juga dalam majalah spectrum dari KWI, juga dalam majalah
Orientasi, dan terutama sekali dalam buku-buku kitab suci yang dia tulis dalam
bidang Kitab Suci, baik yang terbit di Kanisius, maupun terutama yang terbit di
Nusa Indah, Ende, Flores.
Setelah
tamat dari Seminari Menengah Pius XII Kisol, saya masih melewatkan masa
pendidikan Postulant OFM di Biara Santo Yosef Pagal, Manggarai. Di sanalah,
selama satu tahun, saya semakin banyak mengenal pater CG lewat majalah bulanan
khusus intern keluarga OFM, yaitu Taufan yang asyik dan menghibur itu. Saya juga
bisa mengenal beliau melalui majalah dwi-bulanan keluarga Fransiskan, yaitu Perantau,
sebab beliau sering sekali menulis di sana tentang hal-hal yang berkaitan
dengan spiritualitas Fransiskan. Di postulant ini juga saya bisa mengenal
beliau lewat beberapa kepustakaan yang khas Fransiskan.
Hingga
tahun 1982, bulan Juli, saya masih belum sempat bertemu dengan dia secara
langsung, dari muka ke muka. Karena saya masih di Flores dan dia tinggal di
tanah Jawa, persisnya di kota Yogyakarta. Sampai saat itu saya juga tidak tahu
apakah ia pernah ke Manggarai. Yang jelas ialah bahwa pertemuan saya yang pertama
dengan beliau baru terjadi pada pertengahan bulan Juli 1982. Setelah selesai
dengan masa pendidikan postulant kami di Pagal selama satu tahun, saya dengan
teman-teman lalu ramai-ramai berangkat menuju ke Yogyakarta untuk memulai
pendidikan lanjutan kami yaitu di dalam novisiat Fransiskan di Biara Santo
Bonaventura, Yogyakarta.
Baru
pada saat itulah saya baru sempat bisa bertemu secara langsung dari muka ke
muka dengan beliau. Saat itu ia tinggal di biara santo Bonaventura, Jl.Legi
Papringan, No.7, Kotak Pos 29, Yogyakarta. Sehari-hari ia mengajar di Fakultas
Teologi di Seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta, dan juga di STKAT
Pradnyaparamita, Yogyakarta juga.
Sejak
pertama kali saya melihatnya secara langsung saya langsung kagum dan terkesan
sekali: Ia orangnya sangat serius, tekun, pekerja keras, matiraganya kuat
(makannya sedikit) yaitu ia hanya makan roti sepotong saja di pagi hari,
sedikit nasi di siang hari. Badannya sangat ramping (bahkan cenderung ke arah
kurus). Ia juga selalu mengenakan jubah hitamnya. Hidupnya serba sangat teratur
dan berirama. Yang sangat menarik perhatian saya ialah, walaupun dia seorang
imam, seorang doctor Kitab Suci, seorang dosen yang terkenal, toh ia setiap
hari mencuci pakaiannnya sendiri. Ia keringkan pakaiannya sendiri, pokoknya
semuanya, dengan cara digantung dengan gantungan di jendela kamarnya yang
terbuka kea rah taman bunga. Tampaknya tidak di setrika.
Ia
juga seorang perokok sejati. Tidak ada waktu yang tanpa merokok. Ia hanya
berhenti merokok kiranya saat ia tidur dan merayakan perayaan ekaristi dan
brevir. Pada saat makan, dia juga makan cepat dan sesudah itu ia merokok. Di
luar jam-jam itu ia merokok. Ia seorang perokok berat sudah bagaikan gerbong
atau lokomotif Kereta Api yang terur berjalan. Ia bangun pagi-pagi dan pergi
tidur larut malam, seperti kata pemazmur itu. Ia sangat rajin dan sangat tekun
membaca. Di meja kamarnya selalu ada buku tebal yang terbuka dan sedang
dibacanya dengan tekun.
Oleh
karena ia sangat suka merokok, maka ada banyak lubang-lubang kecil pada
jubahnya. Lubang-lubang kecil itu ada di mana-mana, karena pengaruh percikan
apir rokoknya sendiri. Ia juga seorang penasihat dan bapa rohani yang tegas dan
berwibawa, tetapi juga terkadang jenaka. Selama di masa novisiat saya lebih
dari tiga kali pergi meminta waktu dia untuk bimbingan rohani, berbicara dari
hati ke hati tentang masalah hidup doa dan hidup seksualitas dan tentang drama
jatuh cinta anak manusia.
Di
bagian lain saya akan menceritakan satu persatu momen-momen itu. tetapi di sini
saya lanjutkan dulu peristiwa perkenalan awal saya dengan beliau. Yang jelas,
tidak pernah sekalipun saya melihat dia mengenakan pakaian lain selain jubah.
Ia selalu berjubah. Jubah itu adalah pakaiannya sehari-hari, bukan hanya
sekadar pakaian formalitas untuk urusan liturgis kegerejaan dan kealtaran saja.
Sungguh-sungguh mengagumkan.
Pada
suatu kali, saya lupa persis kapan waktunya, saya melihat dia pergi keluar. Oh
ya bertepatan dengan hari ulang tahunnya. Pada saat itu ia mengenakan celana
panjang hitam dan baju atasan biru sangat muda (cenderung ke arah putih) dan
berlengan panjang. Bajunya itu ia masukin ke dalam celananya. Istilah kami di
Flores, khususnya di Manggarai, stell-in (lawannya stell-out). Entah diperoleh
dari mana istilah itu. pater CG tampak ramping sekali dan cakep juga. Malam itu
ia dijemput oleh seorang bule. Jauh di kemudian hari saya baru tahu bahwa itu
tidak lain adalah Pater Dr.Bernhard Kiesser SJ, dosen teologi Moral di seminari
Tinggi Kentungan, Yogyakarta.
Saya mendapat
penjelasan dari para senior bahwa konon mereka pergi makan di sebuah restoran
karena pada hari itu pater CG sedang merayakan hari ulang tahunnya. Belakangan
juga saya diberitahu bahwa hanya Pater Bernhard Kiesser sajalah yang bisa
mengajak pater CG pergi keluar untuk makan di restoran dengan mengenakan busana
sipil (non-jubah). Tetapi itupun tidak pada sembarang waktu. Melainkan hanya
pada kesempatan ulang tahunnya saja.
Konon
tidak pernah ada vicaris dan kemudian provincial OFM yang bisa membujuk atau
mengajak pater CG untuk pergi keluar dengan mengenakan busana sipil, seperti
yang bisa dilakukan oleh Pater Kiesser. Maklum, pater Kiesser, konon, dulu
adalah mahasiswa kesayangan pater CG, dan hubungan yang baik itu masih terus
berlangsung bahkan setelah pater Kiesser sendiri juga sudah menjadi dosen
teologi Moral di Seminari Tinggi Kentungan. Ah, pater CG yang unik, nyentrik,
eksentrik.
No comments:
Post a Comment