Oleh: Fransiskus Borgias M.
Jean Paul Sartre, sastrawan, dan
filsuf eksistensialis Prancis yang terkenal itu, pernah juga menulis sebuah
naskah drama Natal. Hal itu ia lakukan pada masa Perang Dunia Kedua sedang
berlangsung dengan sengitnya di Eropa. Pada saat itu, Jerman (Nazi) sedang
menyerbu dengan penuh nafsu negara-negara lain tetangganya. Hal itu terjadi di
bawah masa pemerintahan Adolf Hitler, Der Fuehrer itu yang terkenal dengan Mein
Kampft-nya itu. Memang judul karyanya adalah sebuah drama Natal. Tetapi
sesungguhnya yang menarik perhatian Sartre di dalam naskah drama Natal itu
bukanlah peristiwa Natal itu sendiri. Focus perhatian dia jauh sekali dari
peristiwa Natal itu. Ia hanya memakai peristiwa Natal sebagai konteks historis
bagi drama yang ia tulis. Yang pasti Natal itu sendiri tidak sangat menarik
bagi Sartre yang pada saat itu sudah mengakui diri sebagai seorang ateis,
walaupun oleh neneknya di masa kecilnya ia dibesarkan secara Katolik dan dalam
tradisi Katolik Prancis yang kental dan kuat.
Di dalam naskah drama itu Sartre
justru tertarik pada satu fakta yang lain sama sekali. Yaitu Negeri Kanaan
(negara Israel modern dewasa ini) diserbu dan dikuasai oleh bala tentara
Kekaisaran Roma. Di dalam naskah itu Sartre mengecam peristiwa penyerbuan dan
pendudukan itu oleh bala tentara Roma. Jadi, Sartre menempatkan konteks
historis dramanya jauh di masa silam, pada masa-masa awal jaman Perjanjian
Baru, Common Era, Christ Event, Anno Domini, Tahun Masehi.
Tentu saja para pembaca dan
penonton sama sekali tidak akan keliru di dalam menafsirkan dan memahami maksud
dari drama Natal ini. Sesungguhnya Sartre mau mengecam penyerbuan dan
pendudukan yang dilakukan oleh Jerman kepada negara-negara lain yang ada di
sekitarnya. Dalam kasus Sartre tentu saja ialah pendudukan dan penyerbuan oleh
Jerman terhadap Prancis. Jadi, boleh dikatakan bahwa matanya sebagai penulis
drama memang sedang memandang ke masa silam, tetapi hatinya justru sedang ada
di sini, sedang memandang ke masa kini, sekarang dan di sini (hic et nunc).
Dengan cara penulisan seperti
ini, Sartre sebenarnya mau menghindari sebuah konfrontasi dan konflik. Ia tidak
mau secara frontal mengecam Jerman. Sebab hal itu pasti akan sangat berbahaya
bagi hidup Sartre sendiri. Tetapi harus ada kritik dan kecaman yang keras. Maka
apa yang dibuat Sartre ialah menengok ke masa silam dan di sana ia menemukan
kisah yang kurang lebih sama dengan apa yang sedang terjadi secara nyata
sekarang dan di sini. Melalui pengolahan ulang atas cerita itu ia menyampaikan
pesan dan kritik politiknya untuk dan pada masa kini. Informasi singkat tentang
hal ini dapat dibaca di dalam buku dari Prof.Kees Bertens, Filsafat Barat Abad
XX, Jilid 2, Prancis (Jakarta, Gramedia: 1996). Informasi khusus tentang drama
Natal ini ada dalam halaman 85.
Ketika menulis tentang hal ini
saya tiba-tiba teringat akan beberapa gejala lain yang kurang lebih seperti itu
yang saya temukan di dalam Kitab Suci Yudeo-Kristiani. Di sana, di dalam Kitab
Suci itu ada dua pengarang juga yang memakai metode yang sama. Yang pertama
ialah Daniel dan yang kedua ialah Pengarang kitab Ruth. Sejauh yang saya
ketahui, kitab Daniel itu ditulis atau muncul kurang lebih dua abad sebelum
Masehi. Kita semua tahu bahwa pada kurun dua abad sebelum Masehi itu, negeri
Kanaan (Israel) sedang berada di bawah himpitan dan tekanan pergerakan budaya
dan agama Helenis. Terutama di bawah pemerintahan raja Antiokhus Epifanes dari
Syria, maka orang-orang Israel di tanah Kanaan dipaksa untuk meninggalkan
tradisi agama leluhurnya dan menjadi penganut agama Helenisme, sebab itulah
yang menjadi cita-cita dasar dari pergerakan Helenisme yang mulai dicanangkan
oleh Alexander Agung itu dan diteruskan lebih lanjut oleh para panglima
perangnya.
Orang-orang Israel menjadi sangat
menderita di bawah tekanan dan himpitan kekejaman militer dan terutama
religious yang dilakukan oleh Antiokhus Epifanes. Terhadap tekanan itu
muncullah pemberontakan kaum Makabe, yang memang untuk sementara waktu bisa
mempertahankan kedaulatan Israel, tetapi akhirnya juga kalah. Berbeda dengan
kaum Makabe, yang mengangkat senjata di bawah pimpinan Yudas Makabe itu, nabi
Daniel menempuh sebuah jalan pendekatan yang lain. Ia mengecam dan mengeritik
kebijakan sang raja itu, tetapi ia lakukan hal itu tidak secara langsung dan
frontal. Melainkan ia menempatkan setting atau latar belakang ceritanya jauh ke
masa silam, yaitu kea bad keenam ataupun kelima sebelum Masehi, di bawah masa
pemerintahan Nebukadnezar.
Kekejaman Raja inilah yang ia
lukiskan dan juga menubuatkan bahwa akan segera tiba saatnya untuk menjadi
hancur dan runtuh. Sedangkan Israel akan menjadi selamat dan hal itu
dilambangkan dengan tidak terbakarnya tiga pemuda Israel itu yang dihukum di
dalam tanur api. Mereka tidak terbakar sama sekali karena mereka dilindungi
oleh Malaekat, sehingga saat raja mengintip ke dalam tanur api itu, ia melihat
ada empat orang, padahal ia hanya menjebloskan tiga orang saja. Dengan cara
menempatkan setting cerita jauh ke masa silam, maka penguasa politik saat ini
yang lalim dan kejam tidak bisa menjadi tersinggung sama sekali. Kalaupun toh
ia tersinggung, Nabi Daniel bisa membela diri dengan mengatakan bahwa cerita
yang ia susun bukanlah tentang dia melainkan tentang seseorang yang lain di
masa silam. Titik. Beres. Habis perkara.
Pengarang yang lain ialah
pengarang kitab Rut. Sesungguhnya orang ini adalah orang yang hidup pada masa
Ezra dan Nehemia yang ditugaskan oleh Cyrus untuk membangun kembali Bait Allah
di Yerusalem. Ketika Ezra melaksanakan tugas itu, ia juga melakukan semacam
aksi pemurnian etnis. Caranya? Dengan menyuruh semua orang Israel yang kawin
campur dengan orang bukan Israel agar segera menceraikan isteri-isteri mereka.
Tentu saja hal itu amat menyedihkan. Maka muncullah penulis kitab Rut. Pesan
pokok Rut hanya satu: Orang asing juga ada yang baik. Beristerikan orang asing
tidak selalu merupakan hal yang tercela sama sekali. Buktinya? Ya si Rut itu.
Rut adalah seorang perempuan Moab, jadi seorang Kafir. Tetapi ia berjanji setia
kepada Naomi, sang ibu Mertua dan akhirnya kembali ke Betlehem dan menikah
dengan Boaz di sana, dan itulah cikal-bakal leluhur Raja Daud yang terkenal
itu. (Tentang Rut ini saya sudah membuat catatan yang lebih panjang di tempat
yang lain).
Selain dengan cara seperti di
atas tadi, ada juga pengarang lain yang memakai cara atau pendekatan yang lain.
Misalnya dengan memakai fable. Memakai dunia binatang sebagai sindiran pedas
kepada manusia. Mochtar Lubis memakai cara seperti ini. Hal itu tampak sangat
jelas di dalam novelnya yang sangat menarik, Harimau-harimau. Lubis sebenarnya
mengecam lawan politiknya yaitu Soeharto, sang arsitek dan penguasa Orde Baru. Harimau
itu menjadi musuh bersama-sama para pencari kulit kayu manis di hutan. Ada
seorang tokoh yang disebut Pak Dhe. Nah Pak Dhe ini mengembangkan sebuah narasi
tentang harimau dan tentang takut akan harimau. Ia juga mengatakan bahwa hanya
dia saja yang bisa mengatasi harimau karena dia saja yang jago menembak di
kampung mereka. Hal itu orang percayai, karena hanya dia saja yang mempunyai
senapan dan terbiasa memegang senapan itu. hal itu berlangsung sampai terbukti
bahwa hal itu tidak benar. Maka sejak saat itu, otoritas Pak Dhe pun runtuh.
No comments:
Post a Comment