Oleh: Fransiskus Borgias
Beberapa
waktu yang lalu saya menulis tentang daya kekuatan imajinasi anak manusia yang
dalam ungkapan Murray Bodo, seorang sastrawan kefransiskanan Amerika Serikat,
dikatakan mempunyai daya kekuatan yang luar biasa untuk merekam dan menyimpan
ingatan manusia akan sejarah, sehingga ia bisa menjadi sebuah alternative bagi
sejarah itu sendiri. Bagi orang seperti Murray Bodo, daya ingat imajinasi
manusia bisa menjadi sebuah alat bantu untuk mengingat dan menyimpan. Dengan konsep
seperti itulah Murray Bodo pun menulis dua buah karya fiksi yang indah. Yang
satu tentang Fransiskus dari Asisi, untuk mencoba mengingat dan merekam
pelbagai hal tentang tokoh agung itu. Yang lain ialah tentang Clara dari Asisi,
juga untuk mencoba mengingat dan merekam pelbagai hal tentang tokoh agung itu.
Rupanya
di dalam sejarah ada banyak juga orang yang mempunyai pandangan dan keyakinan
seperti itu. Ya, tidak hanya Murray Bodo saja yang mempunyai pengalaman dan
kesaksian tentang daya kekuatan imajinasi manusia untuk menyimpan dan mengingat
sejarah masa silam. Orang seperti Paul Meier, yang menulis sebuah buku yang
menjadi best-seller internasional, yang berjudul Pontius Pilatus, juga
mempunyai pengalaman yang kurang lebih sama. Pada saat menulis buku Pontius
Pilatus tadi, ia mencoba menggali pelbagai macam catatan sejarah Roma, juga
catatan-catatan dan informasi yang ada di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dan
juga pelbagai macam catatan-catatan yang lainnya.
Lalu
Meier dengan kepiawaian seorang sejarawan mencoba merangkai semua informasi
dari semua sumber itu tentang Pontius Pilatus. Ia mula-mula mencoba mengikuti
informasi yang ada di dalam catatan-catatan sejarah Roma. Kalau ada catatan dan
rekaman yang putus di dalam untaian sejarah itu, ia coba rujuk ke informasi
dari Kitab Suci dan juga dari catatan-catatan sejarah yang lain. Jadi,
pokoknya, semua catatan ia pakai secara silang untuk saling melengkapi dan
memperkaya. Kalau di dalam upaya persilangan itu, masih ada titik-titik yang
putus ataupun kabur, maka di situlah ia mencoba mengisinya dengan daya
imajinasinya. Seperti halnya Murray Bodo, Paul Meier pun sangat yakin bahwa
daya khayal, daya imajinasi manusia bisa dengan satu dan lain cara menurut alur
logikanya sendiri mengisi kekosongan dan keterputusan itu.
Nah
dengan cara itu maka terangkailah kisah yang utuh dan indah mengenai Pontius
Pilatus dalam dua jilid buku yang tebal. Sebagai contoh mengenai keterputusan
dan kekaburan historis itu, misalnya ialah demikian: injil-injil dan sejarah
Roma tidak memberi informasi sama sekali kepada kita bagaimana akhir dari karya
Pontius Pilatus yang terlibat di dalam peristiwa dramatis sejarah, yaitu
penyaliban Yesus Kristus itu. Jelas, di sana ada sebuah kekosongan informasi
yang sangat besar. Paul Meier tidak membiarkan kekosongan itu menganga lebar,
melainkan ia mencoba mengisinya dengan sebuah upaya kreatif yang menarik. Di dalam
imajinasi Paul Meier diceritakan bahwa Pontius Pilatus akhirnya kembali ke
Roma, dan saya kira itu sesuatu yang wajar saja, karena dia memang orang Roma.
Itu sebuah logika yang wajar-wajar saja, mudik, kembali ke kampung asal setelah
selesai melaksanakan tugas bakti bagi bangsa dan negara.
Tetapi
tidak berhenti di sana. Setelah ia pension dari dinas pemerintahan dan
kemiliteran Kekaisaran Roma, akhirnya ia menjadi seorang pengikut Yesus
Kristus, menjadi seorang Kristianoi (Christianoi, Kis 11:26). Tetapi bagaimana
hal itu mungkin terjadi? Menurut daya imajinasi Paul Meier, putusan itu bukan
sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba begitu saja. Melainkan hal itu terjadi
melalui beberapa proses persiapan dan perjuangan serta pengalaman batin yang
panjang. Mana saja tahap-tahap persiapan itu?
Kiranya
di sini bisa disebutkan empat macam atau tahap persiapan personal historis yang
dialami dan dilewati oleh Pontius Pilatus. Pertama, hal itu tampak dengan
sangat kuat, sebagaimana dipersaksikan di dalam Kisah Sengsara di dalam
Perjanjian Baru, dalam sikap dan keengganan Pontius Pilatus untuk menghukum
Yesus. Keempat injil mencatat dengan jeli bahwa sesungguhnya Pilatus dengan
caranya sendiri berusaha membebaskan Yesus dari ancaman hukuman. Bahkan ia juga
beberapa kali menegaskan di hadapan orang banyak yang mabuk agama, bahwa orang
ini sama sekali tidak bersalah. Kalaupun toh dia bersalah, ya salahnya tidak
pantas untuk dijatuhi hukuman mati. Kedua, ada campur tangan sang isteri untuk
tidak usah terlibat di dalam urusan orang itu. Konon campur tangan sang isteri
itu didapat oleh sang isteri dari sebuah mimpi yang sangat mengganggu tidurnya.
Mungkin karena itulah maka Pilatus secara harfiah meminta air dan mencuci
tangannya dan kemudian juga secara public menyatakan bahwa ia tidak bertanggung
jawab atas darah orang ini. Terhadap pernyataan itu, orang-orang yang mabuk
agama pun berteriak-teriak bahwa biarlah darah orang ini ditimpakan ke atas
diri kami.
Ketiga,
Pontius Pilatus pension setelah lewat beberapa tahun dari proses penyaliban
ngeri itu di Yerusalem. Dan dalam rentang waktu beberapa tahun itu,
berkembanglah sebuah keyakinan religious baru yang tersebar ke mana-mana, mulai
dari Yerusalem hingga ke Yudea, dan Samaria dan akhirnya ke seluruh dunia,
sebuah gerak sentrifugal yang sangat kuat dan dahsyat sekali. Pontius Pilatus pulang
ke Roma dengan menempuh perjalanan darat mengikuti fasilitas jalan raya Roma.
Nah di dalam perjalanan pulang itulah, betapa ia sangat terkejut bahwa cerita
tentang tokoh Yesus itu sudah tersebar ke mana-mana ke seluruh “dunia” pada
saat itu. nah cerita-cerita yang ia dengar tentang Yesus dalam perjalanan
pulang ke Roma lewat jalan darat, juga ikut menentukan di dalam proses dia di
Roma kelak untuk mengambil keputusan. Keempat, di dalam perjalanan itu ke Roma
itu, konon Pontius Pilatus juga mengalami sebuah perjumpaan personal di suatu
kota. Mungkin saja ia bertemu dengan Paulus di Antiokhia, yang memang telah
dijadikan oleh Paulus sebagai base-camp bagi aktifitas misioner dan
pewartaannya ke seluruh Asia Kecil dan juga akhirnya ke Eropa.
Saya
harus menambahkan factor kelima (yang tidak ada di dalam buku Paul Meier). Factor
kelima ialah, factor perjumpaan Pontius Pilatus sendiri dengan Yesus Kristus. Terkait
dengan ini, kiranya injil Yohanes mempunyai bantuan yang sangat kuat. Di sana
Yohanes mencatat sebuah proses pengadilan yang sangat intensif yang dilakukan
oleh Pontius Pilatus atas Yesus. Dan Yohanes tidak lupa mencatat bahwa di dalam
salah satu untaian proses pengadilan itu, Pontius Pilatus mengakhiri salah satu
sesi tanya jawabnya dengan sebuah pertanyaan retoris yang sangat terkenal: apa
itu kebenaran? Di dalam peristiwa pengadilan itu sendiri, tampak bahwa untuk
sementara Pilatus tidak atau belum membutuhkan jawaban. Itu sebabnya Yohanes
langsung pindah ke adegan selanjutnya. Tetapi saya dapat membayangkan bahwa
betapa pertanyaan retoris yang menggantung itu, akan selalu mengganggu suara
hati Pontius Pilatus: apa itu kebenaran? Siapa itu kebenaran? Di mana kebenaran
itu dapat dijumpai?
Menurut
Paul Meier, semua keempat poin itu ikut membantu dalam proses pertobatan
Pontius Pilatus saat ia sudah tiba di Roma. Menarik sekali cara Paul Meier
mengakhiri ceritanya di dalam buku itu. Pontius Pilatus sukses sebagai gubernur
di Galilea, dank arena itu ia dengan kepala tegak bisa kembali ke Roma, dan di
Roma ia menikmati masa pension yang enak dan nyaman sebagai seorang Kristiani,
seorang pengikut Kristus di Roma. Luar biasa bukan?
Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci, Santo Hieronimus Keuskupan Bandung.
No comments:
Post a Comment