Wednesday, June 24, 2020

PAUL MEIER: PONTIUS PILATUS

Oleh: Fransiskus Borgias



Beberapa waktu yang lalu saya menulis tentang daya kekuatan imajinasi anak manusia yang dalam ungkapan Murray Bodo, seorang sastrawan kefransiskanan Amerika Serikat, dikatakan mempunyai daya kekuatan yang luar biasa untuk merekam dan menyimpan ingatan manusia akan sejarah, sehingga ia bisa menjadi sebuah alternative bagi sejarah itu sendiri. Bagi orang seperti Murray Bodo, daya ingat imajinasi manusia bisa menjadi sebuah alat bantu untuk mengingat dan menyimpan. Dengan konsep seperti itulah Murray Bodo pun menulis dua buah karya fiksi yang indah. Yang satu tentang Fransiskus dari Asisi, untuk mencoba mengingat dan merekam pelbagai hal tentang tokoh agung itu. Yang lain ialah tentang Clara dari Asisi, juga untuk mencoba mengingat dan merekam pelbagai hal tentang tokoh agung itu.

Rupanya di dalam sejarah ada banyak juga orang yang mempunyai pandangan dan keyakinan seperti itu. Ya, tidak hanya Murray Bodo saja yang mempunyai pengalaman dan kesaksian tentang daya kekuatan imajinasi manusia untuk menyimpan dan mengingat sejarah masa silam. Orang seperti Paul Meier, yang menulis sebuah buku yang menjadi best-seller internasional, yang berjudul Pontius Pilatus, juga mempunyai pengalaman yang kurang lebih sama. Pada saat menulis buku Pontius Pilatus tadi, ia mencoba menggali pelbagai macam catatan sejarah Roma, juga catatan-catatan dan informasi yang ada di dalam Kitab Suci Perjanjian Baru, dan juga pelbagai macam catatan-catatan yang lainnya.

Lalu Meier dengan kepiawaian seorang sejarawan mencoba merangkai semua informasi dari semua sumber itu tentang Pontius Pilatus. Ia mula-mula mencoba mengikuti informasi yang ada di dalam catatan-catatan sejarah Roma. Kalau ada catatan dan rekaman yang putus di dalam untaian sejarah itu, ia coba rujuk ke informasi dari Kitab Suci dan juga dari catatan-catatan sejarah yang lain. Jadi, pokoknya, semua catatan ia pakai secara silang untuk saling melengkapi dan memperkaya. Kalau di dalam upaya persilangan itu, masih ada titik-titik yang putus ataupun kabur, maka di situlah ia mencoba mengisinya dengan daya imajinasinya. Seperti halnya Murray Bodo, Paul Meier pun sangat yakin bahwa daya khayal, daya imajinasi manusia bisa dengan satu dan lain cara menurut alur logikanya sendiri mengisi kekosongan dan keterputusan itu.

Nah dengan cara itu maka terangkailah kisah yang utuh dan indah mengenai Pontius Pilatus dalam dua jilid buku yang tebal. Sebagai contoh mengenai keterputusan dan kekaburan historis itu, misalnya ialah demikian: injil-injil dan sejarah Roma tidak memberi informasi sama sekali kepada kita bagaimana akhir dari karya Pontius Pilatus yang terlibat di dalam peristiwa dramatis sejarah, yaitu penyaliban Yesus Kristus itu. Jelas, di sana ada sebuah kekosongan informasi yang sangat besar. Paul Meier tidak membiarkan kekosongan itu menganga lebar, melainkan ia mencoba mengisinya dengan sebuah upaya kreatif yang menarik. Di dalam imajinasi Paul Meier diceritakan bahwa Pontius Pilatus akhirnya kembali ke Roma, dan saya kira itu sesuatu yang wajar saja, karena dia memang orang Roma. Itu sebuah logika yang wajar-wajar saja, mudik, kembali ke kampung asal setelah selesai melaksanakan tugas bakti bagi bangsa dan negara.

Tetapi tidak berhenti di sana. Setelah ia pension dari dinas pemerintahan dan kemiliteran Kekaisaran Roma, akhirnya ia menjadi seorang pengikut Yesus Kristus, menjadi seorang Kristianoi (Christianoi, Kis 11:26). Tetapi bagaimana hal itu mungkin terjadi? Menurut daya imajinasi Paul Meier, putusan itu bukan sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba begitu saja. Melainkan hal itu terjadi melalui beberapa proses persiapan dan perjuangan serta pengalaman batin yang panjang. Mana saja tahap-tahap persiapan itu?

Kiranya di sini bisa disebutkan empat macam atau tahap persiapan personal historis yang dialami dan dilewati oleh Pontius Pilatus. Pertama, hal itu tampak dengan sangat kuat, sebagaimana dipersaksikan di dalam Kisah Sengsara di dalam Perjanjian Baru, dalam sikap dan keengganan Pontius Pilatus untuk menghukum Yesus. Keempat injil mencatat dengan jeli bahwa sesungguhnya Pilatus dengan caranya sendiri berusaha membebaskan Yesus dari ancaman hukuman. Bahkan ia juga beberapa kali menegaskan di hadapan orang banyak yang mabuk agama, bahwa orang ini sama sekali tidak bersalah. Kalaupun toh dia bersalah, ya salahnya tidak pantas untuk dijatuhi hukuman mati. Kedua, ada campur tangan sang isteri untuk tidak usah terlibat di dalam urusan orang itu. Konon campur tangan sang isteri itu didapat oleh sang isteri dari sebuah mimpi yang sangat mengganggu tidurnya. Mungkin karena itulah maka Pilatus secara harfiah meminta air dan mencuci tangannya dan kemudian juga secara public menyatakan bahwa ia tidak bertanggung jawab atas darah orang ini. Terhadap pernyataan itu, orang-orang yang mabuk agama pun berteriak-teriak bahwa biarlah darah orang ini ditimpakan ke atas diri kami.

Ketiga, Pontius Pilatus pension setelah lewat beberapa tahun dari proses penyaliban ngeri itu di Yerusalem. Dan dalam rentang waktu beberapa tahun itu, berkembanglah sebuah keyakinan religious baru yang tersebar ke mana-mana, mulai dari Yerusalem hingga ke Yudea, dan Samaria dan akhirnya ke seluruh dunia, sebuah gerak sentrifugal yang sangat kuat dan dahsyat sekali. Pontius Pilatus pulang ke Roma dengan menempuh perjalanan darat mengikuti fasilitas jalan raya Roma. Nah di dalam perjalanan pulang itulah, betapa ia sangat terkejut bahwa cerita tentang tokoh Yesus itu sudah tersebar ke mana-mana ke seluruh “dunia” pada saat itu. nah cerita-cerita yang ia dengar tentang Yesus dalam perjalanan pulang ke Roma lewat jalan darat, juga ikut menentukan di dalam proses dia di Roma kelak untuk mengambil keputusan. Keempat, di dalam perjalanan itu ke Roma itu, konon Pontius Pilatus juga mengalami sebuah perjumpaan personal di suatu kota. Mungkin saja ia bertemu dengan Paulus di Antiokhia, yang memang telah dijadikan oleh Paulus sebagai base-camp bagi aktifitas misioner dan pewartaannya ke seluruh Asia Kecil dan juga akhirnya ke Eropa.

Saya harus menambahkan factor kelima (yang tidak ada di dalam buku Paul Meier). Factor kelima ialah, factor perjumpaan Pontius Pilatus sendiri dengan Yesus Kristus. Terkait dengan ini, kiranya injil Yohanes mempunyai bantuan yang sangat kuat. Di sana Yohanes mencatat sebuah proses pengadilan yang sangat intensif yang dilakukan oleh Pontius Pilatus atas Yesus. Dan Yohanes tidak lupa mencatat bahwa di dalam salah satu untaian proses pengadilan itu, Pontius Pilatus mengakhiri salah satu sesi tanya jawabnya dengan sebuah pertanyaan retoris yang sangat terkenal: apa itu kebenaran? Di dalam peristiwa pengadilan itu sendiri, tampak bahwa untuk sementara Pilatus tidak atau belum membutuhkan jawaban. Itu sebabnya Yohanes langsung pindah ke adegan selanjutnya. Tetapi saya dapat membayangkan bahwa betapa pertanyaan retoris yang menggantung itu, akan selalu mengganggu suara hati Pontius Pilatus: apa itu kebenaran? Siapa itu kebenaran? Di mana kebenaran itu dapat dijumpai?

Menurut Paul Meier, semua keempat poin itu ikut membantu dalam proses pertobatan Pontius Pilatus saat ia sudah tiba di Roma. Menarik sekali cara Paul Meier mengakhiri ceritanya di dalam buku itu. Pontius Pilatus sukses sebagai gubernur di Galilea, dank arena itu ia dengan kepala tegak bisa kembali ke Roma, dan di Roma ia menikmati masa pension yang enak dan nyaman sebagai seorang Kristiani, seorang pengikut Kristus di Roma. Luar biasa bukan?

 

Dosen Teologi Biblika pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Ketua Sekolah Kitab Suci, Santo Hieronimus Keuskupan Bandung.


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...