Saturday, June 6, 2020

CERPEN: MAMAKU SANG MENTARI TERBIT

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA. 

Namanya ialah Katharina. Dulu kami memanggilnya Mama Katharina. Sebab memang itulah nama mamaku. Nama lengkapnya ialah Katharina Bubur. Tentu saja Katharina adalah nama baptisnya (nama permandian, atau ngasang cebong dalam bahasa Manggarai). Sedangkan Bubur adalah “namanya yang sebenarnya” (terjemahan dari “ngasang tu’ung”) sebagai orang Manggarai. Ya, memang dalam tradisi bahasa dan orang Manggarai nama belakang itu biasanya disebut “ngasang tu’ung” (terjemahannya secara harafiah ialah, “nama yang sebenarnya”; tetapi hal itu bukan berarti bahwa nama baptis itu bukan nama yang sebenarnya. Itu juga nama yang sebenarnya. Tetapi nama dia sebagai orang Manggarai, itulah yang disebut ngasang tu’ung. Sedangkan nama dia sebagai orang Katolik, itulah nama baptisnya. Ah itu sebuah persoalan rumit yang tidak akan saya bisa dibahas tuntas dalam cerita pendek saya ini). 

Nah, walaupun nama dia ialah Bubur, tetapi anehnya, dan ini sangat menarik perhatian saya sejak masih kecil dulu, ia mempunyai nama kecil (ngasang koe, alit) Buet. Nama kecil Buet ini, atau alonim dalam bahasa antropologi budayanya, rupanya dibuat berdasarkan sebuah nama yang terdaftar saat ia masuk sekolah dasar di SDK Waemata. Konon pada saat itu ia terdaftar (atau lebih baik didaftarkan) sebagai Bubut. Entah, mengapa para guru mendaftarkan dia dengan nama Bubut dan bukan dengan nama Bubur. Nah, dari nama Bubut inilah muncul alonim (ngasang koe) Buet. Dan nama Buet inilah yang akhirnya kami hafal dan sangat ingat melekat dalam kalbu kami anak-anak dan juga para cucunya. Panggilan Buet ini menjadi semakin popular semenjak ayah kami pindah mengajar ke SDK Rangga dan tinggal di kampong halamannya di Dempol. 

Tetapi dulu pada waktu saya masih di SD, saya pernah dilanda rasa malu karena nama ibuku adalah Bubur. Memang dalam bahasa Manggarai, kata bubur itu sepertinya tidak ada artinya. Tetapi dalam bahasa Indonesia, Bubur itu artinya ya bubur. Seperti dalam kata pepatah Melayu kuno itu: nasi sudah jadi bubur. Maunya menanak nasi, tetapi gagal, karena terlalu banyak air, maka jadilah ia bubur. Dan bubur dalam bahasa Manggarai adalah lebo. Terkadang saya sedikit dengan diam-diam menyesali mengapa kakek dan nenek saya dulu memilih nama Bubur itu untuk puteri tunggal mereka yang cantik itu. Saya tidak habis pikir mengapa mereka memilih nama itu untuk anak perempuan mereka satu-satunya (bahkan juga anak satu-satunya). Tetapi hal itu saya tahan-tahan saja di dalam hatiku sendiri. Saya tidak mengungkapkannya kepada siapa pun juga. Bahkan juga kepada bapaku. Apalagi kepada mamaku. Juga kakak maupun adik-adikku. Saya diam-diam saja. 

 Sampai tiba pada suatu saat saya mengalami sebuah pengalaman penyingkapan yang terasa sangat luar biasa. Saya menyebutnya, saat pengalaman perwahyuan. Saya masih ingat hal itu terjadi pada sauatu kesempatan di rumah saat kami masih tinggal di SDK Lamba-Ketang. Entah bagaimana dalam sebuah pembicaraan di rumah kami di Ketang, ada percakapan antara saya dengan ema tua Alung. 

 Pada suatu sore hari ema tu’a Lando (ema Alung, kami tidak tahu namanya, tetapi Alung adalah nama isterinya, ende-tua Alung) datang berkunjung ke rumah. Biasanya kalau dia datang bertamu (lejong) kami ngobrol macam-macam hal. Kebanyakan dia bercerita tentang nostalgia saat dia dulu masih muda. Sampai pada suatu saat kami berbicara tentang nama orang-orang Manggarai. Pada kesempatan itulah saya sempat melontarkan rasa tidak senang saya pada kakek dan nenek saya di Wol karena mereka sudah memberi nama Bubur kepada ibu saya. Mendengar hal itu, si ema tua sempat terkejut. Lalu Ema tu’a Lando kemudian menatap saya dengan sangat serius. Ia lalu mengatakan demikian: 

 “Empo, tidak seharusnya kau memiliki perasaan seperti itu kepada kedua kakek dan nenekmu di Wol.” Begitu katanya memulai pembicaraannya yang ternyata sangat penting dan bermakna bagi saya. 

 Dengan sedikit rasa kesal saya sebagai seorang anak kecil merajuk dan merengek untuk meyakinkan ema tu’a Alung mengenai sikap dan pendapat saya tadi. Saya mengatakan kepada dia: 

 “Saya kesal karena mereka telah memberi nama Bubur kepada ibuku.” Begitu kataku mengaku di hadapan ema tu’a Alung. 

 “Dan teman-temanku, diam-diam menjadikan nama ibuku sebagai bahan olokan walaupun mereka tidak berani terang-terangan karena takut dimarahi ayahku yang adalah seorang guru sekolah dasar.” Kataku lagi lebih lanjut. Saya agak terdiam. Lalu aku melanjutkan lagi: 

 “Ema tu’a, tetapi sebagai anak kecil saya dapat merasakan bahwa mereka suka tertawa bila menyebut nama mamaku.” 

 Mendengar curahan hatiku itu, ema tua lando pun memulai pengajarannya. “Nana Frans, kamu tahu apa artinya bubur dalam bahasa Manggarai?” Tentu saja saya menggelengkan kepalaku. 

Lalu ia mengatakan: “Bubur itu mempunyai akar kata bur. Dan bur itu artinya matahari terbit, bur leso, ya mentari terbit” (Verheijen, p.61). Untuk membela diri saya mengatakan: “Yang saya ketahui ialah hanya ungkapan par leso. Baru sekarang inilah saya tahu istilah bur leso itu.” 

 Lalu Ema tu’a Lando mengatakan: “Par leso dan bur leso itu sama nana.” Tetapi saya membantah lagi: “Itukan bur e ema tu’a, bukan bubur.” Lalu ema tua lando mengatakan: “Bu-bur itu, nana, adalah tahap yang sedikit lebih awal dari bur atau par itu.” Begitu penjelasan si ema tua. “Sedangkan kalau par dan bur itu artinya kita sudah melihat berkas-berkas sinar mentari pagi. Bu-bur itu barulah percikan-percikan awal. Masih samar-samar di ufuk timur.” 

Terus terang saja, saya menjadi sangat kagum mendengar hal itu. Ia melanjutkan dengan penjelasan yang membuat saya semakin kagum lagi. 

 “Nana Frans e, mungkin saja kakek dan nenekmu dulu sangat mengharapkan kelahiran seorang anak. Dan begitu sang anak itu lahir, ia bagaikan matahari yang terbit, bur, bu-bur, di tengah keluarga.” 

 Kemudian dengan sangat yakin ema tu’a Lando mengatakan: 

 “Saya sangat yakin bahwa ia adalah anak yang sangat dinantikan. Maka tidak mengherankan bahwa saat anak itu lahir, mereka tidak segan menyamakannya dengan matahari terbit, bur leso, bahkan tahap lebih dini dari bur leso itu, bu-bur leso.” 

 Saya sangat kagum mendengar penjelasan itu dari ema tu’a dari Lando tersebut. Saya mendapat pengetahuan baru. Saya mendapat sebuah pencerahan baru. Saya merasa seperti ada sebuah peningkatan di dalam pengertian dan pemahaman saya akan sesuatu, terutama akan Manggarai itu sendiri. 

 Maka sejak saat itu, saya tidak lagi merasa malu memiliki nama ibu Katharina Bubur. Sebab walaupun nama itu dalam bahasa Indonesia ia mempunyai arti yang lain sama sekali, tetapi dalam bahasa Manggarai, ia mempunyai arti yang sangat istimewa karena dikaitkan dengan proses terbitnya cahaya mentari pagi yang membawa sinar terang untuk segala makhluk hidup di muka bumi ini. 

 Setelah mendengar penjelasan itu, saya ditimpa rasa bersalah karena sudah pernah menyesalkan kenapa kakek dan nenek memberi nama seperti itu kepada mama saya. Tetapi setelah mendapat penjelasan itu, maka seluruh pemahaman saya berubah. Bahkan sekarang dengan penuh nostalgia dan kasih sayang saya lalu membayangkan betapa bahagianya kakek dan nenek dulu saat anak wanita mereka (ya anak mereka satu-satunya) terlahir ke dunia ini. Saya bisa memahami mengapa mereka menamainya dengan merujuk ke peristiwa agung-kosmis, terbitnya mentari pagi. 

 Jauh di kemudian hari, setelah saya semakin banyak belajar dan membaca di seminari, saya akhirnya tahu bahwa fase-fase awal sebelum matahari terbit dalam bahasa Latin disebut aurora. Maka terkadang saya menyebut nama mamaku, Katharina Aurora (Latin) alis Bubur (dalam bahasa Manggarai). Betapa cantiknya nama Bubur itu, sebab Bubur itu adalah Aurora, saat detik-detik awal sang mentari dibayangkan terbang ke atas dari balik bumi dan sebelum ia benar-benar tampak terbit di timur percik-percik cahayanya (aurora) sudah tiba duluan. Percik-percik cahaya yang tiba duluan itulah yang disebut aurora atau bubur dalam bahasa Manggarai. Jadi, mama Katharina adalah sang cahaya mentari dalam hidup keluarga kakek dan nenekku dan tentu saja dalam hidup kami anak-anak semuanya. Sebab dari sang Aurora, sang Bubur itu terlahirlah kami anak sebelas orang, dengan komposisi enam perempuan dan lima laki-laki. Sungguh mengagumkan dan menyenangkan membayangkan semuanya itu. Saya bayangkan mama Cathy Buet tersenyum membaca ungkapan hati anaknya ini. Terima kasih mama. Engkaulah cahaya matahari dalam hidup kami semua. 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...