Sunday, June 7, 2020

CERPEN: BERDAMAI DENGAN HUTAN (HAMBOR AGU PUAR)

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.

 

Saat itu saya sedang duduk di bangku kelas 2 SDK Lamba-Ketang. Musim kering pada tahun itu sangat panjang. Hujan lama sekali tidak turun-turun. Maka semua orang mengalami gagal panen pada tahun itu. Maka datanglah kelaparan yang ngeri yang melanda daerah itu. Rasanya seluruh Manggarai ditimpa masa kelaparan. Maka orang-orang pun pada ditimpa busung lapar. Terutama sekali anak-anak. Benar-benar menyedihkan. Tidak ada lagi panen di kebun. Tidak ada jagung. Tidak ada padi di sawah. Ubi pun (baik ubi kayu atau singkong maupun ubi tatas atau ubi jalar) sudah mulai menipis persediaannya di dalam tanah di kebun masing-masing. Benar-benar orang sedang menghadapi situ kelaparan yang mengerikan.

Pada saat-saat seperti itu, tidak ada jalan lain bagi orang-orang selain, mereka pergi ke dalam hutan. Memang hutan itu dikenal sebagai meja makan umum, atau dalam Bahasa kerennya, mensa communis. Memang di wilayah hutan itu pasti ada makanan. Tetapi untuk pergi mengambil dan mencarinya orang tidak masuk sembarangan saja. Untuk itu harus ada ritual memohon ijin. Orang harus melakukan ritual memohon ijin terlebih dahulu. Hutan itu ada yang punya. Di hutan itu ada penunggunya. Hutan itu ada pemiliknya. Begitulah kepercayaan orang-orang di Kampung di sekitar sekolah kami. Hutan itu juga adalah sebuah wilayah yang suci dan penuh misteri. Hutan adalah sebuah wilayah yang terlarang. Oleh karena itu, hutan tidak boleh dimasuki sembarangan saja. Hutan adalah milik orang di seberang sana  (ata pele sina). Seperti sudah ada pembagian kerja dan wilayah kuasa kerja antara manusia dan mereka yang di seberang sana. Manusia mengolah kebun. Mereka bekerja di kebun. Mereka menggarap hutan. Mereka bekerja di hutan. Tetapi di saat bencana masa kelaparan seperti ini, orang-orang terpaksa akan ke hutan.

Saat itu saya punya seorang teman. Temanku itu bernama Rofinus. Lengkapnya Rofinus Patut. Temanku Rofinus, pada suatu kali ia bolos sekolah. Tidak ada penjelasan dan pemberitahuan mengenai alasan mengapa ia tidak masuk sekolah. Bahkan pada hari itu semua anak dari kampung itu tidak masuk sekolah. Aneh sekali rasanya. Saya pun bertanya dalam hati, “Ada apa ya?” “Mengapa sampai begitu?” saya tidak segera mendapat jawaban dan penjelasan. Temanku Rofinus bahkan tidak masuk sekolah dua hari berturut-turut. Ia bolos tanpa kabar. Ia tidak masuk tanpa pemberitahuan sama sekali. Hanya di malam hari menjelang besoknya Rofinus dan kawan-kawan tidak masuk sekolah, dari kejauhan saya mendengar orang-orang memukul gong dan gendang. Dan saya dengar itu dari arah kampung mereka yang terletak di lembah. Tetapi malam itu, tidak begitu jelas bagi saya, mengapa gong dan gendang itu dipukul di kampung itu.

Karena biasanya tidak sembarangan saja orang membunyikan benda-benda keramat itu. Ya gong dan gendang memang dianggap sebagai salah satu benda keramat yang ada di mbaru gendang (rumah gendang) di sebuah kampung. Sebab orang-orang meyakini, bahwa bebunyian dari gong dan gendang itu mengandung daya magis yang bisa memiliki daya kekuatan untuk memanggil roh dan arwah para leluhur. Konon saat mendengar bebunyian itu, mereka akan datang untuk masuk ke dalam kampung. Mereka ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di kampung itu. Itu sebabnya, saya selalu merasa sangat serem apabila mendengar bunyi gong dan gendang itu di malam hari. Kecuali kalau ada perkawinan. Ya, kalau ada pesta perkawinan tradisional (yaitu wagal), maka itu sudah jelas dan beres. Kalau tidak ada alasan yang jelas, maka hal itu rasanya ngeri sekali. Saya membayangkan di pintung gerbang (lewang) kampung itu berkumpul banyak sekali roh dan arwah para leluhur yang datang dan ingin masuk ke kampung itu untuk menyaksikan pesta bebunyian gong dan gendang tersebut. Itulah religious imagination yang muncul dalam benak saya sebagai anak-anak ketika itu.

Apa pun itu, yang jelas ialah bahwa memang kelaparan telah mulai mengancam hidup manusia. Di kampung, lumbung-lumbung sudah kosong. Persediaan makanan sudah tidak ada lagi. Setelah rofinus datang sekolah lagi saya bisa bertanya secara langsung kepada dia mengenai alasan dia tidak datang ke sekolah beberapa hari sebelumnya.

“Kamu ke mana saja e Finus?”

Dengan berbisik-bisik dia menjawab pertanyaan saya itu:

“Manga pandeg ami wa beo e.” (Kami ada bikin sebuah ritual di kampung). Begitu jawab yang ia berikan kepada saya.

“Ritual apa?” tanya saya lagi lebih lanjut kepada dia.

“Ritual mohon ijin ke hutan.”

“Kok pakai mohon ijin segala?”

“Ia e, karena hutan itu bukan wilayah kita. Tetapi wilayah data pele sina.” Begitu penjelasan Finus dengan berbisik-bisik agar tidak kedengaran oleh teman-teman lain dan juga tidak kedengaran oleh guru.

”Menurut kata orang tua-tua, kalau kita masuk hutan tanpa ritual ijin, maka kita tidak akan menemukan apa-apa di hutan. Semua makanan alam itu akan disembunyikan oleh yang empunya. Padahal ada makanan itu di sana. Tetapi kita tidak bisa melihatnya. Mata kita seakan-akan menjadi silau. Tidak bisa melihat apa-apa yang kita perlukan.” Begitu penjelasan Finus lebih lanjut.

“Nah, agar hal seperti itu tidak terjadi, maka dibuatlah ritual.”

“Oh begitu. Lalu apa hubungannya dengan kamu tidak boleh masuk sekolah?” tanya saya lagi menyelidik lebih lanjut.

“Iya, karena orang tua kami melarang kami ke mana-mana dulu selama masa ritual itu.”

“Tabu kalau kita malah jalan-jalan ke luar kampung saat ritual itu diadakan. Kami anak-anak harus tinggal di kampung.” Begitulah penjelasan Finus lebih lanjut. Saya hanya menganggukkan kepala, walaupun saya tidak sepenuhnya mengerti apa yang ia ceritakan. Sejenak ada keheningan di antara kami.

“Di hutan apa saja yang nanti dicari?” begitu saya bertanya kepada dia.

“Ya macam-macam. Raut, ose, longko, owak, raping, dedaunan yang bisa dimasak jadi sayur. Umbi2an hutan lainnya.” Begitu jawab Finus.

“Pokoknya apa saja yang ada di hutan untuk bisa diolah menjadi bahan makanan.” Tambahnya lagi. Lalu ada hening lagi di antara kami.

“Buah-buahan hutan seperti ara, labe, terkadang ada mangga hutan juga, nangka hutan, kerara hutan, lale, pane, dll.” Sejenak Finus berhenti, karena bapa guru tampaknya seperti sedang memperhatikan kami berdua. Setelah tatapan itu berlalu, Finus melanjutkan penjelasannya lagi.

“Biasanya kita manusia ini berebut makanan dengan para penghuni hutan lain seperti babi hutan, burung-burung dan kera.”

Ya di masa kelaparan seperti ini, orang-orang juga mencari makanan di sungai untuk lauk. Misalnya orang berusaha menangkap kodok, udang, ikan ataupun belut yang hidup di sungai itu. pokoknya apa saja yang bisa diolah menjadi bahan makanan dan lauk-pauk. Biasanya sungai yang mengalir di tengah hutan jarang didatangi manusia. Itu sebabnya biasanya isinya banyak. Bahkan juga seperti relatif mudah untuk didapatkan.

Yang paling berat ialah saat orang menemukan sebuah pohon enau. Pohon enau ini juga termasuk cukup langka. Tetapi ada. Kalau menemukan enau, maka biasanya akan dipotong beramai-ramai oleh sekelompok orang dari satu kampung. Kemudian setelah pohon enau itu tumbang, maka mereka akan menggotong pohon enau raksasa itu dari hutan ke tempat yang sedikit terbuka untuk kemudian dipotong kecil-kecil. Biasanya berukuran lima centimeter. Lalu potongan-potongan itu dijemur. Setelah kering dan menjadi garing, barulah bahan itu ditumbuk. Nah tepungnya itulah yang menjadi sagu. Sagu itulah yang diolah menjadi makanan. Seperti kue, roti (rakap) dan pelbagai makanan olahan lainnya yang khas musim kering dan masa kelaparan. Biasanya bagian pucuk dari pohon enau itu ada umbut yang dalam Bahasa Manggarai disebut owak. Bagian ini sangat lembut dan sangat enak untuk dijadikan sayur. Mungkin dari sinilahn pepatah melayu kuno itu berasal: “pucuk dicinta ulam tiba.” Saat makan, orang mengira dedaunan yang dipakai untuk sayur adalah bagian pucuk daun yang bisanya lembut dan empuk. Tetapi ternyata yang dipakai sebagai bahan sayur ialah justru bagian yang lebih lembut dan empuk lagi dari pucuk, yaitu ulam. Sebuah rejeki nonplok. Tidak terduga-duga. Begitulah kira-kira asal-usulnya.

Ritual mohon ijin itu dilakukan di awal musim lapar. Sesudah ritual ijin, orang bisa masuk hutan kapan saja. Tanpa rasa takut ditimpa celaka. Di awal bulan Desember, biasanya jagung sudah bisa dimakan. Maka pada saat itu orang tidak lagi pergi ke hutan. Melainkan orang mulai makan jagung. Pada saat itu hujan sudah turun. Pada saat itu ada ritual lagi. Seperti biasa, temanku Rofinus bolos lagi dari sekolah. Karena ada tabu terkait ritual. Itu adalah sebuah ritual pendamaian. Ritual memohon maaf. Maaf karena mereka telah menyakiti hutan selama ini. Juga ritual untuk mengucapkan terima kasih karena telah berbuat baik kepada manusia selama masa kelaparan. Dalam ritual itu juga orang berdoa, agar hutan cepat memulihkan diri lagi, agar hutan cepat menyembuhkan luka-luka yang telah ditimbulkan oleh para perambah hutan.

 

Penulis: Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.

 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...