Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.
Saat
itu saya sedang duduk di bangku kelas 2 SDK Lamba-Ketang. Musim kering pada
tahun itu sangat panjang. Hujan lama sekali tidak turun-turun. Maka semua orang
mengalami gagal panen pada tahun itu. Maka datanglah kelaparan yang ngeri yang
melanda daerah itu. Rasanya seluruh Manggarai ditimpa masa kelaparan. Maka
orang-orang pun pada ditimpa busung lapar. Terutama sekali anak-anak.
Benar-benar menyedihkan. Tidak ada lagi panen di kebun. Tidak ada jagung. Tidak
ada padi di sawah. Ubi pun (baik ubi kayu atau singkong maupun ubi tatas atau
ubi jalar) sudah mulai menipis persediaannya di dalam tanah di kebun
masing-masing. Benar-benar orang sedang menghadapi situ kelaparan yang mengerikan.
Pada
saat-saat seperti itu, tidak ada jalan lain bagi orang-orang selain, mereka
pergi ke dalam hutan. Memang hutan itu dikenal sebagai meja makan umum, atau
dalam Bahasa kerennya, mensa communis. Memang di wilayah hutan itu pasti ada
makanan. Tetapi untuk pergi mengambil dan mencarinya orang tidak masuk
sembarangan saja. Untuk itu harus ada ritual memohon ijin. Orang harus
melakukan ritual memohon ijin terlebih dahulu. Hutan itu ada yang punya. Di
hutan itu ada penunggunya. Hutan itu ada pemiliknya. Begitulah kepercayaan
orang-orang di Kampung di sekitar sekolah kami. Hutan itu juga adalah sebuah
wilayah yang suci dan penuh misteri. Hutan adalah sebuah wilayah yang
terlarang. Oleh karena itu, hutan tidak boleh dimasuki sembarangan saja. Hutan
adalah milik orang di seberang sana (ata
pele sina). Seperti sudah ada pembagian kerja dan wilayah kuasa kerja antara
manusia dan mereka yang di seberang sana. Manusia mengolah kebun. Mereka
bekerja di kebun. Mereka menggarap hutan. Mereka bekerja di hutan. Tetapi di
saat bencana masa kelaparan seperti ini, orang-orang terpaksa akan ke hutan.
Saat
itu saya punya seorang teman. Temanku itu bernama Rofinus. Lengkapnya Rofinus
Patut. Temanku Rofinus, pada suatu kali ia bolos sekolah. Tidak ada penjelasan
dan pemberitahuan mengenai alasan mengapa ia tidak masuk sekolah. Bahkan pada
hari itu semua anak dari kampung itu tidak masuk sekolah. Aneh sekali rasanya.
Saya pun bertanya dalam hati, “Ada apa ya?” “Mengapa sampai begitu?” saya tidak
segera mendapat jawaban dan penjelasan. Temanku Rofinus bahkan tidak masuk
sekolah dua hari berturut-turut. Ia bolos tanpa kabar. Ia tidak masuk tanpa
pemberitahuan sama sekali. Hanya di malam hari menjelang besoknya Rofinus dan
kawan-kawan tidak masuk sekolah, dari kejauhan saya mendengar orang-orang
memukul gong dan gendang. Dan saya dengar itu dari arah kampung mereka yang
terletak di lembah. Tetapi malam itu, tidak begitu jelas bagi saya, mengapa
gong dan gendang itu dipukul di kampung itu.
Karena
biasanya tidak sembarangan saja orang membunyikan benda-benda keramat itu. Ya
gong dan gendang memang dianggap sebagai salah satu benda keramat yang ada di
mbaru gendang (rumah gendang) di sebuah kampung. Sebab orang-orang meyakini,
bahwa bebunyian dari gong dan gendang itu mengandung daya magis yang bisa
memiliki daya kekuatan untuk memanggil roh dan arwah para leluhur. Konon saat
mendengar bebunyian itu, mereka akan datang untuk masuk ke dalam kampung.
Mereka ingin mengetahui apa yang sedang terjadi di kampung itu. Itu sebabnya,
saya selalu merasa sangat serem apabila mendengar bunyi gong dan gendang itu di
malam hari. Kecuali kalau ada perkawinan. Ya, kalau ada pesta perkawinan
tradisional (yaitu wagal), maka itu sudah jelas dan beres. Kalau tidak ada
alasan yang jelas, maka hal itu rasanya ngeri sekali. Saya membayangkan di
pintung gerbang (lewang) kampung itu berkumpul banyak sekali roh dan arwah para
leluhur yang datang dan ingin masuk ke kampung itu untuk menyaksikan pesta
bebunyian gong dan gendang tersebut. Itulah religious imagination yang muncul
dalam benak saya sebagai anak-anak ketika itu.
Apa
pun itu, yang jelas ialah bahwa memang kelaparan telah mulai mengancam hidup
manusia. Di kampung, lumbung-lumbung sudah kosong. Persediaan makanan sudah
tidak ada lagi. Setelah rofinus datang sekolah lagi saya bisa bertanya secara
langsung kepada dia mengenai alasan dia tidak datang ke sekolah beberapa hari
sebelumnya.
“Kamu
ke mana saja e Finus?”
Dengan
berbisik-bisik dia menjawab pertanyaan saya itu:
“Manga
pandeg ami wa beo e.” (Kami ada bikin sebuah ritual di kampung). Begitu jawab
yang ia berikan kepada saya.
“Ritual
apa?” tanya saya lagi lebih lanjut kepada dia.
“Ritual
mohon ijin ke hutan.”
“Kok
pakai mohon ijin segala?”
“Ia e,
karena hutan itu bukan wilayah kita. Tetapi wilayah data pele sina.” Begitu
penjelasan Finus dengan berbisik-bisik agar tidak kedengaran oleh teman-teman
lain dan juga tidak kedengaran oleh guru.
”Menurut
kata orang tua-tua, kalau kita masuk hutan tanpa ritual ijin, maka kita tidak
akan menemukan apa-apa di hutan. Semua makanan alam itu akan disembunyikan oleh
yang empunya. Padahal ada makanan itu di sana. Tetapi kita tidak bisa
melihatnya. Mata kita seakan-akan menjadi silau. Tidak bisa melihat apa-apa
yang kita perlukan.” Begitu penjelasan Finus lebih lanjut.
“Nah,
agar hal seperti itu tidak terjadi, maka dibuatlah ritual.”
“Oh
begitu. Lalu apa hubungannya dengan kamu tidak boleh masuk sekolah?” tanya saya
lagi menyelidik lebih lanjut.
“Iya,
karena orang tua kami melarang kami ke mana-mana dulu selama masa ritual itu.”
“Tabu
kalau kita malah jalan-jalan ke luar kampung saat ritual itu diadakan. Kami
anak-anak harus tinggal di kampung.” Begitulah penjelasan Finus lebih lanjut.
Saya hanya menganggukkan kepala, walaupun saya tidak sepenuhnya mengerti apa
yang ia ceritakan. Sejenak ada keheningan di antara kami.
“Di
hutan apa saja yang nanti dicari?” begitu saya bertanya kepada dia.
“Ya
macam-macam. Raut, ose, longko, owak, raping, dedaunan yang bisa dimasak jadi
sayur. Umbi2an hutan lainnya.” Begitu jawab Finus.
“Pokoknya
apa saja yang ada di hutan untuk bisa diolah menjadi bahan makanan.” Tambahnya
lagi. Lalu ada hening lagi di antara kami.
“Buah-buahan
hutan seperti ara, labe, terkadang ada mangga hutan juga, nangka hutan, kerara
hutan, lale, pane, dll.” Sejenak Finus berhenti, karena bapa guru tampaknya
seperti sedang memperhatikan kami berdua. Setelah tatapan itu berlalu, Finus
melanjutkan penjelasannya lagi.
“Biasanya
kita manusia ini berebut makanan dengan para penghuni hutan lain seperti babi
hutan, burung-burung dan kera.”
Ya di
masa kelaparan seperti ini, orang-orang juga mencari makanan di sungai untuk
lauk. Misalnya orang berusaha menangkap kodok, udang, ikan ataupun belut yang
hidup di sungai itu. pokoknya apa saja yang bisa diolah menjadi bahan makanan
dan lauk-pauk. Biasanya sungai yang mengalir di tengah hutan jarang didatangi
manusia. Itu sebabnya biasanya isinya banyak. Bahkan juga seperti relatif mudah
untuk didapatkan.
Yang
paling berat ialah saat orang menemukan sebuah pohon enau. Pohon enau ini juga
termasuk cukup langka. Tetapi ada. Kalau menemukan enau, maka biasanya akan
dipotong beramai-ramai oleh sekelompok orang dari satu kampung. Kemudian
setelah pohon enau itu tumbang, maka mereka akan menggotong pohon enau raksasa
itu dari hutan ke tempat yang sedikit terbuka untuk kemudian dipotong
kecil-kecil. Biasanya berukuran lima centimeter. Lalu potongan-potongan itu
dijemur. Setelah kering dan menjadi garing, barulah bahan itu ditumbuk. Nah
tepungnya itulah yang menjadi sagu. Sagu itulah yang diolah menjadi makanan.
Seperti kue, roti (rakap) dan pelbagai makanan olahan lainnya yang khas musim
kering dan masa kelaparan. Biasanya bagian pucuk dari pohon enau itu ada umbut
yang dalam Bahasa Manggarai disebut owak. Bagian ini sangat lembut dan sangat
enak untuk dijadikan sayur. Mungkin dari sinilahn pepatah melayu kuno itu
berasal: “pucuk dicinta ulam tiba.” Saat makan, orang mengira dedaunan yang
dipakai untuk sayur adalah bagian pucuk daun yang bisanya lembut dan empuk.
Tetapi ternyata yang dipakai sebagai bahan sayur ialah justru bagian yang lebih
lembut dan empuk lagi dari pucuk, yaitu ulam. Sebuah rejeki nonplok. Tidak
terduga-duga. Begitulah kira-kira asal-usulnya.
Ritual
mohon ijin itu dilakukan di awal musim lapar. Sesudah ritual ijin, orang bisa
masuk hutan kapan saja. Tanpa rasa takut ditimpa celaka. Di awal bulan
Desember, biasanya jagung sudah bisa dimakan. Maka pada saat itu orang tidak
lagi pergi ke hutan. Melainkan orang mulai makan jagung. Pada saat itu hujan
sudah turun. Pada saat itu ada ritual lagi. Seperti biasa, temanku Rofinus
bolos lagi dari sekolah. Karena ada tabu terkait ritual. Itu adalah sebuah
ritual pendamaian. Ritual memohon maaf. Maaf karena mereka telah menyakiti
hutan selama ini. Juga ritual untuk mengucapkan terima kasih karena telah
berbuat baik kepada manusia selama masa kelaparan. Dalam ritual itu juga orang
berdoa, agar hutan cepat memulihkan diri lagi, agar hutan cepat menyembuhkan
luka-luka yang telah ditimbulkan oleh para perambah hutan.
Penulis: Dosen dan Peneliti Senior pada Fakultas Filsafat
Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
No comments:
Post a Comment