Monday, June 8, 2020

MEREKA TELAH PERGI (CERPEN)

Oleh: Dr. Fransiskus Borgias, MA.

 

 

Saat ini aku masih ingat dengan sangat baik akan kejadian itu. Ya, kejadian itu terjadi ketika saya masih duduk di kelas 2 SD. Saya tidak ingat lagi berapa jumlah teman kelas saya pada waktu itu. Yang jelas, kami penuh satu kelas. Tidak ada bangku yang kosong. Kakak kelas kami juga ada cukup banyak. Dan salah satunya seorang perempuan yang bernama Anas. Anas ini berperawakan kecil. Ia sangat lincah saat bermain dan istirahat sekolah (kami menyebutnya saat itu, “bersenang”. Terkadang sekarang saya berpikir bahwa istilah itu bisa mendatangkan konotasi negatif terhadap sekolah atau pelajaran itu sendiri. Kalau jam-jam di antara pelajaran itu disebut “bersenang”, jangan-jangan para siswa berpikir jam-jam pelajaran itu adalah jam berduka, lawan dari bersenang tadi. Apalagi jika pelajarannya tidak menarik dan tidak bisa ditangkap oleh anak-anak). Anas juga termasuk anak yang suka bergembira. Ia seorang anak yang tipe periang. Ia juga penuh canda dan gelak tawa. Seorang kakak kelas yang mudah dan luwes bergaul. Sampai pada suatu hari, tatkala semuanya itu tiba-tiba berubah secara sangat drastic dan total. Tidak bisa lagi diputar-balikkan. Tidak bisa lagi kembali ke situasi awal. Seakan-akan benar-benar terjadi sebuah kerusakan di dalam hati, di dalam pikiran, walaupun tidak boleh disebut gila. Pokoknya terjadi sebuah terror mental yang mengerikan yang mungkin terlalu berat untuk dipikul oleh seorang anak seusia dia, yang masih kecil, masih duduk di bangku sekolah dasar yang belum mengerti apa-apa tentang pahit dan getirnya kehidupan ini.

Pada suatu hari, pada kesempatan jam istirahat (bersenang) yang pertama, tiba-tiba kami semua mendengar Anas menangis meraung-raung di halaman sekolah kami yang serba sederhana, saat sedang bermain-main dengan penuh gembira dan gelak-tawa dengan semua anak-anak yang lain. Tentu saja semua orang terkejut. Kawan-kawan pada terkejut. Para guru juga tidak kurang terkejutnya. Anas tiba-tiba menangis meragung-raung setelah ia melihat “orang-orang” menggiring beramai-ramai beberapa lelaki dari kampungnya dan juga dari kampung tetangganya.

Segera tersiar kabar bahwa mereka semua akan digiring ke ibu-kota kabupaten. Rupanya di kampung-kampung di sekitar sekolah desas-desus tentang hal itu sudah terdengar beberapa minggu sebelumnya, tetapi belum begitu gencar karena orang belum melihat siapa-siapa yang datang ke kampung. Baru sekarang inilah “orang-orang” itu datang dan hadir di sekitar kami, sangat dekat dengan kami. Tidak hanya datang dan hadir saja, melainkan mereka datang “mengambil” orang dan membawanya ke ibukota kabupaten.

Nah di antara mereka itu, salah satunya adalah ayah Anas. Mereka digiring di sebuah jalan singkat/potong yang melintas persis di halaman belakang sekolah kami, sehingga semua anak-anak sekolah bisa melihatnya. Memang orang-orang itu tidak diikat. Tetapi sangat jelas bahwa mereka berjalan di bawah pengawasan yang ketat dengan polisi dan tentara bersenjata lengkap. Entahlah. Apakah ada isinya ataukah tidak. Anas tiba-tiba menangis karena melihat ayahnya pergi dan pagi itu mereka belum sempat berpamit. Dan sekarang pun tidak bisa pamit, karena kelompok orang-orang itu berjalan di bawah pengawasan dan mereka bergerak seperti orang-orang yang ketakutan. Yang tampak dari pergerakan mereka bukan gerak-gerik dari orang-orang yang bebas.

Kepergian mereka juga diiringi isak tangis para isteri, keluarga, tetangga dan para warga kampung lainnya yang terus memandang mereka pergi menjauh sampai rombongan itu akhirnya hilang di balik punggung bukit karena mereka akan segera berjalan menuruni lereng bukit menuju ke lembah di pinggir sungai wae Lelang, di mana ada jalan raya menuju ke ibukota. Pada saat itu, yang ada hanya satu penjelasan saja. Katanya mereka semua akan dibawa ke ibukota untuk di-“screening”, sebuah kata yang tidak dipahami oleh orang-orang di kampung saat itu, termasuk juga oleh Anas.

Yang jelas ialah bahwa sejak saat itu, ayah Anas dan teman-teman lain di dalam rombongan itu tidak pernah pulang lagi ke kampung mereka, tidak pernah berbalik lagi ke tengah-tengah keluarga mereka. Jelas, itu adalah sebuah pukulan yang amat mengerikan dan menyedihkan bagi keluarga mereka. Orang-orang sungguh menjadi sangat terpukul dan tidak sungguh mengerti akan apa yang terjadi.

Ada satu hal yang aku ingat dengan sangat baik yaitu bahwa sejak saat itu (kelas 3 SD) sampai tamat, Anas berubah drastis. Kalau tadinya dia adalah seorang anak yang sangat periang dan lincah, lalu tiba-tiba menjadi seorang pemurung, dan ia suka menyendiri, dan tidak mau lagi diganggu oleh teman-temannya. Sedih sekali melihatnya saat itu.

Juga sangat sedih kalau membayangkannya lagi sekarang ini. Terlalu cepat ia ditimpa peristiwa tragis itu. Seperti sebuah benih yang baru tumbuh. Belum sempat berakar kuat dan mendalam di dalam tanah, tiba-tiba sudah ditimpa sinar panas mentari yang terlalu terik. Maka dia pun lalu menjadi layu dan mati, ya mati sebelum berkembang mekar.

Saya sendiri, sesudah tamat sekolah dasar, lalu masuk ke seminari menengah. Dan setelah selesai dengan pendidikan di seminari menengah, saya melanjutkan ke seminari tinggi. Nah ketika masih di seminari tinggi itulah aku pernah mendapat berita dari kampung bahwa Anas sudah meninggal dunia karena TBC. Sedih sekali aku mendengar dan membayangkan kabar duka itu. Tetapi, aku yakin, bukan TBC yang menjadi penyebab utama kematiannya, tetapi perjuangan hidup yang penuh penderitaan, hidup tanpa ayah, hidup tanpa tahu ke mana ayah hilang tidak tentu arah. Sebuah misteri kepergian tanpa pernah kembali. Seperti sebuah kematian saja. Misteri tragedi penghilangan orang secara paksa dalam satu operasi penumpasan yang tidak berperikemanusiaan.

Tanpa terasa air mataku mengalir dari mata. Aku terkenang akan Anas, gadis kecil periang yang bernasib malang itu. Yang tiba-tiba berubah dari periang menjadi pemurung karena tragedy hilangnya sang ayah. Ayah yang dibawa pergi dan tidak kembali. Tanpa penjelasan. Ia pergi begitu saja. Aku merasakan sesak di dada karena himpitan kenangan yang teramat sedih dan menyedihkan itu.

Ya, setelah banyak mempelajari lembar-lembar sejarah yang dilewati negeri ini, aku pun akhirnya sadar bahwa Anas adalah salah satu contoh paling kongkret dalam pengalaman hidup sekelompok anak manusia (termasuk saya sendiri tentu saja), betapa percaturan politik nasional, dapat secara nyata mempunyai dampak yang sangat negatif dan sangat personal dan sekaligus eksistensial dalam hidup seseorang. Begitulah kataku dalam hati seakan-akan sedang mengajukan sebuah postulat politis, bahkan mungkin sebuah teori politik.

Dalam sebuah kesempatan kunjungan kepada seorang teman saya pernah menceritakan hal ini secara panjang lebar. Dalam percakapan di penghujung senja di rumah temannya itu saya pernah memberi sebuah penilaian moral-etis terhadap hal itu.

Kebetulan ini adalah sebuah kisah yang sangat tragis.”

Setiap kali aku mengisahkannya, dan juga pada kesempatan kali ini, aku hampir meneteskan air mata lagi. Sebab aku serasa begitu dekat. Aku seperti serasa begitu dekat. Seperti baru saja lewat. Beberapa saat. Seperti masih hangat dalam ingat.

“Kapan hal itu terjadi Frans?” Tanya temanku itu.

“Ya, sekitar tahun 70-an.” Jawabku.

“Saat itu, saya masih duduk di bangku kelas 2 Sekolah Dasar. Ya, kira-kira sekitar saat itulah saya ingat hal itu terjadi.” Begitulah penjelasanku lebih lanjut.

Saat itu, tangis orang-orang memecah kesunyian beberapa desa di sekitar kompleks sekolah dasar kami. Tangis yang teramat mengerikan, karena memilukan, menyayat-nyayat kalbu orang yang mendengarnya. Ratap tangis sedih. Mungkin sama seperti yang dikatakan nabi Yeremia itu: Dengar! Di Rama terdengar ratapan, tangisan yang pahit pedih; Rahel menangisi anak-anaknya, ia tidak mau dihibur karena anak-anaknya, sebab mereka tidak ada lagi (Yer 31:15).” Lalu, sejenak aku hening lagi. Menarik nafas panjang.

“Dan hal yang paling menyedihkan lagi ialah bahwa hampir tidak ada orang yang berdaya mengatasi persoalan seperti itu, termasuk juga pastor paroki kami sekalipun. Rasanya ia hanya seperti seorang penonton saja dari semua tragedi nasional ini. Juga tidak ada orang yang bisa memberi sebuah penjelasan rasional tentang aksi ini. Saat itu ada banyak Rachel-Rachel yang menangis dan meratapi suami-suami mereka yang dipaksa pergi dan tidak pernah kembali.”

“Ya Frans, itulah masa-masa operasi pembersihan dan penumpasan sisa-sisa PKI secara sistematis di seluruh wilayah republik Indonesia ini. Lalu ada hening sejenak lagi yang meliputi kami berdua.

Pokoknya para anggota organisasi terlarang itu harus lenyap dari muka bumi Indonesia.” Sejenak ada keheningan lagi.

Dan mungkin saja ayah si Anas itu juga adalah salah satu dari korban penumpasan dan penghilangan orang secara paksa.”

Kemudian kami berdua pun terdiam, hening. Saya merasa terhanyut dalam sebuah doa spontan yang tiba-tiba menyembul begitu saja dari dalam hatiku. Sepertinya temanku Markus ini juga sedang berdoa bagi orang-orang yang menjadi korban sejarah, korban drama perpolitikan yang serba carut-marut di Republik ini, berdoa bagi si ayah Anas dan para ayah yang lain, yang mati secara antah berantah, dan kuburnya pun antah berantah juga.

Terbersit niat baik dalam diri kami berdua untuk melakukan semacam ikhtiar amnesti dan rekonsiliasi. Misalnya dengan cara mencari para korban itu, terutama yang termasuk kategori rakyat kecil. Mereka sesungguhnya tidak tahu apa-apa. Tetapi menjadi korban karena proses mobilisasi anggota oleh organisasi yang kemudian dinyatakan terlarang. Mungkin juga karena dibujuk-bujuk oleh pihak yang lain.

Ini dosa siapa? Ini salah siapa?

Sampai sekarang kami semua masih sangat sulit untuk menjawab pertanyaan itu secara pasti.

Entah sampai kapan hal itu akan berlangsung terus seperti itu. Mungkin itu adalah sebuah pertanyaan yang jawabannya harus dicari pada rumput yang bergoyang.

 

 

Penulis: Dosen dan Peneliti Senior pada FAKULTAS FILSAFAT UNPAR BANDUNG.

 


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...