Wednesday, June 3, 2020

CERPEN: NELIA MEIJA

Oleh: Fransiskus Borgias M. Kampung Pelus terletak di lereng bukit. Di sana hidup sebuah keluarga. Ayah, ibu, dan empat anak. Yang paling besar sudah tamat SD. Yang kedua kelas enam SD. Yang ketiga kelas IV SD. Yang ketiga ini biasa dipanggil dengan nama Nelia Meija. Yang paling kecil, masih belum sekolah. Sebenarnya ia sudah harus masuk sekolah, tetapi ia merasa masih kecil. Perjalanan ke sekolah jauh, harus menyeberangi sebuah sungai kecil di sawah. Pada musim kering, sungai itu tidak berbahaya. Tetapi pada musim hujan, sungai itu berbahaya, sebab ia bisa menghanyutkan anak kecil. Kerbau saja pernah terseret arus banjir yang deras di tengah sawah. Masa paceklik belum akan segera berakhir. Kelaparan masih mendera para penduduk di Pelus dan juga kampong-kampung yang lain di sekitarnya. Tidak terkecuali keluarga Nelia sendiri. Mereka juga dilanda kelaparan. Sebagaimana kebiasaan di kampung itu, kalau kelaparan terjadi, kalau usaha kerja lading dan sawah sudah tidak bisa lagi menolong hidup mereka, maka mereka harus pergi mencari makanan itu di hutan. Hutan adalah sebuah meja umum, meja bersama, ke mana orang bisa datang untuk belas kasihan atas hidup ini. Orang di kampung itu pun juga mencoba mengatasi ancaman bahaya maut kelaparan itu dengan cara mencari beberapa umbi-umbian di hutan. Salah satu umbi hutan yang paling dicari orang ialah raut. Dalam bahasa Indonesia disebut gadung. Pada musim kering, entah mengapa, umbi hutan ini justru sangat subur dan terdapat cukup banyak di hutan. Tetapi umbi ini harus diolah. Dan proses pengolahan itu memakan waktu yang cukup panjang, dari tiga hari sampai satu minggu. Ayah Nelia, termasuk orang yang cukup rajin di kampong itu untuk pergi ke hutan mencari raut atau apa saja yang masih bisa dimakan. Ia bahkan berhasil mengambil raut di hutan sebanyak setengah karung goni. Lalu ia membawanya ke kali di kaki bukit. Kali itu masih tetap berair walaupun musim kemarau cukup panjang. Mungkin karena mata airnya berasal dari golo Nosot dan Poco di Nampe. Sepanjang dari siang sampai sore ia sibuk mengupas umbi hutan itu, memotong dan membelahnya menjadi kecil-kecil. Sebentar-sebentar ia beristirahat dari kerjanya lalu mencoba mengisi perutnya yang lapar dengan ubi tatas bakar yang dibawanya dari rumah yang dititipkan sebagai bekal oleh isterinya. Hanya ubi bakar. Tidak ada minuman. Sebagai air minum ia mencari air yang keluar dari cadas di pinggir kali kecil itu dan ia minum dari pancuran alam itu. Nikmat sekali. Lalu ia melanjutkan pekerjaannya. Hari sudah mulai senja, ketika ia sudah merampungkan pekerjaannya. Lalu ia mencari tempat di sungai itu yang airnya mengalir cukup deras dan terbuka tempat ia bakal merendam umbi itu selama beberapa hari. Ia temukan tempat itu. Airnya mengalir lancar dan cukup aman dari gangguan binatang lain. Dan juga ia berharap cukup aman dari para pencuri yang mau mencari gampang saja: tinggal datang ke sungai mencuri umbi yang direndam orang lain. Lalu ia pulang. Di kampung ia disambut anak-anaknya, termasuk Nelia. Sang ayah memberikan kepada mereka sebungkus ikan, udang, dan kodok yang berhasil ia tangkap di kali untuk diserahkan kepada ibu untuk diolah jadi santapan malam itu. Betapa senang dan gembiranya anak-anak itu menerima bungkusan daun pisang itu. Berarti malam itu, mereka bisa makan enak karena ada ikan, udang, kodok. Cukup untuk menambah nikmat kebahagiaan makan malam keluarga malam itu. Setelah makan malam, sang ayah memberitahukan kepada sang ibu, tempat ia merendam raut itu di kali dengan sangat detail. Sebab kalau salah memberi petunjuk hal itu akan mendatangkan celaka besar bagi keluarga. Proses rendam itu sendiri dimaksudkan untuk mengeluarkan zat beracun dari umbi itu. Tidak ada cara lain yang dikenal selain cara perendaman itu. Dan hal itu harus berlangsung selama 3 sampai 4 hari. Pada hari keempat atau kelima umbi itu baru bisa diambil untuk dijemur dan diolah menjadi makanan. Sang ayah memberitahukan hal itu karena dalam dua tiga hari kedepan ia berencana pergi jauh ke keluarga dekat untuk meminta bantuan. Istilahnya “ngo ngende.” Sesungguhnya bukan ngende, melainkan pergi menagih utang pinjaman. Sebab ada keluarga jauh yang pernah meminjam uang. Ia berharap mereka bisa mengembalikannya sekarang. Biarpun tidak berupa uang tetapi berupa barang. Ia sangat berharap hal itu bisa terjadi, sebab di kampong itu tidak terjadi bencana kelaparan yang keterlaluan, sebab mereka bisa makan jagung yang mereka tanam di sawah di pinggir kali. Sang ayah pun pergi. Perjalanan ke sana memakan waktu 1 hari penuh. Satu atau dua hari ia akan tinggal di sana. Dan satu hari dipakai untuk perjalanan pulang. Jadi total bisa tiga sampai empat hari. Menurut perhitungan sang isteri, hari keberangkatan sang suami itu adalah hari perendaman yang ketiga bagi raut di sungai. Jadi, sudah bisa diambil. Tetapi ia menunda sampai hari perendaman keempat. Maka ia berangkat besoknya ke kali, dan mencari umbi rendaman itu. Dan dengan mudah ia menemukan apa yang telah dikerjakan suaminya. Ia mengenal cirri-ciri penanda yang diceritakan suaminya. Ia mengenal cirri-ciri khas karung goni yang dipakai suaminya. Maka tanpa ragu ia mengangkatnya, membersihkannya. Pada saat itulah ia rada curiga, karena sama sekali tidak terjadi perubahan warna pada umbi itu setelah direndam empat hari. Semuanya masih tampak sangat segar. Tetapi menilik ciri-ciri tempat perendaman dan karung goni perendam, ia tidak ragu sama sekali. Maka ia membawa pulang umbi itu. Ia mengolahnya untuk makan malamnya dan anak-anaknya. Malang benar nasib mereka. Ternyata umbi yang diolah ayah mereka empat hari yang lalu dicuri orang. Umbi yang dibawa ibunya adalah umbi yang baru direndam. Maka mereka keracunan semua. Orang-orang di kampung itu menjadi panik. Mereka mencoba mencari minyak kelapa untuk diminumkan kepada mereka. Beruntung keluarga Adam Sempongapi menyimpan satu botol minyak kelapa yang segera dipanaskan di dekat tungku agar cepat mencair. Setiap kali mencair, dituang ke gelas untuk diminumkan pada korban keracunan itu. Sang ibu segera tertolong. Demikian juga yang paling besar dan paling kecil. Anak kedua juga tertolong. Anak ketiga tidak tertolong. Itulah Nelia. Dialah yang paling cantik dari antara kedua kakak perempuannya. Paling pintar. Paling baik sikap dan perilakunya. Semua orang di kampung menyayangi dia. Dukun penolong tidak bisa menolong nyawanya. Ia mati. Sang ibu pingsan lagi menyaksikan hal itu. Besok pagi-pagi buta, orang mengirim beberapa orang utusan untuk panggil pulang ayanya. Ayahnya langsung pingsan mendengar kabar itu. Ia tidak bisa menerimanya. Bagi sang ayah, Nelia adalah hiburan paling menyenangkan dalam hidup. Ia merasa sukses menjadi ayah karena ada Nelia. Ia merasakan makna menjadi ayah karena menjadi ayah Nelia, dan karena kehadiran Nelia dalam hidupnya. Ia merasa kehilangan. Ia hanya bisa menangis. Tetapi karena ia orang Katolik, ia akhirnya hanya bisa berkata seperti Ayub: Tuhan yang memberi, Tuhan yang mengambil, terpujilah nama Tuhan. Sementara di kampong tetangga, di Lentang, ada seseorang yang bernama Belasius Cabut. Ia dikenal sebagai pemalas. Tukang curi, tukang pembual. Pada malam nahas itu, semua orang di rumahnya melihat bahwa mereka makan raut yang enak. Tetapi semua orang juga tahu bahwa si Cabut ini tidak pernah pergi ke hutan mencari umbi. Kerja dia hanya mengintai orang-orang yang ke hutan. Siapa saja yang ke hutan ia perhatikan. Lalu ia akan mengintai ke mana mereka mengolah umbi-umbian itu. Ia hanya memindahkan umbi dari satu tempat ke tempat lain. Ia tidak peduli apakah umbi yang ia curi dari satu tempat itu sudah layak dimakan atau belum. Yang penting bagi dia ialah bahwa umbi yang bakal ia curi itu memang sudah siap untuk dimakan. Malang bagi Nelia. Raut yang diolah ayahnya, yang memang sudah siap dimakan menurut perhitungan normal, diduga diganti oleh Cabut dengan umbi yang ia curi dari bagian lain dari kali yang satu dan sama. Tetapi tidak ada bukti sama sekali, selain kenyataan bahwa Cabut tidak bekerja, walau ia selalu bisa makan. Ia makan dari hasil curian. NB: Semua nama orang dan nama tempat dalam cerpen ini, hanya fiktif belaka.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...