Tuesday, June 2, 2020

SARE: TANDA PENGENAL DI TELINGA

Oleh: Fransiskus Borgias Anak-anak Sekolah Dasar Ketang (kiranya anak sekolah lain juga di Manggarai), baru masuk dan memulai sekolahnya. Hari masih pagi. Mendung pekat sekali. Sinar matahari tidak mampu menembus awan untuk menyapa bumi. Hawa dingin. Angin bertiup. Sebentar kencang, sebentar lembut. Tetapi itu angin pagi. Dingin sekali. Angin Januari 1969. Mendung makin tebal. Sepertinya tidak ada harapan bakal tampak matahari. Mendung itu makin gelap. Anak-anak mulai gelisah. Bahkan panik. Ada apa ini? Gelap di siang hari? Guru-guru tampak bingung. Dalam situasi seperti itu guru-guru memutuskan untuk membubarkan sekolah lebih cepat agar anak-anak cepat sampai ke rumah masing-masing. Tidak ada kejelasan apa pun mengenai apa yang terjadi. Tidak ada jalur komunikasi. Beberapa guru punya radio, tetapi belum mendapat kabar apa pun dari sana. Karena disuruh pulang, maka murid-murid sekolah pun segera berhamburan keluar. Ada yang tenang-tenang. Ada juga yang panik dan karena itu berlari sekencang-kencangnya pulang ke rumah masing-masing. Ada yang rumahnya cukup jauh dari sekolah. Salah satu dari mereka ialah seorang anak bernama Neles Watunggolong. Orangnya kecil pendek. Kulitnya hitam. Terkesan jarang mandi sehingga kalau kulit lengan atau punggungnya kita gores maka akan tampak garis putih. Begitu juga kulit kaki. Matanya putih. Giginya putih. Kalau ia tersenyum maka gigi putihnya tampak kontras dengan mukanya yang hitam. Ia anak seorang janda dari Kalo. Ia tidak tahu siapa ayahnya. Ia anak tunggal dari janda itu. Konon ibunya sangat sayang pada anaknya. Sedemikian sayangnya, sampai ia tidak sampai hati mengijinkan anaknya bersekolah. Sebab bersekolah berarti ia akan jauh dari anaknya sepanjang hari. Padahal kalau ia tidak bersekolah maka sang anak akan selalu berada di sampingnya, menyertai dia di dapur, di kebun, di sungai. Mereka bisa pergi kerja kebun bersama-sama di pagi hari, dan pulang ke rumah bersama-sama di sore hari. Sekolahnya Neles bagi sang ibu sudah seperti sebuah kematian dini. Sebuah prolog bagi kematian yang sesungguhnya, kematian yang membawa pemisahan tegas antara dirinya dan sang anak. Itu sebabnya, ketika sang anak pergi ke sekolah untuk pertama kalinya pertengahan Januari itu, sang ibu meratapi kepergian sang anak seperti meratapi orang mati. Padahal anak-anak lain yang menangis ialah justru anak-anak. Sedangkan ibu dan ayah mereka mendorong dan menghibur serta membesarkan hati anak-anak tentang kebaikan, kegunaan, keuntungan sekolah. Alhasil, Neles tidak pernah betah di bangku sekolah. Sedangkan anak-anak lain yang didukung penuh oleh orang tuanya, bisa bersekolah dengan baik dan tekun. Maka sekarang ketika mereka disuruh bubar lebih cepat dari jadwal biasa, Neles dengan langkah sangat cepat berlari pulang ke rumahnya. Tidak hanya Neles yang berlari cepat, melainkan semua anak juga demikian. Mereka berusaha agar cepat sampai di rumah masing-masing sebelum gelap benar-benar tiba dan menyelimuti bumi di siang bolong itu. Mereka berlari sambil bertanya-tanya: ada apa ini? Mereka berlari ketakutan. Dalam situasi tergesa-gesa itu, beredar kabar burung bahwa bumi akan segera berakhir. “Reno tana lino hoo ga.” Begitu rumor yang beredar. Mendengar rumor itu, anak-anak semakin ketakutan. Ada yang menangis. Mereka takut mereka tidak bisa lagi melihat ayah ibu mereka di kampung kalau peristiwa bumi runtuh itu terjadi lebih cepat. Semakin mereka dilanda ketakutan, semakin cepat mereka memacu langkah mereka. Tidak terkecuali Neles. Ia berlari semakin kencang. Hari semakin gelap. Dalam ketakutan akan kegelapan di siang hari itu, anak-anak berteriak-teriak memanggil ayah dan ibu mereka. Neles juga berteriak memanggil ibunya. Ia hanya memanggil ibunya, sebab ia tidak mempunyai ayah. “Ende, oe ende, nia hau a ende! Gelang koe ta ende mai curu aku anak geongm!” Ternyata dari arah kampung, ibunya Neles juga dilanda ketakutan dan kecemasan yang sama. Ia juga berlari menelusuri jalan yang dilalui anak-anak pergi bersekolah agar segera bisa bertemu dengan anak kesayangannya. Setelah Neles berteriak beberapa kali dalam pelariannya itu, sang ibu pun sudah mendengarnya sayup-sayup dari jauh. Hari makin gelap. Sekarang ada kecemasan baru yang semakin menggelisahkan. Nafas mereka mulai sesak. Kepala mereka mulai gatal. Ketika mereka merabanya ternyata ada abu menumpuk pada rambut mereka. Mereka benar-benar ketakutan. Hari akan segera kiamat. Mereka semakin berteriak histeris ketakutan. Akhirnya sang ibu berpapasan di jalan dengan Neles dan teman-temannya yang tampak hampir mati ketakutan. Maka bersama-sama mereka menempuh perjalanan pulang ke rumah di kampung. Juga dalam situasi ketakutan mencengkam. Mereka tidak tahu apa-apa mengenai apa yang terjadi. Satu-satunya versi penjelasan mengenai peristiwa itu ialah rumor yang beredar: bumi akan segera kiamat. Orang-orang di kampung pun mulai memotong ayam, sebab itu yang mudah ditangkap dan diolah, untuk dimasak menjadi makanan perjamuan terakhir. Mereka berkumpul bersama untuk berdoa dan memakan santapan perjamuan terakhir itu. Hari itu, menjadi hari bencana bagi ayam-ayam. Ayam yang mudah ditangkap menjadi korban. Semuanya dipotong, sebab besok tidak akan ada lagi untuk menikmati daging dan makanan, bahkan juga tidak bisa lagi menikmati hidup. Sebab semuanya akan berakhir. Ketika tiba di rumahnya, si janda pun berpikir dalam hatinya: Nelis ini anakku satu-satunya. Dialah milikku satu-satunya dalam hidup ini. Aku ingin agar aku jangan sampai kehilangan dia di alam seberang kiamat itu. Untuk memastikan bahwa ia tidak kehilangan anaknya, dan agar mudah mengidentifikasi rupa anaknya dalam alam seberang kiamat, maka ia pun menandai anaknya secara fisik. Itulah ‘sare tilu’. Ia menandai anaknya dengan cara memotong sebagian kecil telinganya, seperti halnya orang memotong telinga anjing, kucing, babi, kuda, kerbau, sapi, kambing untuk menandai kepemilikan atas binatang-binatang itu. Juga seperti kebiasaan menandai budak dengan inisial pemiliknya. Maka dengan penuh cinta si ibu mengambil pisau dan memotong telinga anaknya. Dengan penuh cinta pun si anak merelakan telinganya dipotong sedikit oleh ibunya. Setelah berhasil memotong si ibu dan anak sama-sama lega. Mereka tidak akan saling berpisah di dunia seberang sana karena sang ibu akan mudah mengenal tanda pengenal anaknya. Memang Nelis merasa sakit, tetapi sakit itu adalah sebentuk pengorbanan untuk kebahagiaan di dunia seberang sana. Maka tidak ada teriak kesakitan. Semuanya berlangsung dalam diam dan juga dalam harapan dan keyakinan bahwa di sana semuanya akan mudah dikenali kembali. Lalu sang ibu mengambil abu hangat dari sapo di likang mereka, lalu dioleskan pada daun telinga anaknya agar pendarahan berhenti. Itu juga kebiasaan yang mereka lihat pada saat orang memotong telinga kambing, anjing dan babi. Abu dapur pasti dioleskan. Upacara cinta dan pengharapan sudah selesai. Mereka ikut makan di molang pamannya. Sebab pamannya ini memiliki beberapa ekor ayam dan ia sempat menangkap beberapa ekor untuk dipotong sebagai makanan perjamuan terakhir. Si ibu mendorong anaknya makan dengan lahap agar tidak jatuh sakit karena pengaruh pemotongan itu. Si anak juga yang memang sudah lapar, memakan makanan yang enak itu, pakai ayam pula. Sebuah suguhan yang super-mewah untuk ukuran Neles dan ibunya. Setelah kenyang, akhirnya mereka bersepakat berkumpul di rumah besar di kampung itu untuk menunggu datangnya hari akhir itu. Hari kiamat. Mereka menunggu dengan berdoa, dan bercerita. Tidak ada versi lain sama sekali yang bisa menerangkan peristiwa ini. Entah berapa lama mereka menunggu. Mungkin berjam-jam. Tidak ada yang tahu, sebab tidak ada orang yang mempunyai arloji. Jam mereka adalah kokok ayam, dan sinar matahari pagi. Sekarang ayam tidak berkokok lagi. Dan tidak ada matahari. Maka mereka tidak tahu ukuran waktu. Dan tiba-tiba, kegelapan itu mulai mencair kepekatannya. Mulai tampak terang, mula-mula remang-remang, lalu kemudian menjadi terang. Dan terang. Tetapi itu adalah masih hari yang sama dan sudah sore hari. Hari boleh dikatakan terbit kembali. Tidak terjadi kiamat. Terang terbit lagi. Habis gelap terbitlah terang. Tetapi telinga Neles sudah terpotong. Tetapi ia tidak menyesalinya. Ia terjadi, karena dan sebagai tanda cintanya akan sang ibu. Sedemikian besarnya kasihnya sehingga ia merelakan tubuhnya untuk ditandai sebagai tanda pengenalan. Penulis: Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...