Thursday, November 6, 2008

MAKAN DAN PERJAMUAN SEBAGAI IDEOLOGI

Oleh: Fransiskus Borgias M.[1]

Pengantar

Makanan, aktifitas makan, perjamuan tampak sepele, mungkin karena hal itu adalah rutinitas biologis-fisikal. Tetapi sesungguhnya makan dan perjamuan jauh lebih mendalam dari apa yang tampak. Pertama, karena makan dan perjamuan erat terkait dengan seluruh eksistensi kita; tidak hanya fisikalitas-biologis kita. Kedua, karena makan dan perjamuan bisa juga menjadi ideologi (aliran pikiran yang mengandung kepentingan dan strategi tertentu). Itulah tesis dasar tulisan ini. Makan dan perjamuan adalah ideologi; sebuah ideologi terselubung. Tetapi sekaligus tulisan ini adalah kritik ideologi makanan dan perjamuan. Titik tolak kritik ideologi itu ialah Kitab Suci. Dengan kata lain, saya membaca Kitab Suci sebagai kritik ideologi dan kritik kebudayaan. Maka ulasan ini tidak akan berangkat dari teks tertentu, melainkan berangkat dari satu problematik tertentu.

Tiga Revolusi Besar

Sebelum melangkah lebih lanjut saya mau melukiskan tiga revolusi besar Kekristenan pada awal eksistensinya. Tiga revolusi itu terkait satu sama lain, dan terkait dengan tiga tokoh besar: Yesus, Petrus, Paulus. Di bawah ini saya membahas ketiga revolusi itu.

Revolusi pertama menyangkut pelaksanaan Sabat. Hal itu terkait dengan Yesus. Kita tahu bahwa Sabat adalah sangat penting bagi Israel. Sedemikian pentingnya, maka ada perintah untuk menguduskan Sabat dan tidak boleh menajiskan hari kudus itu (Kel 20:8; Ul 5:12; Yeh 44:24; Yes 58:13). Karena itu, Tuhan menuntut agar umat memelihara Sabat Tuhan (Kel 31:13; Im 19:30; 26:2). Dalam rangka itu ada perintah dan larangan. Misalnya, Sabat harus menjadi perhentian penuh (bagi Tuhan) (Kel 35:2; Im 16:31). Juga harus ada korban bakaran untuk hari Sabat (Bil 28:10). Juga ada larangan mengangkut barang pada Sabat (Yer 17:21). Itulah gambaran singkat mengenai peraturan Sabat dalam Perjanjian Lama. Dalam perkembangan sejarah, peraturan Sabat itu kental dengan mentalitas legalistik-yuridis. Bahkan cenderung kaku. Yang terpenting ialah Sabat dan taat Sabat. Segala pertimbangan kemanusiaan tidak dipedulikan.

Lalu Yesus mendatangkan paham revolusioner mengenai pelaksanaan Sabat. Ketika pelaksanaan Sabat menjadi kaku, yang menjadi korban ialah manusia. Manusia terbelenggu aturan Sabat dengan tetek-bengek apa yang boleh dan tidak boleh pada Sabat (Mat 12:2; Mrk 2:24; Luk 6:2). Sabat menjadi tuan dan penguasa atas manusia. Mungkin itu sebabnya Yesus berkata: “...Anak Manusia...adalah Tuhan atas hari Sabat” (bdk.Mat 12:8; Mrk 2:28; Luk 6:5). Awalnya aturan Sabat dimaksudkan untuk kebaikan manusia. Tetapi ketika kecenderungan legalistik menguat, terjadilah pembalikan: apa yang tadinya demi kebaikan, berubah menjadi belenggu. Kiranya itu sebabnya Yesus berkata: Sabat adalah untuk manusia. Bukan manusia untuk Sabat (Mrk 2:27). Jangan sampai pelaksanaan Sabat mengorbankan manusia. Kritik Sabat Yesus juga terungkap dalam pertanyaan sbb: apa yang dilarang dilakukan pada Sabat, berbuat baik ataukah berbuat jahat? (Mat 3:4; Luk 6:9). Tentu yang dilarang ialah berbuat jahat. Tetapi larangan berbuat jahat berlaku juga untuk hari lain. Tidak hanya tidak berbuat jahat pada Sabat. Melainkan tidak berbuat jahat pada semua hari. Itulah revolusi pertama.

Revolusi kedua terkait dengan Petrus. Ia mendatangkan paham revolusioner mengenai pelaksanaan hukum haram-halal terutama menyangkut makanan. Taurat menetapkan ada jenis makanan yang dianggap haram (makanan sesajian, daging persembahan). Ada jenis binatang yang haram dimakan (Ul 14:3-21; bdk.Im 11:1-47). Tetapi aturan itu luluh lantak bagi Petrus dalam penglihatan yang terkenal di Yope (Kis 10:9-16). Konon di sana, Petrus melihat “karung” besar alat karpet Aladin, membentang di langit. Lalu terdengar suara surgawi yang menyuruh Petrus mengambil binatang dan memakannya. Saat itu, Petrus lapar dan menunggu makan. Sebagai orang Yahudi, Petrus spontan berkata: aku tidak dapat memakan hal itu sebab ada binatang haram di dalamnya (Kis 10:14). Sebagai tanggapan, terucaplah kalimat indah dan terkenal ini: Apa yang keluar dari manusia itulah yang menajiskan (Kis 10:15; 11:9; 1Tim 4:4; bdk Mrk 7:15.23; Mat 15:11). Sedangkan yang masuk ke dalam manusia, sama sekali tidak menajiskan.[2]

Revolusi ketiga terkait dengan Paulus. Ia mendatangkan paham revolusioner mengenai pelaksanaan salah satu ketetapan Taurat: sunat. Setiap lelaki harus disunat. Itulah ketetapan Taurat (Kej 17:10; 35:15). Kewajiban sunat dijalankan bukan demi sunat atau manusia, melainkan bagi TUHAN (Yer 4:4). Kewajiban itu sedemikian pentingnya, sehingga kalau tidak bersunat maka ada beberapa hal yang tidak dibolehkan. Misalnya, tanpa sunat, orang tidak boleh menjadi anggota jemaat (Yes 52:1). Yang tidak bersunat tidak boleh ikut perjamuan (Kel 12:48). Tetapi kritik sunat sebagai perbuatan jasmaniah yang tidak punya arti apa-apa sudah muncul dalam Perjanjian Lama. Hal itu tampak dalam perintah menyunat hati (Ul 10:16; 30:6). Di sini sunat tidak lagi sekadar tanda lahiriah, melainkan tanda batiniah, tanda hati. Rupanya kritik sunat itu berlanjut dalam Perjanjian Baru. Di tempat tertentu dikatakan bahwa “....sunatmu tidak ada lagi gunanya” (Rm 2:25; 3:1). Perjanjian Baru lebih menekankan sunat dalam hati dari pada sunat jasmani (Rm 2:29; Kol 2:13).

Diskusi teologis pada awal gereja menyangkut sunat dapat dirumuskan sbb: apakah untuk menjadi pengikut Kristus, orang harus disunat dulu (ikut Taurat)? Ataukah langsung dibaptis memakai rumusan trinitaris itu? Di sini ada dua pendapat. Pertama, mengatakan bahwa untuk menjadi Kristiani orang harus disunat dulu baru dibaptis. Itulah tuntutan kaum Yudaiser. Mereka menghendaki agar orang diYahudikan dulu baru diKristenkan. Kedua, mengatakan bahwa untuk menjadi Kristiani orang tidak usah disunat, tetapi langsung dibaptis. Juru bicara kelompok pertama, Yakobus (penatua Yerusalem). Juru bicara kelompok kedua, Paulus (Rasul para bangsa). Semula agak sulit memahami posisi Petrus. Kemudian posisi dia jelas, walau semula menimbulkan soal dan batu sandungan (bdk.Kis 15:1-21).[3] Diskusi teologi awal mengenai sunat ini tampak juga dalam surat Paulus kepada Jemaat di Galatia (Gal 2:1-10).

Jadi, ketiga revolusi besar ini terkait satu sama lain. Baik menyangkut pelaku, pun problematik yang dikritik. Pelaku utama, Yesus. Petrus dan Paulus, adalah pengikut Yesus dan berperan sebagai murid. Tema utama ialah Taurat. Pemadatan pelaksanaan Taurat ialah Sabat. Terkait Sabat, muncul soal makanan (peraturan haram-halal) dan sunat (peraturan etika sosial pergaulan sosial).

Ideologi Makanan dan Perjamuan

Tetapi saya tidak membahas semua soal itu. Saya fokus pada makanan yang saya kaitkan dengan ideologi, keadilan dan damai sejahtera. Maka, saya ke revolusi Petrus, walau ia bersumber pada revolusi Yesus. Saya melihat bahwa Yesus melakukan kritik kebudayaan dengan berpusat pada makan dan perjamuan. Sehubungan dengan makan-perjamuan ini ada beberapa pertanyaan mendasar yang mengandung pesan etis-humanis mendalam.

Pertama, dengan siapa kita makan? Konon kata companion dalam bahasa Inggris punya akar kata yang menarik: cum-panis (Latin) yang artinya roti (panis) bersama (cum). Jadi, makan mengandung nilai persahabatan, cita-cita dan upaya membangun persahabatan, kebersamaan. Maka pengkhianatan paling menyakitkan ialah pengkhinatan oleh orang yang makan sehidangan dengan aku, , pengkhianatan yang dilakukan teman (companion) (Mzm 41:10). Yesus mengalami pengkhianatan companion ini secara tragis. Seorang muridNya yang makan sehidangan dengan Dia, mencelup roti bersamaNya ke cawan perjamuan-persaudaraan, mengkhianati Dia. Itulah Yudas (Yoh 13:2; 18:2), salah satu contoh pengkhianatan companion terkenal dalam sejarah. Yesus berurusan dengan soal ini. Ia berusaha mengatasi dan memperbaikinya. Yesus tidak segan makan dengan pendosa, dan pemungut cukai (Mat 9:9-13; Mrk 2:13-17; Luk 5:27-32). Yesus juga makan di rumah kaum atas. Artinya, Yesus lintas batas, merubuhkan tembok pemisah sosial. Seharusnya, aktifitas makan dan perjamuan adalah aktifitas cinta kasih (agape), aktifitas pendamaian, rekonsiliasi. Bukan ajang saling iri, saling pamer, merendahkan.

Biasanya orang kaya, bangsawan, kaum atas tidak sudi makan semeja dengan orang kecil, miskin, gembel, dekil, kumal. Mereka membatasi diri dari kelompok itu; mereka menjauhkan diri. Biasanya secara naluriah orang miskin merasa bahwa ada jurang besar antara mereka. Maka mereka minder, menjauh, duduk di kejauhan menikmati orang kaya makan kenyang. Orang Kaya duduk di meja dengan makanan berlimpah, Lazarus duduk di pintu, menunggu sisa makanan orang kaya dan berebut dengan anjing (Luk 16:19-31). Yesus datang, dan merombak semuanya itu. Yesus datang dan makan bersama mereka. Yesus menjadi jembatan penghubung antara kedua kelompok itu. Dalam Yesus, sekat-sekat (termasuk sekat sunat dan aturan haram) runtuh dan terciptalah persaudaraan sejati dalam dan melalui perjamuan cinta kasih. Yubileum.

Salah satu ilustrasi (sunat, haram) terkenal ialah pertikaian di Galatia (Gal 2:11-14). Saya tidak masuk ke dalam ilmu tafsir rumit. Saya hanya mengatakan secara singkat ide pokoknya. Paulus memarahi Petrus karena ia munafik. Semula ia makan dengan kaum tidak bersunat. Tetapi ketika datang kaum Yahudi, ia mundur. Ini dikecam Paulus sebagai munafik yang menimbulkan situasi bimbang hati baik pada orang Yahudi bersunat maupun terutama pada orang Kristen tidak bersunat. Ini amat merugikan.[4] Sikap ini bisa menimbulkan benih perbantahan, pertikaian, konflik. Perjamuan sebagai keakraban dan persaudaraan bisa menjadi benih persemaian konflik, pertentangan. Itulah salah satu keprihatian pastoral-teologi Paulus dalam suratnya kepada Umat di Korintus (1Kor 11:17-34). Dalam surat ini Paulus mengecam orang yang memakai kesempatan perjamuan, bukan sebagai drama agape, melainkan ajang drama nafsu, dan permusuhan.

Kedua, kita makan apa? Ini terkait dengan revolusi kedua, yaitu dengan aturan makanan haram-halal. Taurat menetapkan bahwa ada makanan haram. Karena itu tidak boleh dimakan, sebab jika dimakan maka apa yang najis itu akan menajiskan si pemakan. Tidak dapat dipastikan, apakah Yesus mendobrak hukum haram-halal ini. Misalnya, dengan berani makan babi atau binatang haram lain. Tanpa masuk ke diskusi teknis mengenai ipsissima verba, kita dapat mengatakan bahwa Yesus secara tersirat condong ke arah pendapat ini. Bahwa yang najis bukan yang masuk ke dalam manusia, melainkan yang keluar dari manusia (Mrk 7:15; Mat 15:11). Dengan kata lain, makanan dan makan tidak boleh menjadi kategori etis. Yang menjadi kategori etis ialah perkataan, perbuatan, pikiran. Orang harus dinilai dari perkataan dan perbuatannya. Jangan dinilai berdasarkan makanannya. Sebab di sini akan muncul soal etis: kita bisa menajiskan sesama karena mereka makan barang haram. Tegasnya, saya yang tidak makan babi dan anjing, bisa saja mencap najis teman yang makan babi dan anjing, karena dalam tubuhnya mengalir daging haram babi dan anjing. Maka saya tidak mau bersentuhan dengan dia, tidak berjabatan tangan dengan dia. Nanti keselamatan menjadi tidak pasti kalau saya tercemar oleh dia yang tercemar. Ya ampun. Padahal kata Petrus: “...aku tidak boleh menyebut orang najis atau tidak tahir.” Itu diakuinya sebagai perintah Allah (Kis 10:28).

Masih ada soal yang lebih mendasar sehubungan dengan larangan dan aturan makanan ini. Maksudnya ialah teologi penciptaan. Di atas saya sudah menyinggung hal ini. Kalau berdasarkan ketetapan manusia, sesuatu dinyatakan haram, bagi saya itu salah besar, bahkan dosa berat. Karena pada awal mula, saat penciptaan, Allah melihat bahwa semua yang ciptaanNya baik. Bahkan kata baik menjadi refrein, apresiasi Pencipta atas ciptaan (Kej 1:4.10.12.18.21.25.31, superlatif). Kalau Pencipta menilai bahwa semua ciptaanNya itu baik, maka aneh kalau kita yang adalah ciptaan justru mengatakan sebaliknya. Jangan-jangan dengan itu kita mengkritik Allah. Bukankah ini dosa besar, kelancangan teologis yang keterlaluan? Di sini kita harus berhati-hati.

Ketiga, bagaimana cara makan? Cara kita makan juga membangun tembok ideologis-etis. Kasus paling mencolok dalam kitab suci ialah makan dengan tangan najis. Itulah tuduhan kaum legalistik Farisi terhadap perilaku murid Yesus, yang memetik gandum pada hari Sabat dan langsung memakannya (Mat 12:1; Mrk 2:23; Luk 6:1). Bahkan Yesus sendiri makan tanpa cuci tangan (Luk 11:38). Mereka tampil sebagai orang bebas, yang berada di luar tembok. Karena itu mereka bisa bergerak bebas tanpa takut terbentur apa pun. Yang ada di sini bukan hanya perkara kebersihan dan kesehatan (higienis). Ini adalah soal etis-teologis: mereka dianggap pendosa, karena tidak tahu hukum Tuhan, dan karena itu tidak menjalankannya. Sebab yang terakhir mengandaikan yang terdahulu. Perbuatan mengandaikan tahu apa yang dibuat, termasuk alasannya. Dari kasus sederhana tidak cuci tangan, orang dinilai seluruh martabatnya sebagai manusia, dalam relasinya dengan Allah. Karena itu, soal ini bukan soal kecil. Yesus membela diri dan muridNya (soal cuci tangan itu).

Persoalan mencuci tangan ini bisa diperluas. Misalnya, cara makan: ada yang pakai sendok dan garpu, ada yang pakai sumpit, ada yang pakai tangan. Ada yang pakai pisau, tetapi ada yang menggigit. Harus duduk di meja, kaki harus ke bawah semua. Atau duduk bersila di lantai, atau di atas dipan tetapi dengan kaki satu naik ke atas seperti orang makan di warteg. Semuanya ini soal sepele, tetapi bisa menjadi serius, kalau kita menilai orang berdasarkan hal ini. Yesus mendobrak hal itu. Boleh saja hal-hal itu diperhatikan, tetapi jangan sampai harkat dan martabat seseorang dinilai berdasarkan hal itu. Sebab ada orang berdasi, makannya pakai sendok-garpu, pakai serbet di paha, tetapi ia koruptor besar, germo, mucikari, atau apa saja. Yang menarik ialah bahwa Yesus tidak memandang hal-hal seperti ini. Ia easy-going. Serba menerima. Serba merangkul.

Keempat, pada saat apa kita harus makan atau tidak boleh makan? Taurat Yahudi menetapkan beberapa hal mendasar sehubungan dengan saat makan ini. Ini erat terkait dengan aturan puasa dan pantang yang juga terkait dengan Sabat. Ada hari dan saat di mana orang harus berpuasa dan berpantang. Tentu semua ini baik. Tetapi jangan menilai orang berdasarkan praksis puasa dan pantang. Yesus memberi kritik puasa dalam Injil. Kalau orang mau berpuasa, janganlah bermuka muram. Puasa adalah tindakan diam-diam, tindakan hati. Jangan dipamer besar-besar di depan umum. Puasa harus diam-diam. Biar cukup Bapa di surga saja yang tahu bahwa saya puasa (Mat 6:16-18). Begitu juga amal sedekah. Harus dilakukan diam-diam: apa yang dibuat tangan kananmu jangan diketahui tangan kirimu (bdk.,Mat 6:1.4).

Aktifitas Makan: Sebuah Etika Baru

Kita makan agar hidup. Saya makan maka saya hidup. Makan adalah prasyarat hidup. Ini tidak tersangkalkan. Tetapi aktifitas makan mengandung soal etis-humanis. Makanan diambil dari alam. Kita mengolah bumi dan bercocok tanam, agar memperoleh makanan cukup. Saya tekanankan kata “cukup”. Sebab itulah yang ditekankan Yesus dalam doa Bapa Kami (Mat 6:11; Luk 11:3). Itu yang disiratkan dalam teologi makanan di balik peristiwa manna di gurun itu (Kel 16:31.35; bdk., Yoh 6:31). Yaitu meminta secukupnya, mengumpulkan secukupnya. Kalau berlebihan, berarti kita rakus. Yang kelebihan akan hancur dan membusuk, baik dalam arti sebenarnya, maupun dalam arti kiasan.[5]

Selama kita mengembangkan etika “cukup,” kita akan harmonis dengan alam dan sesama. Ketika muncul ekonomi pasar dan ekonomi kapital, muncul soal. Orang mulai mengeksploitir alam. Orang mau mengumpulkan lebih banyak, menumpuk. Dalam hal ini kita mengorbankan alam. Krisis ekologi dan krisis sumber daya alam, daya dukung lingkungan berawal di sini. Pencemaran bermula dari sini: pencemaran berupa sampah, pencemaran kimiawi dan polusi yang tidak tampak tetapi berbahaya. Efek radiasi yang ngeri terjadi di sekitar kita. Makan dan aktifitas makan kita menghasilkan sampah. Kebudayaan buang-segera (through-away culture) menghasilkan sampah. Sampah menjadi soal manusia dalam hidup modern. Sampah menggunung, menjadi sumber bencana: longsor, pencemaran, dan penyakit, dll. Sampai saat ini beberapa kota besar di Indonesia (Bandung, Jakarta, Pontianak, dll) bermasalah dengan sampah.

Tidak hanya itu. Ekonomi pasar dan kapital memunculkan kategori baru dalam keempat soal yang disebut tadi. Kalau di atas, saya hanya membatasi pertanyaan itu pada “makan apa?” maka sekarang muncul pertanyaan baru: makan siapa? Siapa yang akan kita makan? Bukan lagi apa yang akan kita makan. Ini pertanyaan kelima. Terdorong nafsu eksploitasi dan persaingan tidak wajar, orang tidak lagi hanya mengeksplotasi alam dan lingkungan, melainkan juga sesama. Orang kecil ditindas, dihisap, dijajah. Saya teringat akan ucapan orang bijak dari Korsel sbb: “Rakyat menjalankan pertanian di atas tanah, dan pejabat pemerintah menjalankan pertanian di atas rakyat. Dengan demikian, pejabat pemerintah mengupas kulit rakyat dan mememarkan tulang-belulang mereka tatkala petani mengolah dan menggembur tanah. Pejabat pemerintah menghitung jumlah rakyat dan menggerakkan rakyat untuk ikut wajib militer sebagaimana halnya rakyat mengumpulkan hasil panenan mereka” (Chong Yangyong, 1762-1836).[6] Para nabi penuh dengan kecaman terhadap penindas. Sebut saja Amos, Hosea, Yesaya, Nathan, Mika, dll.

Jadi, kerakusan kita berdampak amat buruk terhadap lingkungan dan sesama. Egoisme kita berdampak amat buruk terhadap lingkungan dan juga sesama. Maka perlu etika baru: hidup sederhana, hidup sesuai irama alam, pola hidup adil, dan menyelamatkan. Itu sebabnya, kita harus peduli pada keadilan (justice), perdamaian (peace), dan keutuhan ciptaan (the integrity of creation). Kalau ternyata ada yang terluka kita harus berani melakukan pendamaian (reconciliation). Jadi, tidak cukup kalau komisi keadilan dan perdamaian hanya dinamakan seperti itu saja (Justice & Peace), melainkan harus menjadi Komisi Keadilan, Perdamaian, Keutuhan Ciptaan, dan Pendamaian (Justice, and Peace, and the Integrity of Creation, and Reconciliation: JPICR).[7]

Sebagai ideologi, makanan menjadi tanda perbantahan (sign of contradiction). Itu yang saya usahakan di atas. Tetapi sekaligus juga ia menjadi tanda pendamaian (sign of reconciliation). Itu yang mau dilihat dalam bagian berikut ini.

Perjamuan Sebagai Rekonsiliasi

Menarik bahwa dalam kisah penampakan kebangkitan, Yesus sering memakai perjamuan sebagai saat untuk mengadakan dan membangun rekonsiliasi. Misalnya kisah perjamuan yang terkenal inspiratif di Emaus (Luk 24:13-35). Atau kisah penampakan pasca Emaus di Yerusalem (Luk 25:36-49) maupun kisah makan dalam penampakan yang dikisahkan Yohanes (Yoh 20:19-23). Akhirnya, secara khusus kisah perjamuan di tepi pantai yang juga tidak kalah inspiratif dan daya gugahnya (Yoh 21:1-17).[8]

Saya tidak membahas semua perikop itu satu per satu. Itu tidak dimungkinkan karena keterbatasan ruang. Saya hanya membahas dua teks bersama-sama, dalam kaitan tematis: Luk 24:36-49 dan Yoh 20:19-23. Lukas dan Yohanes tidak memberitahukan di mana peristiwa itu terjadi. Tetapi ada tradisi yang sangat tua yang mengatakan bahwa peristiwa itu terjadi di ruang atas (coenaculum) tempat mereka makan perjamuan terakhir dengan Yesus. Semasa hidup, Yesus sering makan bersama mereka (Mat 9:9-13). Bahkan Yesus memakai kesempatan makan bersama sebagai saat untuk mengajar (Mat 9:9-13; Mrk 2:13-17; Luk 5:27-32). Maka tidak mengherankan bahwa Ia paling mudah dikenal atau diingat dalam konteks, situasi, dan latar belakang seperti itu. Menurut Lukas, ada makanan dalam kisah penampakan. Yang jelas Yesus meminta sesuatu untuk dimakan. Lalu Ia diberi makan sepotong ikan goreng. Menarik bahwa, makan dan makanan sering muncul dalam kisah-kisah penampakan.

Dari kisah Lukas kita dapat menarik beberapa makna penting. Pertama, pada tataran permukaan, makan dan makanan dapat dilihat sebagai “bukti” bahwa Yesus hadir secara jasmani, sebab Ia makan (hantu tidak makan). Kedua, hal makan bersama (perjamuan) selama ini telah menjadi tanda dan ciri utama karya layanan Yesus. Ia sering menunjuk pada peristiwa makan bersama (perjamuan) sebagai tanda damai-sejahtera kerajaan Allah; semua orang akan duduk (berbaring) makan bersama dan orang miskin akan mempunyai makan yang cukup; mereka tidak kekurangan. Di sini, hal makan bersama dengan para murid memperlihatkan bukan hanya bahwa Ia telah mengampuni mereka (kurang beriman, tidak percaya, itulah segi pengampunan dari perjamuan), melainkan terutama bahwa pemerintahan Allah yang telah Ia janjikan kini sudah tampak. Ketiga, Yesus memilih untuk dikenang dan diingat dalam konteks perjamuan, dalam hal makan dan minum bersama. Itulah yang kita sebut ekaristi, yaitu tradisi mengucapkan syukur dan terima kasih, sambil makan roti bersama, dan minum dari piala yang sama.[9]

Memang ekaristi adalah simbol sentral dengan mana kita mengenang Yesus dalam tradisi sakramental warisan Kristiani selama berabad-abad. Mungkin itu sebabnya, Vatikan II menyebut ekaristi sebagai sumber dan puncak (fons et culmen) semua sakramen lain. Maka Ekaristi bagi kita menjadi perjamuan pendamaian, pemulihan hubungan, perjamuan cinta kasih. Ekaristi dalam artian seperti itu dirayakan sebagai sebuah bayang-bayang dari ciptaan yang didamaikan (2Kor 5:18-19), berdamai, di mana dosa-dosa diampuni dan semua perasaan ditampung. Dalam ekaristi, perdamaian, pendamaian, pengampunan, dan perjamuan (makanan) menyatu dan jalin-menjalin satu sama lain, menjadi sebuah perayaan dan simbol yang teramat indah.

Penutup: Alam Sebagai Mensa Communis

Dua tahun lalu teman dari Pusat Kajian Humaniora UNPAR datang kepada saya dan menceritakan niatnya mengikuti sayembara artikel ilmiah bertema agama & lingkungan. Ia meminta beberapa insight ekologis dan mendiskusikan beberapa ide. Dalam diskusi itu saya teringat kisah masa kecil yang mengingatkan saya akan kenyataan bahwa dalam agama asli terendap intuisi kosmis yang ramah dan bersahabat terhadap lingkungan. Jadi, ada baiknya menimba dari agama asli dan kontribusinya bagi kelestarian ekologi.

Saya teringat akan kelaparan di Manggarai, Flores, tahun 1972. Musim kering terlalu lama; panen gagal. Rakyat lapar, busung lapar, malnutrisi. Ada yang meninggal karena makan gadung yang diproses tidak sempurna. Ya saya teringat akan teman SD: Oswaldus. Suatu hari ia tidak ke sekolah. Kemudian ia bercerita bahwa ketika bolos, ia bersama warga kampung ke hutan, membawa sesajian kepada penghuni hutan agar diijinkan mencari sumber hidup alternatif di sana. Mereka mohon ijin. Mereka meminta maaf kepada roh-roh enau karena akan disakiti. Tetapi itu terpaksa mereka lakukan demi hidup. Mereka memotong enau agar bisa hidup. Setelah upacara itu mereka mencari umbi hutan dan menebang enau untuk sagu dan kolang-kaling. Tanpa upacara itu, orang tidak berani mengambil sumber hidup di hutan walau hal itu ada banyak.

Setelah krisis berlalu, sekali lagi Oswald dan orang sekampung ke hutan membawa sesajian syukur karena telah diberi rahmat hidup dalam mensa communis cosmis, meja umum alam. Inti upacaranya ialah berterima kasih atas kesediaan ibu bumi dan rahim hutan memberi mereka hidup baru, sehingga mereka bisa keluar dari krisis hidup karena musim lapar. Terasa di sana ada cita-rasa penghormatan; bukan eksploitasi; hutan adalah meja dan cara terakhir tempat orang mencari makan; hutan bukan untuk digarap terus menerus. Setelah krisis berlalu, secara ritual hutan harus dibiarkan memulihkan diri, agar pada gilirannya bisa menjadi daya dukung ekologis, tempat manusia hidup. Itulah intuisi kosmis manusia asli-naturalis dengan agama dan spiritualitas kosmisnya.[10]

Dimuat dalam Wacana Biblika 2006.

Kepustakaan

Raymond E.Brown, Roh Kudus Yang Datang Pada Pentakosta, manuskrip terjemahan LBI, oleh Fransiskus Borgias M., dan Martin Harun OFM (akan terbit).

Fransiskus Borgias M., “Teologi Makanan” dalam Forum Biblika, No.18, 2005, hl.24-45.

Albert J.Lachange and John E.Carroll, editors, Embracing Earth, Catholic Approaches to Ecology, Orbis Books, NY, 1994.

Robert Schreiter, The Ministry of Reconciliation, Spirituality and Strategies, Orbis Books, New York, 1998.

F.X.Kim Chi Ha, Yesus Yang Bermahkota Emas, manuskrip terjemahan Fransiskus Borgias M., asli The Gold-Crowned Jesus, Orbis Books, NY, 1978.

John Fuellenbach, The Kingdom of God, The Messages of Jesus Today, Orbis Books, NY, 1995.



[1] Penulis: Dosen Fakultas Filsafat UNPAR Bandung; Wakil Ketua LBI; anggota ISBI. Belajar teologi pada Fakultas Teologi, Katholieke Universiteit Nijemegen, Nederland (Radboud University of Nijmegen).

[2] Bagi saya ini adalah perbaikan atas teologi penciptaan. Pada saat penciptaan, Allah memberi evaluasi positif atas segala ciptaanNya. Kalau Allah memberi evaluasi positif atas segala sesuatu, maka siapakah kita yang berani berkata bahwa itu haram? Padahal Allah mengatakan semuanya itu baik?

[3] Uraian yang baik tentang hal itu lihat Raymond E.Brown, Roh Kudus Yang Datang Pada Pentakosta, Manuskrip Terjemahan untuk LBI, hal.49-52 (halaman manuskrip).

[4] Uraian bagus mengenai hal ini, lihat REB, Roh Kudus Yang Datang Pada Pentakosta, manuskrip terjemahan Fransiskus Borgias M., untuk LBI, hal.52-53.

[5] Lih. Fransiskus Borgias M., “Teologi Makanan,” dlm Forum Biblika, No.18, 2005, hal.39.

[6] Dikutip dari F.X.Kim Chi Ha, Yesus Bermahkota Emas, dan Tulisan-tulisan Lain, terjemahan Fransiskus Borgias M, tidak terbit. (asli, The Gold Crowned Jesus and Other Writings, Orbis Books, 1978).

[7] Saya menimba hal ini dari John Fuellenbach, The Kingdom of God, The Message of Jesus Today, Orbis Books, 1995, hal.162-167.

[8] Ulasan singkat dan menarik mengenai hal-hal ini, lihat Robert J.Schreiter, The Ministry of Reconciliation, Spirituality and Strategies, Orbis Books, New York, 1998, hal.52-69.

[9] Bagian ini saya olah dari Robert J.Schreiter, Ibid., p.68-69.

[10] Intuisi seperti ini dilukiskan dengan menarik oleh Marc Boucher-Colbert, “Eating the Body of the Lord, Eucharist and Community-Supported Farming,” dalam Albert J.LaChance and John E.Carroll, editors, Embracing Earth, pp.115-128.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...