Monday, November 3, 2008

REFREIN KESIA-SIAAN SI PENGKOTBAH

Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)

Kitab Pengkotbah, Qoheleth, siapa yang tidak mengenalnya? Orang-orang beriman harus membaca kitab ini, tidak hanya sekali melainkan berkali-kali dan bahkan harus terus menerus membacanya. Mengapa? Karena memang kitab ini sangat menarik. Ada suatu perspektif unik yang dibentangkannya dengan amat jujur, polos dan berani mengenai realitas kehidupan. Saya sendiri sudah membaca kitab ini berkali-kali. Sudah tidak terhitung lagi. Baik sejak masih kecil dulu, juga di seminari kecil, maupun ketika mulai mempelajari kitab suci dan ilmu tafsir khususnya tafsir sastra Hikmat Perjanjian Lama.

Saya semakin intensif lagi membacanya ketika pada awal tahun 90-an saya dipercayai dan direkomendasi oleh mantan professor saya (Prof.Martin Harun OFM dan Prof.Cletus Groenen OFM) untuk mengajarkan sastra Hikmat Kebijaksanaan itu kepada para mahasiswa di Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan Bandung. Bahkan itulah salah satu kitab yang paling sering saya baca di antara kitab-kitab sastra Hikmat ketika mempersiapkan bahan-bahan kuliah itu, karena jalan pikirannya yang menurut saya cukup unik untuk tidak sampai dikatakan rumit.

Terus terang saja saya sangat tertarik dengan kitab ini karena beberapa factor berikut ini. Pertama, karena sebuah refreinnya yang sangat terkenal, dan mengandung nada “pesimistis” tetapi juga mungkin sangat jujur dan realistis, polos dan menembus pelbagai benteng kepalsuan dan keangkuhan dan juga nafsu-nafsu bejat manusia. Simak saja apa katanya ini: Sia-sia, segala sesuatu adalah sia-sia. Ia mengulangi refrain itu hampir dalam seluruh bagian kitabnya. Ya, kalau segala sesuatu adalah sia-sia, lalu mau apalagi dengan hidup ini? Tetapi tunggu dulu. Refrein itu diucapkan oleh si Pengkotbah sebagai puncak dari pencarian, bukan di awal pencarian, sehingga refrain itu tidak pernah boleh dipakai sebagai pemaaf untuk kemalasan, untuk keengganan mencari.

Kedua, saya juga merasa sangat tertarik dengan kitab ini karena dalam salah satu babnya ia berbicara tentang kenyataan bahwa untuk segala sesuatu ada waktunya dan serba pada waktunya. Ungkapan ini memunculkan sebuah percik hikmat dalam diri saya untuk bisa bersabar dalam alur perjalanan waktu. Tidak usah tergesa-gesa, biarkan segala sesuatu mengalir begitu saja, apa adanya. Tanpa ada yang memaksa, yang mendorong sehingga menjadi rusuh dan onar. Semuanya ada waktunya: ada waktu untuk menanam, ada waktu untuk mencabut apa yang ditanam…..dst. Dan di puncak refleksi mengenai waktu ini ia mengatakan seakan-akan sebagai sebuah mahkota refleksi bahwa Tuhan membuat segala sesuatu indah pada waktunya. Ya, Tuhan yang menguasai waktu, bukan manusia. Manusia cukup pasrah saja pada si sang empunya waktu, penguasa sejarah, Alpha kai Omega.

Ketiga, saya juga tertarik dengan salah satu ucapannya yang terkenal yang sering dikutip orang di mana-mana bahwa “tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari.” Mungkin tidak seluruhnya benar apa yang dikatakan oleh dia ini. Tetapi, bagi saya tetap ada maknanya apa yang ia katakan: ia mau mengikis habis nafsu kesombongan dalam diri manusia, nafsu mengklaim hak, nafsu mengklaim segala sesuatu yang baru, nafsu menegaskan diri sendiri dengan mengorbankan orang lain. Ya, tidak ada sesuatu yang baru di bawah matahari. Apa yang sudah pernah dibuat akan dibuat lagi. Sungai mengalir ke laut, ke mana sungai mengalir ke situlah ia mengalir, dan laut tidak pernah menjadi penuh juga.

Keempat, saya juga tertarik dengan kitab ini karena nasihatnya bagi kaum muda. Dan nasihat ini terasa sangat paradoksal. Walaupun kitab ini seakan-akan terkesan sebuah kitab yang “tidak beriman” tetapi sesungguhnya “takut akan Tuhan” juga menjadi obsesi kitab ini sebagaimana halnya ia menjadi obsesi dari kitab-kitab Hikmat yang lain, seperti Amsal dan Mazmur misalnya. Kitab ini menasihatkan agar kaum muda, dalam gejolak dan gairah hidup masa mudanya jangan sampai melupakan Tuhan. Maka ia berseru dengan lantang: Ingatlah Tuhan pada masa mudamu, sebelum tiba saat yang kau katakan……

Ya dengan sengaja saya tidak mau meneruskan dulu kutipan itu, karena di sini saya tiba-tiba teringat akan Pater Cletus Groenen OFM. Kurang-lebih enam tahun sebelum ia meninggal (ia wafat pada April 1994, itu berarti tahun 1988) beliau menulis sebuah artikel dalam majalah Rohani edisi November. Sebagaimana diketahui, bulan November dalam tradisi liturgis gereja Katolik adalah saat di mana orang diberi kesempatan untuk merenungkan masa akhir hidupnya, masa senja usia (mungkin karena saat itu kita merenungkan arwah kaum beriman, tanggal 2 November). Pater Cletus memang berbicara tentang kaum religius dan usia senja tetapi apa yang ia katakan sangat tepat mengena untuk semua manusia, juga yang bukan religius.

Pater Cletus mengakhiri tulisannya itu dengan mengutip dari kitab pengkotbah: Ingatlah akan Penciptamu pada masa mudamu, sebelum tiba hari-hari yang malang dan mendekat tahun-tahun yang kaukatakan: “Tak ada kesenangan bagiku di dalamnya!”, sebelum matahari dan terang, bulan dan bintang-bintang menjadi gelap, dan awan-awan datang kembali sesudah hujan, pada waktu penjaga-penjaga rumah gemetar, dan orang-orang kuat membungkuk, dan perempuan-perempuan penggiling berhenti karena berkurang jumlahnya, dan yang melihat dari jendela semuanya menjadi kabur, dan pintu-pintu di tepi jalan tertutup, dan bunyi penggilingan menjadi lemah, dan suara menjadi seperti kicauan burung, dan semua penyanyi perempuan tunduk, juga orang menjadi takut tinggi, dan ketakutan ada di jalan, pohon badam berbunga, belalang menyeret dirinya dengan susah payah dan nafsu makan tak dapat dibangkitkan lagi – karena manusia pergi ke rumahnya yang kekal dan peratap-peratap berkeliaran di jalan, sebelum rantai perak diputuskan dan pelita emas dipecahkan, sebelum tempayan dihancurkan dekat mata air dan roda timba dirusakkan di atas sumur, dan debu kembali menjadi tanah seperti semula dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniakannya.”

Ya, ini sebuah kutipan yang sangat eksistensial, sangat realistik, jujur, polos dan apa adanya, walau terus terang juga menimbulkan rasa ciut di dalam hati.

Bandung, 30 Oktober 2008

Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...