Monday, November 3, 2008

SUKACITA FILIPI

Oleh: Fransiskus Borgias M. (EFBE@fransisbm)

Salah satu surat Paulus yang paling sering saya baca dan juga paling saya sukai adalah surat kepada Jemaat di Filipi ini. Mungkin karena saya merasa seakan-akan berjumpa secara langsung dengan Paulus sendiri dalam dan ketika membaca surat itu. Sebab Paulus memang benar-benar tampil secara personal dalam suratnya ini. Penuh nada-nada indah dan keakraban, yang pasti sangat berbeda dengan nada-nada berat dalam surat kepada jemaat di Roma misalnya. Di sini Paulus seakan-akan mau membicarakan hal-hal yang sederhana saja tetapi benar-benar menyangkut struktur dasar hidup manusia sebagai seorang pengikut Yesus Kristus. Oleh karena itu, saya mau mencatat beberapa hal yang menarik ketika saya membaca surat ini untuk kesekian kalinya dalam hidup saya.

Pertama, saya langsung teringat akan Pater Tom Jacobs SJ, yang menjadi profesor saya di Seminari Tinggi Kentungan dulu, yang mengajar tentang surat-surat Paulus. Sejauh yang masih saya ingat beliau kurang begitu fokus pada surat Filipi ini. Ia lebih fokus pada surat kepada Roma, 1 dan 2 Korintus, dan Galatia. Mungkin karena ia mau memfokuskan paparan teologis beliau dengan terutama berangkat dari kitab-kitab tadi. Alhasil, seakan-akan drama di Efesus disepelekan. Tetapi hal itu tidak mematikan keinginan saya untuk membaca dan mendalami sesuatu tentang kitab ini.

Kedua, saya langsung merasakan adanya sesuatu yang sangat mencolok dalam surat ini. Apa yang saya maksudkan itu adalah bahwa dalam surat ini Paulus menyebut kata sukacita dan kata-kata yang terkait (misalnya, bersukacita, bergembira, dst), yang kalau dihitung ternyata muncul sebanyak lebih dari 15 kali dalam seluruh surat ini. Mungkin itulah sebabnya dalam tradisi ilmu tafsir sejak jaman para Bapa Gereja dulu, kitab ini dikenal dengan sebuah sebutan teknis: kitab sukacita, kita yang penuh dengan ajakan bersukacita. Ya, sebagai orang yang beriman, kita memang pantas untuk bersukacita di dalam Tuhan. Dan di dalam Tuhan, memang tidak ada lagi alasan untuk berdukacita, untuk menjadi murung. Sebab bukankah kita ini adalah orang yang sudah tertebus oleh darah mahamulia Yesus Kristus? Ingat bahwa salah satu kritik pedas Nietszche atas orang-orang Kristen ialah bahwa orang-orang Kristen itu banyak yang murung (mungkin di Eropa yah), seakan-akan tidak ada sama sekali efek warta gembira kebangkitan dalam hidup mereka.

Ketiga, dan ini sangat paradoksal dengan yang kedua, yaitu bahwa Paulus menulis surat ini dari penjara. Maka disebut sangat paradoksal. Walaupun Paulus berada di penjara, tetapi ia tetap mampu dan mau bersukacita, dan juga bisa mengajak orang lain juga untuk tetap bersukacita, tetap berpengharapan di dalam Tuhan. Itulah paradoks penghayatan iman dan pengharapan Paulus. Bagi Paulus, fakta penjara dan dipenjarakan sama sekali bukan alasan untuk meninggalkan kewajiban fundamental untuk mewartakan Kristus. Bahkan ajaib sekali bahwa dalam kacamata Paulus, fakta pemenjaraan dirinya bisa juga menjadi media pewartaan. Sebab ketika sang pewarta ulung itu dipenjarakan, tentu saja semua dan banyak orang ingin tahu mengapa ia dipenjarakan. Dan jawabannya hanya satu: Paulus dipenjarakan karena nama Yesus Kristus. Jadi, jawaban singkat itu saja sudah merupakan warta Injil. Itu sebabnya juga Paulus sangat bersukacita walau dipenjara.

Keempat, barangkali kata kunci untuk dapat memahami semuanya ini ialah keyakinan dan pandangan Paulus sendiri, bahwa ia merasa sudah ditangkap oleh Kristus. Ia seakan-akan menjadi seorang buronon yang sudah tertangkap di tangan Yesus sendiri. Dan dalam keadaan terbelenggu di dalam Yesus, ia merasa bahwa seluruh hidupnya adalah hidup dalam Kristus, hidup untuk Kristus, seperti yang ia katakana sendiri kemudian: bagiku hidup adalah Kristus dan mati adalah keuntungan. Kalau ia diberi kesempatan untuk hidup terus maka ia akan selalu mewartakan nama Yesus. Itulah arti dari ungkapan “hidup adalah Kristus.” Dan kalau toh ia harus mati karena aktifitas pewartaan itu, maka ia mengartikan peristiwa kematian itu sebagai kembali kepada Kristus dan bersatu padu dengan Dia di surga. Sebab seperti yang ia katakana di tempat lain, Kristuslah yang telah mendamaikan segala sesuatu dengan diriNya sendiri dan akhirnya dengan Allah juga.

Masih ada lagi satu hal yang perlu saya kemukakan di sini. Rupanya di Filipi ada para tokoh jemaat perempuan yang saling bertikai satu sama lain, walau tidak dijelaskan dengan persis apa yang menjadi pokok pertikaian mereka. Kedua tokoh perempuan itu adalah Sintike dan Euiodia. Dan untuk mendamaikan kedua orang itu, Paulus meminta pertolongan dari seseorang yang bernama Sunsugos. Dan motivasi pendamaian yang diprakarsai oleh Paulus itu tidak lain ialah cinta kasih dan persatuan di dalam Tuhan semata-mata, dan tidak ada alasan lain. Paulus juga tidak mau mencari alasan lain, tidak mau menyalahkan salah satu pihak. Melainkan ia merangkul kedua belah pihak dan ia mendorong agar kedua pihak yang bertikai mau dan sudi mengembalikan persoalan mereka ke dalam tangan Tuhan sendiri. Mungkin kearifan Mazmur itu penting selalu diingat di sini dan dalam konteks ini: Ke dalam tanganmu, kuserahkan diriku ya Tuhan penyelamatku. Atau perkataan Yesus dalam injil Mateus: Datanglah kepadaKu kamu semua yang berletih-lesu dan berbeban berat, Akan memberikan kelegaan kepadaMu. Selama kita memikul sendiri beban kita, maka kita akan merasa tertekan, dan relasi dengan orang lain pun bisa menjadi rusak karena kita tidak dapat memancarkan kasih persaudaraan melalui roman muka kita. Bagaimana mungkin kita bisa memancarkan kasih itu lewat roman muka kita kalau kita tertekan oleb beban hidup. Maka serahkan saja semuanya pada Yesus, seperti kata sepenggal syair sebuah lagu pop-rohani.

Bandung, 30 Oktober 2008

Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)


No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...