Paulinus Olak MSF, menulis di Hidup (No.....thn.2007, hal.....) bahwa buku Paus Benediktus laku keras. Bahkan diterjemahkan ke dalam pelbagai bahasa. Saya dapat edisi Inggris. Kita tunggu penerbit yang mengusahakan Indonesianya. Sambil menunggu itu, saya ingin memberi catatan mengenai alasan mengapa buku itu laku keras. Ada enam alasan. Pertama, karena buku ini memberi kesan mau memberi titik apa yang selama ini diberi tanda tanya. Kedua, buku ini oleh penerbitnya diberi kesan ditulis Paus. Padahal ia menulis lebih sebagai Ratzinger daripada Benediktus XVI. Ketiga, buku ini adalah buku teolog besar Jerman yang menjadi paus, yang selama ini punya jabatan penting di Vatikan, yang tahun lalu menjadi heboh sejagad karena “insiden Regensburg.” Keempat, buku ini adalah sebuah kristologi biblis; ini erat terkait dengan alasan pertama. Kelima, secara pribadi saya suka buku ini karena dalam buku ini ada tafsir doa paling populer kita, doa favorit saya, Bapa Kami yang terkenal itu. Keenam, buku ini mengandung segi kontroversial, yang akan saya jelaskan lagi. Tidak semua alasan ini diulas rinci. Saya fokus pada alasan pertama dan keenam saja.
Untuk memahami alasan pertama kita harus tahu latar belakang sejarah teologi khususnya Kristologi, sebab buku ini adalah buku Kristologi alkibiah (alasan keempat). Mana latar belakang sejarah itu? Tahun 1985, terbit buku Paul F.Knitter, dengan judul heboh dan menantang: No Other Name? Heboh, karena tanda tanya (?) dalam judul itu. Sebuah pernyataan tegas dari Perjanjian Baru (Kis.4:12), yang diafirmasi terus menerus sepanjang sejarah teologi, sejarah misi, dan sejarah gereja, oleh Knitter untuk pertama kalinya dibubuhi tanda tanya. Ada apa? Buku Knitter lahir dari sudut pandang teolog pluralis (Knitter lebih suka menyebut posisinya, relasional). Hal itu tampak dari judul kecilnya: A Critical Survey of Christian Attitudes Toward the World Religions. Ini menunjukkan titik tolak dari mana Knitter mulai berteologi, yaitu kesadaran akan pluralisme dan dialog agama. Menantang, karena tanda tanya itu mendorong para teolog memikirkan kembali keyakinan dan pandangan teologis dan kristologis mereka dalam konteks globalisasi dan pluralisme religius. Ada banyak teolog yang mencoba menjawab persoalan itu. Knitter sendiri menjawab pertanyaan itu melalui bukunya yang terbit sebelas tahun kemudian: Jesus and Other Names (1996). Dalam buku ini antara lain ia membahas keunikan Yesus yang mula-mula direvisi, lalu direafirmasi. Knitter-lah yang memperkenalkan terminologi truly but not the only sehubungan dengan paham kita mengenai peranan Yesus Kristus.
Tahun ini terbit buku monumental Josef Ratzinger yang membahas pandangan dia (non ex cathedra, lihat alasan kedua) mengenai Kristologi Perjanjian Baru. Tendensi dasar buku ini berbeda dengan buku Knitter (1985). Walau Ratzinger tidak menyebut nama Knitter dalam buku ini, tetapi kiranya ia terpikir tentang heboh tanda tanya Knitter yang menantang tadi, sebab tahun 1990-an, Knitter pernah menjadi target Vatikan lewat Josef Tomko. Dalam pengantar buku ini, Ratzinger menyinggung sejarah penyelidikan Yesus yang cenderung dekonstruktif: mulai dari teologi liberal abad 19, yang di bawah komando Harnack, menuduh helenisasi sebagai biang keladi segala soal kristologi; konon ontologi Yunani mengubah Yesus dan ajaranNya semula. Tendensi dekonstruktif itu dilanjutkan dengan apa yang disebut demitologisasi, dengan tokoh Bultmann, dalam rangka mencari sosok dan peran Yesus historis. Knitter adalah lanjutan dari penyelidikan teologis seperti itu, seperti kata Paul Mojzes dalam pengantar The Uniqueness of Jesus, A Dialogue with Paul F.Knitter. Ratzinger menuduh bahwa akibat dari ambisi rasional metode penyelidikan modern itu ialah Yesus dan iman akan Yesus Kristus menjadi kabur (Ratzinger, 2007:xii). Ratzinger mau mengatasi kekaburan itu.
Di hadapan semua arus penyelidikan ilmiah dekonstruktif itu, Ratzinger menulis buku ini; ia mencoba menelusuri karya para ahli PB Katolik, pada sepertiga pertama abad 20 silam (seperti Karl Adam, R.Guardini, Franz Michel William, Giovanni Papini, Henri Daniel-Rops), yang oleh Ratzinger dianggap mempunyai niat baik dalam aktifitas mereka berteologi. Tendensi itu juga ada dalam diri R.Schnackenburg, exeget katolik Jerman, yang menulis Kristologi Perjanjian Baru. Ratzinger, sebagai teolog, mengaku belajar banyak dari para teolog tadi. Kalau penyelidikan ilmiah mencoba memilah Yesus iman dan Yesus sejarah, yang cenderung destruktif, maka para teolog dan ekseget Katolik yang disebut Ratzinger tadi berada dalam tendensi Rekonstruksi. Buku Ratzinger ini dengan tegas melanjutkan dan menegaskan tendensi rekonstruksi itu. Kalau penyelidikan ilmiah selama ini cenderung membubuhkan tanda tanya, maka penyelidikan ilmiah Ratzinger, memberi titik lagi pada pernyataan iman awal itu: “....sebab di bawah kolong langit ini tidak ada nama lain yang diberikan kepada manusia yang olehnya kita dapat diselamatkan” (Kis 4:12: tebal dari saya: No Other Name, judul buku Knitter). Titik. Bahkan tanda seru. Buku ini membawa kita kembali ke dalam Kristologi Perjanjian Baru. Jadi, Ratzinger, bergerak kembali dari tanda-tanya (dekonstruksi) ke titik bahkan tanda seru (rekonstruksi). Iman akan Yesus Kristus yang sekian lama ditantang habis-habisan, bahkan sampai babak-belur, kini direafirmasi kembali. Apa yang sekian lama dibubuh tanda-tanya (dekonstruksi), kini diberi titik (afirmasi, rekonstruksi, penegasan finalitas). Kiranya, itulah kunci sukses buku Ratzinger: Kembali kepada Yesus Kristus, sebab itulah inti dari menjadi Kristiani.
Akhirnya, catatan singkat mengenai alasan keenam. Sebagaimana diutarakan dalam alasan kelima, dalam buku ini ada uraian mengenai doa Bapa Kami yang terkenal itu. Salah satu bagian dari uraian itu, bisa menjadi kontroversi besar khususnya bagi kaum teolog feminis. Salah satu gelar Allah yang populer dalam doa ini ialah gelar Bapa (Ratzinger, 2007:139-140). Bagaimana dengan Ibu? Bisakah kita berdoa: Ibu kami yang ada di surga? Sehubungan dengan ini, Ratzinger mengatakan sbb: dalam Kitab Suci, Allah memang diibaratkan Ibu. Tetapi itu hanya ibarat. Itu bukan gelar. Ada beda besar antara ibarat dan gelar. Harus diakui bahwa pernyataan Ratzinger mempunyai dasar biblis-historis-teologis-tradisi. Tetapi, dan ini segi kontroversialnya, ucapan seperti ini bisa menyakitkan kaum feminis yang dewasa ini sedang naik daun dalam pelbagai percaturan teologi. Tetapi, bukan Ratzinger namanya, kalau tidak kontroversial. Sifat kontroversial ini turut melambungkan popularitas buku ini.
No comments:
Post a Comment