Sunday, November 2, 2008

RENUNGAN APOKALIPTIK UNTUK ISBI

Dalam Simposium Nasional ISBI, di Cipanas.

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Bacaan : Kis 1 :6-14
“Ketika mereka sedang menatap ke langit waktu Ia naik itu, tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih dekat mereka, dan berkata kepada mereka: “Hai orang-orang Galilea, mengapakah kamu berdiri melihat ke langit? Yesus ini, yang terangkat ke sorga meninggalkan kamu, akan datang kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihat Dia naik ke surga.”

Itulah sebagian kutipan dari bacaan yang baru saja kita dengar bersama-sama pada kesempatan ibadat kita kali ini. Paling tidak, dalam renungan pribadi saya, ada dua hal yang patut digaris-bawahi dari teks ini. Pertama, dalam perjalanan hidup para murid mengikuti Yesus Kristus, Sang Guru, akhirnya mereka sampai pada tingkat radikal-mistik, yaitu, mereka menyaksikan Tuhan Yesus terangkat dengan semarak-mulia ke surga dan itu berarti Ia masuk ke dalam kemuliaanNya bersama Bapa. Kita juga semua sudah tahu bahwa Yesus terangkat ke surga dalam suatu peristiwa kosmis yang ajaib: terangkat ke atas dari bumi dan kemudian ditutup awan-awan. Wajar saja bahwa pada saat itu para murid seakan-akan terpesona oleh daya keharuan mistik peristiwa kenaikan Yesus sehingga mereka memandang ke atas seperti terhanyut dalam ekstase mistik. Mereka tampak seperti bengong, hanyut dalam keharuan. Tentu saja mereka sudah tahu bahwa Tuhan Yesus sudah naik dan dengan tegas dikatakan juga bahwa “awan-awan sudah menutup-Nya dari pandangan mereka.” Tetapi mereka masih saja tetap menatap ke atas, yaitu ke arah Ia yang terkasih hilang untuk terakhir kalinya. Mungkin karena mereka masih terdorong oleh perasaan haru biru penuh kerinduan dan mungkin juga mereka dilanda oleh kesedihan yang tiada tertanggungkan. Dengan kata lain, mata para murid ditengadahkan ke atas, ke langit, ke awan-awan, ke peristiwa yang bakal mengalir dari masa depan. Mereka memandang ke surga, memandang ke langit, ke angkasa, menatap ke dunia idea (meminjam istilah filsafat Plato).

Dan di tengah situasi keterpesonaan mistik-kosmik seperti itu, dikatakan bahwa tiba-tiba berdirilah dua orang yang berpakaian putih di dekat mereka. Saya kira mereka ini adalah para malaekat, suatu simbol kehadiran dari dunia lain (tetapi bukan dunia lain menurut versi tayangan populer televisi swasta kita), suatu kehadiran dari dunia atas, sebuah peristiwa epifani, bahkan peristiwa teofani, penampakan dari atas, penampakan dari yang ilahi itu sendiri. Tetapi saya kira, hal yang terpenting di sini bukanlah peristiwa epifani atau teofaninya itu. Kiranya yang terpenting bagi kita ialah pesan yang disampaikan dalam peristiwa epi-teofani itu. Dan pesannya kiranya sangat jelas, yaitu mereka “mempersoalkan” keterpesonaan mistik-kosmik para murid itu, yang tampak terungkap secara fisik dalam pandangan mereka yang seakan-akan bengong-kosong terarah ke atas, ke awan-awan, ke langit, ke angkasa, ke jentera peristiwa masa depan. Dengan kata lain, mereka mau mengatakan kepada para murid sbb: Mengapa kamu bengong memandang ke atas? Untuk apa? Apa gunanya? Yesus sudah pergi. Tetapi, Ia masih akan kembali dengan cara yang sama seperti kamu melihatnya Ia pergi pada hari ini. Jadi, dengan kata lain, para murid disarankan untuk jangan sampai terhanyut dalam keterpesonaan mistik-kosmik karena kepergian Yesus itu. Itu tidak perlu sama sekali. Yang terpenting ialah, bersiap-siap menyongsong kedatanganNya kembali. Sekali lagi, yang terpenting ialah, mereka harus bersiap-siap menyongsong kedatanganNya kembali. Itulah yang tersirat dalam hardikan para malaekat itu.

Maka dengan ini kita pun sampai pada segi kedua dari pengalaman ini. Berkat, hardikan para malaekat itu, akhirnya para murid tahu apa yang harus mereka perbuat. Pertama-tama mereka harus berhenti menatap ke langit, melainkan mulai menatap ke bumi. Mereka pertama-tama harus bertobat dari Plato menjadi Aristoteles. Kalau Plato berjalan sambil melihat bintang-bintang, dengan risiko kaki terantuk pada batu (juga bisa terantuk dua kali pada batu yang sama), maka Aristoteles berjalan sambil melihat bebatuan di ujung kakinya, agar tidak tersandung pada batu, sambil sekali-sekali melayangkan pandangannya ke angkasa menikmati langit dan bintang-bintang, karena the turn to realism tidak membutakan Aristoteles dari pengakuan akan adanya the world of idealism. Dan menurut saya, pola itulah yang mau diperlihatkan dan dipentaskan para murid dan jemaat gereja perdana selanjutnya.

Setelah mereka tidak lagi memandang ke atas, yaitu ke langit, maka mereka lalu kembali ke Yerusalem. Ada beberapa hal yang mereka lakukan di sana. Pertama, mereka naik ke ruang atas, yang dalam bahasa Latin disebut coenaculum, dari mana tradisi doa senakel itu berasal. Kedua, mereka semua bertekun dengan sehati dalam doa bersama-sama. Cerita selanjutnya kita semua tahu: bahwa penantian itu akhirnya bermuara pada Peristiwa Pentakosta yang dahsyat itu. Tetapi, peristiwa itu sendiri adalah sebuah titik awal baru dalam menggereja. Bahkan itu adalah sebuah transformasi cara menggereja. Dari menggereja yang menatap ke atas, lalu bergeser ke gereja yang bertekun dalam doa, dan akhirnya ke menggereja yang misioner, membumi (yang memungkinkannya bisa berkembang hingga sampai ke ujung-ujung bumi). Kalau dilihat dari perspektif seperti ini, maka transformasi cara menggereja itu akhir-akhirnya benar-benar bercorak kristosentris. Sebab bagaimana pun juga, tetap berlaku perkataan ini: Tetapi kamu akan menerima kuasa, kalau Roh Kudus turun ke atas kamu, dan kamu akan menjadi saksi-Ku di Yerusalem dan seluruh Yudea dan Samaria dan sampai ke ujung bumi. Tampak sebuah gerak sentrifugal dari transformasi menggereja, tetapi semuanya masih tetap di dalam Kristus.

Dan hari-hari ini kita berkumpul kembali di sini dalam acara rutin dua tahunan kita dalam konteks ISBI. Kita mau buat apa? Tema pertemuan kita ialah tentang apokalikptik. Semua para pembicara yang didaulat untuk berbicara dalam pertemuan ini, akan mengulas tema besar apokaliptik itu. Apa sih arti pentingnya kita menyibukkan diri dengan tema ini? Atau buat apa kita memberi perhatian besar yang khusus terhadap tema ini? Saya kira jawabannya nanti akan kita ketahui dalam rangkaian ceramah-ceramah dan diskusi kita. Tetapi ijinkan saya memberi jawaban saya sendiri. Menurut saya, sebagian besar kesibukan berteologi kita berurusan dengan tahap kembalinya para murid ke Yerusalem dan mulai hidup menggereja sebagai gereja perdana. Pelbagai macam aktifitas dilakukan dalam rangka menggereja di tengah dunia itu. Sekadar bebecara contoh: Dalam teologi pastoral kita berteologi tentang pelayanan kita. Dalam eklesiologi kita berteologi tentang menggereja di tengah dunia dan masyarakat. Teologi politik, teologi pembebasan, dan pelbagai macam teologi-teologi lainnya, kebanyakan kali berurusan dengan tahap setelah kembali ke Yerusalem dari bukit Zaitun itu. Tetapi kita semua tahu, bahwa teologi-teologi itu kita lakukan dalam rangka mempersiapkan diri menyongsong kedatangan kembali Anak Manusia di akhir jaman, dan di atas awan-awan.

Nah pada hari-hari ini, kita secara khusus mau menukikkan perhatian kita pada tahap para rasul sebelum mereka kembali ke Yerusalem. Dengan kata lain, kita mau memusatkan perhatian kita pada tahap keterpesonaan mistik-kosmik karena pengaruh daya pesona peristiwa kenaikan Yesus Kristus. Tetapi saya kira, kita melakukan hal itu bukan untuk berhenti di sana, melainkan untuk mempersiapkan diri dengan lebih baik sebagai gereja, menyongsong kedatangan Kristus kembali. Sekali lagi, kita memusatkan perhatian kita ke tahap itu, bukan untuk mati terpaku di sana. Sebab kalau itu yang terjadi, maka mungkin akan ada epi-teofani lagi, dan akan ada hardikan lagi dari para malaekat yang mungkin akan terdengar lebih keras dari yang dulu telah terjadi atas para murid. Tentu saja kita tidak mau hal itu terjadi. Maka, sesudah pertemuan ini, marilah kita ke Yerusalem, dan menjadi saksi Kristus di Yudea, Samaria, sampai ke ujung bumi. Mari kita menjadi saksi Kristus, mulai dari Cisarua, Jakarta, Sukarno-Hatta, hingga ke Papua dan sampai ke ujung-ujung bumi, sambil jangan lupa bahwa negeri kita yang tercinta ini sedang dilanda hujan badai, banjir, tanah longsor, gempa-bumi dan tsunami. Siapa tahu itu adalah epifani dan teofani bagi kita.


Bandung, 21 Juli 2006

Fransiskus Borgias M.

(Disampaikan di hadapan peserta simposium nasional Ikatan Sarjana Biblika Indonesia, ISBI, di STT Cipanas).

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...