Kalau membaca kitab Kidung Agung saya selalu langsung teringat akan dua orang dosen saya dulu. Pertama saya langsung teringat akan Pater Cletus Groenen OFM. Dalam pelajaran yang ia berikan pada masa novisiat dulu di Yogyakarta, ia menerangkan mengenai beberapa persoalan pengantar dalam Kitab Suci dan teologi Perjanjian Lama. Salah satu hal yang ia ungkapkan ialah mengenai problematik kitab Kidung Agung ini. Dengan suaranya yang rada sengau (suara seakan-akan keluar dari hidung) dan agak kecil dan serba tertahan-tahan itu, saya masih ingat dengan sangat baik, ia mengatakan bahwa kitab Kidung Agung itu adalah kitab porno, bahkan kitab paling porno. Dan itu memang betul. Kalau tidak percaya, coba saja anda baca sendiri. Nanti anda akan tahu bahwa di sana disebutkan dengan sangat gamblang mengenai buah dada perempuan, mengenai leher perempuan yang jenjang, mengenai betis perempuan, bahkan mengenai pusar perempuan.
Tetapi….. bagaimana bisa bahwa kitab yang porno itu, atau kalau mau memakai bahasa kita sekarang ini, kitab yang penuh dengan pornografi dan pornoaksi itu, dapat lolos masuk ke dalam kanon Kitab Suci? Itulah yang menjadi soal? Tetapi rupanya yang dilihat orang ketika membaca kitab itu bukanlah hal-hal fisik, buah dada, leher, dagu, alis mata, betis, pusar, melainkan sesuatu yang lebih mendalam, yaitu nada-nada dan gairah cinta. Ini adalah madah kasih, madah cinta yang mengagungkan cinta tulus murni antar manusia. Ya tidak ada yang salah dengan cinta yang tumbuh di antara manusia itu. Cinta itu datang dari Tuhan sendiri. Tuhanlah yang membangkitkan cinta dalam diri manusia. Gairah cinta itulah yang kemudian dipakai dan dipahami sebagai analogi dan metafor relasi cinta, hasrat, harap, dan kerinduan manusia akan Allah. Ya cinta itu kuat seperti maut kata Paulus di suatu tempat.
Cinta manusia akan Allah pun harus segairah seperti itu, tidak mati angin, tidak lembam, tidak suam-suam kuku, sebab kalau hanya suam-suam kuku maka akan dimuntahkan. Cinta itu harus penuh gairah mencari dan mencari, mendekati dan meraih, merengkuh, walau tiada pernah utuh terengkuh. Sebab selalu berjarak.
Kebanyakan ilmuwan tafsir dalam sejarah gereja memahami kitab ini secara alegoris. Itulah ilmu tafsir yang berkembang sejak Filo, Origenes, Agustinus, Hieronimus, dan terutama Bernardus dari Clairvaux, dst., dan terus bertahan juga hingga dewasa ini. Berkat alegori itulah, ketika orang membaca gejolak rindu para kekasih di sana, orang tidak terpikir hanya semata-mata akan kekasih duniawi ini melainkan juga dan barangkali terutama akan kekasih surgawi. Itulah patokan cara baca yang benar yang digariskan oleh para Bapa gereja dan para rabi Yahudi.
Orang kedua yang serentak saya ingat ialah Pastor Wim van der Weijden MSF. Beliau adalah dosen saya untuk sastra Hikmat dan nabi-nabi di seminari Tinggi Kentungan Yogyakarta dulu. Orang inilah yang secara paling kuat menanamkan tafsir alegoris dan metaforis akan kitab ini ke dalam hati saya. Saya masih ingat dengan sangat baik mimik mukanya yang malu-malu dan seperti rada skrupelous ketika menyebut buah dada. Ya saya bisa mengerti, mungkin karena dia pastor. Dalam bukunya Seni Hidup (Kanisius: 1995) ia membeberkan beberapa tafsir mengenai buah dada. Salah satu tafsir ialah bahwa menurut para rabi Yahudi, dua buah dada itu ialah dua gundukan yang ditimbulkan oleh selubung kain penutup tabut perjanjian dengan kayu pemikul tabut itu. Ketika melihat dua gundukan itu, orang langsung ingat bahwa di tengah gundukan itu ada tabut perjanjian, tempat berpijak kaki YHWH. Ada juga yang menafsirkan dua buah dada itu sebagai dua wilayah kerajaan Israel pada masa Daud dan Salomo, yaitu Yudea dan Samaria. Di tengah-tengah wilayah itu ada Yerusalem dengan bukit Zion yang mempunyai kedudukan dan arti sangat penting dalam kenangan dan imajinasi religius orang Isarel.
Seakan-akan mengikuti tafsir seperti itu, para bapa gereja di kemudian hari mengatakan bahwa dua gundukan buah dada itu adalah dua perjanjian: Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru. Inti Perjanjian Baru adalah totalitas peristiwa Kristus.
Terus terang semua tafsir itu sangat indah dan menarik. Sama sekali tidak mengandung asosiasi pornografi dan pornoaksi. Sekarang ini, kita di Indonesia sedang gencar-gencarnya membicarakan tentang RUU pornografi dan pornoaksi. Ada yang pro dan ada yang kontra. Sebagian besar fraksi di DPR sudah menyetujui agar RUU itu dijadikan UU. Yang menolak hanya PDIP dan PDS. Kalau RUU itu menjadi UU maka mungkin inilah terakhir kalinya kita akan bisa membaca kitab itu, sebab kitab yang vulgar itu akan dengan sangat mudah dipakai oleh massa bringas untuk mencap pelaku pornografi dan pornoaksi, justru di ranah-ranah suci dan ilahi lagi. Bukankah itu jorok? Tetapi mereka yang berpandangan demikian, adalah orang porno itu sendiri. Seksualitas adalah sesuatu yang suci, mulia, kudus. Kita dapat memuliakan Tuhan juga dengan tubuh kita dan dengan daya seksualitas kita. Tuhan tidak menjadi jauh karena tubuh dan karena seksualitas kita. Tuhan malah sangat dekat. Mungkin kita bisa lebih memahami Tuhan lewat misteri-misteri tubuh dan seksualitas kita. (Hari ini, 31 Oktober saya baca di koran-koran bahwa RUU pornografi dan pornoaksi sudah menjadi UU. Boleh jadi, apa yang saya takutkan di atas akan menjadi kenyataan; juga untuk saya yang menulis dalam blog ini).
Bandung, 30 Oktober 2008
Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)
No comments:
Post a Comment