Oleh: Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)
Saya sudah berkali-kali membaca kitab Rut karena menurut saya kitab itu adalah salah satu kitab yang sangat menarik dalam Perjanjian Lama. Saya tidak pernah merasa bosan membaca dan membaca kembali (re-legere, menarik bahwa kata religio dalam bahasa Latin mempunyai kaitan asal-usul akar kata dengan kata re-legere ini) kitab itu. Ada banyak sekali aspek yang bisa diberikan sebagai bukti daya tarik kitab itu. Saya mau men-sharing-kan beberapa di antaranya dalam tulisan singat dan sederhana ini.
Pertama, saya tertarik dengan penerapan etika ladang yang diterapkan dengan sangat baik oleh si Boas, yang memerintahkan kepada para pekerjanya agar dengan sengaja membiarkan bulir-bulir gandum tidak dipanen sampai bersih agar si Ruth yang memungut di belakang bersama-sama burung-burung di udara yang juga mempunyai hak mereka di ladang (sebagai mensa communis naturalis) itu, masih bisa mendapatkan sesuatu untuk dibawa pulang. Saya langsung teringat akan kakek saya dulu di kampung yang juga mengajarkan hal yang sama kepada saya ketika sebagai anak kecil saya ikut memanen padi di sawah. Dalam bahasa Manggarai, disebut woja ligot (padi pungutan). Juga disebut woja sapang, artinya padi rebutan karena memang direbut dulu-duluan antara orang miskin dan burung-burung pipit. Itu dimaksudkan untuk para janda, orang miskin dan kaum yatim piatu.
Kedua, saya tertarik akan sikap ngotot Rut yang meminta kepada Naomi (sang ibu mertua) agar sudi diijinkan mengikuti dia kembali ke Betlehem. Dan terkenallah lagu-puisi dari Rut yang diucapkannya kepada Naomi. Sedemikian indahnya, sampai puisi itu menjadi ilham bagi banyak penyair, pelukis, pengarang lagu untuk mengangkat teks itu sebagai syair dalam lagu mereka. Salah satunya yang saya ingat ialah sbb: Where ever you go I shall go, where ever you live so shall I live, your people will be my people, and your God will be my God too. Sayang saya tidak bisa menampakkan indahnya nada-nada lagu karangan para rahib Benediktin itu dalam tulisan ini. Inilah keterbatasan tulisan, tidak bisa memuat getar-getar nada, betapa pun nada-nada itu indah.
Ketiga, saya juga sangat tertarik akan ketegaran seorang Naomi, sang ibu mertua, yang dengan heroik melewati pelbagai cobaan hidup yang berat: mulai dari bencana kelaparan yang menimpa keluarga Naomi di Betlehem yang menyebabkan mereka sekeluarga mengungsi (menjadi migran dan perantau) ke tanah Edom (yang terletak di seberang Yordan), hingga ke peristiwa tragis wafatnya sang suami tercinta (Elimelekh), dan wafatnya juga kedua putra tercinta (Mahlon dan Kilyon) tanpa meninggalkan anak (keturunan), malahan justru meninggalkan beban dua orang janda muda (Ruth dan Orpa). Tetapi Naomi menghadapi semuanya itu dengan sangat tenang. Hampir tidak terasa nada-nada keluh kesah yang keluar dari perempuan perkasa ini, sosok mulier fortis yang dipuja-puja dalam Amsal 31 itu. Seakan-akan ada sebuah perpsektif atau horizon yang membentang, yang entah bagaimana bisa membuat dia tidak terhimpit oleh beban hidup yang datang bertubi-tubi. Ya, memang penting itu sebuah perspektif, sebuah horizon, sebuah cakupan jarak pandang, agar orang tidak menjadi sumpek terkurung dan mati lemas karena sempitnya cakrawala pandangan.
Tetapi setiap kali saya membaca kitab ini dalam Alkitab saya yang sudah penuh dengan coretan dan garis bawah, penuh dengan catatan pinggir, penuh catatan kaki, penuh stabilo, penuh tanda bintang, tanda seru, tanda panah, dan bahkan juga tanda tanya, saya langsung teringat akan teman saya yang kini bekerja sebagai staf ahli di Departemen Terjemahan Lembaga Alkitab Indonesia. Nama teman saya itu ialah Hortensius Florimond Mandaru (Dulu ada embel-embel OFM di belakang namanya, tetapi kini dalam perjalanan waktu embel-embel itu dilepaskan, mungkin karena terlalu capek memakainya, atau mungkin karena terlalu berat untuk disandang, hanya dia dan Tuhan saja yang tahu).
Dalam sebuah kesempatan pelatihan untuk proyek Hand Book di Bogor beberapa tahun silam, ia didaulat untuk membuka pertemuan kami dengan doa dan renungan kitab suci. Kebetulan teks yang diangkat sebagai bahan latihan bersama dalam proyek itu ialah kitab Rut. Ia membawakan renungan itu dengan sangat baik. Ia memadukan kemampuan exegese yang tepat dan cara penyampaian homili yang indah pula. Seakan-akan saya baru mengenal kembali teman saya itu dengan kemampuannya yang khas itu. Ia langsung fokus pada Rut 1 saja. Dalam kotbahnya itu ia menggaris-bawahi satu hal ini: Bahwa Allah berkarya dalam realitas hidup manusia yang serba sehari-hari, serba biasa, serba sederhana, sangat sepele. Allah berkarya dalam kelaparan, dalam pengungsian, dalam rasa kehampaan yang dialami Naomi karena merasa tidak mempunyai masa depan kalau tidak ada Go’el yang bangkit menolong dia. Memang sangat menarik bahwa Betlehem yang artinya rumah roti, mengalami musibah, yaitu ditimpa kelaparan. Bagaimana mungkin Rumah Roti bisa kelaparan. Tetapi itulah yang terjadi. Ketika rumah roti itu kosong maka ditinggalkan. Tetapi kemudian Naomi dan Rut kembali ke rumah roti itu ketika sudah ada tanda-tanda kehidupan di sana. Kekosongan hidup Naomi akhirnya diisi oleh Allah. Allah memaknai hidupnya. Allah lalu menjadi makna terakhir dan tertinggi bagi hidup Naomi. Mungkin kira-kira seperti kata Edward Schillebeeckx OP, Allah adalah cakarawala paling jauh bagi upaya manusia dalam rangka memaknai hidupnya, sekarang dan di sini, di dunia ini. Rumah roti akhirnya memberi hidup baru bagi Naomi dalam artian yang seluas-luasnya. Mungkin itu sebabnya Yesus berdoa, berilah kami roti pada hari ini. Dan Tuhan selalu memberi roti itu, dari waktu ke waktu.
Bandung, 30 Oktober 2008
Fransiskus Borgias M (EFBE@fransisbm)
No comments:
Post a Comment