Saturday, February 9, 2019

MEMAHAMI DAN MENIKMATI KIDUNG AGUNG 3:1-6

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Biblika pada FF-UNPAR Bandung; Anggota LBI dan ISBI.




Dalam bagian sebelumnya tokoh kitab ini sudah berbicara tentang rembang petang (Kid 2:17). Sebentar lagi malam tiba. Keadaan malam hari itulah yang dilukiskan dalam bagian ini. Sudah tentu, ketika malam tiba, manusia beristirahat dan tidur di peraduannya. Tidur adalah berhenti sejenak dari semua aktifitas di siang hari. Tubuh memang butuh istirahat demi pemulihan. Tetapi di sini kita membaca bahwa pencarian sang kekasih (perempuan) akan sang kekasih prianya tidak juga berhenti. Badannya boleh beristirahat. Tetapi hatinya tidak. Ia terus mencari, merindu, dan mendamba. Juga di atas ranjang istirahat di malam hari, ia terus mencari jantung hatiku (Kid 3:1).

Tetapi sayangnya, ia belum menemukan yang dicarinya. Karena itu, pencarian dilanjutkan. Apakah ayat kedua ini harus dibaca secara harfiah, ataukah secara metaforis? Saya membacanya secara metaforis. Maksudnya ialah bahwa walaupun kini ia mau bangun dari tempat tidurnya dan pergi berjalan mencari sang kekasih yang dirindukannya, namun sesungguhnya yang dimaksudkan ialah perjalanan pencarian di dalam jiwa, di dalam hati, dalam kerinduan. Sesungguhnya badannya sudah sungguh beristirahat di tempat tidur, tetapi hatinya yang merindu dan mendamba tetap bangun dan berkeliling di kota, di jalan-jalan dan di lapangan-lapangan kota (ayat 2ab). Jadi, dalam pembacaan saya, ia tidak sungguh bangun di malam hari lalu melakukan perjalanan malam, melainkan ia melakukan upaya pencarian itu dalam gelora rindu dan damba.

Lagi-lagi upaya pencarian itu belum sampai pada tujuannya. Ia belum berhasil menemukan kekasih yang dicari dan didambakannya dengan sepenuh hati (ay 2c; ini merupakan ulangan dari bagian akhir ay 1). Memang hati manusia bisa “melanglang buana” jauh melampaui kemampuan badaninya yang dibatasi ruang dan waktu. Sebaliknya, hati dan budi manusia tidak terikat ruang dan waktu. Ia bisa “berjalan” melintasi batas-batas itu, baik ke masa silam maupun ke masa depan. Itulah keajaiban hati dan budi manusia.

Di dalam upacara pencarian di malam hari itu, ia membayangkan bertemu dengan para penjaga malam. Kepada mereka ia lontarkan pertanyaan pencarian. Tetapi tidak ada jawab yang mereka berikan (ay 3). Itulah sebabnya ia meninggalkan mereka. Ia merasa tidak perlu berlama-lama mencari informasi pada mereka yang tidak sanggup menjawab, memberikan jalan keluar. Lalu terjadilah keajaiban, terjadilah sebuah mukjizat.

Tidak lama setelah ia meninggalkan peronda malam yang tidak mampu menjawab pencariannya, ternyata ia menemui jantung hatinya. Ungkapan “jantung hati” adalah metafora mengenai kekasih. Itu adalah pertanda betapa mereka mempunyai hubungan yang sangat erat. Sang kekasih itu diibaratkan organ tubuh yang vital di dalam tubuh manusia, jantung-hati, heart, cor. Itulah pusat pikiran dan perasaan manusia. Karena itu saat ia menemukan kekasihnya, pasti ia merasa seperti menemukan dirinya sendiri, menemukan salah satu bagian inti dari dirinya sendiri. Betapa bahagianya dan menyenangkan perjumpaan seperti itu. Perjumpaan yang menghidupkan. Karena itu, ia memegang kekasihnya dan tidak dilepaskannya lagi (ay 4b). Ia membawanya kembali ke rumah ibunya, yang melahirkannya, bahkan sampai ke kamar kelahiran. Ia mau mengatakan betapa sang kekasih dan perjumpaan dengannya sangat penting dan karena itu ia ibaratkan sebagai awal mula kehidupan di dunia ini, yaitu kelahiran (ay 4bcd). Akhirnya, penggal teks ini ditutup dengan ayat ulangan yang sudah muncul sebelumnya yaitu dalam Kidung 2:7. Karena itu saya tidak mengulanginya di sini. Yang jelas, upaya pencarian itu berakhir dalam sebuah drama perjumpaan dan drama perjalanan kembali pulang ke tempat awal kehidupan itu dimulai, yaitu di rumah kelahiran, di kamar kelahiran.


Kopo, 09 Februari 2019

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...