Sunday, November 30, 2008

SPIRITUALITAS IMAN AYUB

Oleh: Fransiskus Borgias M., (EFBE@fransisbm).[1]

Dalam Perjanjian Lama, Ayub terkenal sangat saleh (dua kali Allah mengakuinya, 1:8; 2:3) tetapi amat menderita. Sebuah kombinasi paradoksal yang menyakitkan bagi si subjek pengalaman. Sebuah masalah abadi manusia terutama yang beriman akan Allah monoteis. Penderitaan Ayub amat total. Dia berada dalam situasi batas daya kemampuan, di tepi batas eksistensi. Ia mengalami kebuntuan eksistensial. Empat relasi fundamental manusia buntu total. Keempat relasi itu ialah: relasi dengan Allah (dimensi teologis-vertikal), relasi dengan sesama, relasi dengan alam, relasi dengan diri sendiri (dimensi etis-kosmis-horizontal). Seakan bagi Ayub, tidak ada jalan keluar, no exit (Sartre).

Ada enam alasan untuk mengatakan bahwa derita Ayub sangat total serta menggoncangkan sendi dasar eksistensi, keyakinan iman dan moralnya. Derita Ayub adalah derita eksistensial. Pertama, ia kehilangan anak-anaknya dalam peristiwa dahsyat alam dan kebengisan manusia yang seakan merangsek struktur dasar bangunan kesalehan iman dan moralnya (1:18-19). Kedua, ia kehilangan hewannya, juga akibat peristiwa dahsyat alam dan kebengisan manusia yang seakan merangsek keyakinan moral-etis Ayub (1:16-17). Ketiga, ia kehilangan “property” (rumah) dan ladang juga akibat kedahsyatan yang sama (1:18-19). Keempat, ia “kehilangan” isterinya (2:9; ditulis dalam tanda kutip karena yang dimaksudkan bukan kehilangan secara jasmaniah atau meninggal melainkan kehilangan secara rohaniah dan imani). Akibat peristiwa beruntun seperti arus sungai yang mengalir tiada hentinya itu, sang isteri kehilangan imannya. Ia sulit lagi percaya pada Allah. Tragisnya, peristiwa kehilangan iman personal ini diusulkannya tanpa tedeng aling-aling sebagai jalan keluar bagi Ayub dari absurditas dan kebuntuan derita. Si isteri menyeret Ayub ke dalam kehilangan paling tragis hidup manusia: kehilangan iman akan Allah; kehilangan Allah, ateisme praktis (2:9). Allah telah mati, seperti deklarasi lantang Nietschze. Tetapi, Ayub tidak atau lebih tepat belum sampai di sana. Siapa tahu…..

Kelima, Ayub kehilangan kesehatan jasmaninya; seluruh tubuhnya kena borok (2:7-8; bdk Hamba Yahwe - Yes 53). Padahal kesehatan adalah modal untuk membangun hidup yang baik dan layak. Modal itu kini hilang. Kesehatan adalah modal untuk membangun rasa percaya dan harga diri dalam relasi sosial. Akibat kejelekan tampang jasmani, Ayub bahkan kehilangan hak-hak sosialnya yang paling mendasar (19:7). Sering orang menilai kesehatan sebagai pangkal kehormatan dan martabat diri. Kesehatan membuat orang tidak minder; orang bisa percaya diri karena sehat, optimistis memandang masa depan, dan menilai diri sendiri. Karena seluruh badannya terkena borok, maka tidak ada lagi yang bisa dibanggakan. Orang bahkan takut dan jijik memandangnya (19:12-19). Kaki kena borok, sehingga tidak bisa berdiri untuk menunjukkan eksistensi dan membuktikan keluasan daya jangkau optik-nya, suatu hal yang menurut paham antropologi filsafat, membedakan manusia dari binatang. Wajah terkena borok. Dia tidak bisa lagi menghadapi orang dengan percaya diri. Bahkan kulit kepala pun kena borok. Padahal kenyamanan tidur dan berbaring antara lain ditentukan oleh kenyamanan kulit kepala. Jadi, dalam tidur pun Ayub tidak mendapat kenyamanan; suatu yang hal yang sangat penting bagi kesehatan badan dan jiwa. Ayub pun terlemparlah dalam situasi awali: ke dalam kotak abu. Ini simbolisme betapa dia sudah tiba di ambang tapal batas perjalanan kembali ke asal-usul: debu dan abu. (Ada yang menafsirkan ini sebagai simbolisme adat ratapan Yahudi). Dia terlempar dalam keterasingan. Dia sendirian di sana (2:8).

Keenam, Ayub kehilangan sahabat (6; 19:19). Fungsi persahabatan ialah memberi hiburan rohani dan pastoral bagi sahabat yang menderita. A friend in need is a friend indeed. Kedatangan ketiga sahabatnya, justru tidak membuat Ayub mendapat keringanan beban psikologis-rohaniah. Kedatangan mereka justru mendatangkan beban baru. Menurut keyakinan Ayub, dirinya sama sekali tidak bersalah. Bahwa dia menderita, itu adalah tanda bahwa Allah keliru dalam memperlakukan dirinya; bagi Ayub, penderitaannya adalah bukti ketidak-adilan Allah dalam memerintah sejarah, kosmos dan anthropos. Menurut ketiga teman, derita Ayub adalah bukti mutlak bahwa dia berdosa. Penderitaan adalah hukuman yang hanya diberikan kepada pendosa. Karena itu Ayub pasti berdosa. Bahkan pendosa berat. Jalan satu-satunya untuk keluar dari masalah rumit ini ialah bertobat. Dengan tobat masalah selesai. Dengan tobat tatanan yang benar akan terlaksana dengan sendirinya; itu yang akan mendatangkan hukumnya. Ayub merasa tidak mungkin bertobat, karena merasa tidak bersalah. Menyetujui tobat, berarti mengaku bahwa dia berdosa. Bahkan ketika Elifas mengartikan derita sebagai pendidikan dalam rangka membujuk Ayub agar melunakkan sikap moral-teologisnya, Ayub tetap tidak mau menerimanya, karena tujuan pendidikan ialah mengubah orang ke arah yang lebih baik. Mengubah, perubahan: metanoia. Nah, itu lagi. Jadi, Ayub tetap tidak mau. Jalan pun buntu.

Tetapi di hadapan kebuntuan eksistensial itu timbul pertanyaan: Apakah sama sekali tidak ada jalan keluar? Apakah No Exit itu final? Tidak! Sebab bagi Ayub terbentanglah empat jalan keluar yang dapat ditempuh entah dengan petunjuk orang lain atau dengan keputusan sendiri. Pertama, Ayub bisa menempuh jalan nausea (rasa muak) seperti diajukan Sartre: memandang hidup sebagai memuakkan, membosankan. Orang memuntahkan isi perutnya karena tidak betah hidup. Bosan hidup. Ujung jalan ini ialah bunuh diri karena putus-asa, tidak melihat lagi peluang dan fajar optimisme dan harapan dalam hidup ini. Ini jalan keluar yang pernah diusulkan A.Schopenhauer. Sebuah jalan salib melankolik, yang tidak mau ditelusuri sampai akhir, melainkan menyimpang ke luar dan mencari titik akhir segera. Ayub 3 adalah keluh kesah Ayub yang menyiratkan kemuakan terhadap hidup. Hidup itu memuakkan sehingga Ayub mengutuk hari lahirnya (3:3-16). Tetapi Ayub tidak mau menempuh jalan itu. Kendati muak, kendati pesimis, kendati mengalami melankoli kelam, dia segera keluar dari sana. Dia tidak menganggap hal itu sebagai jalan keluar yang layak.

Kedua, Ayub pun bisa menempuh jalan Ateisme seperti usul isterinya: “Masih bertekunkah kau dalam kesalehanmu? Kutukilah Allahmu dan matilah!” (2:9). Atas dasar ayat ini St.Agustinus dan Yohanes Calvin menyebut wanita sebagai organum Satanae dan diaboli adjutrix. Itu karena isteri Ayub menempuh jalan yang sama seperti Setan dalam Kej 3:1; di sini Setan membalikkan ucapan Tuhan dalam 2:16-17. Sama seperti manipulasi ucapan Allah oleh Setan, demikian juga isteri Ayub memanipulasi ucapan Allah dalam 2:3 sehingga menjadi terbaca seperti dalam 2:9. Jalan keluar yang diusulkan si isteri ialah jalan ateistik. Suatu via et vita atheistica. Ayub tidak mau menempuh hal itu. Dia condong kepada via et vita theistica bahkan aesthetica. Jauh di kemudian hari, ateisme yang timbul karena derita dan ketidak-adilan ada juga dalam A.Camus. Ia menolak Allah karena derita terutama derita orang yang tak bersalah. Dalam Sampar (La Peste) Camus yang mendramatisir ateisme ini. Camus tidak dapat mendamaikan warta tentang Allah yang mahabaik, mahakasih, dan mahaadil, dengan fakta derita-tragis manusia. Elie Wissel pun – dalam Malam – berada di ambang gerbang ateisme itu juga, ketika dia menghadapi absurditas kekejaman Nazi dengan kamp konsentrasinya. Dia merasa imannya akan Allah seperti yang diwahyukan Kitab Suci (mahabaik, mahaadil, mahakasih) telah “terbakar” dan hilang dalam asap hitam pekat yang keluar dari cerobong asap tungku pembakaran orang Yahudi. Masih cukup banyak kaum ateisme-praktis seperti itu hari-hari ini di sekitar kita, walau kehadiran mereka diam-diam. Jalan ini pun dengan tegas ditolak Ayub seperti tampak dari jawabannya kepada si isteri: “Engkau berbicara seperti perempuan gila! Apakah kita mau menerima yang baik dari Allah, tetapi tidak mau menerima yang buruk? Dalam kesemuanya itu Ayub tidak berbuat dosa dengan bibirnya.” (2:10)

Ketiga, selain naussea dan ateisme, Ayub pun bisa menempuh dogmatisme teori pembalasan di bumi (retributive-theory). Teori ini mengatakan bahwa semua perbuatan baik manusia akan diberi pahala. Sedangkan perbuatan buruk akan diberi hukuman setimpal. Jalan dogmatisme ini dianut ketiga sahabat Ayub; juga dianut si pemuda Elihu (bab 32-37). Menurut mereka, penderitaan Ayub adalah bukti kejahatan Ayub; sekarang kejahatan (dosa) Ayub itu dihukum setimpal (bab 4, 8). Satu-satunya cara pemulihan dan keselamatan ialah tobat (bab 11, 15, 18, 20, 22, 25). Tetapi seperti sudah dikatakan di atas Ayub tidak dapat bertobat karena merasa tidak berdosa (bab 13, 16, 17). Toh kalau dia berdosa, dia menganggap hukuman itu melebihi dosanya. Bahwa dogmatisme teori ini juga dianut oleh Elihu, itulah pertanda bahwa kekakuan dan otomatisme teori seperti ini tidak hanya menghinggapi kaum tua saja, melainkan juga merasuki generasi muda. Fakta ini menjelaskan bahwa teori seperti ini tidak dapat diabaikan. Sebab dia dengan mudah dapat ditularkan kepada generasi yang akan datang dan dengan itu mudah dilestarikan juga. Ayub juga menolak jalan ini.

Dalam prolog Ayub (1-2) sudah ada sikap iman Ayub terhadap derita. Kedua jawaban itu merupakan jalan keluar bagi Ayub. Ketika ditimpa kemalangan pertama, yang dilakukan Ayub bukannya mengutuk Allah melainkan memuji Allah karena Dia bebas dalam kedaulatan ilahinya; tidak terpengaruh oleh kesalehan Ayub; kesalehan Ayub tidak dimaksudkan untuk menjalin relasi iman do-ut-des dengan Allah. Ketika ditimpa kemalangan kedua, Ayub tidak ikut-ikutan mengutuk Allah seperti si isteri. Tetapi kedua jawaban itu menjadi mentah kembali karena derita. Maka yang ditinjau lebih jauh ialah jalan seperti tampak dalam seluruh dialog yang bermuara pada teofani. Kalau ketiga jalan di atas tadi ditolak Ayub, maka dia mencoba menempuh jalan sendiri. Jalan yang dia tempuh, keempat, ialah pemberontakan. Di sini saya melihat Ayub mirip The Rebel dari K.Gibran. Bahkan dalam pemberontakan dan keluh kesahnya, sesekali Ayub menjadi bidaah, seperti The Heretics-nya K.Gibran. Jalan pemberontakan ini mudah sekali disalah-pahami; bisa diartikan secara negatif, sebagai subversif. Tentu yang dimaksudkan bukan hanya itu. Untuk mengatasi kemungkinan salah paham itu, maka di bawah ini saya menjelaskan apa isi jalan keempat yang ditempuh Ayub ini.

Pemberontakan bisa dipahami dalam arti yang sebenarnya. Ayub memberontak terhadap fakta dan situasi yang dialaminya. Dalam bahasa halusnya, Ayub “mengeluh” tentang situasi di sekitarnya dalam empat tahap keluhan: mengeluh tentang nasib malangnya, mengeluh tentang ketiga sahabatnya, mengeluh tentang Allah di hadapan ketiga Teman, dan akhirnya mengeluh langsung kepada Allah dalam ratap tangis yang menyayat hati. Dalam artian negatif, itulah makna jalan pemberontakan Ayub. Dengan memberontak dia melawan ketiga temannya. Dengan memberontak dia menyatakan perlawanannya terhadap jalan dogmatisme dan otomatisme teori pembalasan ketiga teman.

Jalan pemberontakan itupun dapat dipahami secara positif, sebagai upaya yang berani dan heroik untuk mencari pengalaman religius, pengalaman Allah, pengalaman estetis-mistik original. Lewat pemberontakan dia menerobos ke dalam kekelaman misteri Allah. Allah itu tidak serba terang. Allah juga serba gelap, serba misteri, terselubung. Allah itu bak tembok hitam, dingin, beku, dan bisu. Jadi, jalan pemberontakan Ayub ini adalah upaya yang oleh pemikir religius modern disebut sebagai upaya menemukan iman induktif (lawan dari iman deduktif yang ditawarkan dalam jalan ketiga, jalan dogmatisme teori pembalasan). Seakan Ayub berkata kepada diri sendiri, “aku mau menerobos misteri ini, supaya aku punya pengalaman pribadi dan orizinal akan dia, dan dengan itu aku punya dasar kokoh untuk berbicara tentang misteri itu.” Jalan pemberontakan itulah yang ditempuh Ayub dalam seluruh Kitab. Pemberontakan Ayub itu panjang dan melelahkan. Ada banyak tantangan. Saya berani berkata Ayub sesungguhnya sudah menjadi martir dari proses lika-liku pemberontakan itu.

Jalan pemberontakan itu memuncak dalam tantangan terakhir Ayub yang sangat berani, yang nekat mempersoalkan keadilan dan kemampuan Allah mengatur kosmos dan anthropos. Jalan itu bermuara dalam teofani dahsyat (Ayb 38). Lewat pemberontakan, Ayub sampai ke teofani. Di sana dia mengalami Allah secara langsung; pengalaman yang sangat personal dan orizinal, amat mengesankan dan sekaligus serba baru; baik dibandingkan dengan pengalaman Allahnya sendiri di masa silam, maupun pengalaman Allah kolektif bangsa Israel, maupun jika dibandingkan dengan jalan ateisme sang isteri dan dogmatisme ketiga sahabat. Kesan pengalaman baru itulah yang menjelaskan mengapa Ayub dalam teofani berani membagi seluruh hidupnya dalam dua tahap: pra dan pasca teofani. tonggak teofani adalah titik puncak tahap pertama sekaligus titik awal tahap kedua. Kata Ayub: “Hanya dari kata orang saja aku mendengar tentang Engkau, tetapi sekarang mataku sendiri memandang Engkau.” (42:5). Ayub berpindah dari sumber pengetahuan tangan kedua (kata orang), ke sumber pengetahuan tangan pertama (langsung; mataku sendiri).

Drama tragis pengalaman hidup Ayub menawarkan beberapa butir penting bagi hidup dan iman. Pertama, bahwa dalam kesulitan hidup dan iman orang tidak boleh dengan sangat mudah terjerumus dalam upaya mencari jalan serba-gampang. Ini amat mudah dilakukan; sebab toh jaman sudah menampilkan kultur dan mentalitas serba-instan. Kedua, dalam hidup dan iman pengalaman langsung dan personal amat penting. Pengalaman itulah yang menentukan mutu iman dan komitmen. Ini juga penting sebab iman adalah tanggapan personal. Dia tidak sekadar dogmatis belaka. Ketiga, jalan pemberontakan adalah juga jalan positif dan karena itu perlu diapresiasi. Pemberontakan adalah bukti transendensi manusia. Jadi, Ayub memberontak dan akhirnya bermuara pada iman. Iman seperti ini akan menjadi iman yang matang, dewasa, dan tenang, karena dicapai lewat jalan induktif, pencarian langsung dan personal. Sekali lagi: Ayub beriman dengan memberontak.



[1] Penulis: teolog FF-UNPAR Bandung; alumnus Katholieke Universiteit Nijmegen, the Netherlands.

Dimuat dalam Wacana Biblika, No.1, Thn.V, Januari-Maret 2005, hal.2-8.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...