Thursday, April 30, 2020

PEMAPARAN TEKS KEL 3:1-14

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung
.



Teks Kel.3:1-14 selalu menarik perhatian banyak orang, baik pakar ataupun pembaca umum. Hal itu sudah berlangsung lama, dari dulu sampai sekarang dan melibatkan pakar baik dari kalangan Yahudi maupun Kristiani. Komentar dan tafsir atas teks itu pun sudah sangat banyak. Artikel yang ditulis secara khusus tentang teks ini juga sudah banyak di jurnal-jurnal teologi maupun khusus jurnal-jurnal Kitab Suci. Apa yang saya usahakan di sini hanya semacam upaya derivasi, referat, dalam rangka membeberkan apa yang saya baca dari pelbagai sumber hasil studi para ahli tentang hal itu. Baik itu hasil secara eksegetis murni maupun tafsir dalam kerangka pengembangan penafsiran teologis. Dalam posisi saya, saya lebih pada posisi pengembangan penafsiran teologis itu, dengan mengikuti pembacaan secara eksegetis yang diupayakan para ahli tafsir. Pembacaan saya ini adalah sebuah upaya sederhana dari saya dengan menimba dari beberapa sumber ahli teologi dan ahli tafsir. Sebagai langkah awal, saya membaca teks ini dalam konteksnya.

Mari kita melihat konteks historis yang sedikit lebih luas dari teks khusus ini. Setelah Yusuf menjadi pejabat tinggi di Mesir (ini sebuah nasib baik dari seorang pekerja imigran yang mungkin menjadi korban praktek human-trafficking pada jaman itu dulu), maka ia berdamai kembali dengan abang-abangnya lewat suatu proses penyingkapan yang dramatis dan penuh ketegangan. Setelah melewati semuanya itu, dan terutama setelah ia tahu bahwa sang ayah masih hidup, maka Yusuf pun mengundang seluruh keluarga ayahnya agar ikut bermigrasi dari Palestina (yang kering dan tandus dan terancam kelaparan) dan tinggal di Mesir yang subur dan mempunyai banyak lumbung beras, karena negeri itu mendapat sumber pengairan (irigasi) yang melimpah dari sungai Nil . Maka pindahlah Yakub dan seluruh keluaganya ke negeri Mesir yang makmur dan kaya itu. Karena mereka adalah kaumnya Yusuf, maka mereka pun diberi tempat istimewa di Mesir yaitu di sebuah daerah yang sangat subur yang bernama Gosyen. Setelah berdiam beberapa lama di sana, di daerah yang subur permai itu, maka orang Israel pun bertumbuh subur, berkembang biak dan menjadi sangat banyak dan makmur. Sementara itu, Yusuf sudah meninggal dunia.

Perkembang-biakan orang-orang Israel di tanah Mesir itu tentu saja sangat mencemaskan orang-orang Mesir itu sendiri. Mereka mulai takut karena jumlah mereka menjadi sangat banyak. Jangan sampai jumlah mereka melebih jumlah penduduk asli, orang Mesir. Hal itulah yang dicemaskan. Orang takut membayangkan terjadinya kemungkinan itu. Untuk menghambat perkembangan yang mencemaskan itu, maka dibuatlah sebuah kebijakan pembatasan dan pengendalian jumlah kependudukan baru (semacam program birth-control). Salah satunya ialah pembatasan jumlah anak laki-laki Israel. Oleh karena itu, setiap anak laki-laki yang lahir dari wanita Ibrani harus dibantai. Dan kita semua sudah tahu akan hal itu. Tetapi ternyata ada satu yang luput, yaitu Musa. Karena program pembatasan dan pengendalian kependudukan rupanya tidak begitu berhasil (mungkin banyak bayi “musa-musa” lain yang luput dari program pembantaian massal itu), maka dibuatlah sebuah program baru, yaitu semacam kerja-paksa. Orang-orang Israel dirintangi laju perkembangan jumlahnya dengan menjadikan mereka budak-budak kerja rodi. Diharapkan keletihan kerja rodi akan membuat mereka mengalami hambatan dalam berkembang biak. Tidak tanggung-tanggung, mereka menjadi budak untuk membangun sebuah kota yang hebat pada jaman itu.

Singkat cerita, orang-orang Israel menjadi budak dalam sebuah sistem roti atau kerja paksa di Mesir. Mereka yang tadinya diistimewakan karena termasuk keluarga Yusuf, kini ditindas karena penguasa Mesir yang baru sudah tidak lagi mengenal Yusuf. Kini mereka semua dipaksa masuk dalam sistem kerja rodi. Dan sejak saat itu hidup mereka sangat menderita karenanya, sebab aturan kerja rodi itu kian hari kian diperketat dan diperkeras tuntutan dan persyaratannya. Sebagaimana kita tahu, setelah Musa menjadi besar, ia melarikan diri dari Mesir dan pergi ke Midian dan di sana ia tinggal pada Yitro. Ia melarikan diri karena takut pada murka Firaun. Di Midian ia menjadi gembala ternak Yitro dan juga menjadi menantu Yitro karena Musa kawin dengan salah satu putri Yitro. Tetapi Musa tidak pernah melupakan nasib bangsanya yang tertindas di Mesir.
Di tengah-tengah tugasnya sehari-hari menjadi sebagai penggembala ternak, Tuhan menampakkan diri kepada Musa di Horeb dalam rupa semak bernyala tetapi tidak terbakar itu (the burning bushes). Tentu saja ini adalah suatu pemandangan yang sangat ajaib bagi Musa. Maka muncullah rasa ingin tahu (curiositas) dalam diri Musa. Karena itu Musa pun mencoba mendekati semak yang bernyala tetapi tidak terbakar itu. Pada saat ia datang mendekat, lalu terjadilah dialog antara Yahweh dan Musa. Ketika Musa mulai mendekati tempat itu, ia mendengar suara dari dalam nyala api yang berkobar-kobar, yang meminta dia agar ia menanggalkan kasutnya karena tempat itu kudus adanya. Kita semua tahu tentang adegan ini karena sering juga menjadi objek lukisan keagamaan (ikon suci).

Adapun bagian yang terpenting dari dialog itu ialah permohonan Musa akan nama Tuhan. Dan Musa bersikeras meminta agar Tuhan Allah memberitahukan namaNya. Dan akhirnya dari dalam semak terbakar permohonan Musa itu dijawab Allah dengan sebuah jawaban ajaib, jawaban yang penuh misteri: “ehyeh aser ehyeh.” Para penerjemah Yunani (LXX) menerjemahkannya menjadi “ego eimi ho oon.” (NETS: I am the One Who Is; Akulah Dia yang ada; Aku ada yang Aku ada). Sedangkan penerjemah Latin menerjemahkannya menjadi “ego sum qui sum”. Dalam terjemahan resmi kita ialah: AKU ADALAH AKU. Dalam Bahasa Inggris: I am who I am. Nama ajaib dalam bahasa Ibrani itu tidak lain adalah sebentuk paronomasia Ibrani, yaitu permainan kata-kata untuk nama. Kendati misteri dan ajaib, tetapi Musa tetap mencoba menangkap makna nama ilahi itu dan mengucapkannya dalam empat huruf suci, tetragramaton, YHWH, yang kita kenal hingga dewasa ini dan menjadi sangat terkenal dan kini kontroversial. (Bersambung)

4 comments:

Febry Silaban said...

Allah menjawab Musa: "Ehyeh aser ehyeh".

Penerjemah Yunani (LXX) menerjemahkannya: "Ego eimi ho on" (kalau hanya 'ego eimi' = ehyeh), yang secara harfiah berarti "Aku adalah yang Ada", dalam waktu imperfek 'present tense'.
Penerjemah Latin menerjemahkannya: "Ego sum qui sum", yang sedikit mirip dengan terjemahan Yunani "Aku ada yang Aku ada", tapi dalam bentuk 'tempus praesens'.
RSV dan terjemahan Inggris lainnya menerjemahkannya: "I am who I am", yang sangat mirip dari terjemahan Latin, yakni dengan 'present tense'.

Rasanya tidak ada yang bisa persis bisa menerjemahkan seperti yang dimaksud dalam bhs
Ibraninya "Ehyeh aser ehyeh". Terjemahan Indonesia juga rasanya kurang "Aku adalah aku".Kalau secara harfiah berdasarkan terjemahan Yunani, Latin, dan terjemahan modern lainnya, terjemahan Indonesia sebaiknya: "AKU ADA YANG AKU ADA". Terjemahan itu memang jadi menggelikan krn tak lazim di lidah orang Indonesia.

Tapi, saya tetap penasaran untuk bagian kedua dari tulisan Pak Fransiskus ini.

Tabik,
Febry Silaban


canticumsolis said...

tadi pagi2, pak tensi dari lai juga sudah beri catatan dan koreksi...
saya sudah koreksi... tapi belum sempat saya terbitkan lagi...
tetapi aniway... trima kasih atas catatan yang sangat berharga ini...

canticumsolis said...

Sebagaimana saya katakan dlm komentar terdahulu, tadi pagi teman saya dari Departemen Terjemahan LAI, Hortensius Mandaru, telah memberikan catatan koreksi atas bagian akhir dari tulisan ini. Saya langsung mengoreksinya. Tetapi baru ssekarang di malam ini saya sempat mengirim perbaikannya... terima kasih atas perbaikan itu... terima kasih juga masukan dari saudara Febry Silaban yang juga memberikan catatan koreksi terhadap teks ini. Semoga sudah lebih baik dari yang tadi pagi... salam....

Febry Silaban said...

Sedikit koreksi lagi, Pak.
Septuaginta (LXX) menuliskan ἐγώ εἰμι ὁ ὢν atau transliterasinya menjadi "Egó eimi ho ón".

Dalam artikel di atas, tertulis “oon” dan rasanya dalam bhs Yunani tidak dikenal kata "oon". Karena tertulis kata ὢν, seharusnya transliterasi yang benar adalah “ón”. Kata ὢν merupakan nomina (kata benda) yang artinya “ada”, turunan dari kata kerja “εἰμι” (eimi) dalam bentuk participium.

Kata ὢν ada dalam bentuk nominativus masculinum (sesuai declinatio-nya). Sedangkan bentuk genetivus (milik) masculinum-nya adalah ὄντος (ontos).
Karena itu, ada salah satu cabang filsafat paling mendasar yang disebut “ONTOLOGI”, yang berasal dari kata ὄντος + λόγος
Ontologi = ilmu tentang yang ada.

Tabik

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...