Friday, May 1, 2020

APA ARTI PENTING PERMOHONAN MUSA?

Oleh: Fransiskus Borgias M.
Dosen Teologi Biblika Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan, Bandung




Kemarin dalam tulisan pertama saya melukiskan bahwa Musa, saat melihat penglihatan ajaib, semak bernyala tetapi tidak terbakar itu, meminta dengan sangat agar Dia yang Bertahta dalam Cahaya itu sudi memberitahukan nama-Nya kepadanya. Kemarin juga saya melukiskan bahwa nama itu disingkapkan kepada Musa. Hari ini saya hanya mengajukan pertanyaan sederhana saja: apa arti penting permohonan Musa yang meminta nama Allah, tokoh misterius dalam semak bernyala itu? Mengapa Musa bersikeras memohon kepada suara dalam semak bernyala itu agar memberitahukan namaNya?
Rupanya nama dan pengetahuan, pengenalan akan nama itu sangat penting. Sebab dalam Perjanjian Lama ini bukan untuk pertama kalinya terjadi bahwa orang memohon nama pada tokoh misterius yang dihadapinya. Dalam Kejadian kita membaca bagaimana Yakub meminta nama tokoh misterius yang bergumul dengannya di kegelapan menjelang fajar pagi, di pinggir sungai Yabok: “Katakanlah juga namamu.” (Kej.32:22-32; ay.29a). Jadi, urusan nama, dan pengenalan nama memang mempunyai arti yang amat penting.

Untuk dapat memahami hal ini kita harus terlebih dahulu mengetahui apa yang disebut filsafat nama orang Ibrani. Filsafat nama yang dimaksudkan ialah pemikiran filosofis tentang nama; semacam pendasaran filosofis-teologis mengapa orang diberi nama tertentu, atau bahkan mengapa orang diberi nama; mengapa orang tidak usah bernama saja, suatu keadaan anonim, keadaan awanama, keadaan tanpa nama, tidak bernama? Tetapi ternyata orang condong memberi nama dan memiliki nama. Itulah salah satu kecenderungan dasar manusia yang sudah tampak dalam diri manusia pertama, Adam, yang memberi nama kepada segala sesuatu yang dipercayakan kepadanya (Kej.2:18-20).

Ternyata nama bagi mereka bukan hanya kata penanda, penunjuk, atau pengenal ada belaka, yang memberi label kepada sesuatu yang (ber)ada. Bagi orang Ibrani, nama adalah definisi diri orang. Bahkan nama adalah representasi diri pribadi orang yang menyandang nama itu. Dengan demikian nama itu lebih dari sekadar kosa-kata, sebab dalam hal ini ia sudah menjadi alter ego, menjadi aku yang lain, yang mampu menggambarkan, mewakili, menghadirkan dan menampakkan orang yang menyandang nama itu. Jadi, nama adalah diri orang itu sendiri. Nama adalah entitas. Karena itu, hal mengetahui nama itu sama dengan mengetahui orang itu, artinya mengetahui identitas, sifat, watak, dll, dari yang bersangkutan. Bagi budi dan cara berpikir orang Ibrani, mengetahui nama sudah sama dengan mengetahui bahkan mengenal orang itu secara utuh: daya, peran, fungsi.

Selain itu, bagi cara berpikir orang-orang Ibrani, nama adalah tugas dan panggilan seseorang. Itulah sebabnya saya selalu suka mengistilahkan nama sebagai sebuah kata primordial, kata mitis, kata magis, yang menjadi dasar dan bahkan mengadakan entitas sosial seseorang ataupun sesuatu yang diberi nama tertentu. Kalau tidak bernama itu sama dengan tidak berharga apa-apa (Ayb 30:8). Tidak bernama itu sama dengan tidak berguna (1Sam 25:25). Bahkan juga, tidak bernama berarti tidak ada juga. Nama menunjukkan eksistensi dan esensi sekaligus. Maka sekali lagi, nama itu mengadakan orangnya, menghadirkan orangnya, sehingga tatkala nama itu dipanggil, si empunya nama akan menjawab, yaitu memberi sebuah tanggapan, dan dengan cara itu ia pun mengakukan keberadaanya sekarang dan di sini.

Itulah arti penting sebuah nama itu dalam suatu konteks pemikiran kebudayaan tertentu. Tetapi saya kira hal ini ada dan berlaku pada setiap kebudayaan apapun dan mana pun di dunia ini. Kiranya hal itu berlaku juga dalam kebudayaan Jawa, kebudayaan Batak, kebudayaan Minangkabau, kebudayaan Bugis, dan juga kebudayaan Manggarai, dari mana saya berasal. Kiranya itu sebabnya dalam banyak kebudayaan peristiwa pemberian nama ditandai dengan ritual pemberian nama (name giving ritual). Dalam konteks praksis kebudayaan orang Manggarai, sejauh yang saya ketahui, ritual pemberian nama itu (terutama dulu nama asli, atau ngasang tuung sebagai orang Manggarai, yang dibedakan dari nama baptis, ngasang cebong) disertai atau diiringi dengan pemotongan hewan ritual (entah itu babi, kambing, ayam, bahkan juga mungkin sapi). Hak memberi nama itu dalam konteks kehidupan orang Manggarai dulu, adalah hak seorang ayah. Ayahlah yang memberi nama asli, ngasang tuung itu. Karena diberikan dengan iringan ritual suci pemotongan hewan, maka nama itu suci dan karena itu juga menjadi tabu untuk disebutkan secara sembarangan. Oleh karena itu, biasanya orang-orang Manggarai lebih suka dipanggil dengan nama baptisnya dan bukan dengan nama aslinya, ngasang tuung itu. Bagi saya ini adalah suatu fenomena yang menarik. Tetapi saya tinggalkan di sini dulu. Semoga di lain kesempatan kita bisa melihat hal itu lebih jauh dan dalam lagi. Kita kembali ke pokok persoalan kita tadi.

Dengan latar belakang pemikiran dan pemahaman seperti itu, kita mengulang lagi pertanyaan tadi: apa arti penting Musa memohon nama Yahweh? Mengapa Musa bersikukuh meminta nama si tokoh misterius di balik semak terbakar itu? Hal itu dapat dijelaskan secara singkat sbb: Dalam hubungan dengan Allah, orang Israel tidak mencari esensi atau eksistensi Allah. Yang mereka cari adalah nama Allah, yaitu, kehadiran Allah yang kuat-kuasa di tengah-tengah umat-Nya. Dengan nama itu, orang Israel dapat menyapa Allah, berkomunikasi dengan Allah, berseru kepada Allah. Bahkan dengan nama itu orang Israel dapat juga bersekutu dengan Allah (dalam proses deifikasi dan divinisasi manusia). Memakai nama Allah berarti suatu wujud pengakuan dan bahkan tekat dan janji bahwa dia mau menjadi milik Allah, ingin selalu berada dalam naungan, lindungan dan penyelenggaraan Allah (providentia Dei). Itulah arti penting Musa meminta nama Allah, yaitu agar Musa dan orang Israel yang dipimpinnya bisa mengetahui dan mengalami daya-kuasa Allah itu. Maka, permohonan Musa itu sangat penting artinya bagi penghayatan hidup iman dan keagamaan orang Israel. Sebab tanpa nama itu, mereka tidak dapat berkomunikasi dengan Dia yang tidak bernama, sang misteri yang tidak terhampiri, yang dalam ungkapan Perjanjian Baru, Dia yang bertahta dalam terang yang tak terhampiri (1Tim 6:16). (Bersambung)....

2 comments:

Febry Silaban said...

"Nomen est omen", nama adalah pertanda. Dari peribahasa Latin ini diketahui bahwa dalam sebuah nama selalu terkandung sebuah harapan baik. Bagi orang-orang di dunia Timur Tengah Antik nama tidak hanya sekadar pertanda akan harapan baik, melainkan juga pertanda adanya hubungan atau relasi. Dengan mengetahui nama seorang manusia atau bahkan nama Allah, seseorang mengadakan hubungan pribadi dengan si pemilik nama tersebut.

Menamai sesuatu berarti mengenal, menguasai, dan memiliki sesuatu itu. Di Taman Eden, ketika Allah memberi kesempatan kepada manusia untuk memberi nama kepada segala ternak, burung-burung di udara, dan segala binatang hutan (Kej 2:19-20), itu berarti bahwa Allah meletakkan segenap hewan tersebut di BAWAH KUASA manusia.

Demikian pula mengucapkan nama seseorang pada orang lain atau pada suatu objek, berarti memperlihatkan superioritas terhadap orang lain atau objek tersebut. Dengan kuasa itu, objek atau individu itu menjadi milik dari si pemberi atau pengucap nama itu. Kota yang direbut Yoab akan menjadi miliknya, jika nama Yoab diucapkan atas kota itu (2Sam 12:28).

Orang-orang di dunia Timur Tengah Antik meyakini bahwa mengenal atau mengetahui nama seseorang berarti berkuasa atas orang tersebut. Karena itu, mereka dengan hati-hati menyembunyikan namanya dari orang-orang yang tidak dipercayai. Inilah pula yang menjadi alasan mengapa dewa-dewi di Timur Tengah Antik tetap menyembunyikan nama mereka (bdk. Kej 32:29; Hak 13:6). Mengucapkan nama berarti menarik kehadiran dan kekuatan dari pemilik nama. Nama ilahi yang diyakini memiliki kekuatan itu memainkan peranan penting dalam praktik magis, secara khusus dalam agama-agama politeistik.

Menurut saya, salah satu poin dari tujuan (me)nama(i) dalam budaya orang Ibrani kuno atau dunia Timur Tengah Antik, yakni "menguasai" cukup penting juga disampaikan dan digarisbawahi.

Febry Silaban said...

Kemudian menjadi pertanyaan, apakah pertanyaan Musa (dalam ayat 13) “Bagaimana tentang nama-Nya?” (mah-šemô) dimengerti sebagai permohonan untuk INFORMASI nama Allah atau permintaan untuk sebuah penjelasan perihal MAKNA nama itu?

Lalu, apakah ayat 14 itu sungguh JAWABAN Allah atau PENOLAKAN atas jawaban (bdk. Kej 32:29 atau Hak 13:17-18)?

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...