Friday, December 9, 2011

RESENSI BUKU

Judul : TANDA-TANDA KEHIDUPAN, 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya
Pengarang : Scott Hahn
Penerjemah : Ernest Mariyanto
Penerbit : DIOMA PUBLISHING
Terbit : 2011
Halaman : 1-348.
Peninjau : Fransiskus Borgias M.


Hidup manusia selalu ditandai pelbagai upacara keagamaan sehingga hidup penuh aura suci, penuh signal of transcendence, kata Peter L.Berger. Karena itu setiap tahap hidup ada upacaranya, ada ritus peralihan (rites of passages). Ini adalah pemahaman yang hidup sejak lama dalam sejarah, mulai dari agama asli hingga ke agama samawi. Tidak ada tahap hidup yang tanpa upacara. Upacara itulah yang memberi legitimasi agar hidup itu sah dan layak dihidupi. Jika orang lalai menjalankan upacara itu, terasa ada yang kurang, ada yang hilang, ada ganjalan. Antropolog agama juga menggaris-bawahi arti penting upacara keagamaan bagi manusia. Kita tidak boleh bermain-main dengan upacara suci keagamaan itu.

Buku Scott Hahn ini berurusan dengan pelbagai upacara keagamaan, sebagaimana dihayati dalam tradisi gereja Katolik. Memang Gereja Katolik dikenal karena banyak ritual. Karena berulang-ulang, praksis ritual, jika tidak diberi pendasaran teoretis dan teologis memadai, bisa menjadi hampa, serba rutin, dangkal. Itu bisa terjadi jika orang tidak menelusuri arti terdalam dari upacara agama. Buku ini dimaksudkan untuk menelusuri makna terdalam upacara keagamaan, termasuk praksis devosi Gereja Katolik, sekaligus diberi pendasaran teologis, biblis, patristik. Untuk itu Hahn mengumpulkan 40 kebiasaan Katolik. Hal itu tampak dalam judul kecil buku ini: 40 Kebiasaan Katolik dan Akar Biblisnya. Hahn memberi judul bukunya Signs of life atau Tanda-tanda Kehidupan. Seakan diberi isyarat bahwa upacara keagamaan yang diterima orang menjadi tanda bahwa hidup memang benar-benar hidup dan menjadi bermakna justru karena upacara keagamaan.

Buku ini terdiri atas 9 Bab, ditambah pendahuluan dan epilog; total ada 11 Bab. Keempat puluh kebiasaan itu dibagi dalam 9 bab mengikuti perkembangan hidup manusia. Hidup pasti ada awalnya yang ditandai upacara agama. Awal itulah yang dibahas dalam Bab 1. Dalam rangka itu ia menyebut beberapa ritual awal yang berulang sepanjang hidup. Ia membahas 5 topik: air suci, tanda salib, baptis, misa, dan malaekat pelindung. Mengapa malaekat pelindung dibahas di sini? Mungkin itu terkait dengan satu paham sakramen baptis bahwa di sana kita diberi karunia roh kudus, diangkat menjadi Anak Allah. Itu dilambangkan dengan kehadiran malaekat pelindung di samping kita yang menuntun kita ke arah yang baik.

Hidup manusia cukup panjang di dunia ini. Hidup itu dibagi dalam penggal tahun. Penggal tahun itu ditandai perayaan besar (Bab 2). Itu sebabnya di sini Hahn membahas 4 topik: penanggalan gereja, Prapaskah dan Paskah, Adven dan Natal, Novena. Penggal tahunan dibagi dalam bulan, minggu, hari, jam. Hal apa saja yang bisa menjadi kebiasaan dalam hidup kita (Bab 3). Itu yang disebut Devosi Harian. Di sini ada 6 topik: tata gerak tubuh, persembahan pagi, doa-doa kerinduan, Doa Angelus, rahmat dalam perjamuan, pemeriksaan batin. Semuanya bisa menjadi praksis demi pengudusan hidup kita. Seperti halnya hidup jasmani kita membutuhkan gizi bermutu, demikian juga hidup rohani kita membutuhkan gizi bermutu. Hal itu dapat kita temukan dalam Kitab Suci, Bacaan Rohani, dan retret. Itulah isi Bab 4, dan karena itu berjudul pelajaran untuk hidup.

Hahn memberi judul Bab 5 “Tahap-tahap Kehidupan”. Di sini ia membahas 4 topik: sakramen Krisma, perkawinan, imamat, dan pengurapan orang sakit. Hahn hanya memilih keempat sakramen ini untuk dibahas di sini. Mungkin karena keempat sakramen itu secara tegas menandakan perkembangan hidup Kristiani ke arah kedewasaan (Krisma, perkawinan, Imamat) dan titik finalnya (pengurapan orang sakit). Ada pelbagai pernak-pernik dalam hidup devosional kita yang bisa memperkaya liturgi. Itulah yang disebut Bumbu Kehidupan (Bab 6). Di sini ada 5 pokok: dupa, lilin, patung kudus, relikui, puasa dan matiraga. Menarik mengamati judul bab 7: Hidup Yang Berkelimpahan. Mungkin karena di sini ia membahas 6 topik: dosa, indulgensi, doa para kudus, ziarah, kehadiran Allah, berderma. Semua itu diyakini bisa mendatangkan efek hidup berkelimpahan dalam dan bersama Tuhan.

Judul Bab 8 menarik: Kesayangan dalam hidupku. Di sini ia bahas 5 pokok: Devosi Kepada Tritunggal, Rosario, Skapulir dan Medali, Doa Batin, Penghormatan kepada Tabernakel. Judul Devosi Kepada Tritunggal jangan dipahami keliru, seakan itu sekadar devosi, dan bukan pokok iman Kristiani. Devosi itu harus dilandaskan pada iman akan Allah Tritunggal. Tanpa iman ini, devosi tidak bermakna. Hidup manusia ada akhirnya: Sein zum Tode, kata Heidegger. Titik akhir itu adalah maut. Dengan maut, hidup hanya diubah, bukan dilenyapkan, vita mutatur sed non tolitur. Itulah salah satu pokok bahasan Bab 9 (Hidup Takkan Berakhir). Maut adalah titik final; karena itu perlu persiapan untuk menghadapinya. Persiapan paling mendasar ialah iman, harapan, dan kasih. Tradisi Katolik juga menegaskan mengenai arti penting praksis doa untuk orang yang sudah meninggal (salah satu pokok di sini).

Kiranya Hahn mengajar berdasarkan pengalaman dan penghayatan. Atas dasar itu ia menegaskan (saya setuju), bahwa orang Katolik akrab dengan kitab suci, sebab seluruh praksis kesalehannya berakar dalam Kitab Suci. Liturgi adalah kitab suci yang dirayakan, theology in actions, mengikuti ungkapan Rublev, theology in colors (ketika berteologi tentang ikon dalam tradisi Ortodoks Russia).

Hidup ditandai upacara. Eliade mengatakan bahwa ada tiga komponen penting dalam agama: ritus, mitos, dan simbol. Pada awal mula adalah pengalaman dan reaksi atas pengalaman itu. Kemudian ada penjelasan verbal-rasional atas pengalaman itu. Itulah teologi. Ada kesan juga bahwa Hahn bernada apologetis, historis biblis dan patristik. Mungkin karena ia tadinya adalah Protestan. Nada yang sama seperti terasa dalam buku-buku lain terutama Rome Sweet Home. Ternyata sweet home itu Roma, bukan Canterburry atau Geneva. Buku ini menggambarkan dengan baik sebuah teologi dalam praktek penghayatan liturgis.

Keunggulan buku Hahn ini juga terletak dalam kenyataan bahwa ia mencari pendasaran dari semua praksis ini dalam tradisi biblis, patristik, dan teologi sepanjang jaman, termasuk praksis teologi masa kini. Dengan pemaparan seperti ini, kita semakin diperkaya dalam pemahaman akan akar tradisi biblis. Dengan itu, semakin kuat pula keyakinan saya bahwa orang Katolik, jika menghayati semua unsur liturgi dengan baik, akan terserap ke dalam Kitab Suci dan tradisi agung. Mengapa? Karena semua tradisi liturgis kita, berurat dan berakar dalam kitab suci. Buku Hahn ini dengan sangat baik, ringan, ringkas, dan mudah menampilkan hal itu. Sifat ringan itu juga tampak sangat kentara dalam bahasa terjemahan yang diupayakan dengan baik oleh Ernest Mariyanto.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...