Thursday, April 13, 2017

KAMIS PUTIH SEBAGAI PESTA CINTA KASIH PERKAWINAN

Oleh: Fransiskus Borgias M.

Mungkin penafsiran yang saya ajukan di sini tidak umum, mungkin ada juga yang menganggapnya melawan arus. Perayaan Kamis Putih biasanya dikaitkan dengan misteri Kristus, Perjamuan Akhir, institusi ekaristi (sakramen ekaristi), dan erat terkait dengan ini maka orang terpikir juga tentang misteri kehidupan imamat tahbisan (bukan imamat umum). Apalagi ada perayaan ekaristi untuk memberkati tiga jenis minyak pengurapan, yang juga sering dikenal dengan sebutan misa pontifikal itu. ada banyak simbolisme yang kuat yang menjadi objek permenungan kita pada perayaan Kamis Putih ini. Salah satunya ialah peristiwa pembasuhan kaki para murid yang dilakukan oleh Tuhan Yesus sendiri. Di sini terkenal sekali kata-kata yang diucapkan Tuhan Yesus sesudah melakukan tindakan tersebut. Inti dari kata-kata itu ialah berupa sebuah dorongan kepada para pengikutNya untuk meniru teladan yang telah Ia berikan. Itu artinya saling melayani dengan sikap rendah hati, dengan penuh kasih, dengan turun ke bawah, turun ke bagian kaki dari orang yang dilayani. Dengan kata lain, jalan pelayanan adalah jalan merendah. Begitu juga halnya dengan kata-kata institusi ekaristi, yang oleh para teolog dipandang sebagai titik awal keberadaan sakramen ekaristi dan sakramen imamat.

Dalam kaitan ini terkenal sekali kata-kata yang diucapkan Yesus baik atas roti maupun atas anggur. Atas Roti dikatakan demikian: Ambil dan makanlah, INILAH TUBUHKU YANG DIKURBANKAN BAGIMU. Atas piala yang berisi air anggur dikatakan demikian: Ambillah dan minumlah, INILAH DARAHKU, darah perjanjian baru dan kekal, YANG AKAN DITUMPAHKAN BAGIMU, dan bagi semua orang demi pengampunan dosa. Dengan kata-kata ini maka terjadilah ekaristi, terjadilah misteri perubahan rupa atau wujud, misteri transubstansiasi itu, roti menjadi tubuh Kristus, anggur menjadi darah Kristus. Itulah yang menjadi keyakinan kita. Saat kita mendengar kata-kata ini secara otomatis kita akan terpikir tentang perayaan ekaristi, tentang kurban Kristus, dan juga tentang para imam yang dikatakan mempunyai titik awal eksistensinya dalam perayaan perjamuan akhir dari Tuhan Yesus ini.

Berbeda dengan pandangan umum itu, saya justru mau mengkaitkan dan menerapkan kalimat institusi di atas pada hidup perkawinan. Saya beranggapan bahwa kata-kata itu diucapkan oleh Tuhan Yesus untuk setiap pengikutnya, pria dan wanita, untuk setiap bentuk dan cara hidup, bukan monopoli sebuah cara hidup tertentu saja. Tetapi mengapa saya berani melakukan hal ini? Mengapa saya berani melangkah melawan arus? Perhatikan cara saya mengutip kata-kata institusi di atas tadi. Dengan sengaja saya menulis beberapa kata dalam huruf kapital. Terus terang saja, setiap kali saya mendengar kata-kata itu, saya fokus pada kata DIKURBANKAN dan DITUMPAHKAN. Tubuh dan darah dalam hidup dan relasi perkawinan adalah laksana bahan persembahan, yang dipersembahkan bagi dan kepada satu sama lain. Sang suami memberi seluruh dirinya (dilambangkan dengan tubuh dan darah) kepada sang isteri. Bahkan siap menjadi makanan dan minuman. Begitu juga sebaliknya, sang isteri memberi seluruh dirinya (dilambangkan dengan tubuh dan darah) kepada sang suami. Bahkan siap juga untuk menjadi makanan dan minuman. Itu artinya siap dimakan dan diminum.

Hidup perkawinan adalah seluruhnya sebuah kurban, sebuah persembahan hidup, persembahan diri kepada satu sama lain. Dalam imajinasi saya, saya membayangkan bahwa pasangan suami-isteri, dalam perayaan ekaristi, membayangkan diri sebagai sang Kristus yang rela memberikan diriNya menjadi makanan dan minuman bagi umat-Nya. Dengan demikian, hidup perkawinan bagi saya adalah sebuah perwujudan nyata dari totalitas hidup Kristus sendiri. Karena sudah saling menyerahkan diri, maka terjadilah sebuah ikatan dan relasi yang serba eksklusif yang tidak terpisahkan. Penjelasan saya mengenai tidak terceraikannya perkawinan tidak lagi semata-mata bersifat legalistis (sebagai ikatan dan kewajiban hukum belaka) melainkan pertama-tama dan terutama sebagai konsekwensi dari tindakan saling menyerahkan dan mengurbankan diri di atas altar hidup rumah tangga yang terbentuk dalam dan melalui sakramen perkawinan itu. Maka bagi saya, kata-kata INILAH TUBUHKU dan INILAH DARAHKU, menjadi sebuah kalimat yang sangat kuat sebagai simbol dari teologi perkawinan yang berlandaskan pada visi teologi tubuh dari Paus Yohanes Paulus II. Saya tidak mau berhenti pada sekadar memperlihatkan tubuh itu dengan mengucapkan LIHATLAH TUBUHKU, melainkan harus melangkah lebih lanjut ke kurban, ke persembahan diri. Dalam artian itulah hidup perkawinan pun bagi saya sangat berciri ekaristis juga.

Refleksi Kamis Putih, 13 April 2017
Taman Kopo Indah II, D4 No.40 Bandung, 40218.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...