Thursday, April 13, 2017

DOA BAPA KAMI PADA HARI JUM’AT AGUNG

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Setiap tahun kita merayakan hari Jum’at Agung, salah satu dari tiga hari yang amat suci dalam tradisi Gereja (khususnya Katolik). Secara tradisional disebut “holy triduum” (Latin: Sacrum Triduum). Biasanya diterjemahkan “Trihari Suci” ke dalam bahasa Indonesia. Mungkin di tempat lain disebut “Triduum Suci”. Pada hari itu gereja mengenang dan sekaligus juga merayakan sengsara dan wafat Tuhan kita Yesus Kristus. Itulah drama Getsemani, drama via dolorosa, drama tragedi Golgota, drama penyaliban, drama penikaman dengan tombak oleh seorang serdadu, drama penyuguhan anggur asam, drama wafat, dan akhirnya drama pemakaman Tuhan Yesus. Itulah yang kita dengarkan dalam Kisah Sengsara (Passio) menurut Yohanes yang memang menjadi bacaan wajib pada Hari Jum’at Agung (setelah dalam Hari Minggu Palma kita baca masing-masing dari ketiga Injil Sinoptik dalam tata urut tahun ABC). Setiap tahun dalam suasana hening meditatif (bahkan diam dan sunyi) gereja Katolik merayakan peristiwa itu dengan sebuah upacara yang disebut upacara Jum’at Agung.

Inti upacara itu ada tiga, yaitu upacara Sabda (Kisah Sengsara atau Passio tadi), upacara penyembahan Salib (veneratio crucis), dan akhirnya upacara penerimaan komunio tanpa konsekrasi, sebab sakramen mahakudus sudah dipersiapkan dalam perayaan ekaristi hari Kamis Putih kemarinnya. Itulah sebabnya dalam buku-buku teologi liturgi dalam bahasa Inggris hal itu disebut “the mass of the presanctified communion.” Rada sulit juga menerjemahkan ungkapan ini. Pokoknya yang dimaksudkan ialah komuni suci yang diterimakan kepada umat pada hari Jum’at Agung ini tidak dikonsakrir pada hari ini (sebab memang pada hari ini tidak ada perayaan ekaristi), melainkan sudah dikonsakrir dalam perayaan ekaristi Kamis Putih kemarin sore atau malam. Ini juga adalah sebuah simbolisme teologis yang kiranya nanti bisa dibahas pada kesempatan lain.

Selesai upacara penyembahan salib (yang didahului dengan perarakan salib dan penyingkapan salib dengan iringan lagu “ecce lignum crucis” itu) dalam suasana hening-meditatif imam mempersiapkan altar untuk menuju Komunio. Kemudian semua sibori yang menyimpan sakramen mahakudus dibawa masuk ke dalam gereja (kalau tabernakel sementara terletak di luar gereja, di ruang yang lain). Lalu semuanya ditempatkan di atas altar yang sudah dipersiapkan itu (Harus diingat bahwa altar dan kawasan panti imam, sejak selesai Perayaan Ekaristi Kamis Putih malam sebelumnya, sudah dibiarkan kosong dan tanpa hiasan seperti bunga-bunga dan juga kain penutup altar. Altar telanjang, polos. Ini juga adalah sebuah simbolisme teologis yang mempunyai makna yang dalam). Setelah semuanya selesai, maka imam selebran pun membuka untaian upacara selanjutnya dengan mengajak umat untuk mengucapkan doa Bapa Kami (sebagaimana yang memang biasanya dilakukan). Semuanya berlangsung tanpa iringan musik (sebab bunyi semua alat musik adalah tanda kegembiraan, padahal misteri yang kini dirayakan adalah misteri sengsara dan duka), melainkan dalam suasana hening-meditatif umat mengucapkan atau menyanyikan doa Bapa Kami tersebut.

Terkait dengan hal ini ada seorang teolog liturgi (dari abad yang lalu, yang bernama Abbot Gueranger OSB) yang pernah mengatakan bahwa Doa Bapa kami yang kita ucapkan atau kita panjatkan pada Hari Jum’at Agung adalah sangat unik, sangat istimewa, dan sangat luar biasa. Tetapi mengapa dia mengatakan demikian? Apa keistimewaan Doa Bapa Kami yang diucapkan pada hari Jum’at Agung ini? Bukankah kata-kata Doa itu tetap satu dan sama saja? Jika demkian, lalu apa keistimewanya? Beginilah kurang lebih jalan pikiran Abbot Gueranger. Kita semua tahu bahwa doa itu diajarkan oleh Tuhan Yesus sendiri kepada para muridNya yang memintaNya agar diajarkan sebuah doa karena melihat para murid Yohanes berdoa dan Yohanes sendiri juga mengajarkan doa kepada para muridnya (Mat.6:9-13; Luk.11:2-4). Dari para rasul kita mewarisi doa itu untuk kita pakai sebagai sebuah contoh atau model doa. Itulah sebabnya secara tradisional doa Bapa Kami itu disebut dengan sebutan Doa Tuhan, Oratione Dominica (dalam bahasa Latin), atau Lord’s Prayer (dalam bahasa Inggris. Konon dalam bahasa Arab disebut Sholat al-Robanniyah). Disebut demikian karena Tuhan Yesus sendiri yang mengajarkan doa itu kepada para muridNya dan melalui para murid itu juga akhirnya kepada kita semua. Di sepanjang sejarah gereja dan teologi Doa ini sering sekali menjadi bahan kajian dari para teolog, mulai dari para Bapa Gereja dulu hingga sekarang ini. Dewasa ini, salah satu pokok terbesar dalam buku Katekismus Gereja Katolik adalah tentang Doa Bapa Kami ini. Tiada henti-hentinya doa ini menjadi pokok kajian para teolog, termasuk teolog masa kini Paus Benediktus XVI.

Dan sekarang perhatikan baik-baik, demikian kata Gueranger melanjutkan penjelasannya. Dalam perayaan Hari Jum’at Agung ini, si Pemberi dan Pengajar doa itu sedang tergantung di salib dengan posisi tangan terentang antara langit dan bumi. Itu adalah salah satu posisi tangan yang sedang berdoa. Tangan terentang, dengan sedikit terangkat ke atas, ke langit, ke surga. Hal itu kita bisa membayangkan saat Yesus sudah mati di kayu salib, maka tubuhNya menjadi lemas. BadanNya pasti turun ke bawah, dengan demikian tanganNya terentang dan sedikit terangkat ke atas, karena telapak atau pun pergelangannya tertahan paku-paku. Posisi tangan seperti ini mengingatkan kita akan posisi tangan Musa, tatkala ia berdoa saat orang-orang Israel berperang melawan orang-orang Amalek (Kel.17:8-16). Dikatakan di sana, ketika tangan Musa turun karena menjadi lemah, maka Israel kalah. Tetapi ketika tangan Musa terangkat ke atas, maka Israel menang, Amalek kalah (ay.11-12). Saat kita mengucapkan atau menyanyikan doa Bapa Kami itu, sang Guru yang mengajarkan doa itu, kini seakan-akan sedang mengantarkan doa yang kita ucapkan doa itu kepada Bapa di surga, lewat tangan-tanganNya yang terentang dan sedikit terangkat ke atas, ke surga. Dalam artian itulah Doa Bapa Kami yang kita ucapkan dalam upacara Jum’at Agung sangatlah istimewa dan luar biasa. Rasanya, doa itu langsung sampai ke surga, ke hadapan hadirat Bapa sendiri karena Yesus sendiri yang mengangkatnya naik ke tahta Bapa di surga. Dalam imajinasi religius saya, rasanya gema-gema suara kita mengucapkan doa suci itu bagaikan asap kurban hamba Tuhan, Habel yang saleh, yang membubung naik lurus ke surga, ke hadapan tahta Allah (Kej.4:4). Sedemikian kuatnya simbolisme kurban Habel yang saleh ini, sehingga tidak heran bahwa simbolisme ini masuk ke dalam Doa Syukur Agung I. Setiap kali imam memakai Doa Syukur Agung I ini, maka kita akan selalu mendengarkan nama Habel tersebut diucapkan.

Kembali lagi ke doa Bapa Kami tadi. Dengan latar belakang seperti di atas tadi, maka saya bisa membayangkan bahwa kalau kita mengucapkan (menyanyikan) doa Bapa Kami ini dengan sungguh-sungguh pada upacara hari Jum’at Agung niscaya doa kita akan terkabul. Karena itu, saya sangat berharap agar pastor bersama umat mengucapkan doa ini dengan cara yang istimewa juga, berbeda dari yang biasa kita ucapkan sehari-hari. Pada hari Jum’at Agung Doa Bapa kami menjadi sangat manjur dan efektif. Sadar akan hal itu saya berharap agar umat mendoakan Doa Bapa Kami ini dengan sangat sadar, sambil merenungkan sengsara, wafat, dan pemakaman Tuhan. Kita tidak usah menambahkan permohonan khusus yang aneh-aneh pada saat itu, cukup memusatkan perhatian pada tujuh butir permohonan yang ada dalam doa itu: Pater Noster, qui es in Caelis, 1). Sanctificetur nomen Tuum, 2). Adveniat regnum Tuum, 3). Fiat voluntas Tua, sicut in caelo, et in terra. 4). Panem nostrum cotidianum da nobis hodie. 5). Et dimitte nobis debita nostra, sicut et nos dimittimus debitoribus nostris. 6). Et ne nos inducas in tentationem. 7). Sed libera nos a malo.


TAMAN KOPO INDAH D4 NO.40 BANDUNG.

2 comments:

Arito said...

Tks much pencerahannya...

canticumsolis said...

Ponsianus, sama-sama yah, dan trims juga atas atensi dan apresiasinya di sini....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...