Friday, March 31, 2017

PRAKSIS PUASA DAN PANTANG KITA

Oleh: Fransiskus Borgias M.


Setiap kali masa puasa dan pantang tiba, maka saya selalu teringat akan praktek pantang dan puasa yang dulu pernah diajarkan oleh ayah dan ibu kami pada waktu kami masih kecil (usia sekolah dasar). Saya masih ingat, hari Rabu dan Jum’at selama masa puasa (Prapaskah), adalah hari-hari yang tidak terlupakan oleh saya. Dulu pada masa kecil kedua hari itu juga merupakan hari yang paling sulit bagi kami. Itu disebabkan karena pada saat makan siang di kedua hari itu, kami makan sayur tanpa garam. Menu hanya ada dua saja, nasi dan sayur. Sayurnya pun hambar (hebas, dalam bahasa Manggarai) karena tidak digarami. Lebih mudah rasanya makan nasi putih saja (puasa mutih) tanpa sayur, daripada harus makan nasi dengan sayur tetapi sayurnya hambar (tidak bergaram). Tetapi kami tidak boleh melakukan hal itu (makan nasi tanpa sayur yang hambar tadi). Kami harus makan sayur yang tidak bergaram itu. Benar-benar tidak enak rasanya. Itulah praktek pantang dan puasa kami pada waktu itu. Entah dari mana ayah dan ibu kami mendapat ide itu: mengurangi konsumsi garam (pantang garam). Bila sudah selesai makan siang, maka kami pun menanti makan malam dengan penuh rindu dan gairah sebab pada saat makan malam itulah nanti sayur sudah bergaram dan ada ikan juga. Daging tidak ada. Di samping saat itu daging memang langka di kampung kami saat masa kecil, daging juga dilarang pada masa pantang dan puasa.

Memang setiap kali masa prapaskah tiba, kita mencoba menerapkan beberapa praktek puasa dan pantang yang sudah lama dijalankan dalam tradisi Gereja Katolik. Salah satunya ialah pantang daging. Pertanyaannya ialah mengapa kita puasa dan pantang daging? Saya menyadari bahwa tidak mudah juga menjawab pertanyaan ini. Tetapi pertanyaan ini harus dijawab agar jangan sampai muncul suatu anggapan negatif seperti tuduhan manikeistik yang dualistik dan bersikap negatif terhadap kedagingan, kejasmanian, terhadap tubuh. Cukup lama saya mencoba mencari jawaban dan penjelasan terhadap hal ini.

Setelah cukup lama mencari dan menggali, akhirnya saya menemukan sebuah penjelasan yang menurut saya sangat menarik perhatian. Menurut pendapat saya tradisi itu mempunyai landasan juga dalam Kitab Suci. Jika hal ini memang benar maka kiranya perlu sebuah upaya eksegese atas teks-teks Kitab Suci agar kita bisa memahami tradisi itu dengan baik, dan sekaligus bisa terhindarkan dan teratasi anggapan dan tuduhan yang bercorak negatif dan dualistik tadi. Itulah yang ingin saya usahakan dalam dan melalui tulisan singkat dan sederhana ini.

Masa puasa (dan pantang) adalah satu kurun waktu sepanjang tahun liturgi yang dibaktikan secara khusus untuk melakukan laku tapa, sesal, dan tobat. Sesal dan tobat ini diwujud-nyatakan dengan puasa (yang juga harus dilengkapi dengan doa dan amal, sehingga ketiganya menjadi tiga tiang tonggak kesalehan alkitabiah). Puasa adalah wujud dari laku tapa dan tobat. Puasa adalah sebuah upaya pengendalian diri, yang orang berlakukan secara sukarela atas dirinya sendiri sebagai silih atas dosa-dosa. Selama masa puasa ini, praksis puasa itu dilaksanakan dengan mengikuti ketetapan hukum Gereja. Menurut ketetapan dan peraturan Gereja barat, puasa pada masa puasa (yang reguler) ini tidak lebih keras daripada puasa yang ditetapkan untuk pelbagai vigilia untuk beberapa pesta atau hari raya tertentu, dan untuk hari-hari yang ditetapkan secara khusus sebagai hari puasa (di luar masa puasa. Misalnya puasa pada hari menjelang Pesta Salib Suci 14 September). Dalam tradisi Katolik puasa pada masa Puasa itu harus dijalankan selama empatpuluh hari berturut-turut dengan istirahat selingan setiap hari Minggu, sebab pada hari Minggu kita tidak berpuasa. Hari Minggu adalah hari raya, yang tidak boleh ada puasa di dalamnya.

Puasa itu amat penting dan berguna. Kiranya hal itu sudah jelas dengan sendirinya. Kitab Suci baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru penuh dengan pelbagai macam pujian akan praksis yang suci ini. Tradisi para bangsa pun menunjukkan bahwa puasa itu dihargai, dihormati, dianjurkan, diwajibkan. Tidak ada bangsa atau agama (walaupun dia sudah tergerus oleh modernitas) yang tidak terkesan dengan pendapat itu bahwa puasa itu penting. Orang percaya bahwa manusia bisa menyenangkan Allah-nya dengan menundukkan kepala dan mengarahkan tubuhnya pada laku tapa dan tobat.

Para Bapa Gereja (seperti St.Basilius Agung, St.Yohanes Chrysostomus, St.Hieronimus, dan St.Gregorius Agung), mengatakan bahwa perintah yang diberikan kepada orang tua kita yang pertama (maksudnya adalah Adam dan Hawa dan kaum keturunannya sampai sebelum Nuh) dalam firdaus duniawi dulu adalah perintah pantang (atau abstinence, yaitu menahan diri dari hal memakan daging). Menurut Kitab Suci, manusia pertama dulu tidak makan daging (Kej.1:29). Menurut teks ini, makanan manusia itu bukan daging (yang diambil dari tubuh hewan yang disembelih), melainkan hanya dari tumbuh-tumbuhan yang berbiji (gandum, padi, jagung, jelai, dan sejenisnya) dan pohon-pohonan yang buahnya berbiji (kira-kira seperti mangga, apel, pir, nangka, dan alpukat, dll). Tetapi ternyata mereka tidak melaksanakan perintah itu dengan baik. Faktanya mereka (orang tua pertama itu) membangkang (Kej 3:6-7). Akibatnya, mereka pun ditimpa oleh pelbagai macam kejahatan dan penderitaan. Anak-anak mereka pun terkena hukuman itu. Hidup sengsara (melarat) merupakan contoh yang kiranya paling jelas dari hukuman yang ditimpakan oleh Allah yang murka atas manusia yang tidak taat, manusia yang memberontak. Hidup sengsara (melarat) itulah yang harus dijalani oleh manusia yang adalah mahkota ciptaan (diciptakan paling akhir dan dinilai amat baik; Kej 1:31). Saat itu manusia harus hidup dengan bersandar pada bumi ini, suatu hidup yang susah dan berat karena bumi itu tidak menghasilkan apa-apa yang baik bagi manusia selain dari semak duri dan rumput duri dan tumbuh-tumbuhan di padang (thorns and thistles). (Kej 3:17-19).

Selama hampir duaribu tahun lebih, sebelum munculnya tragedi dramatis Air Bah itu (Kej 7-8), manusia tidak mempunyai makanan lain selain dari pada buah hasil dari bumi. Dan hasil bumi itu pun hanya bisa didapatkan dengan sebuah kerja keras dan berlelah-lelah dan dengan jerih payah. Saat itu usia manusianya masih panjang-panjang (Kej 5). Kemudian Allah, karena kasihan akan manusia, memperpendek usia hidup manusia, agar manusia itu tidak mempunyai waktu dan tenaga untuk berdosa ataupun berbuat jahat (Kej 6). Jadi, usia manusia pun diperpendek lagi agar jangan sampai manusia itu semakin jatuh dan jatuh di dalam dosa. Baru pada saat itulah Allah mengijinkan manusia untuk memakan daging binatang (Kej 9:3). Tetapi daging itu bukan makanan utama. Daging itu dimaksudkan sebagai nutrisi tambahan (ingat yah, tambahan, bukan yang paling pokok), saat daya kekuatan tubuh manusia itu semakin merosot dan memburuk. Baru pada saat itulah juga, Nuh, atas sebuah ilham ilahi, membuat minuman sari buah atau semacam jus (secara khusus dalam Kitab Suci disebut minum anggur; Kej 9:20). Hal itu membantu membentuk daya tahan yang kedua bagi kelemahan dan kerapuhan jasmani manusia. jadi, makanan tambahan itu ada dua: yang pertama ialah daging dan yang kedua ialah buah-buahan (termasuk sari buahnya, jus, ataupun semacam hasil penyulingan dan fermentasi).

Maka sesunggunya praksis puasa tidak lain adalah pantang atau menahan diri dari nutrisi-nutrisi tambahan seperti ini, yang pada awalnya hanya diijinkan sebagai nutrisi tambahan untuk menopang daya tahan tubuh. Pertama-tama, puasa ini terdiri atas pantang (menahan diri dari) daging ini, karena makanan ini diberikan oleh Allah kepada manusia sebagai hukuman atas kelemahannya (yang menyebabkan dia jatuh), dan bukan terutama sebagai satu yang esensial yang bersifat mutlak untuk pemeliharaan dan penopang hidup. Artinya, kalau hal ini dikurangi ataupun ditiadakan juga tidak akan merusak apalagi sampai meniadakan (baca: mematikan) hidup manusia itu sendiri. Ia tetap bisa hidup, juga tanpa mereka (nutrisi-nutrisi tambahan tadi). Pengurangan atau peniadaan hal-hal tambahan ini, entah sebagian entah seluruhnya ataupun banyak, menurut aturan masing-masing gereja, merupakan hal yang pokok bagi gagasan puasa itu sendiri. Artinya ide puasa itu pasti harus ada unsur pengurangan atau bahkan peniadaan unsur-unsur tadi dalam makanan kita. Jadi, itu sebabnya kita tidak makan daging pada masa puasa dan pantang. Jika dilihat dengan cara seperti ini maka praksis puasa seperti itu mutlak harus dilakukan sebab itu adalah sebuah kewajiban. Biarpun orang tidak makan daging tiap hari (misalnya karena miskin), tetapi tidak makan daging pada masa puasa bagi orang Katolik adalah wajib. Jadi, tidak ada pembenaran seperti dalam kalimat seperti ini: “daging itu bukan makanan saya tiap hari. Jadi, kalau pada masa puasa saya dapat daging dengan mudah, maka saya boleh memakannya.” Itu tidak benar. Itu salah.

Dilihat dengan cara seperti ini, maka praksis puasa dan pantang daging itu bukanlah sebuah praksis manikeistis, yaitu penolakan daging karena daging itu negatif dan jahat dalam perspektif dualisme manikeis tadi. Praksis itu sangat biblis sebagaimana sudah dibentangkan secara sangat singkat di atas tadi. Itu sebabnya di daerah-daerah kantong-kantong Katolik tradisional di Eropa, tiga hari sebelum Rabu Abu (jadi mulai dengan Minggu, Senin, dan Selasa), ditandai dengan pesta kerakyatan yang dikenal dengan sebutan carnival. Konon, salah satu cara untuk menjelaskan arti dari Carnival ini ialah dengan menelusuri makna etimologisnya. Secara etimologis kata carnival ini berasal dari akar kata dalam bahasa Latin, Caro dan vale. Caro artinya daging, vale, artinya selamat tinggal. Artinya, untuk sementara selama 40 Hari, sejak hari Rabu Abu, orang mengucapkan selamat tinggal kepada daging, dan sejak itu orang tidak makan daging sampai masa puasa berlalu, sampai Hari Minggu Paskah.

Selama berabad-abad di gereja barat, telur dan susu juga tidak diijinkan, karena bahan-bahan itu dianggap atau diyakini termasuk dalam kategori makanan yang berasal dari tubuh hewan. Dewasa ini sudah ada kelonggaran untuk susu dan telur. Tetapi di gereja timur, kedua hal itu masih tetap tidak diperbolehkan pada masa puasa dan pantang. Dulu, pada masa awal Kekristenan, praksis puasa juga mencakup pengendalian diri dari minum anggur. Itu yang dapat kita baca dari informasi yang berasal dari orang-orang seperti Cyrillus, Basilius, Yohanes Chrysostomus, Theophilus dari Alexandria, dll. Di gereja barat, kebiasaan ini sudah tidak dipakai atau diikuti lagi. Orang-orang Kristiani timuran masih terus mempertahankannya lebih lama lagi, tetapi kemudian juga mereka menganggapnya sudah tidak wajib lagi untuk diikut alias mengikat.

Akhirnya, praksis puasa juga mencakup upaya mengurangi sebagian dari makanan kita yang biasa kita habiskan setiap hari. Misalnya kalau kita biasa dan bisa makan tiga kali sehari, maka dalam dan selama masa puasa orang cukup makan sekali saja. Di pelbagai tempat ada pelbagai macam penyesuaian dan modifikasi. Dewasa ini kita akrab dengan perintah makan kenyang satu kali saja. Perintah seperti ini bisa ditafsirkan sbb: cukup makan satu kali, tetapi makan sekenyang-kenyangnya. Tetapi bisa juga ditafsirkan sbb: tetap makan dua atau tiga kali, dari antara dua atau tiga itu, cukup satu kali saja yang makan kenyang. Yang lain makan setengah kenyang saja. Harus diakui bahwa ada banyak adaptasi yang sudah dilakukan sepanjang masa. Walaupun ada banyak adaptasi, tetapi inti perintah tetap sama, yaitu pengurangan jatah normal yang wajib maupun yang disukai.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...