Wednesday, December 26, 2018

DATANGLAH KERAJAANMU: BAPA ALEX NAHAL DAN DOA “BAPA KAMI”

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA.
Dosen FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.




Awal Agustus 2017 yang lalu saya dan isteri berkesempatan untuk bertemu dan melakukan wawancara dan berdialog dengan Bapa Alex Nahal di rumah kediamannya di Borong. Hal itu saya lakukan dalam rangka menyusun sebuah buku tentang Bapa Alex. Untuk itu saya berusaha menggali banyak segi dalam kehidupannya untuk diungkapkan kepada Publik dalam sebuah buku nantinya. Sudah banyak tulisan singkat-singkat yang sudah berhasil saya lakukan. Tetapi belum sempat-sempat juga untuk merangkumnya menjadi sebuah buku yang utuh dan penuh. Oleh karena itu saya memutuskan untuk mulai saja menerbitkan potongan-potongan tulisan itu dalam blog pribadi saya agar publik bisa menikmatinya juga terlebih dahulu. Siapa tahu ada juga masukan-masukan yang berharga demi perbaikan isi buku itu nantinya. Daya pendengaran beliau sudah mulai berkurang. Begitu juga dengan daya ingatnya. Tetapi untunglah kami banyak dibantu oleh sang Isteri yang bersedia mendampingi kami. Juga kami mendapat sangat banyak bantuan dari salah satu anak lelakinya yang kebetulan rumah kediamannya sangat berdekatan dengan Bapa Alex.

Salah satu hal (dari sekian banyak hal) yang amat menarik yang saya dan isteri temukan dari kekayaan hidup rohani bapa Alex ialah ketekunannya dalam hidup doa. Memang bapa Alex adalah sosok orang guru Katolik yang saleh. Salah satu doa favorit dia adalah Doa Bapa Kami. Sebagai orang Katolik, tentu saja dia sangat hafal akan doa itu, baik dalam versi bahasa Indonesia, maupun versi terjemahan bahasa Manggarainya. Sebagai generasi guru tua di Manggarai, dapat juga dipastikan bahwa dia juga tahu atau hafal versi bahasa Latinnya. Saya sendiri mendengar ia mengucapkan doa Bapa Kami itu dalam bahasa Indonesia dan bahasa Manggarai (sedikit bergaya logat Mukunan).

Pertama-tama saya harus mengatakan bahwa masing-masing orang Kristiani yang memakai doa ini, pasti memiliki sudut pandang sendiri dan pengalaman sendiri dalam mencoba memahami dan mencintai Doa Tuhan Yesus itu. Misalnya, mungkin ada orang yang sangat terpesona dengan bagian awal doa itu: Dimuliakanlah NamaMu. Atau mungkin ada juga yang sangat terpesona dengan ucapan penggal “Ampunilah kesalahan kami”. Ataupun ada yang tertarik dengan penggal “Janganlah masukkan kami ke dalam pencobaan”. Dan seterusnya. Dan seterusnya. Menurut pengakuan bapa Alex sendiri dalam sesi wawancara itu, ia terutama sangat tertarik dengan dua penggal dari doa Bapa Kami itu. Yakni ia sangat tertarik dengan ungkapan “Datanglah kerajaanMu” dan “Berilah kami rejeki pada hari ini.”

Saat saya mendengar pengakuan itu sesungguhnya saya tidak terlalu merasa heran juga dengan rasa ketertarikan itu. Sebab dalam sejarah penafsiran cukup banyak orang juga yang tertarik dengan kedua penggal ungkapan itu dari doa Bapa Kami. Para pejuang teologi pembebasan (terutama pembebasan dari kemiskinan) misalnya sangat suka akan ungkapan “Berilah kami rejeki pada hari ini.” (Bahkan mereka suka akan versi Latinnya yang meminta Roti sehari-hari, Daily Bread; hal itu berbeda dengan bahasa Indonesia yang memakai ungkapan rejeki, walau ada juga yang memakai terjemahan roti hari ini). Tetapi yang menjadi sangat menarik bagi saya ialah alasan mengapa bapa Alex merasa sangat tertarik dengan kedua baris itu. Alasan dia adalah karena ia mau “memakai” kedua ungkapan dalam Doa Tuhan Yesus itu sebagai dasar untuk pembangunan dan pemberdayaan kehidupan sosial ekonomi rakyat. Saat saya mendengar hal itu saya secara spontan sangat terkejut. Maka secara spontan saya pun balik bertanya: Mengapa bapa berpikir seperti itu? Dengan penuh semangat (yaitu dengan mata rada membelalak) ia mencoba menjelaskan pandangan dan pendiriannya. Dan penjelasan yang ia berikan juga sangat menarik.

Begini katanya pada waktu itu: Nak Frans dan Nak Atin, saya sangat yakin bahwa ketika Tuhan Yesus berdoa (atau mengajak kita berdoa) agar “Kerajaan Tuhan itu datang”, tentu itu tidak main-main. Itu bukan sebuah doa yang mengandung kata-kata kosong belaka. Itu bukan hanya sekadar bunyi bibir saja (saya tambahkan bahwa ungkapan itu dalam bahasa kerennya ialah lip-service, hiasan bibir). Kata Bapa Alex: Tentu Tuhan Yesus sungguh-sungguh menginginkan agar Kerajaan Allah itu datang dan terjadi sekarang dan di sini, di Borong ini, di Ketang, di Mukun, di Manggarai ini. Tetapi syaratnya hanya satu: Yakni saya harus ikut ambil bagian di dalamnya. Saya memahami doa itu dengan cara seperti itu. Doa “Datanglah KerajaanMu” itu saya jadikan sebagai dasar atau titik berangkat untuk pembangunan dan pemberdayaan hidup sosial ekonomi masyarakat. Saya dulu yang mulai di Ketang dengan upaya menanam pohon cengkeh. Dan itu tidak mudah, sebab tanah di Ketang itu tanah merah, tidak subur. Saya harus membuat pupuk sendiri (sekarang disebut pupuk kompos). Sebelum saya, Ketang itu masih kosong. Mungkin dulunya penuh dengan kayu Ketang, tetapi semua sudah hilang (karena ditebang orang, penebangan liar). Sebagai seorang guru, saya mulai dengan upaya memberi contoh teladan bagi masyarakat. Saya menanam pohon cengkeh. Kegunaannya dua. Satu efek penghijauan (segi ekologi), dan dua tentu saja untuk meningkatkan kehidupan ekonomi, meningkatkan pendapatan. Kalau hidup ekonomi rakyat (masyarakat) meningkat, nah itulah Kerajaan Allah itu. Kerajaan Allah itu sudah datang dan terjadi di sini, di Ketang.

Nah, permintaan kedua yaitu “Berilah kami rejeki pada hari ini”. Ya kita meminta rejeki dengan cara bekerja, bukan hanya dengan menadahkan tangan saja; bahasa Manggarainya, “nggelak” (nggelak tiba helang) saja. Kita harus bekerja, yaitu menanam tadi, dan Tuhan pasti akan menumbuhkan. Dan pada akhirnya kitalah yang petik hasil panennya. Nak Frans, Tuhan tidak pernah mengambil lagi hasil panennya. Betapa Tuhan itu baik. Betul kata Mazmur itu. Kecaplah dan rasalah sendiri, betapa sedapnya Tuhan. Pada awal tahun 70an, saya hanya menanam dan menamam saja. Ya, tentu saja saya dan anak-anak saya memang menyiram juga. Tetapi saya yakin Tuhan yang menumbuhkan. Ia menumbuhkannya dengan sangat subur. Itu sebabnya Ketang lalu menjadi hijau permai oleh pohon cengkeh. Ketang yang tadinya tandus, sekarang menjadi hijau permai dan indah. Yang hijau-hijau itu memang indah. Hal itu mungkin terjadi, sebab contoh teladan yang telah saya berikan dengan cukup cepat menular juga kepada masyarakat lain di sekitar. Semua sudah melihat dan sadar bahwa Tuhan menumbuhkan, dan Tuhan tidak pernah mengambil lagi hasilnya. Kita-kita inilah yang menikmati hasilnya. Hanya sering sekali kita lupa untuk berterima kasih.

Lalu ia memberi keterangan tambahan bahwa sejak ia pensiun dan tidak begitu kuat lagi kerja fisik (opus manuale) ia mulai memahami dan mengartikan secara baru dan lain teks doa favoritnya itu. Ia mengaku bahwa Doa “Datanglah KerajaanMu” itu sekarang ini ia coba wujudkan dengan mendorong masyarakat agar terlibat dalam kegiatan ekonomi mikrofinance, melalui credit union yang puji Tuhan di seluruh Manggarai Raya (termasuk Manggarai Timur dengan ibukota Borong) sangat getol digalakkan oleh pihak Gereja melalui Paroki-paroki yang ada. Dalam hal ini ia sangat mendukung upaya gereja paroki dalam rangka pemberdayaan itu. Secara kebetulan saat kami melakukan wawancara untuk calon bahan buku ini ada seorang imam keuskupan Ruteng yang adalah tokoh penggerak credit union yang bernama RD.Simon Nama. Kebetulan saat kami ada di Borong ia bekerja di Ibukota Manggarai Timur itu (Hanya sayang kami tidak sempat bertemu dengan beliau). Bapa Alex merasa sangat sejalan dengan gerakan itu. Ia melihat gerakan CU itu sebagai bagian utuh dari doa Bapa Kami itu: “Datanglah kerajaanMu” dan “Berilah Kami Rejeki pada hari ini.” Oh, ya sebelum CU ia juga menggalakkan gerakan arisan dan aktifitas menabung.

Saat saya mendengar ulasan atau lebih tepat sharing pengalaman dan pemahaman itu, saya benar-benar merasa kagum. Saya kagum karena model penafsiran seperti ini menurut saya benar-benar otentik (original). Mengapa saya berani mengatakan begitu? Karena selama saya belajar teologi dan Kitab Suci saya sudah cukup banyak mempelajari para teolog yang mencoba menafsirkan doa Bapa Kami itu. Misalnya model penafsiran dari para Bapa Gereja (Patrologi) yang menjadikan Doa Tuhan (Oratio Dominica) sebagai sebuah teks dasar dalam teologi mereka. Setidaknya sampai saat ini saya belum menemukan penafsiran dan pemahaman seperti yang dimiliki oleh Bapa Alex ini. Sebagian besar para Bapa Gereja itu memahami teks “Datanglah KerajaanMu” itu secara eskatologis. Yaitu mengharapkan Parousia, saat Tuhan akan datang lagi. Jadi, doa itu menurut mereka, mengarahkan perhatian kita ke akhir jaman (parousia). Tetapi bapa Aleks tidak begitu. Ia membawa perhatian kita dalam doa itu justru untuk masa sekarang ini. Mungkin karena dalam pemahaman dia, masa depan atau akhir jaman itu nanti sangat ditentukan oleh masa sekarang ini. Menurut dia doa Bapa Kami itu adalah doa untuk hari ini. Bukan doa untuk hari-hari yang akan datang. Apalagi doa untuk akhir jaman. Hal itu jauh sekali dari apa yang dipikirkan dan dibayangkan oleh Bapa Alex.

Beberapa para exegese (ahli tafsir kitab suci) yang pernah saya rujuk untuk mencoba menggali makna dan memahami doa Bapa Kami juga amat menekankan nada eskatologis dan orientasi parousia dari doa Bapa Kami itu, khususnya penggalan yang dimaksudkan tadi. Misalnya, saya pernah mendalami buku dari exeget Joachim Jeremis yang mendalami Doa Tuhan itu (Lord’s Prayer). Di sana kentara sekali nada eskatologis dan orientasi parousia itu. saya juga pernah mendalami tafsir dari perspektif sejarah teologi liturgis dari romo Joseph Jungman SJ (pakar sejarah Liturgi Yesuit), History of Christian Prayer. Saya juga mendalami ulasan doa Bapa Kami yang ada dalam buku Katekismus Gereja Katolik yang terbit tahun 90an (abad yang lalu) pada masa pontifikat santo Yohanes Paulus II. Akhirnya yang terbaru (atau relatif baru, tahun 2007) saya juga sudah mencoba mendalami doa Bapa Kami yang diupayakan oleh Joseph Ratzinger yang menjadi Paus Benediktus XVI. Semuanya menekankan dimensi eskatologis dan orientasi parousia dari doa itu. Itulah sebabnya, saya berani mengatakan bahwa tafsir dan pemahaman bapa Alex tadi adalah sangat khas dan mungkin original. Saya akan tetap mempertahankan cap original-otentik ini sampai saya bisa menemukan tafsir yang serupa yang sudah mendahului bapa Alex, tetapi yang masih luput dari jangkauan pencarian dan pendalaman saya.

Dalam artian itulah saya merasa bahwa Bapa Alex telah menjadi guru saya dalam memahami dan mengartikan Kitab Suci. Maka sekali lagi saya menjadi semakin yakin bahwa apa yang disebut “tafsir eksistensial” (existential interpretation) atas Kitab Suci itu sungguh-sungguh ada dan sungguh-sungguh absah juga. Kita tidak dapat dan tidak boleh mengabaikannya ataupun meremehkannya, karena tafsir eksistensial seperti itu sungguh ada dan benar-benar mengalir dan memancar keluar dari perjuangan hidup seseorang itu sendiri dan memperkaya hidup orang itu juga secara sangat kuat dan mendalam.

Dan memang dalam hal itu, maksud saya, dalam hal hidup rohani, bapa Alex tentu saja tidak usah diragukan. Tadi pagi saat saya datang agak pagi ke rumahnya untuk sesi wawancara lanjutan, ternyata ia belum pulang dari gereja untuk mengikuti ekaristi pagi, sebuah rutinitas yang ia tekuni tanpa terlewat satu hari pun kecuali kalau ia sedang sakit berat. Kalau tidak ia akan berjalan kaki ke gereja untuk mengikuti perayaan ekaristi harian. Luar biasa. Ia benar-benar cinta dan rindu bertemu dengan Tuhan Yesus.

#bapa kami #datanglah kerajaanMu #di bumi #di surga #ketang #usaha kecil #alex nahal #hidup rohani

2 comments:

Unknown said...

Mantab kae Frans. Ulasan yang sangat mendalam. Secara singkat, Bapa Alex itu juga mendambakan keadaan di bumi yang semakin menyerupai surga. Dan itu adalah kehendak ilahi yang harus kita upayakan. " Jadilah kehendakMu di atas bumi seperti di dalam surga."

canticumsolis said...

Baik e....
Nanti sy tambahkan bgn ini jg e.
Maksh sdh beri usulan perbaikan...
Tabe natal ga....

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...