Thursday, December 27, 2018

PERISTIWA NATAL DAN AYUB

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA
Dosen FF-UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI



Begitu membaca judul di atas pasti anda bertanya: adakah hubungan antara Natal dan Ayub? Bukankah ada jarak waktu yang sangat besar antara Ayub dan peristiwa Natal? Menurut Yehezkiel, Ayub hidup pada jaman Bapa Bangsa, sebab ia menyebut namanya bersama daftar nama mereka (Yeh 14:14,20). Sedangkan Natal adalah peristiwa pada jaman akhir, yang mengawali perjanjian baru. Kalau ada, maka hubungan seperti apakah itu? Tulisan ini dimaksudkan untuk menjelaskan misteri hubungan itu.

Saya mulai dengan Natal. Menurut Lukas, kelahiran Yesus adalah peristiwa yang merepotkan sebab terjadi dalam perjalanan, bukan di rumah. Karena perintah cacah jiwa Kaisar Agustus berangkatlah Maria dan Yusuf ke Betlehem (kota asal Yusuf, keturunan Daud). Saat itu Maria, tunangan Yusuf, sedang mengandung (Luk 2:5). Bisa dibayangkan betapa perjalanan itu menyusahkan sebab Maria mengandung tua. Begitu tiba di Betlehem, kata Lukas, “...tibalah waktunya bagi Maria untuk bersalin” (Luk 2:6). Kelahiran itu juga pasti merepotkan karena mereka tidak mendapatkan penginapan. Anak itu lahir di tempat sederhana, tetapi Lukas tidak melukiskan tempat seperti apa itu. Yang jelas cukup sederhana, sebab begitu anak itu lahir, ia dibungkus dengan kain lampin dan dibaringkan dalam palungan, semacam wadah untuk memberi makanan ternak.

Dari sinilah muncul imajinasi religius kita yang membayangkan bahwa itu adalah kandang hewan milik para gembala. Jangan kita bayangkan bahwa di situ hanya ada ternak saja. Pasti ada manusia, yaitu gembala. Sebab gembala jaman itu, hidup bersama ternak. Karena hidup bersama setiap hari, mereka bisa “mengenal” dan “mengetahui” bau masing-masing. Domba mengenal bau tuannya. Bukan berarti gembala tidak mandi. Melainkan, pakaian mereka menyerap aroma domba. Begitu gembala datang, mereka akan membaui. Saat mencium aroma yang sama dengan aroma mereka, maka mereka tenang karena mereka mengenal tuannya melalui bau mereka yang sudah lengket pada pakaian si gembala.

Imajinasi tentang kehadiran gembala itu menjadi semakin kuat sebab dalam bagian berikut kisah Lukas kita diberitahu tentang gembala. Di tengah rutinitas hidup mereka, tiba-tiba mereka didatangi malaekat. Semula hanya satu Malaekat. Ia bercahaya gilang gemilang. Penglihatan itu sangat asing bagi mereka. Itu sebabnya mereka sangat ketakutan. Malaekat itu mengatakan agar jangan takut karena ia membawa kabar sukacita besar, yakni kelahiran Yesus Kristus, di kota Daud (Luk 2:11). Malaekat itu juga memberi tanda khas bayi itu (ay 12). Keadaan makin semarak karena turunlah serombongan malaekat, bala tentara surgawi. Kita bisa bayangkan keadaan di luar Betlehem di padang penggembalaan menjadi sangat ramai karena para malaekat itu bernyanyi memuji Allah: Gloria in excelsis Deo. Et in terra pax hominibus, bonaevoluntatis (Luk 2:14).

Saya bisa membayangkan betapa penampakan itu sungguh membuat hati para gembala itu terpesona dan diliputi sukacita besar. Sebab begitu penglihatan itu berlalu mereka bergegas ke Betlehem untuk membuktikan kebenaran kabar malaekat itu. Lukas tidak memberitahukan apa perasaan mereka. Tetapi kita bisa membayangkan betapa mereka heran dan penuh sukacita tatkala melihat bahwa yang dikatakan malaekat itu benar: ada bayi yang lahir dan dibaringkan di palungan. Keheranan dan sukacita mereka dan kabar yang mereka sampaikan membuat orang yang mendengarnya keheranan juga. Rupanya, cerita kelahiran langka itu cepat menyebar di Betlehem sehingga banyak orang datang melihatnya sebelum gembala itu. Kelahiran itu membawa sukacita besar. Apalagi bagi kedua orang tuanya. Hari lahir, Dies Natalis, membawa sukacita, dirayakan sebagai peristiwa sukacita besar. Hari lahir dikisahkan sebagai peristiwa sukacita besar.

Apa hubungannya dengan Ayub? Tentu Ayub, saat lahir, pasti membawa sukacita bagi orang tuanya dan sanak keluarganya. Lalu apa masalahnya? Masalahnya ialah bahwa jauh di kemudian hari, saat Ayub sudah tua, ia pernah mengutuk hari lahirnya (Ayb 3). Dalam hidupnya semula Ayub adalah orang sukses sehingga ia menjadi kaya. Ia memiliki harta benda yang sangat banyak. Ia orang paling bahagia dalam ukuran Perjanjian Lama. Walaupun sangat kaya, ia tidak lalai. Ia tetap hidup saleh dan tidak bercela di hadapan Allah. Bahkan Tuhan memuji kesalehan hidup Ayub. Kesalehan Ayub bahkan cenderung tampak seperti scruple. Hal itu tampak dalam perbuatannya yang setiap pagi mempersembahkan kurban bagi anak-anaknya. Siapa tahu mereka itu, tidak lagi ingat akan Tuhan.

Suatu hari, tanpa ia ketahui sebabnya, tiba-tiba ia jatuh miskin karena bencana alam dan perampokan. Tidak hanya berhenti di situ. Tidak lama sesudah itu ia sakit berat. Seluruh tubuhnya terkena borok mulai dari kepala sampai ke telapak kaki. Karena itu ia tidak tinggal di rumah melainkan di luar rumah dalam kotak abu. Di sanalah ia merenungi nasibnya. Ia tidak memahami mengapa ia yang hidupnya saleh dan kaya tiba-tiba jatuh miskin dan sakit. Tetapi ia tidak meninggalkan imannya. Justru isterinyalah yang jatuh ke dalam ateisme praktis yaitu hidup seakan Allah tidak ada. Walau menderita ia tetap saleh. Tidak mengutuk Allah. Dalam deritanya yang berat itu kita tahu bahwa Ayub mengutuk hari lahirnya. Dari dalam tubir derita ia membayangkan bahwa lebih baik dulu jika ia tidak lahir, jika dulu tidak ada kabar sukacita tentang kelahiran. Kalau terlanjur ia lahir, sebaiknya ia mati saja saat masih bayi merah yang tidak tahu apa-apa. Ini semua terjadi karena ia tidak dapat memahami lagi misteri deritanya.

Di sinilah hubungannya: jika natal yang kita rayakan membawa sukacita, Ayub dari dalam tubir deritanya justru mengutuk hari lahirnya, membayangkan bahwa hari lahir (dies natalis) itu dulu sebaiknya tidak pernah ada. Natal dalam imajinasi religius Ayub yang menderita, adalah hari terkutuk yang sebaiknya tidak pernah ada, dan tidak pernah diwartakan. Sedangkan bagi kita natal adalah hari sukacita, hari Tuhan Yesus lahir ke dunia ini, hari misteri verbum caro factum est, sabda menjadi daging. Ya, selamat Natal.

#imajinasi religius #gembala #natal #ayub #peristiwa natal #ateisme praktis

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...