Tuesday, January 1, 2019

RELASI INTERSUBJEKTIFITAS MENURUT MARTIN BUBER

Oleh: Dr.Fransiskus Borgias MA
Dosen Teologi Fakultas Filsafat UNPAR Bandung. Anggota LBI dan ISBI.



Martin Buber (1878-1965) adalah salah satu filsuf Jerman yang besar pada abad keduapuluh. Ia terutama dikenal dengan pemikiran filosofisnya tentang hubungan antar manusia (relasi intersubjektifitas). Ia menuangkan pemikiran filosofis itu dalam buku babonnya, Ich und Du (1923; Jerman). Terjemahan Inggrisnya I and Thou (1970, W.Kaufmann). Sampai kini belum ada terjemahan Indonesia. Sebelum melangkah lebih jauh saya tambahkan beberapa detail data biografis beliau. Ia adalah filsuf Jerman berdarah Yahudi, seperti beberapa filsuf Jerman lain (Herman Cohen, Franz Rosenzweig). Prof.K.Bertens (Filsafat Barat: Inggris-Jerman, Jakarta: Gramedia 1983). bisa membantu kita memahami pokok-pokok pemikiran filosofis Buber tentang relasi antar manusia.

Menurut Buber, manusia mampu membangun dua relasi fundamental. Pertama, relasi antara Aku dan Engkau, Ich und Du, I and Thou. Relasi ini dibangun sang subjek manusia dengan sesamanya. Lebih jauh relasi ini juga bisa dibangun oleh manusia dengan Tuhan. Relasi ini harus senantiasa ditandai oleh kesadaran akan otonomi subjektifitas si subjek yang lain. Pihak lain harus dihormati, dihargai, dan diakui apa adanya. Relasi model pertama ini, menurut Buber, ditandai Beziehung (Bertens 1983:163). Tidak mudah menerjemahkan kata ini ke bahasa Indonesia. Prof.Bertens menerjemahkannya hubungan (relationship). Baik juga kalau dipahami sebagai perjumpaan (encounter, walaupun untuk perjumpaan itu ada kata khusus dalam Jerman, Begegnung). Beziehung (relationship, hubungan, perjumpaan) ini mengandaikan relasi antar pribadi, inter-persona.

Kedua, relasi Aku dan benda, Ich und es, I-It (Aku dan Itu, Aku dan Benda). Menurut Buber, model relasi kedua ini terjadi antara manusia dan benda atau binatang. Dalam relasi model ini, ada mentalitas pemilikan dan penguasaan. Manusia menguasai dan memiliki benda. Bahkan binatang juga dimiliki dan dikuasai manusia. Relasi model kedua ini, menurut Buber, ditandai Erfahrung (Bertens 1983:163). Tidak mudah menerjemahkan kata ini ke bahasa Indonesia. Sebaiknya kita terjemahkan dengan pengalaman (experience). Hal ini sangat berbeda dengan model relasi pertama tadi, di mana tidak boleh ada pemilikan dan penguasaan. Du harus dihormati di dalam kebebasan dan otonominya. Martabat dan otonomi kebebasannya tidak boleh dilanggar, ataupun diperkosa.

Sampai di sini kita bisa memahami inti pemikiran filosofis Buber. Lebih lanjut ia mengatakan, dan inilah persoalan dimensi etis relasi intersubjektifitas itu, bahwa manusia bisa membolak-balikkan ataupun menukarkan kedua pola dasar relasi tadi. Maksudnya dalam relasi Aku-Engkau, seharusnya sang Engkau dihormati sebagai subjek yang tidak boleh diobjektivasikan. Tetapi kalau hal ini terjadi, itulah drama tragedi objektifikasi martabat subjek. Jika hal itu terjadi, maka subjek pun sudah tidak ada lagi, sebab ia sudah berhenti menjadi subjek, lalu menjadi objek. Lingkup Beziehung diperosotkan menjadi sekadar Erfahrung. Lebih tragis dan dramatis lagi, sang subjek bisa diperosotkan sedemikian rupa sampai menjadi benda (objek). Itulah yang disebut proses reifikasi (dari kata Res, Latin, artinya hal ataupun benda), proses pembendaan subjek, subjek diperlakukan sebagai sekadar benda. Bila manusia diobjektivikasikan ataupun dibendakan, maka tinggal selangkah lagi orang bisa tega melakukan apa saja untuk menghancurkan manusia itu tanpa harus dilanda ataupun disiksa rasa bersalah (guilty feeling) dan apalagi rasa berdosa (sinful feeling).

Dulu dalam situasi kekejaman dan kengerian dari Perang Dunia II, salah satu akibat dari tendensi objektivikasi dan reifikasi itu ialah kekejaman Nazi yang berujung pada tragedi Holocaust yang sangat mengerikan itu. Jika di sini saya mengangkat contoh dalam konteks Perang Dunia II, itu tidaklah berarti bahwa kini (khususnya di Indonesia) tendensi itu sudah tidak ada lagi. Sama sekali tidak. Tendensi itu masih ada juga sekarang dan di sini, di negeri ini. Kalau ada sekelompok orang yang tega meneriakkan di ruang publik bahwa darah (sekelompok) orang itu halal (boleh ditumpahkan, hanya karena orang itu berbeda secara ras dan keyakinan religius dan ideologis dari mereka), itu adalah bentuk kongkret dan vulgar dari tendensi objektifikasi dan reifikasi tadi. Jika sesama itu hanya benda, atau diperlakukan sebagai benda (objek) belaka, maka sah-sah saja jika dibunuh atau dilenyapkan, tanpa harus merasa bersalah ataupun berdosa. Ini baru di satu sisi.

Di sisi lain, bisa saja terjadi bahwa manusia, si subjek tadi, memperlakukan sang id, es, benda tadi menjadi seperti manusia, bahkan seperti Tuhan. Jika ini yang terjadi, maka manusia sudah terperosok ke dalam dosa pemujaan berhala (idolatreia), yaitu memper-tuhan-kan benda dan mungkin juga mem-benda-kan Tuhan. Kiranya tendensi hidup yang sangat materialistik dan konsumeristik adalah tendensi dan nafsu yang mempertuhankan benda. Benda dikejar mati-matian demi dirinya sendiri dan bila perlu dengan mengorbankan sesama, dan juga mengorbankan Tuhan.
Karena sadar akan tendensi itu (kata G.Vahanian: manusia mudah jatuh ke berhala kalau ia tidak lagi mengalami Tuhan sejati), maka para penulis kitab Taurat, khususnya Kejadian memperkenalkan gagasan Sabat, sebagai hari istirahat. Pada hari Sabat manusia harus beristirahat dari kerja, dari nafsu dan kegiatan bekerja, mereka harus berhenti dari aktifitas mengolah tanah, menguasai alam. Pada hari Sabat, alam seakan diberi jeda atau istirahat singkat. Lalu pada saat itu manusia sejenak berlibur bersama Tuhan yang beristirahat pada hari Sabat itu.

Pelaksanaan Sabat itu tidak lagi hanya sekadar berlibur bersama Tuhan, melainkan juga terutama berlibur bagi atau untuk Tuhan. Aspek untuk/bagi itu diwujud-nyatakan dengan cara mengisi liburan Sabat dengan kegiatan peribadatan dan doa. Dalam hidup dunia modern dewasa ini, kiranya banyak orang lupa akan hal itu. Week-end adalah demi manusia saja. Manusia berlibur untuk tujuan egois. Padahal sejatinya libur itu haruslah berlibur bersama Tuhan dan untuk Tuhan. Jika ini tidak terjadi, sesungguhnya manusia modern sudah terperosok ke dalam egoisme dan sikap kontra-altruisme. Tinggal selangkah lagi maka manusia akan binasa. Sebab hidup tanpa Tuhan adalah sebentuk kematian dini itu sendiri.

No comments:

PEDENG JEREK WAE SUSU

Oleh: Fransiskus Borgias Dosen dan Peneliti Senior pada FF-UNPAR Bandung. Menyongsong Mentari Dengan Tari  Puncak perayaan penti adala...